BAB 6: Puisi Pondok

Setelahnya, kami beberapa kali bertemu—hanya saat di taman—dan itu bukan berarti aku adalah temannya secara harfiah. Tentu saja kami sering menyapa dengan baik dan benar sekali pun terkadang aku hanya melaluinya begitu saja. Tidak jelas apa tujuannya sering datang ke taman. Dia hanya duduk, memberi makan burung, atau mendengar pemusik jalanan, begitu seterusnya setiap kali kami bertemu.

Pertemuan yang kubuat terjadi seakan tidak sengaja itu membuatku mulai mengenalnya sedikit demi sedikit dengan baik. Di beberapa kesempatan, ia terang-terangan melamun dengan sorot mata kosong yang aneh di hadapanku dan menunjukkan kecerobohannya saat meninggalkan sarung tangannya di bangku taman.

Itu membuatku menarik kesimpulan mengenai kebiasaan Muller yang sepertinya tidak teratur. Rambut pirangnya juga berantakan tak dipotong dan kaku bagai membeku. Itu membuat empatiku terbuka untuk mengajaknya datang ke rumahku, menikmati libur akhir tahun bersama layaknya orang-orang pada sahabat karibnya. Hanya saja mengetahui namanya tidak cukup bagi seseorang pantas menjadi sahabatnya.

Beberapa hari kemudian, ia membagikan rencananya padaku untuk mendatangi pondok di ujung rel kereta api tua. Jalurnya tentu sangat aman. Terhitung telah puluhan tahun ditinggalkan dan merupakan bekas dari jalur bagi gerbong tentara saat perang dunia meledak. Kami harus menyusurinya dengan sangat teliti. Akan lebih mudah mendatanginya saat musim panas, cahaya matahari tahu ke mana kami akan pergi.

Rel keretanya jelas terbuat dari kayu pohon dan mudah sekali ditumbuhi bunga liar saat musim panas. Padang salju di sekitar rel pasti akan jauh lebih indah jika temanku ingin bersabar sampai musim semi tiba dan salju telah mencair sepenuhnya.

Aku tidak sepenuhnya berpikir idenya itu payah. Aku secara murni memang berkeinginan mendatangi pondok itu bukan karena takut dicetus sebagai pecundang yang cemas tersesat. Jadi, aku berjalan di belakangnya dan Muller memanduku.

Aku tidak yakin apakah Muller mengingat jalannya dengan persis. Aku melihatnya beberapa kali mematahkan ranting pohon mati dan membuangnya di jalur yang kami lewati. Taktiknya mengingatkanku dengan dongeng rakyat Hansel dan Gretel.

Aku lantas bertanya apakah dia mendapatkan ide meninggalkan ranting sebagai tanda dari cerita itu? Tapi dengan lugu Muller justru balik bertanya siapa Grimm bersaudara dan Hansel yang kusebut. Oh, mengejutkan! Seorang anak yang tumbuh di Jerman tidak mengetahui siapa Grimm bersaudara! Aku lalu semakin yakin bahwa Muller masih sangat hijau tentang cerita-cerita rakyat.

Lalu bagaimana seorang anak kecil sepertinya tumbuh? Seorang pemikir bebas yang menolak ketidaklogisan pasti setidaknya tahu siapa penulis dongeng terbaik di Jerman. Di mana saja ia selama seabad terakhir ini? Ia membuatku lega saat aku bertanya apakah ia mengenal Johann Wolfgang von Goethe? Dan reaksinya sangat fanatik. Itu justru lebih membuatku kebingungan.

Situasi itu membuatku semakin penasaran dengan cerita-cerita detail hidupnya dan di mana ia tinggal. Mungkin, ayahnya adalah seorang penulis atau ibunya tidak pernah membacakan dongeng untuk anaknya sebelum tidur. Ada banyak kesimpulan kurang akurat yang aku pikirkan tentangnya. Aku tidak berpikir itu cacat hanya karena dia tidak pernah tahu kisah klasik. Dongeng mungkin adalah identitas anak-anak yang hidup dengan baik, tapi kali ini seseorang harus membuat pengecualian atas paham itu.

"Senang karena kau sadar aku ini aneh," katanya.

"Tidak, itu tidak aneh. Hanya saja ini tidak benar. Bagaimana kau hidup bersama ayah dan ibumu? Apakah kau tidak pernah mengunjungi rumah nenekmu dan membaca dongeng Si Kerudung Merah bersama? Maksudku, cerita-cerita itu hal yang sangat umum didengar dan kau tidak mengetahui satu pun dari alurnya!"

"Jangan terkejut denganku." Dia lalu pindah berjalan ke atas jelur rel, dia bahkan tidak melihat ke arahku dan responnya terlalu abstrak.

Dia terlihat normal—hampir seperti anak lainnya. Suaranya bahkan terdengar seperti seorang pembangkang yang lazim untuk anak seusianya. Begitu pun saat di perjalanan, dia banyak membicarakan tentang libur musim panas dan minatnya untuk mengulurkan tali layangan di padang rumput yang luar biasa panas. Tidak ada pembicaraan yang menyinggung tentang kutipan esais dan pendapatnya soal ketidakadilan politik. Dia tampak sangat biasa dan aku mengakuinya, tapi hanya di beberapa kesempatan.

Aku lalu kembali melihat kegiatannya yang membuang ranting sebagai tanda dan ia masih melakukannya dengan baik. Aku penasaran apa caranya akan berhasil. "Bagaimana jika tanda itu terkubur salju?"

"Bukankah pertanyaan itu sangat tidak berguna? Tentu saja kita hanya perlu menyusuri rel kereta ini lagi, tapi harus lebih teliti untuk setiap persimpangan. Itulah alasan mengapa aku meminta untuk pergi dengan menyusuri jalan di dekat rel kereta. Setidaknya, kita harus pulang sebelum malam," jawabnya sedikit sarkastik.

Aku lalu tak memedulikannya lagi dan hanya diam. Jawabannya membuatku terlihat sangat bodoh dan aku merasa kompetitif dengannya dalam hal logika. Selanjutnya, dia hanya bercerita biasa—agak tidak penting tapi cukup menarik untuk didengar. Dia memerdetail pengalamannya saat pergi dengan kereta ke Berlin dan mengukir kata-kata di sebatang pohon saat pergi memancing.

Sedikit demi sedikit hutan kabut terlihat di ujung rel kereta. Muller mulai menyinggung mitos tentang seorang nyonya tua yang bersembunyi bersama anjingnya dan memburu anak kecil yang nakal. Itu membuatku hampir tertawa terbahak-bahak, usahanya dalam menakutiku tidaklah berhasil. Aku justru mendapati wajah lucunya yang bersandiwara ketakutan dan itu mengembalikan kaitan akrabku dengannya.

Aku melihat pondoknya. Tidak seperti yang ia katakan, pondok itu tidaklah berada di ujung rel. Pondok itu lebih mirip seperti tempat pengawas jalur kereta yang terhitung jauh lebih lama ditinggalkan ketimbang rel keretanya. Saat kami masuk, lantainya bahkan hampir tidak layak dipijak dan menimbulkan suara yang mengganggu bagiku. Sela atap pondoknya bahkan telah menjadi sarang sempurna bagi burung-burung wallet.

Satu-satunya hal yang membuatku tertarik adalah saat aku menyadari terdapat coret-coretan mengisi dinding kayu pondok yang berupa kisah-kisah pendek tentang anak-anak yang bahagia—setiap bait diceritakan bagai puisi—sayangnya, sebagian kalimatnya hampir menghilang di balik debu dan kayu yang dimakan rayap. Hal antik itu terkesan langka dan istimewa di mataku. Pikiranku terdesak untuk mengucapkan terima kasih banyak pada Muller atas sarannya mendatangi tempat ini.

Lantas, aku menyadari bahwa temanku tidak ada di sekitarku, padahal kami masuk bersama! Aku berusaha mencarinya sampai ke luar pondok tanpa sedikit pun memanggil namanya. Aku benar-benar bersyukur saat menemukan temanku di samping pondok itu. Sorot matanya sangat tajam menatap lurus dinding pondok di depannya.

Aku lalu segera menghampiri temanku dan menepuk pundaknya. Aku melihat dinding pondok yang berada di hadapan kami. Sebuah puisi dengan satu bait terukir pudar dan hampir menghilang. Artikulasi puisinya sangatlah dalam dan penyajian lanskapnya sangatlah sempurna. Dapat kupastikan bahwa tulisan itu diukir pribadi oleh seorang esais dan alamlah yang mempengaruhi kreativitasnya.

"Apa kau tahu puisi Über allen Gipfeln milik Goethe?" Tanya Muller tanpa melihatku.

"Hanya pernah membacanya sekali."

"Baik untukmu," katanya. "Ayahku menulis puisi di dinding ini untukku. Saat ia menyadari jika aku juga menyukai karya Goethe, ia lalu membuat puisi dengan tujuan yang jelas. Über allen Gipfeln ditulis oleh Goethe secara pribadi di dinding pondok pengawas binatang liar di atas gunung Kickelhahn dekat Ilmenau saat dia menghabiskan malamnya. Dan tulisan aslinya telah menghilang dari dinding pondok itu tahun 1931. Sama seperti puisi Goethe, puisi ayahku juga akan menghilang suatu saat dari dinding ini."

Ia menjelaskannya dengan cepat dan jelas. Setelahnya, ia melihat ke arahku. Matanya yang dalam membuatku terkejut dan menyadarkanku tentang emosi anak-anak yang sensitif. Itu adalah pertama kalinya aku mengetahui sedikit cerita tentang Muller.

Kami lalu duduk di kabin pondok. Muller tidak lagi menyinggung soal ayahnya dan puisi itu. Dia hanya menjawab sekenanya tentang hal-hal umum yang menurutnya tidak masalah untuk aku simpan dan ketahui. Sifatnya yang komunikatif membuat basa-basi yang awalnya tidak menarik ini justru tanpa sadar berjalan untuk waktu yang lama.

Aku bukanlah seseorang yang pandai berbicara dan berekspresi, jadi tentu aku sama sekali tidak keberatan. Lama-kelamaan aku mulai merasakan tubuhku kedinginan dan mataku mulai mengering. Aku mulai terbatuk dan Muller memperhatikanku.

"Apa kau sedang sakit?" Dia lalu menepuk bahuku dan untuk sesaat aku merasakan empatinya padaku.

"Kalau begitu sebaiknya kita pulang sekarang." Dia turun dari kabin, ia jelas memperlambat langkahnya untukku.

"Apa kita bisa datang lagi ke sini saat musim semi?" Muller lalu berhenti dan melihat ke belakang.

Note Author:
Über allen Gipfeln artinya Di atas semua puncak
.
.
.
Maaf, kalau part ini kurang ngena dan banyak yang rancu hehehehe. Ujian sepertinya sedang menjerat di awal tahun sekolah:" dan harus ada nilai baik yang saya setor pada rapot pertama.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top