BAB 2 - RAKIAN
Cucu yang Nenek sayang, tetapi Sindu benci
Beberapapa bulan kemudian, Ageng kembali memberi Sindu berita terbaru tentang wanita tua galak pemilik rumah besar itu. Sindu tidak ingin memanggilnya penyihir lagi, karena dia bukan penyihir. Kata Ageng, ada anak laki-laki yang menyelinap masuk ke rumah wanita tua galak itu dan tidak pernah kembali.
Sindu tidak percaya lagi dengan bualan Ageng.
Di libur panjang setelah ujian kelulusan SD, Sindu kembali menghabiskan liburannya di rumah Nenek. Liburan kali ini agak lebih ramai. Selain Sindu, ada Ageng dan adik Sindu, Rakian. Selama ini Rakian tidak pernah mau menginap di rumah Nenek. Dia selalu menangis dan meminta pulang. Kali ini, entah kenapa, berbeda. Rakian bersedia ikut menginap di rumah Nenek untuk beberapa hari.
Rakian baru saja mau naik kelas dua SD. Dia adik laki-laki yang cengeng. Sedikit-sedikit menangis. Tidak boleh ikut bermain, menangis. Bantal unicorn-nya disembunyikan, menangis. Kalah bermain petak umpet, menangis. Sindu benci setiap kali Rakian menangis. Lebih-lebih kalau Nenek sudah berkata, "Sindu, yang lebih besar mengalah."
Menyebalkan. Sekarang Nenek sudah mulai pilih kasih. Secepat itulah perhatian Nenek beralih, padahal Rakian baru sekali berlibur ke rumah Nenek. Coba bandingkan dengan Sindu yang hampir selalu datang ke sini setiap liburan sekolah.
Sepertinya, memang seperti itu kebiasaan orang dewasa. Mereka cepat sekali menyingkirkan barang lama ketika barang baru muncul. Mama sering membuang baju-baju lamanya ke gudang kalau baru pulang dari berbelanja pakaian. Papa juga sering melakukan hal yang sama pada barang-barang elektronik, seperti televisi atau monitor komputer. Sementara itu, Nenek baru saja mengganti Sindu dengan Rakian.
Rakian percaya tetangga Nenek seorang penyihir
Ageng tidak lagi bisa membual pada Sindu. Sebagai gantinya, sekarang dia membual ke Rakian.
Suatu hari, Ageng mulai menceritakan tentang rumah besar di ujung desa itu pada Rakian. Ceritanya persis seperti yang diceritakan pada Sindu. Bedanya, Ageng butuh bertahun-tahun hingga dia bisa mengajak Sindu menyelinap masuk ke rumah itu. Dengan Rakian, dia hanya butuh waktu satu hari. Hari berikutnya, Rakian sudah berhasil dibujuk untuk menyelinap lewat lubang yang sama dengan yang pernah Sindu lewati. Ageng tetap tidak bisa masuk. Tubuhnya semakin gendut. Jauh lebih gendut dari sebelumnya.
Sindu tidak tahu janji iming-iming apa yang Ageng berikan pada Rakian sehingga dia mau menyelinap masuk ke rumah itu. Rakian itu penakut. Ke kamar mandi sendiri saat malam saja tidak berani. Bagaimana mungkin dia mau masuk ke rumah seram itu secara sukarela? Jawaban pertanyaan Sindu tidak pernah Sindu dapatkan. Namun beberapa jam kemudian, hal ajaib mulai terjadi.
Saat itu sore hari. Kira-kira pukul tiga. Sindu sedang asik menonton Adit & Sopo Jarwo, salah satu dari sedikit acara yang boleh dia tonton di televisi. Di rumah, Mama punya daftar acara apa saja yang boleh dan tidak boleh Sindu tonton. Rakian punya daftar yang lebih panjang dari Sindu.
Sesekali Sindu mencoba melanggar aturan Mama. Dia mencoba menonton acara untuk orang dewasa di televisi. Namun, Sindu bingung dengan tontonan orang dewasa yang sempat dia lihat. Tidak ada cerita yang bisa dia ikuti. Beberapa orang dewasa hanya duduk-duduk di sofa, membicarakan sesuatu dan menyebut nama-nama orang yang entah siapa. Sesekali mereka tertawa keras. Sindu tidak tahu di mana lucunya. Jelas jauh lebih lucu Rambo ayam jagonya Tuk Dalang daripada mereka. Lucunya orang dewasa ternyata aneh.
Sindu sedang menertawakan Jarwo ketika Oren tiba-tiba masuk ke ruang keluarga. Kucing itu mengeong di dekat kaki Sindu. Sindu mencoba mengusirnya, tetapi Oren terus mengeong. Bahkan, makin keras. Sindu terus mengabaikan Oren, hingga kucing itu mencakar kaki Sindu. Sindu menjerit karena kaget. Dia marah dan hampir saja menendang kucing itu, andai saja dia tidak melihat mata Oren.
Mata kehijauan Oren menatap Sindu, terlihat berkaca-kaca. Kucing itu terlihat seperti hendak menangis. Anehnya, mata itu justru mengingatkan Sindu pada Rakian ketika ketakutan.
Oren mengeong sekali lagi, lalu berbalik meninggalkan Sindu. Beberapa langkah, Oren menoleh pada Sindu lagi, lalu mengeong lagi. Oren mengulangi hal yang sama berkali-kali, hingga Sindu yakin kucing itu ingin Sindu mengikutinya.
Sindu bangkit. Dia mengikuti ke mana Oren pergi. Tidak disangka, ternyata Oren memandu Sindu ke rumah besar si wanita tua galak. Tepatnya, ke lubang tembok pagar sisi kanan rumah. Sindu baru saja hendak mencegah Oren masuk, tetapi kucing itu sudah menyelinap masuk ke lubang di tembok.
Sindu tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti Oren dan masuk ke lubang itu sekali lagi.
Tetangga Nenek berdiri kaku seperti patung
Sindu sekali lagi berada di halaman belakang rumah besar itu.
Setelah hampir setahun, pekarangan belakang rumah ini tampak berubah. Tidak lagi ceria seperti terakhir kali Sindu ke sini.
Petak-petak kebunnya masih ada, pagar-pagar bambunya juga masih ada. Akan tetapi, petak-petak kebun itu tidak lagi ditumbuhi sayur-mayur dan buah-buahan segar. Juga, tidak tampak adanya bunga mekar di mana pun. Semua tanaman mengering, layu dan berwarna kecokelatan, seolah tidak pernah lagi disiram. Hampir senada dengan para tanaman, pagar bambu yang membatasi petak-petak kebun itu juga tidak lagi berwarna ceria. Warna-warna cerahnya memudar. Sekarang, pekarangan belakang itu hampir sesuram halaman depan.
Oren mengeong lagi, seolah menegur Sindu agar terus mengikutinya. Sindu mengabaikan petak-petak kebun dan mulai mengikuti Oren.
Ternyata, Oren membawa Sindu ke pintu belakang rumah. Pintunya tertutup, tetapi tidak terkunci. Oren mengeong ke arah pintu. Kucing itu seakan menyuruh Sindu untuk masuk ke dalam. Sebenarnya Sindu takut, tetapi dia lebih penasaran dengan apa yang ingin Oren tunjukkan. Akhirnya, dia melangkah ke dalam rumah.
Suasana di dalam rumah agak gelap. Sindu tiba-tiba merinding. Dia agak takut, tetapi dia mencoba memberanikan diri. Dia sering menyebut Rakian penakut. Kalau Sindu melarikan diri sekarang, itu berarti dia sama penakutnya dengan Rakian.
Oren kembali mengeong sambil terus melangkah. Kucing itu menyeberangi ruangan kosong ini. Sindu tidak tahu harus menyebut ini ruangan apa. Tidak ada kompor di sini, jadi ini pasti bukan dapur. Tidak ada kasur dan bantal, jadi ini pasti bukan kamar tidur. Juga, pasti bukan ruang tamu karena Sindu tidak melihat sofa dan foto keluarga ukuran sangat besar tertempel di dinding. Tidak ada perabot apa pun yang bisa memberitahu Sindu nama ruangan ini. Tempat ini benar-benar kosong.
Sindu berjalan mengikuti Oren. Dia terus mengikuti si kucing tanpa tahu akan dibawa ke mana. Hingga, Oren berhenti di sebuah ruangan yang lain. Ruangan itu jauh lebih kecil. Lagi-lagi kosong tanpa perabot. Lalu, Sindu menyadari ada dua manusia yang berdiri di sudut ruangan. Mereka terlihat kaku, berdiri seperti patung. Sindu mengenali dua orang itu.
"Sindu!" teriak Ageng, si sepupu pembual. Suaranya terdengar seperti orang yang baru saja menangis. Dia baru tahu ternyata Ageng bisa menangis juga.
Sindu melangkah lebih dekat ke arah Ageng. Dia mengamati. Ada yang aneh dengan tubuh Ageng. Dia terlihat lebih kurus. Tangannya situmbuhi rambut-rambut tebal dan ada ekor yang menjulur dari bagian belakang tubuhnya. Dia tampak seperti akan berubah menjadi monyet dalam waktu dekat. "Ageng, apa yang terjadi? Di mana Rakian?"
Akan tetapi, belum juga pertanyaan Sindu terjawab, suara lain menimpali.
"Nak." Itu suarawanita tua pemilik rumah ini. Dia juga berdiri kaku di sebelah Ageng. Dia tidaklagi terdengar galak seperti terakhir kali ketemu. "Tolong kami, Nak."
[bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top