BAB 3 - MENARA

Masuk ke dalam menara bukan lagi impian Sindu

Sindu pernah berkata ingin masuk ke dalam menara. Sekarang, tidak lagi.

Begitu tahu apa yang ada di puncak menara, Sindu tidak lagi tertarik. Akan tetapi, dia harus naik ke menara itu untuk menyelamatkan adiknya, Rakian. Kata wanita tua pemilik rumah ini, yang ternyata bernama Wilis, Rakian ditawan oleh penyihir di puncak menara.

Beginilah awal mula kenapa semua ini bisa terjadi. Wanita tua galak yang sekarang tidak galak lagi itu menceritakannya pada Sindu.

Nenek Wilis bukan penyihir. Tebakan Sindu waktu itu benar. Suami Nenek Wilis-lah yang seorang penyihir. Sindu memutuskan untuk memanggilnya Kakek Penyihir. Kakek Penyihir sangat membenci anak-anak. Dia bisa mengubah anak-anak menjadi keong kalau mau. Makanya, waktu itu Nenek Wilis mengusir Sindu agar suaminya tidak tahu ada anak-anak di pekarangannya. Kalau saja waktu itu Kakek Penyihir memergoki Sindu, bisa-bisa sekarang Sindu sudah menjadi keong.

Jadi, pagi tadi Rakian berhasil masuk ke pekarangan rumah ini. Dia takjub dengan pemandangan di pekarangan. Karena terlalu senang melihat semua jenis buah, sayur, dan bunga di kebun, tanpa permisi Rakian langsung memetik buah-buahan yang dia sukai. Dia memetik butir-butir anggur yang ada dalam jangkauannya. Dia juga memetik beberapa butir stoberi, yang langsung dia makan di tempat. Rakian memang sangat menyukai dua jenis buah itu.

Sayangnya, Rakian tidak seberuntung Sindu. Saat Rakian memetik stroberi, Kakek Penyihir memergokinya. Penyihir tua itu marah dan langsung merusak kebun-kebun itu. Dia juga langsung menangkap Rakian. Sedikit keberuntungan Rakian tidak langsung diubah menjadi keong saat itu juga.

Rakian menangis karena ketakutan. Dia memanggil Ageng yang berada di luar pagar. Tidak lama setelahnya, Ageng juga tertangkap oleh Kakek Penyihir. Hanya Oren yang bebas. Itu pun karena Kakek Penyihir tidak membenci kucing.

Setelah itu, Kakek Penyihir menyihir Ageng hingga menjadi seperti yang Sindu lihat sekarang. Tubuh setengah monyet yang berdiri kaku. Dia hanya bisa menggerakkan mata dan mulutnya.

Kakek Penyihir juga marah pada Nenek Wilis karena membiarkan anak-anak masuk ke pekarangan rumah mereka. Oleh karena itu, Kakek Penyihir juga menghukum istrinya menjadi kaku seperti Ageng.

"Lalu, di mana Rakian sekarang?" tanya Sindu.

Sindu memandang sekeliling, tetapi tidak melihat Rakian di mana pun. Dia tiba-tiba khawatir Rakian sudah menjadi keong dan terinjak oleh kakinya. Meski sering dibuat kesal oleh kecengengan Rakian, tetapi Sindu tidak ingin melihat Rakian mati atau berubah menjadi keong. Bagaimana pun, Rakian tetap adiknya. Selain itu, saat Mama meninggalkan Sindu dan Rakian di rumah Nenek, Sindu sudah berjanji akan menjaga Rakian. Sindu tidak pernah ingkar janji. Kata Papa, menepati janji adalah sifat seorang pahlawan. Sindu ingin menjadi pahlawan.

"Kakek Penyihir membawa Rakian ke puncak menara," jawab Ageng. Dia masih terisak. "Tolong dia, Sindu."

"Bagaimana caranya?" Sindu benar-benar tidak tahu caranya. Waktu kelas satu dulu, Sindu sering membayangkan dirinya menjadi kesatria yang menaiki naga dan berjuang melawan penyihir jahat. Sekarang pun dia masih sering membayangkan diri menjadi kesatria seperti itu. Hanya saja, dia tidak tahu caranya. Lagi pula, tidak ada naga yang bisa dia tunggangi di sini.

"Ikuti kucing itu," jawab Nenek Wilis. Oren yang dari tadi berputar-putar di dekat kaki Sindu mengeong, seolah menyetujui kata-kata Nenek Wilis. "Dia akan menunjukkan jalan masuk ke menara. Di lantai dasar menara, kamu akan menemukan banyak toples berisi kue kering warna-warni. Ambil yang warna hijau, merah, kuning, biru, dan cokelat. Masing-masing satu. Di lantai dasar, makan satu yang berwarna hijau. Simpan yang lain untuk lantai berikutnya."

"Kenapa hanya boleh masing-masing satu? Dan, kenapa yang hijau?" tanya Sindu. Dia butuh lebih banyak penjelasan.

Nenek Wilis terdiam sesaat sebelum menjawab, "Pokoknya ikuti saja. Kue hijau dulu, sisanya nanti kucing itu yang akan menjelaskan."

Sindu tidak paham dan masih ingin bertanya, tetapi dia pasrah saja mengikuti Oren yang sudah berjalan meninggalkan ruangan ini.


Kue yang berwarna hitam rasanya aneh

Sayangnya, mengatakan tidak boleh melakukan sesuatu ke anak-anak sama saja dengan menyuruh melakukannya. Apalagi kalau didahului dengan kata 'pokoknya' tanpa ada penjelasan memuaskan, anak-anak jelas semakin ingin tahu. Dan, itulah yang Sindu lakukan begitu sampai di lantai dasar menara. Oren masih bersamanya.

Seperti yang dikatakan Nenek Wilis, di lantai dasar menara terdapat satu rak besar yang menutupi satu sisi dinding. Di rak itu, tersusun rapi toples-toples berisi kue kering warna-warni: cokelat, putih, merah, kuning, hijau, jingga, kuning, dan banyak warna lain. Seolah, semua warna di pekarangan pindah ke toples-toples itu. Sindu masih mengamati setiap toples ketika Oren mengeong ke arah toples-toples itu, seakan menyuruhnya segera mengambil kue-kue seperti yang diperintahkan Nenek Wilis.

Sindu membuka tutup toples berisi kue hijau dan mengambil satu keping. Aroma kue itu seperti kelapa bercampur gula. Setelah digigit, rasanya berbeda lagi. Tidak ada rasa kelapa sama sekali. Yang Sindu rasakan justru rasa apel, buah yang paling dia sukai. Aneh. Lebih aneh lagi, setelah menghabiskan satu keeping itu, tiba-tiba Sindu bisa mengerti bahasa kucing. Dia bisa mengerti maksud saat Oren mengeong.

"Kata Nenek Wilis, kamu jadi bisa mengerti bahasa hewan dan tumbuhan kalau makan kue yang berwarna hijau," kata Oren menjelaskan begitu Sindu bertanya apa yang terjadi. Suara Oren tidak lucu seperti wujudnya. Sebaliknya, Sindu malah teringat Pak Guru setiap kali mendengar Oren bicara.

Hal ajaib ini membuat kekhawatiran Sindu sedikit berkurang. Setidaknya dia tidak sendiri. Ada Oren yang bisa menjelaskan banyak hal padanya. Oleh karena itu, Sindu segera mengumpulkan kue-kue yang lain dan menjejalkannya ke kantong celana. Dia penasaran dengan kemampuan ajaib kue-kue lain. Sayangnya, dia hanya boleh memakan satu warna kue saja di sini.

Akan tetapi, tidak ada salahnya kan mencoba satu kue yang tidak termasuk dalam daftar Nenek Wilis? Siapa tahu dia beruntung mendapat kue yang bisa memberinya kekuatan untuk terbang.

"Kalau yang merah ini buat apa?" tanya Sindu penasaran. Dia menunjuk toples berisi kue merah.

Oren menggeleng. "Kita tidak punya banyak waktu. Nanti aku jelaskan sambil jalan." Oren melangkah ke arah tangga batu ke lantai dua menara. Dia mengeong, yang Sindu pahami sebagai, "Cepat! Sebelum Rakian berubah jadi keong."

Akan tetapi, Sindu tidak benar-benar mendengarkan Oren. Dia malah sibuk membuka toples berisi kue berwarna hitam pekat. Terlihat mengerikan, tetapi menarik. Aromanya seperti anggur, manis sekali, namun rasanya benar-benar ternyata tak seenak aromanya.

Rasa kue hitam itu seperti makanan basi. Agak berbau busuk. Sindu pernah secara tidak sengaja memakan ayam basi yang lupa Mama keluarkan dari kulkas. Rasa kue ini lebih buruk dari itu. Sindu langsung meludah berkali-kali, sampai dia merasa mulutnya bersih. Diam sejenak, Sindu menanti sesuatu terjadi pada tubuhnya. Tidak ada yang terjadi, mungkin karena Sindu tidak sempat menelan kue itu.

"Cepat!" teriak Oren dalam suara Pak Guru yang terdengar galak.

Merasa tidak punya waktu untuk mencoba kue-kue lain, Sindu mengambil beberapa yang berada dalam jangkauannya dan menjejalkan semua kue ke kantong-kantong celananya. Mungkin kue-kue itu akan berguna nanti.


[bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top