BAB 11 - AJAL
Janggar minta digendong
Sejauh apa pun Ajal berada saat ini, kalau Janggar tetap berjalan selambat itu, mustahil dia akan bisa sampai rumah sebelum Ajal menyusulnya. Sindu benar-benar tak sabar.
"Janggar, ngomong-ngomong, kamu tahu kenapa kami di sini?" tanya Oren tiba-tiba. Dia berjalan memutar di sekitar kaki Sindu dan Janggar.
Janggar menggeleng.
"Sebenarnya, kami butuh tongkatmu," lanjut Oren. Sindu hanya diam menyimak.
Janggar berhenti sejenak. "Buat apa?"
"Adik Sindu ditawan penyihir," jawab Oren. "Tongkat itu satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan anak itu dari penyihir."
Janggar terlihat berpikir. Akan tetapi, sebelum hasil pikirannya terucap, raungan Ajal kembali terdengar. Sepertinya Ajal sudah semakin dekat.
"Bagaimana kalau kita membuat kesepakatan?" tanya Janggar mengutarakan hasil berpikirnya, yang ternyata cukup cepat bila dibanding cara berjalannya. "Sindu harus menggendongku sampai rumah, setelah itu kalian boleh mengambil tongkat ini."
Oren memandang Sindu. "Bagaimana?"
Sindu tidak yakin bisa kuat menggendong Janggar. Tinggi hewan itu mungkin tak lebih dari enam puluh centimeter, tetapi dia gemuk. Sepertinya berat.
"Kita coba." Sindu mengangguk menyetujui.
Sindu berjongkok. Dia sedang bersiap untuk menggendong Janggar ketika raungan Ajal terdengar lagi. Semakin dekat.
Di ujung jalan, sosok hitam besar mulai terlihat.
Rumah di atas pohon dari kumpulan ranting dan seresah
Meskipun hanya setinggi enam puluh centimeter, Janggar ternyata berat. Mungkin ini benda terberat yang pernah Sindu bawa dengan tubuhnya. Andai saja satu kue yang tersisa di kantongnya punya khasiat untuk menambah kekuatan, dia pasti akan makan kue itu cepat-cepat. Sayangnya, kue itu berguna untuk hal lain.
Dulu waktu kelas empat, Sindu pernah membantu Nenek memanen sayur di kebunnya. Nenek mengisi keranjang anyaman bambu dengan berbagai jenis sayur. Tomat, wortel, bayam. Keranjang itu terlihat ringan, jadi Sindu sok mau membantu. Nenek sudah melarang dan memberitahu Sindu kalau keranjang itu berat, tetapi Sindu tidak mendengarkan. Dia mau pamer kalau dia sudah besar dan kuat.
Nenek mengalah. Akhirnya Sindu diperbolehkan memanggul keranjang itu. Ternyata, Nenek benar. Keranjang itu luar biasa berat. Sayangnya, Sindu malu mau menyerah. Dengan kepayahan, dia tetap memanggul keranjang itu sampai rumah. Sampai di rumah, Sindu bangga dia tidak menyerah di jalan tadi. Kalau mau berusaha, dia pasti kuat.
Hal seperti itu pulalah yang sekarang Sindu pikirkan. Dia tidak akan menyerah. Dia harus bisa menggendong Janggar sampai rumahnya dan mendapatkan tongkat itu.
Raungan Ajal terdengar lagi. Tanpa perlu menengok ke belakang, Sindu tahu Ajal semakin dekat. Karena itu, dia mempercepat jalannya sampai hampir berlari. Oren berlari di samping Sindu dan Janggar berkali-kali menoleh ke belakang. Janggar memastikan dirinya tidak berada dalam jangkauan Ajal.
Lari. Sindu terus berlari. Bahkan, rasanya ayunan kakinya semakin ringan. Entah sudah sejauh apa dia berlari.
Raungan Ajal terus terdengar. Sesekali terdengar agak menjauh, sesekali cukup dekat. Hingga, tiba-tiba Janggar menunjuk ke depan. Ke sebuah pohon besar bercabang-cabang. Di antara puluhan cabang itu, terdapat cabang-cabang pohon saling-silang yang tampak seperti sarang. Ada banyak seresah daun kering di bagian luar sarang itu.
"Itu rumahku." Janggar menunjuk ke sarang itu sambil berucap. "Di sana istri dan anak-anakku tinggal."
Ajal itu seperti Oren, cuma lebih besar dan hitam
Sindu sampai di depan rumah Janggar hanya dalam beberapa langkah kemudian. Sayangnya, Ajal juga mengikuti tak lama setelahnya.
Seperti kata Janggar, Ajal memang hewan bertubuh besar dan berwarna hitam. Wujudnya seperti kucing. Tubuhnya lebih tinggi dari Sindu. Kalau Sindu mencoba menggapai, mungkin dia hanya bisa menyentuh hidungnya.
Ajal menggeram ke arah Janggar. Dia tidak lagi meraung. Itu terasa lebih baik. Namun, melihat deretan gigi Ajal yang tajam, semua tidak lagi terasa lebih baik.
Oren melangkah mendekati Ajal. Tubuhnya jadi terlihat sangat kecil di depan Ajal. Dia hanya sedikit lebih besar dari kaki depan Ajal. Oren mencoba berbicara.
"Bisa ditunda sebentar saja? Biarkan Janggar bertemu keluarganya dulu." Oren berusaha membujuk, yang hanya dibalas geraman oleh Ajal. Sindu tidak bisa mengartikan geraman itu. Entah kenapa dia tidak bicara seperti hewan-hewan lain.
"Sebentar saja," pinta Oren masih berusaha. "Setelah itu, kamu bebas mau melakukan apa pun pada Janggar."
Lagi-lagi, kata-kata Oren hanya dibalas geraman. Kali ini geraman itu semakin menakutkan, disertai dengusan dan tatapan mematikan dari Ajal.
Lalu, dari sarang Janggar, terdengar suara-suara. Beberapa kungkang menunjukkan wajahnya. Sepertinya mereka terganggu oleh geraman Janggar. Ada tiga kungkang. Sindu bisa menduga, satu di antara tiga kungkang itu adalah istri Janggar. Dua yang lebih kecil adalah anak mereka.
Istri Janggar memanjat turun pohon. Dua anaknya mengikuti.
Ajal mencoba melangkah satu langkah lebih dekat ke arah Janggar. Oren tak memperbolehkan. Dengan tubuhnya yang kecil, dia mencoba menghalangi langkah Ajal.
"Turunkan aku," pinta Janggar.
Sindu menurunkan Janggar.
"Temui keluargamu," perintah Sindu, lalu dia berlari ke arah Ajal. Dia membantu Oren menghambat langkah Ajal dengan memeluk kaki Ajal agar tidak melangkah.
Sindu berusaha mendorong sekuat mungkin, tetapi Ajal terlalu kuat. Sedikit demi sedikit, Ajal mulai menggeser tubuh ke arah Janggar. Sindu menumpukan kekuatannya di kaki kanan. Dia mendorong sekuat mungkin. Dia akan terus seperti ini hingga Janggar merasa siap.
Keluarga Janggar sampai di tanah. Janggar langsung memeluk mereka. Dia menjelaskan siapa Ajal, Sindu, dan Oren. Dia juga menjelaskan apa yang akan terjadi setelah ini.
"Ajalku sudah dekat," ujar Janggar pada anggota keluarganya. "Kalau bukan karena bantuan manusia dan kucing itu, mungkin aku tidak akan pernah sampai di sini. Mungkin Ajal akan menikamku di jalan dan kalian tidak akan pernah tahu aku mati di mana."
Istri Janggar mulai menangis. Kedua anaknya pun turut menangis.
"Jangan sedih," lanjut Janggar. "Aku sudah tua. Memang sudah saatnya. Harapan terakhirku adalah meninggal di pelukan kalian. Sekarang, aku bisa mendapatkan apa yang aku harap."
Lalu, Janggar berteriak ke arah Sindu dan Oren. "Biarkan dia mendekat. Aku sudah siap."
Sindu memandang Oren. Mereka berdua berhenti melawan. Mereka menyingkir.
Ajal melangkah pelan ke arah Janggar dan keluarganya. Geraman terdengar makin sering. Janggar terlihat tersenyum, sementara istri dan anak-anaknya terisak makin keras.
Lalu, proses kematian Janggar terjadi.
Ajal memakan angin
Proses kematian Janggar benar-benar membingungkan. Sindu tidak benar-benar paham prosesnya. Dari yang mampu otak Sindu olah, beginilah kejadiannya.
Ajal mendekati Janggar. Kemudian, mulut besar Ajal terbuka lebar. Sangat lebar, lebih lebar dari yang seharusnya sanggup dibuat oleh rahang Ajal. Benar-benar tidak masuk akal. Setelah itu, secara tiba-tiba, dia melahap Janggar. Anehnya, setelah Ajal selesai melahap, tubuh Janggar masih ada di pelukan keluarganya. Bedanya, Janggar tak lagi membuka mata. Dia seperti tertidur.
Setelah itu, Ajal bangkit. Dia berbalik dan berlari sangat kencang meninggalkan tempat ini. Dalam sekejab, Ajal tidak lagi terlihat.
Isak tangis keluarga Janggar terdengar makin kuat. Sindu dan Oren mendekati mereka. Oren mengucapkan bela sungkawa. Sindu mengikuti.
"Terima kasih," balas istri Janggar. Lalu, istri Janggar mengambil tongkat yang masih tergenggam di tangan Janggar. Dia menyerahkan tongkat itu pada Sindu. "Terima kasih sudah membawa suamiku pulang."
Sindu mengangguk dan menerima tongkat itu. Dia merogoh saku celananya. Kue terakhir miliknya masih di sana. Kue cokelat. Kue untuk ketenangan dan kedamaian. Sindu bisa saja memakan kue itu sekarang untuk alasan apa pun, tetapi ada sekeluarga kungkang yang jauh lebih membutuhkannya.
"Makan ini," ujar Sindu. Dia menyerahkan kue cokelatnya. "Ini mungkin bisa membuat beban kalian sedikit berkurang."
Istri Janggar menerima kue pemberian Sindu.
Tak lama setelah itu,Sindu dan Oren pamit. Empat kayu sudah terkumpul di tangannya. Dia siap bertemupenyihir untuk menyelamatkan Rakian.
[bersambung]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top