BAB 1 - SINDU

Tetangga Nenek seorang penyihir

Waktu kelas satu Sekolah Dasar, Sindu tahu neneknya yang tinggal di desa punya tetangga seorang penyihir. Ageng, salah seorang sepupu Sindu yang memberitahu soal itu. Sebagai penggemar dongeng tentang naga dan kurcaci, Sindu percaya.

Naik ke kelas dua, saat liburan sekolah di rumah Nenek, Sindu melihat sendiri rumah penyihir itu. Besar dan bertingkat-tingkat. Ada menara yang menyembul dari belakang rumah itu. Pagar tembok depannya tinggi dan gerbang besinya selalu digembok. Rumah penyihir itu ada di ujung desa. Tidak terlalu jauh dari rumah Nenek, karena rumah Nenek pun agak di pinggir.

Kelas empat, Ageng memberitahukan hal lain tentang si penyihir. Katanya, di belakang rumah si penyihir ada pohon besar ajaib, yang bisa berbicara dan mengabulkan permintaan. Pohon itu tidak telihat dari depan pagar. Kata Ageng, itu karena rumah si penyihir terlalu tinggi. Sindu tidak melihat adanya jalan masuk ke rumah itu, jadi dia percaya saja dengan ocehan Ageng.

Liburan pergantian semester di kelas lima, Sindu dan Ageng menemukan jalan masuk ke rumah itu. Tembok pagar depan rumah masih tinggi. Gerbang masuknya juga masih digembok. Namun, berkat kepiawaian Oren—kucing kampung berbulu jingga peliharaan Nenek—Sindu dan Ageng berhasil menemukan jalan masuk.


Di balik pagar rumah si penyihir

Ada lubang di tembok pagar sisi kanan rumah penyihir. Lubang itu tidak terlalu besar dan tertutup ilalang setinggi lutut orang dewasa. Setelah ilalang-ilalang itu disibak, ternyata hanya Oren dan Sindu yang bisa masuk dari lubang itu. Tubuh Ageng terlalu gendut. Dia tidak muat, bahkan dengan merayap sekali pun.

Begitu berhasil masuk, Sindu benar-benar terkejut dengan apa yang dia lihat. Sampai-sampai, dia tidak sadar Oren sudah pergi meninggalkannya.

Rumah si penyihir terlihat lebih besar dibanding jika dilihat dari luar pagar, juga jauh lebih menyeramkan. Dinding-dinding rumah itu berwarna kelabu. Lumut-lumut tumbuh di dinding yang berada terlalu dekat dengan tanah. Pintu masuknya besar dan jendelanya banyak. Di setiap tingkat ada lebih banyak jendela lagi. Sindu menghitung jumlah jendelanya, tetapi dia berhenti setelah sampai angka dua puluh satu. Bukan karena dia tidak tahu angka setelahnya, tetapi karena dia melihat menara yang biasanya hanya dia lihat puncaknya saja.

Sindu berjalan ke sisi kanan rumah, sedikit memutar untuk menghindari semak-semak mawar yang berduri banyak. Dia sampai di belakang rumah. Kini, dia berdiri persis di bawah menara. Menara itu berbentuk bersegi, tidak seperti menara masjid yang sering Sindu lihat. Atap menara itu datar, tidak lancip seperti menara-menara di dongeng. Dari bawah, menara itu tampak begitu tinggi dan gagah.

Sindu penasaran bagaimana sepenjuru desa tampak jika dia berdiri di puncak menara. Rumah-rumah pasti akan terlihat kecil. Sayangnya, dia tidak melihat pintu masuk ke dalam menara. Hanya ada lubang-lubang jendela berbentuk setengah lingkaran yang terlalu tinggi untuk digapai. Ada satu jendela di setiap tingkat. Sindu menghitung. Kali ini hanya berjumlah enam.

Karena tidak menemukan cara untuk masuk ke menara, Sindu memilih untuk mengarahkan perhatiannya ke tempat lain. Dia memandang sekeliling. Ternyata, pekarangan belakang rumah penyihir ini lebih hebat daripada menaranya.

Pekarangan ini sangat luas dan terbagi dalam petak-petak. Setiap petak dibatasi oleh pagar-pagar bambu yang dicat warna-warni—merah, kuning, biru, hijau, dan jingga. Pekarangan itu hampir tampak seperti taman bermain. Tempat ini benar-benar berbeda dibading halaman depan yang muram.

Ada empat puluh petak. Sindu benar-benar menghitungnya. Masing-masing ditumbuhi oleh berbagai tanaman sayur, bunga, dan buah. Kubis, tomat, bayam, mawar, melon, dan anggur. Sindu tahu enam jenis tanaman itu karena pernah melihatnya di internet. Mama juga sering memasak beberapa di antaranya. Sisanya yang banyak itu, dia tidak tahu namanya. Meskipun demikian, Sindu yakin di antara tanaman-tanaman yang tidak dia tahu itu, tidak ada pohon ajaib seperti yang Ageng katakan. Tidak terlihat adanya pohon besar yang memiliki mulut untuk berbicara dan mengabulkan permintaan.

Jadi, mungkin Ageng cuma membual.

Sindu mencoba mendekati petak-petak kebun itu. Dia ingin memastikan apakah sayur, bunga, dan buah di depannya benar-benar sayur, bunga, dan buah biasa. Dia ingin mencicipinya. Sedikit saja. Siapa tahu dia bisa tiba-tiba menjadi kuat setelah memakan beberapa helai daun bayam dari kebun itu. Namun, bahkan sebelum dia sampai di pagar bambu pembatas petak kebun bayam, tiba-tiba dia mendengar seorang wanita berteriak.

"Anak nakal! Pergi dari kebunku!"


Tetangga Nenek ternyata bukan penyihir

Sindu terkejut luar biasa. Dia langsung menoleh ke sumber suara. Seorang wanita tua yang baru saja keluar dari pintu belakang rumah mengacungkan tongkat kayu ke arah Sindu.

Jika rumah besar ini dihuni penyihir, maka pasti wanita tua itulah penyihirnya. Namun, wanita itu tidak tampak seperti penyihir yang pernah Sindu lihat di televisi. Dia terlihat seperti orang tua pada umumnya. Dia gemuk dan agak bungkuk seperti Nenek, kulitnya keriput seperti Kakek, rambutnya banyak yang putih seperti Papa, dan gampang marah-marah seperti Mama. Wanita tua itu juga tidak memakai jubah hitam seram dan topi kerucut. Kulitnya tidak hijau dan kuku tangannya tidak terlihat panjang. Jadi, Sindu cukup yakin wanita itu bukan penyihir.

Ada satu lagi bukti kalau wanita tua itu bukan penyihir.

Sampai saat ini, Sindu masih berwujud manusia. Dia belum disihir menjadi kodok atau ayam. Wanita itu juga tidak terlihat merapal mantra. Alih-alih merapal mantra, wanita itu hanya terus-menerus berteriak untuk mengusir Sindu.

"Pergi kamu dari kebunku!" teriak wanita itu sambil mengacungkan tongkat kayu ke arah Sindu. "Jangan ambil apa pun! Pergi sekarang! Dasar anak nakal!"

Sebenarnya Sindu tidak terima dibilang nakal oleh orang asing. Mama-Papa saja yang sudah melihat semua tingkah Sindu tidak pernah menyebutnya nakal. Kakek-Nenek dan Pak Guru juga tidak pernah. Lalu, dari mana wanita tua itu bisa mengambil kesimpulan kalau Sindu termasuk anak nakal? Apa dia tiba-tiba jadi nakal hanya karena penasaran dengan kebun ini?

Sindu tidak tahu. Sepertinya orang dewasa memang bebas menyebut orang lain dengan panggilan apa pun, sementara anak kecil harus berhati-hati ketika ingin memanggil orang lain. Sindu pernah mendengar Mama menyebut Papa Mata Keranjang, padahal Sindu tidak melihat keranjang di mata Papa. Sindu juga pernah melihat dua orang dewasa yang sedang bertengkar dan mereka memanggil satu sama lain dengan nama binatang.

Namun sebelum wanita tua itu lebih marah lagi, Sindu memilih buru-buru meninggalkan pekarangan. Dia melarikan diri. Wanita itu mungkin tidak bisa mengubah Sindu menjadi kodok atau ayam, tetapi dia pasti cukup kuat untuk melempar tongkat kayu di tangannya.

Sejak saat itu, Sindu tidak lagi percaya Nenek punya tetangga seorang penyihir.


[bersambung]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top