I. Perpustakaan Itu dan Abnormalitas
Jam dinding itu berdetak lebih keras daripada hari-hari biasa. setiap detik bunyinya selalu sampai ke telingaku. Andai saja aku ingat membawa earphone, aku ingin mengabaikannya seperti biasa.
Tempat ini masih sepi, bahkan setelah sepuluh menit bel istirahat berbunyi. Lagi pula siapa murid yang mau menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah selama jam istirahat? Kecuali diriku, mungkin.
Aku hampir lupa dan terlalu menjunjung tinggi sesuatu yang terasa kuno dan antik. Faktanya masih ada satu orang yang juga datang ke perpustakaan sambil membaca buku setiap waktu istirahat.
Dia duduk di sebelah sana, dekat dengan tangga yang menuju lantai dua. Sosok berwujud membosankan dengan ekspresi yang selalu serius. Aku bisa melihat dia dari meja piket petugas perpus ini karena berhadapan langsung ke arahnya.
“Lo mandangin gue terus, bikin jijik tau enggak,” celetuknya datar.
Meski begitu kalimatnya terasa menusuk.
“Maaf,” sahutku sama datarnya.
Mata di balik kacamata besar itu memandang sinis, mulutnya sedikit berdecak ketika ia menatapku. Mungkin di matanya aku ini tidak lebih dari serangga yang berbunyi ketika malam hari. Tidak penting, tetapi mengganggu.
“Cih, lo itu kurang kosa-kata, ya? Setiap ngomong sama gue cuman bisa ngucapin kata maaf doang?”
Ah, gawat ... dia marah dengan hal yang sepele. Maksudku, memangnya aku harus bicara seperti apa kalau setiap kali membuka percakapan dirinya selalu mengatakan hal-hal yang cukup tajam dan menyakitkan. Satu-satunya kata yang bisa kukeluarkan hanyalah ‘maaf’ untuk menghindari masalah.
“Yah ... maaf.”
Geraman keras mengagetkanku, teriakan itu bahkan mengalahkan detak jam yang sedari tadi kudengar. Pelakunya sudah jelas adalah gadis dengan seragam SMA 4 yang kini telah bangkit dari tempat duduknya. Aku tidak mengerti, kenapa dia bisa sampai semarah itu hanya dengan sebuah kata maaf.
“Lo emang ahli banget bikin orang kesel, ya!?”
Dia malah mendekat kemari. Sekarang aku bisa merasakan insting herbivora melihat pemangsa yang semakin mendekat. Perasaan alami ketika ingin berlari terus bergejolak dari hatiku. Sejak awal aku sudah menduga akan menjadi seperti ini kalau giliranku yang menjaga perpus.
Namun, sebelum gadis itu sampai menerkam, seseorang malaikat penolong sudah berhasil menghentikan aksinya dengan suara ketukan pintu. Aku bersyukur dalam hati, tentu saja. Meski aku yakin ekspresi itu sulit terlihat di wajah ini.
Ingin melihat siapa sosok penyelamat itu, aku pun langsung menengok ke kanan, tepat di mana pintu masuk berada. Laki-laki berbadan tegap dan juga tinggi, mengenakan kemeja biru polos dan celana hitam yang agak longgar kalau dia tidak mengenakan ikat pinggang.
“Wah, kenapa ini? Bukannya di perpustakaan itu enggak boleh berisik?”
Dengan senyuman yang ramah itu dirinya berjalan masuk. Rambut gondrongnya disisir rapi ke belakang. Di dagunya terdapat sedikit rambut halus. Dari balik kacamata persegi itu aku bisa melihat mata sayu.
Dia terus berjalan hingga akhirnya berhenti tepat di depan meja ini, di depanku. Namanya kalau tidak salah adalah Lukman, yah aku lupa nama panjangnya.
Orang ini adalah orang yang menarikku untuk menjadi relawan staf perpustakaan untuk membantunya mengurusi tempat yang sudah mirip kuburan di zaman sekarang ini.
“Karina, jangan buat masalah lagi kalau kamu enggak mau kena skors,” ucap Lukman.
Seperti menasihati anak kecil dan aku tahu betul kalau kata-kata itu tidak akan bekerja pada gadis menyeramkan yang setengah jalan lagi sampai kemari.
“Gue enggak masalah kalau di skors,” sahutnya.
Seperti dugaanku.
Dia adalah Karina Elwanda Nugraha, siswi kelas XII yang selalu menjadi perbincangan di kalangan murid-murid lainnya. Namun, tentu saja berita yang menyebar bukanlah hal positif.
Dia terkenal karena penampilannya yang membosankan, maaf maksudku lebih mirip seperti Upik Abu.
Karina terkenal jelek, baik sikap maupun penampilannya. Padahal kalau boleh jujur, aku merasa dia tidak sejelek itu, kecuali sikapnya.
“Ayolah, kalau kamu terus begitu, bisa-bisa nanti sulit buat lulus, lho.”
Lukman masih bersikap seperti kakak yang baik, yah mengingat hubungan mereka memang seperti itu.
“Lo enggak usah urusin hidup gue, deh!”
Setelah melemparkan kata-kata terakhirnya, Karina langsung menyeret kakinya pergi. Menyimpan segala kedongkolan yang sangat jelas, jika ada seseorang yang mengganggunya sekarang aku akan khawatir dengan nasib orang itu.
Aku akan mendoakan siapa saja di sana yang akan menjadi pelampiasan Karina, aku harap dia memiliki kesabaran dan hati yang tabah. Semoga kau tenang di alam sana, amin.
Suara tawa Lukman menarik perhatianku, dia sengaja melakukannya. “Maaf soal tadi. Karina memang suka membuat masalah sejak awal masuk SMA.”
“Ya, mungkin ... entah bagaimana aku sudah terbiasa.”
Maaf itu bohong.
Aku tidak akan terbiasa dengan masalah yang selalu dibawa Upik Abu jahat. Sejujurnya, kalau boleh aku tidak mau menjadi sukarelawan penjaga perpus. Alasannya sudah jelas, aku tidak mau bertemu dengan Karina setiap mendapat giliran berjaga.
“Cara kamu berbicara dan cara kamu bersikap itu, selalu bisa membuat siapa pun kesal, ya?” tanya Lukman dengan senyuman yang terkesan menaham perasaan jengkel.
“Aku selalu dipuji karena itu,” balasku mencoba sedikit bercanda, tetapi suara datar itu tidak memberikan intonasi apa pun yang memberikan dampak lucu.
“Aku setuju dengan orang-orang yang memujimu. Lain kali coba berekspresi sedikit supaya orang lain tidak salah paham dengan sikapmu.”
Lukman tertawa lagi, tangannya yang besar menepuk kepalaku seperti memperlakukan anak kecil yang sudah berbuat baik. Aku hanya mengiyakan sarannya agar dia berhenti melakukan hal yang memalukan seperti ini, apalagi kami ini sama-sama laki-laki.
“Ngomong-ngomong, kamu udah bisa kembali ke kelas, belajar yang rajin sana,” ucapnya sambil menunjuk pintu menggunakan jempolnya, “dan Ivan, sekali lagi terima kasih karena sudah mau menjadi sukarelawan.”
“Lain kali, carilah relawan yang benar-benar suka melakukan ini.”
Dia hanya tertawa setelah mendengar responku barusan, sungguh kakak-beradik yang sama-sama merepotkan.
“Oh iya, aku menemukan buku yang kamu cari.”
Perkataannya barusan berhasil menghentikan langkah kakiku yang sudah dekat dengan pintu.
Aku membalikkan badan dam melihat dirinya membawa buku bersampul biru tua yang terlihat usang dan bahkan ada sebagian yang menghitam. Aku bisa melihat judulnya yang tertulis pada bagian atas ‘Sindrom Fiksi, Penyakit Sungguhan atau Hanya Halusinasi?’
Itu adalah buku yang sudah kucari hampir dua tahun terakhir, buku yang menjadi alasanku mau menjaga perpustakaan sekolah meski sejujurnya pekerjaan ini tidak menyenangkan.
***
Koridor rumah sakit sudah mulai longgar. Begitu sunyi sampai-sampai aku merasa seperti figuran yang sering bertemu makhluk halus saat berjalan sendirian. Andai tidak ada perawat yang berjaga malam, bisa dipastikan ini adalah suasana yang sempurna untuk film horor.
Lampu neon yang menjadi pencahayaan dari ruangan induk dan sal-sal cukup terang, menghancurkan ekspektasi tinggi soal berada dalam situasi mencekam seperti yang pernah aku lihat di televisi, kadang aku berpikir apa hantu itu benar-benar ada?
“Apa yang aku pikirkan?” aku bertanya pada diri sendiri.
Terkadang pikiran absurd memang selalu terlintas kala aku sendirian. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa memikirkan hal tak penting seperti itu. Bolak-balik rumah sakit selama hampir dua tahun ini rasanya malah membuat pikiran-pikiran aneh tadi makin parah.
Hah, siapa yang aku bohongi?
Jam sudah menunjukkan pukul 23.45, wajar kalai tidak ada lagi pengunjung yang datang. Pengunjung yang aku maksud di sini tentu saja manusia. Rumah sakit ini hanya melayani sampai jam sembilan malam untuk orang yang ingin berobat, bahkan batas berkunjung juga begitu.
Lalu kenapa aku bisa berada di sini? Tentu saja untuk sesuatu yang tidak bisa dibicarakan secara umum.
Ah, aku melantur lagi. Semoga ini bukan fase-fase awal menuju kegilaaan. Yah, aku memang tidak pernah berharap itu benar-benar terjadi. Namun, mengingat seringnya mendapat masalah dengan Karina, itu cukup mengkhawatirkan.
Tunggu, kenapa sekarang aku memikirkan gadis aneh yang selalu mengomel ketika kami bertemu? Hah, mungkin aku sudah benar-benar terbiasa menjadi samsak kekesalannya.
Mungkin harus kukatakan ini, aku bukanlah masokis.
Bau obat-obatan masih menyengat di indra penciumanku, padahal ini sudah hampir di ujung lorong. Segala hal yang ada di rumah sakit ini, membuatku merasa masih memiliki harapan.
Meski hanya dengan kemungkinan 20%, semoga dia benar-benar bisa bangun.
Langkah kakiku terhenti, dengan tatapan yang mungkin sedikit tidak percaya melihat sosok yang sangat ... aneh?
Seorang gadis kurus berkulit putih dan rambut hitam nan panjang. Matanya yang lebar itu menatap kosong taman di samping. Bibirnya merah, seperti mawar baru mekar. Pipinya tirus, menambah kesan memesona. Seakan semua bagian tubuhnya melambangkan kecantikan.
Namun, hal paling aneh menurutku adalah dia mengenakan gaun pesta. Iya, gaun pesta berwarna biru yang begitu fantastis. Aku mulai meragukan penglihatan diri sendiri.
Siapa orang gila yang tersesat di rumah sakit ini? Entah kenapa yang terlintas di kepalaku tentang gadis itu adalah orang gila atau mungkin aneh lebih tepatnya.
Maksudku, orang waras mana yang pergi ke rumah sakit dengan gaun pesta mewah yang dipakai untuk berdansa?
Tatapan nan kosong itu sama sekali tidak berpindah dari taman. Tergambar perasaan sendu dari bola matanya.
Keraguan untuk kembali melangkah malah muncul ketika aku sadar jarak kami hanya sekitar beberapa meter lagi. Seharusnya aku berbalik untuk menghindari masalah, begitulah batin ini bersuara.
Aku ingin berpikir logis, tetapi penampilan sosok itu saja sudah tidak logis.
“Hei, mau dansa sama aku?”
Suara lembut seperti bunyi bel jernih, keluar dari mulut gadis itu. Namun, pertanyaannya yang entah ditujukkan untuk siapa membuatku berpikir beberapa saat dan berusaha menoleh ke sekitar, kalua-kalau orang lainlah yang sedang dia ajak bicara.
Akan tetapi, tidak ada siapa pun di sini, kecuali hanya kami berdua.
Kepalaku langsung berpikir, mencerna pertanyaan yang sama sekali tidak bisa dimengerti. Sementara dirinya masih menatap ke taman yang hanya ada rumput dan air mancur di tengah-tengah.
Yah, aku juga kagum dengan indahnya taman rumah sakit ini. Hei, tunggu, bukan itu yang kumaksudkan!
Aku terkejut, tepat ketika tangan gadis itu tiba-tiba menggenggam telapak tanganku. Kekagetan tadi terus berlanjut ketika dirinya mulai menyeret tubuh ini untuk pergi ke taman. Sama sekali tidak bisa dimengerti.
“Bentar, ini bukan prank, ‘kan?”
Akhirnya aku bisa bersuara setelah gadis tadi berhenti menarikku. Sekarang kami berada di tengah taman rumah sakit. Wujud yang terkena cahaya rembulan itu tampak lebih bersinar, bahkan aku bisa dengan jelas melihat wajahnya yang ternyata sungguh cantik.
“Kenapa kamu mikir gitu?”
Pertanyaannya membuatku sedikit bingung. Jujur, banyak sekali pemikiran kenapa aku bisa mengira ini adalah prank atau lelucon yang sengaja dibuat acara televisi untuk mengerjai penduduk sipil. Namun, jika dipikirkan lagi, apa mereka akan melakukannya di tengah malam begini?
Ketika sibuk berpikir, tanganku kembali dipegang oleh gadis itu. Posisinya bagaikan seseorang yang tengah siap memulai dansa. Dalam beberapa detik kemudian, dirinya bergerak. Dia benar-benar berdansa, dan yang terburuk adalah, dirinya memaksaku untuk menjadi pasangannya.
Kepalaku mulai berat, aku hampir tidak bisa memikirkan apa-apa. Beberapa kali aku mencoba menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul. Entah kenapa tangan ini sama sekali tidak melepaskan genggamannya. Pandanganku juga menjadi kabur.
Aku tidak bisa melihat apa pun, semuanya tampak buram. Namun, aku masih bisa merasakan tubuh ini bergerak sendiri dan terus mengikuti gerakkan gadis misterius tersebut. Ah, otak ini kenapa sulit sekali diajak berpikir!
Sampai akhirnya dansa itu berakhir, akal sehat dan indraku yang tadi mati telah kembali. Perlahan, pandangan yang beberapa saat lalu buram sudah bisa melihat dengan jelas. Rasa sakit yang tadi muncul juga telah hilang secara tiba-tiba.
“Apa kamu tau? Kalau udah tengah malam aku pergi, lho. Kalau mau tanya buruan, ya.” Dia berkata sambil tersenyum manis.
Sangat banyak pertanyaan yang ada di kepalaku. Belum lagi pernyataan kalau sudah tengah malam gadis itu akan pergi, memangnya ke mana?
“Kamu lama banget, deh. Apa kamu gugup ketemu aku?”
“Kamu ini, sebenarnya apa?”
Kenapa pertanyaan yang keluar dari mulutku malah absurd begitu?
Maksudku, bukankah ada pertanyaan lain yang lebih baik? Tapi, mengingat kejadian yang kualami itu seperti sihir yang mengerikan, aku jadi ingin tahu, sebenarnya aku berurusan dengan makhluk apa?
Suara alarm terdengar entah datang dari mana membuatku sedikit terkejut. Namun, setelahnya malah aku semakin kaget, sebab tubuh ini terasa dihantam oleh sesuatu dan mulai ambruk.
Tidak. Lebih tepatnya aku tahu, dia mendorongku hingga jatuh.
“Sindrom Fiksi. Tau, ‘kan?” Dia langsung berlari menjauh, tepat setelah mengatakan hal tadi, meninggalkan diriku yang masih terduduk di taman ini dengan kekagetan yang tidak pernah hilang.
Kata pertama yang dia ucapkan sudah berhasil menjawab segala pertanyaan yang tadi aku simpan. Sindrom Fiksi, penyakit yang memberikan pengalaman aneh bagi penderita dan orang-orang di sekitarnya. Sebuah penyakit, di mana dongeng menjadi nyata.
###########
Kata kunci yang ada di chapter ini adalah ....
Upik Abu
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top