BAB 10 - JANGGAR

Oren sudah hidup enam kali dan mati lima kali

Pintu masuk di lantai lima menara membawa Sindu dan Oren ke tempat yang paling aneh sejauh ini. Tidak di kamar, di kebun, atau pun di pekarangan rumah. Alih-alih tiga tempat itu, Sindu dan Oren malah sampai di sebuah jalan setapak yang diapit oleh pohon-pohon tinggi di kedua sisinya. Jalan itu sangat sempit. Nyaris tidak bisa dilewati dua orang yang berjalan bersisian.

Suasana begitu sunyi. Tidak ada satu orang atau hewan pun yang melintas di jalan setapak itu. Lagi-lagi, Sindu harus bertanya pada Oren untuk memastikan kayu keempat ada di tempat ini.

Apakah kayu itu ada di antara pohon-pohon di sisi kanan dan kiri jalan setapak? Oren belum melihatnya sejauh ini.

"Mungkin kita harus menunggu," ujar Oren memberi saran.

Karena Sindu tidak punya ide apa pun yang lebih baik, dia menuruti saran Oren. Dia duduk bersila di samping jalan beralas seresah dedaunan. Sementara Oren duduk di samping Sindu.

Mereka diam untuk beberapa saat, hingga terlintas di benak Sindu sebuah pertanyaan.

"Kata Nenek kucing punya sembilan nyawa," ujar Sindu pada Oren. "Itu benar, Ren?"

"Benar," jawab Oren setelah berhenti menjilati kaki depannya.

"Sekarang kamu sedang hidup di nyawa yang keberapa?" tanya Sindu lagi.

"Ini kehidupan keenamku," jawab Oren. "Di kehidupan pertamaku, aku terlahir sebagai kucing anggora berbulu lebat. Aku sering memenangi kontes kucing sehat. Pemilikku saat itu benar-benar memanjakanku. Di kehidupan itu, aku mati tertabrak mobil saat aku mencoba keluar rumah."

Sindu diam. Dia tidak menyela. Sepertinya seru mendengarkan cerita Oren di kehidupan-kehidupan sebelumnya.

"Di kehidupan kedua, aku lahir sebagai kucing jalanan," lanjut Oren. "Makan dari mengais tong sampah. Setiap hari seperti itu. Aku mati karena kalah berkelahi dari kucing jalanan lain. Aku lupa apa yang aku perebutkan waktu itu. Di kehidupan ketiga, aku lahir jadi kucing jalanan lagi. Nyaris tidak ada beda dengan kehidupan sebelumnya. Bedanya, kali ini aku mati karena ada manusia jahat yang memberiku makanan yang sudah dicampur racun."

Sindu mangangguk-angguk. Dia semakin penasaran dengan kehidupan-kehidupan Oren selanjutnya.

"Di kehidupan keempat aku jadi kucing kampung. Ada manusia yang memeliharaku, tapi tak pernah memberiku makan. Karena itu, aku terpaksa mencuri makan darinya. Sialnya, aku ketahuan dan langsung ditendang sangat keras. Tulang rusukku patah. Tak lama setelah itu, aku mati."

Ternyata kisah Oren lebih banyak tragisnya daripada kehidupan bahagia.

"Di kehidupan kelimaku, aku lahir lagi sebagai kucing kampung." Oren melanjutkan. "Bedanya, kali ini aku mendapat pemelihara yang baik hati, hampir sama perhatiannya dengan pemilik di kehidupan pertamaku. Aku selalu dikasih makan. Dibiarkan ikut tidur di kasur mereka. Kamu tahu siapa pemilikku waktu itu?"

Sindu menggeleng.

Oren menggoyang-goyangkan ekornya. "Kakek Penyihir dan Nenek Wilis."

Serius? Sindu nyaris tersedak saking tidak percayanya.


Hewan paling lambat di dunia

Sekarang Sindu tahu. Mungkin inilah alasan kenapa Oren terlihat begitu banyak tahu tentang rumah dan menara Kakek Penyihir. Ternyata di kehidupan sebelum ini, dia adalah peliharaan si penyihir.

"Kamu tahu bagaimana aku mati di kehidupanku sebelum ini?" tanya Oren.

"Keracunan lagi?" Sindu mencoba menebak, tetapi salah. "Tertabrak mobil?" tebak Sindu lagi. Masih salah. "Jatuh ke sumur? Berkelahi dengan anjing? Terkena siraman air panas? Masuk ke ramuan ajaib?"

Semua tebakan Sindu salah. Tak ada sedikit pun yang mendekati kebenaran. Sindu akhirnya menyerah. Oren sudah hendak mengaku, namun tepat saat itu, di kejauhan, tampak seekor hewan yang berjalan tertatih dengan bantuan tongkat kayu.

"Itu dia yang kita cari!" teriak Oren begitu melihat hewan bertongkat itu. "Itu kayunya."

Mendengar itu, Sindu langsung berdiri. Oren juga. Mereka menunggu. Pikir Sindu, hanya dalam satu menit saja, hewan itu akan sampai di depannya. Ternyata, perkiraan Sindu salah. Hampir sepuluh menit Sindu dan Oren menunggu, tetapi hewan itu tidak maju terlalu jauh. Bahkan, hewan itu seperti tidak bergerak. Sindu belum pernah melihat hewan besar bergerak selambat siput.

Akhirnya, Sindu dan Oren memutuskan untuk menghampiri hewan itu.

"Pantas lambat," ujar Oren begitu jarak mereka dengan hewan itu tinggal beberapa langkah lagi. "Kungkang memang lambat kalau berjalan, tapi yang ini kenapa lambat sekali?"

Sindu tidak punya jawaban untuk pertanyaan Oren. Dia bahkan baru tahu kalau hewan itu adalah kungkang karena Oren menyebutnya seperti itu.

"Oh, itu karena dia sudah sangat tua." Oren menjawab pertanyaannya sendiri setelah Oren dan Sindu hanya berjarak beberapa langkah dari si kungkang. "Kakinya juga terluka."

Sindu memperhatikan. Benar. Ada luka sayatan di pergelangan kaki hewan itu. Bulu-bulunya yang lebat jadi berwarna kemerahan karena darah yang mengalir. Kungkang itu terlihat kesulitan berjalan. Lalu, Sindu ingat kue putih yang dia punya.

Mungkin kue itu bisa menolong kungkang itu.


Kungkang itu harus cepat sampai rumah

Kungkang itu bernama Janggar. Dia sedang buru-buru. Dia ingin cepat sampai rumah.

"Aku sudah tua, aku tidak bisa berjalan cepat," ujar Janggar. Dia menunjukkan kayu setinggi setengah meteran di tangannya pada Sindu dan Oren. "Untungnya ada ini. Tongkat ini sedikit bisa membantuku berjalan lebih cepat."

Bersama Sindu dan Oren, saat ini Janggar tengah mengambil jeda istirahat sejenak untuk memakan kue putih pemberian Sindu. Dia perlu menyembuhkan luka itu terlebih dahulu. Kata Janggar, luka itu muncul karena tembakan peluru manusia. Untung hanya menyerempet saja, jadi dia tidak mati tertembak.

"Kenapa kamu buru-buru mau pulang?" tanya Oren pada Janggar.

"Hari ini mungkin aku akan mati," jawab Janggar membuat Sindu kaget. Oren juga mengeong terkejut. "Kalau kalian mau menunggu di sini, mungkin nanti kalian akan melihat hewan hitam besar melintas. Itu Ajal. Dia sudah memburuku sejak kemarin."

Sindu dan Oren serentak menoleh ke ujung jalan. Belum terlihat hewan hitam besar bernama Ajal itu.

"Tapi, bukannya kita tidak bisa menghindar dari kematian, ya?" tanya Oren. Dia yang sudah mati lima kali mungkin lebih paham bagaimana kematian itu bekerja.

"Aku bukan mau menghindari kematian," jawab Janggar. Dia berdiri dengan bantuan tongkatnya, lalu mengetuk-ketukkan kakinya yang sakit ke tanah. Dia tidak terlihat kesakitan. Khasiat kue itu sudah bekerja. "Aku cuma tidak mau mati sendiri di jalan ini. Aku ingin mati di antara istri dan anak-anakku. Karena itu, aku harus segera sampai rumah."

Kungkang itu berjalan lagi. Kecepatannya bertambah, tetapi tidak berarti banyak. Masih kalah cepat dibanding langkah super santai Oren sekali pun. Lalu, tidak lama setelah itu, belum sampai lima meter jalan yang Janggar tempuh, sebuah raungan terdengar menggelegar dari kejauhan. Entah hewan apa yang sanggup meraung dengan cara seperti itu.

"Itu Ajal," ujar Janggar memberitahu.

Sindu dan Oren langsung menoleh ke belakang, memandang ujung jalan. Tidak ada yang terlihat. Syukurlah. Ajal Janggar belum dekat.


[bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top