BAB 4: Gadis Musim Gugur

Hampir setiap baris dari kota ini adalah hal yang familier bagi duniaku. Aroma parfum mawar wanita Jerman, para penyumpah, dan wanita bertudung, hutan tua jauh di utara yang terus diselubungi dongeng misteri, juga udara dingin tanpa tungku yang memantrai semua orang—semua hal kecuali rumahku. Rumahku adalah tempat dengan kehangatan, didikan, dan norma.

Waktu masih sore saat aku sampai di rumah setelah menghabiskan waktu menyusuri taman berkabut Postdam dengan Sinclaire, dan gadis itu telah pergi beberapa detik lalu. Entah apakah gertakan tentang rumahku yang menyeramkan berhasil membuatnya sedikit enggan mengikuti sampai rumah, tapi aku tahu ia akan kembali.

Aku masuk ke dalam, menyentuh kehangatan rumah. Sejak bergantinya musim, tirai rumah selalu ditutup dan menyembunyikan langit bintang bak The Starry Night yang menawan saat malam. Sekarang, rengekanku bahkan tak cukup agar ayah sudi membuka tirai itu untukku barang sedetik.

Ia sering memperingatiku tentang udara dingin. Kemudian, memintaku hanya duduk di dalam rumah dan mendengarkan musik serta cerita lamanya. Terkadang semua hal itu tidaklah buruk. Aku telah tumbuh menjadi pendengar yang baik atas aturannya.

Tidak seperti tahun-tahun lalu saat keluargaku hanyalah ayah dan ibuku, aku sering melarikan diri di bawah tangga tepat di gang kecil yang terhimpit dua gedung dengan rengek tangisan. Sampai bibi dari induk semang di kediaman sebelah mendatangiku memberi coklat. Kemudian, aku berhenti menangis dan kembali ke rumah meminta maaf pada ayah dan ibu atas kelakuan tak terpujiku. Sekarang, aku terlalu tua untuk membantah perkataan ayah.

Aku melihat ke ruangan ayah, di mana pria itu rela duduk berjam-jam dengan mesin ketiknya. Tampaknya ia tak punya begitu banyak waktu, bahkan hanya untuk menghela nafas. Aku lalu mengetuk pintu ruangannya, memberi sedikit peringatan.

"Oh ... kau, Noah? Maaf ayah tidak mendengarmu. Apa kau lapar? Ayah bisa berhenti sebentar," tanya ayahku seakan terobsesi akan hasrat membahagiakan putranya.

"Tidak ... apa ayah sendiri sudah makan?"

Ayah hanya diam, bahkan ia tidak tahu kapan terakhir kali dia menyentuh gelas tehnya. Sepertinya ayah harus lebih memikirkan dirinya alih-alih hanya tentangku ataupun tumpukan kertas di mesin ketiknya yang berisik. Bukankah aku sudah sangat dicintai olehnya?

Selama bertahun-tahun aku hidup di dunia seorang anak kecil yang dicintai. Mendapatkan pujian dan apresiasi adalah hal lumrah setiap waktunya. Nilai yang baik, pertemanan yang akrab di kelas, dan pujian para guru selalu berhasil membangun jembatan rinduku pada masa sekolah. Sorakan bangga dan hadiah, orang tuaku seakan tak pernah lelah memberikan semua itu padaku dan menganggapku anak yang teladan tapi semuanya terasa sia-sia. Menghabiskan waktu di rumah sampai akhir tahun adalah yang terbaik sekarang bagiku.

Namun, tidak ada alasan bagiku datang ke sekolah sekarang sejak aku sakit. Sepanjang ingatanku, aku memiliki banyak relasi baik dengan semua orang, bahkan saat sedang berusah menggali periode antik bertahun-tahun lalu, aku berhasil menembus ingatan dimana aku hampir terjatuh dari kereta kuda saat akan pergi sekolah dan itulah alasanku lebih memilih pergi berjalan kaki atau menaiki kendaraan otomotif sekarang.

Aku bahkan masih ingat dengan kucing yang begitu mencintaiku, peliharaan milik Suster Bathrice di katedral dekat tempatku bersekolah. Sejauh ini ada banyak hal yang aku rindukan tentang masa kecilku, masa dimana seorang dewasa kelak mulai membangun batu-batu ingatannya seperti buku dongeng. Terlalu cepat bagi diriku di bawah status usia 12 tahun untuk memikirkan kematian.

"Lalu apa yang kau minta? Katakan ...."

"Tidak, tidak ada," ucapku tanpa membalas sapuan matanya padaku.

"Ini terdengar seperti dirimu saat masih kecil, kau seorang penolak yang pintar," ucapnya berpendapat sementara aku hanya tersenyum menang. "Baik, aku akan pergi untuk membeli strudel. Kau tetaplah di rumah."

Ia lalu berdiri, mengambil mantelnya dan mengacak rambutku sebelum pergi. Ia tersenyum padaku, meninggalkan kesan seorang ayah yang menyayangi putranya. Tubuhnya hilang dibalik pintu bersamaan dengan suara sepatunya.

Aku lalu duduk di sofa. Menunggunya bersama dengan tungku menyala, gramophone yang memutarkan lagu sesuai musim, dan buku dongeng yang terdengar payah akan faktanya. Kukira kantuk hampir sepenuhnya menguasai di penghujung hari, sampai sesuatu datang menghampiriku.

Tiba-tiba saja sebuah apel menggelinding dari arah yang tak kuketahui, dan menabrak kakiku yang membeku di atas lantai kayu sedingin es. Warna apel itu begitu merah seperti darah—mirip apel dari dongeng putri salju. Siapapun yang membawanya kemari pastilah ia adalah Sinclaire. Beruntung, naluri induk semangku berusaha mencegah rasa takut dan keterkejutan akan sambutan tak resminya.

Aku memungut apel di bawah kakiku. Memainkannya di jemariku tanpa sedikit pun hasrat untuk mencicipi rasanya, walau aroma harum sudah lebih dalam menyeretku pada keinginan memakannya. Aku menelaah sekeliling, mencari asal kedatangannya.

"Noah," panggil gadis itu dari luar jendela.

Gadis itu bagai seorang anak yang sedang menghampiri temannya. Alih-alih menunggu balasanku, ia terlebih dulu pergi. Seakan memintaku untuk keluar dan mengikutinya.

Aku keluar, hanya sampai di serambi rumah dan gadis itu menghampiriku tepat di depan rumahku sendiri.

Telapak sepatunya menciptakan tanda yang mendekati pintu rumahku. Di periode ini semakin banyak rerumputan dan pohon yang telah berhibernasi bagai mamalia kecil di sarang.

Ia lalu mengajakku duduk di serambi rumah. Melirikku dan menyisahkan tempatku untuk duduk. Entah apa ia datang karena ia sendiri kesepian, atau ia tahu aku sedang kesepian.

Ia lalu menarik kedua tanganku untuk duduk di sebelahnya. Aku diseretnya dalam periode waktu singkat yang hampir tidak berguna. Ukuran tubuhnya yang tak lebih tinggi dariku memaksa penglihatanku menunduk melihatnya yang diam dan terus-terusan melirikku. Itu mengingatkanku dengan pertemuan saat di makam.

Ia hanya tersenyum dan menyerukan parasnya di padang musim gugur tepat di depan rumahku, seakan mencairkan udara dingin yang akan membawa butiran kristal salju di hari selanjutnya.

"Kau menyayangi ayahmu, bukan?"

Ia kembali berbicara tidak nyambung. Kupikir ia datang untuk menemaniku sebentar sampai ayah kembali. Namun, lagi-lagi ia membuat sebuah pertanyaan aneh. Aku lalu melihat ke arahnya. Mata birunya sangat indah bagai memantrai.

"Aku sangat menyayanginya, sama seperti aku menyayangi ibuku. Selama aku tetap mengikuti apa katanya, aku dapat tidur dengan nyaman. Nyaman sekali."

Ia tersenyum puas. Seakan itu adalah alasannya datang secara tak terhormat seperti ini.

"Kau yang menemuiku di pemakaman ibuku, bukan? Saat usiaku masih 10 tahun? Kau bilang aku akan mati."

Aku lalu melihat kedua tanganku, keduanya telah pucat. Seakan aku telah dikutuk. Semuanya sedikit berubah.

"Kau ingat saat kita berbicara tentan Van Gogh di taman? Aku berharap aku bisa hidup lebih tua darinya," ucapku sambil sedikit tersenyum.

"Tentu kau dapat berumur panjang, Noah. Selain aku, seseorang akan membantumu. Ini rahasia kita."

Note author

Sebenarnya saya gak pernah kepikiran sedikitpun untuk gambar tokoh Noah dan sebenarnya juga saya jelek bangeetttt gambar sketsa dan lebih sering main sama cat air dari pada pensil. Dan khusus hari ini, tangan payah ini ingin menggambar:v


Menurut kalian gimana nih? Kritik dan saran dong?🥺

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top