XI. Cinderella yang Punya Toko Buku Usang
Aku masih berusaha memahami maksud Rina barusan. dia bilang, kalau sindrom fiksinya muncul karena tidak suka dengan orang tua barunya. Bukankah itu artinya dia mengalami konflik batin?
“Tunggu, apa hubungannya itu?”
“Aku juga enggak ingat. Memori aku agak samar. Enggak, lebih tepatnya ingatan aku terbatas.”
Terbatas? Wajah Rina mirip benang kusut ketika menjawab. Namun, kata-katanya sedikit menarik perhatianku, apa yang dia maksud dengan ingatan terbatas?
Belum sempat aku menanyakannya, Rina seperti sudah mengetahui apa yang ingin kuucapkan sehingga dia menyela, “Aku cuman punya ingatan dua tahun ke belakang. Ingatan pas sindrom fiksi ini muncul.”
Aku tertegun. Rina sama sekali tidak mengalihkan pandangannya, dia juga tampak serius. Mengisyaratkan kalau apa yang dikatakan tadi merupakan kebenaran bagi dirinya sendiri.
Alasan aku mengatakan ‘kebenaran bagi dirinya sendiri’ karena aku belum sepenuhnya yakin tentang apa yang dia katakan.
Akan tetapi, melihat tempat ini aku jadi sedikit percaya kalau gadis ini memang terkena sindrom fiksi. Tidak, atau mungkin akulah yang terkena sindrom fiksi?
Dinding bata jingga membuatku merasa tidak nyaman ketika melihat sekitar. Apalagi kami hanya diterangi oleh tabung dengan lilin didalamnya. Aku benar-benar ditarik ke dalam negri dongeng. Yah, kenyataannya sindrom fiksi ini lebih sering disebut penyakit dongeng, ‘kan?
“Biasanya orang tidak akan tahu apa penyebab dia terkena sindrom fiksi. Kamu sepertinya berbeda, ya? Atau itu cuma dugaan kamu?”
Aku ingat saat Adelina terkena sindrom fiksi, dia dan aku sama sekali tidak mengetahui apa penyebabnya. Artikel di internet juga mengatakan kalau tidak ada alasan jelas kenapa seseorang bisa terkena sindrom fiksi.
Namun, melihat mata Rina yang penuh keyakinan tadi membuatku ingin tahu dari mana dirinya mendapatkan pemikiran tersebut.
“Itu,” Rina mengalihkan pandangannya, sedang mencari sesuatu di udara, “ada dokter yang bilang gitu sama aku.”
Aku mengernyitkan dahi. Tidak, bukan karena jawabannya absurd atau apa. Hanya saja itu adalah jawaban yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya.
Maksudku, seorang dokter mempercayai sindrom fiksi saja sudah terdengar mustahil. Ini malah memberi tahu seseorang alasan kenapa ia bisa terkena sindrom fiksi.
Tidak bisa dipercaya.
“Serius?” aku mau mengonfirmasi sekali lagi, yang kemudian dibalas anggukan Rina pasti.
Aku memijit kepala, sulit menerima apa yang baru saja didapatkan. Melihat tingkahku tadi, Rina melirik dengan tatapan penasaran. Ketika mata kami bertemu, dia kembali memamerkan senyum manis.
“Kamu kayaknya bingung. Kenapa?” Sekarang dia malah bertanya dengan wajah polos.
Siapa yang tidak bingung dengan penjelasanmu?
Jujur saja, aku jadi kehilangan sedikit rasa percaya terhadap kata-katanya.
“Apa aku masih waras, ya?” gumamku sambil melihat Rina yang semakin bingung. “Omong-omong, kesampingkan dulu soal dokter itu. Apa kamu memang melihat apa yang aku lihat?”
Tanda tanya besar muncul di atas kepala Rina, ekspresinya mengatakan seperti itu. Wajahnya yang bingung makin tampak jelas. Sehingga aku sekali lagi bertanya.
“Tempat ini, menurutmu seperti apa?”
“Aku juga enggak ingat, tapi aku selalu ngerasa kalau rumah ini dulunya rumah aku. Sama kayak yang aku bilang tadi, aku cuman punya ingatan dua tahun ke belakang.
“Hal terakhir yang aku ingat, aku bangun di rumah sakit. Terus ada dua orang yang ngaku kalau dia itu papa sama kakak aku.”
“Apa kamu emang bodoh?” aku sontak memotong ucapannya.
Rina langsung memasang wajah sebal atas kalimatku tadi. Dia menyipitkan mata sambil mengembungkan pipi dan langsung membuang wajah. Bukannya menyeramkan, aku malah mendapatkan kesan imut darinya.
“Ka-kamu kenapa tiba-tiba ngehina aku?”
“Seperti cerita kamu tadi. Kamu tidak punya ingatan dan tiba-tiba terbangun, di hari itu juga malah ada orang yang tidak kamu kenal dan mengaku kalau dia adalah ayah kamu.
Dan kamu langsung percaya. Coba kalau misalkan saja, aku tiba-tiba datang hari itu dan bilang kalau aku ini suami kamu. Apa kamu percaya?”
Apa yang baru saja aku katakan?
Kenapa aku malah menjadikan diri sendiri sebagai contoh? Aku merasa mulutku bergerak dan bersuara sendiri. Apa ini juga efek sindrom fiksi Rina?
Aku melihat gadis itu tampak gelisah. Dia menundukkan kepalanya malu-malu. Telinganya juga sedikit memerah. Tunggu, tunggu, tunggu ... ini sama sekali tidak beres.
“Kalau itu Ivan. Aku bakalan percaya, kok.” Rina yang malu-malu mengatakannya jadi lebih manis.
Oi!
Aku sontak menampar pipi sendiri, mengejutkan Rina yang langsung melompat dan menanyakan apa yang terjadi padaku. Aku hampir gila kalau terpengaruh sindrom fiksi sekuat ini.
“Aku tidak apa-apa.” Sambil memegangi pipiku yang panas, aku meneguk minuman yang mulai dingin.
Rina masih khawatir, tetapi menyadari kalau aku tak butuh itu, dia menyimpannya kembali. Dia kembali duduk di kursi klasik mirip tempat duduk bangsawan di dongeng.
“Aku juga sebenarnya juga pernah mikir kayak gitu. Aku sempat ragu kalau mereka beneran keluarga aku apa bukan,” ungkapnya sedikit tertawa.
“Lalu, apa yang membuatmu yakin?”
“Kamu kayaknya yang bego, deh? Zaman sekarang udah canggih, ada foto keluarga dan itu udah cukup.”
“Bukannya karena zaman sudah canggih, segalanya bisa dimanipulasi?”
“Kayaknya kamu beneran bego, deh. Atau kamu ini orangnya parnoan?” Rina tertawa pelan ketika mengataiku.
Aku tidak membalas, karena sejak awal adalah kekalahanku. Ya, mau bagaimana lagi. Menyalahkan zaman canggih adalah caraku untuk membela diri. Dan tentu saja, itu gagal.
“Boleh aku menanyakan hal lain?”
Dalam sekejap, ruangan yang tadi mirip ruangan dalam kastil berganti. Temboknya kembali menjadi semen nan di cat putih. Tabung tadi berubah lagi bentuknya ke lampu neon.
Cahaya di dalam ruangan jadi lebih terang. Ruang tamu muncul lagi di pandanganku. Begitu pula wujud Rina yang kini semakin jelas dapat kulihat. Terlepas dari logis tidaknya di depan mataku ini, sosoknya tetap saja menawan.
“Ah, kita balik lagi. Boleh, kok. Kamu pengen nanyain apa?”
“Apa gejala yang kamu alami?”
Setiap pengidap memiliki gejala berbeda. Seperti Adelina yang tidak sadarkan diri selama dua tahun setelah jarinya tertusuk peniti. Atau pengidap pertama yang ketakutan setiap kali melihat orang tuanya yang menjadi serigala.
Rina pasti juga memiliki gejala aneh yang hanya dia sendiri yang mengalaminya. Sebab, dari apa yang kupelajari selama ini tidak ada pengidap yang berbagi gejala sama.
Rina awalnya sedikit ragu. Setelah cukup lama menimbang-nimbang, dia menjawab, “Sederhananya aku bakalan kayak gini dari sore sampai tengah malam.”
Aku memiringkan kepala, tidak menangkap apa yang sebenarnya dikatakan oleh Rina. Melihat kebingunganku, dia memasang ekspresi rumit.
“Maksudnya?”
“Ummm, sederhananya aku bakalan jadi wujud ini di waktu itu.”
Aku semakin tidak paham. Apa ini artinya selain sore sampai tengah malam, dirinya berwujud laki-laki?
“Apa kamu laki-laki?”
Pukulan keras langsung mendarat tak lama setelah pertanyaan datar tadi keluar dari mulutku. Pelakunya adalah Rina, yang tentu saja sekarang memasang muka marah. Sedikit kulihat urat keluar dari dahinya.
“Apa-apaan pertanyaan kamu? Udah jelas aku ini cewek!”
“Maaf, soalnya kata wujud itu sedikit menggangguku.” Aku menunduk sambil terus memegangi bekas pukulan Rina yang lumayan sakit.
“Gampangnya kalau aku gini pasti bakalan ngeluarin kata-kata baik sama sifat ramah. Sementara di jam lain aku bakalan ngeluarin kata-kata kasar sama sifat pemarah.”
Malah aku tidak mengerti dengan apa yang kamu maksud gampang tadi.
Seolah memahami maksudku, Rina buru-buru mengibaskan kedua tangannya ke depan sambil meminta maaf. Dia sadar kalau penjelasannya sendiri tadi sulit dipahami.
“Apa kamu pernah dengar soal teori reinforcement?” Rina menatapku penasaran.
Aku menggeleng, sebab ini pertama kalinya aku mendengar teori tersebut. Bahkan sepertinya aku juga tidak pernah menjumpai teori reinforcement di buku-buku yang pernah kubaca.
“Kenapa memangnya?”
“Umm, gini. Sederhananya, aku yang sekarang bisa ngasih kesan positif sama orang lain jadinya aku gampang disukai. Tapi, kalau aku yang lain malah ngasih kesan negatif yang bikin aku jadi enggak disukai.”
Dengan kata lain, dia memberikan aura yang berbeda, ya? Tunggu, kalau begitu bukannya ini masalah yang serius? Dan dia, sudah mengalaminya selama dua tahun?
Setelah memahaminya, aku dan Rina hanya berbincang-bincang ringan. Seperti siapa orang tua tadi, yang ternyata adalah kakeknya. Lalu aku juga menanyakan di kelas mana dia berada, siapa dia ketika di sekolah dan semacamnya. Sayang, Rina selalu menghindari topik tersebut.
Sosok Rina yang sekarang, dan juga sosoknya yang lain di sekolah berbeda. Namun, aku tidak mendapat gambaran apa pun. Hingga akhirnya aku menyerah ‘tuk bertanya.
Waktu berlalu dengan cepat, tanpa terasa malam sudah semakin larut. Aku akan membuat Cecelia khawatir kalau pulang terlalu malam. Namun, sebelum itu masih ada sesuatu yang harus kuperiksa.
“Biar kupastikan sesuatu dulu. Apa aku ada hubungannya denganmu?”
Sindrom fiksi adalah penyakit yang membuat pengidap dan orang yang terhubung dengannya bisa mengalami kejadian aneh–ditarik ke dalam dunia dongeng.
Rina tersenyum sebelum bangkit dari tempat duduknya dan tiba-tiba mengarahkan telunjuknya ke mukaku. “Aku udah tau cara buat hilangin sindrom fiksi yang kualami. Dan caranya adalah aku harus dekat sama pangeranku.”
Dari mana datangnya wajah percaya diri itu? Aku menghela napas sebentar, sebelum menyadari kata-kata dan sikapnya barusan.
Untuk menghilangkan sindrom fiksinya, Rina harus dekat dengan pangeran?
“Benar, pangeran aku itu adalah kamu.” Sekali lagi Rina melengkungkan bibirnya, sangat manis.
Namun, hal ini sama sekali tidak manis di telingaku. Tidak, tidak, tidak. Aku sudah bilang agar tidak terlibat lagi dengan sindrom fiksi, tetapi kenapa malah jadi seperti ini?
“Mulai sekarang, kita pacaran, ya?” Rina memeringkan kepalanya sambil memasang ekspresi cerah. Setiap laki-laki pasti akan jatuh kalau melihat tingkahnya sekarang.
Tapi, kenapa ini terjadi padaku?
Dalam hati aku merasa frustrasi.
############
Kata kunci chapter kali ini adalah ...
Sepatu Kaca
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top