BAB 30: Helmss

Di akhir dunia, aku tidak mati kemarin malam, atau sebelum, atau selanjutnya. Pemakaman tak perlu memiliki satu jiwa untuk disampaikan. Puisi-puisi kehilangan pengarangnya, dan kaum tercela menguasai jalanan. Seorang anak laki-laki melarikan diri sebelum makan siang, ke jalan paling asing dan pemakaman domestik di Potsdam.

Tak satupun yang menyapa kami lebih baik selain kidung para pelayat. Jejak kaki kering, dan rumput tumbuh di kaki nisan ibuku. Orang-orang akan melihatku seperti penangis makam yang sebatang kara. Seperti aku akan terus datang di puluhan tahun ke depan, lalu ketika aku mati di akhir tahun, mereka akan sadar dan bertanya pada pendeta ke mana perginya aku.

Aku menatap lekat pada batu granit yang ditanam di depan kami. Ruth Helmss. Menerka bahwa mungkin itu adalah namaku. Duniaku mulai terasa seperti loteng rumah tua yang magis, dihantui dan bising. Jauh dari rumah masa kecil yang dipenuhi kelembutan orang tuaku, atau persimpangan jalan yang penuh makaroni dengan teman yang gemar pergi.

Angin berhembus di antaraku dan seseorang. Kakinya telanjang memijak bumi dan matanya berkabut hijau dini hari. Terbentang di antara penyihir dan pemain peran. Andaikata aku menjadi gila sekalipun, dengan waras aku dapat mengatakan dia nyata, tergulir di suatu sudut Potsdam untuk meregangku suatu hari nanti.

"Sisanya adalah keheningan, huh." kataku berpendapat—lebih seperti mengutip. Tersirat untuk di balas. Menjadikannya seolah menyedihkan. Oh, Shakespeare menulis banyak tragedi, ketika ia sendiri wafat oleh demam setelah pergi minum dengan temannya, sesuatu yang sama ironinya.

Ia tak menjawab, dan aku menanti seperti melihat seberapa lama itu dapat memengaruhinya. Mataku menjadi kosong dan aku kehilangan kalimatku. Terasa seperti dialog terakhir. Tapi kemudian, Sinclaire duduk di sebelahku. Paras jengahnya memudar dan rambutnya seperti sekam. Demikian, tak ada yang benar-benar hidup dari sejengkal keindahan itu.

"Menunggu seorang teman?" katanya. Tatapan Sinclaire; ada perasaan aneh ketika melihat wajah itu lagi dalam beberapa hari. Tidak dalam kematian dan gelap, atau di bawah pohon mati penuh misteri. Tapi senyum kecilnya bewarna matahari. Itu menyadarkanku tidak ada seorang pun yang melihatnya seperti itu, selain aku.

Sinclaire tidak menyingung apapun lagi yang lazimnya dia lakukan, seperti mengomentari sepatuku atau bertanya soal kapan aku akan pulang. Tangannya hanya menggerus tanah dengan ranting kayu yang ada. Duduk di sebelahku, dan menggambar pola yang cenderung tidak akan dicari maknanya oleh para filsuf terkemuka. Matanya pun lekat pada luka di pergelangan kakiku. Seolah sedang mereka-reka bagaimana aku dapat sampai ke sini dengan satu kaki timpang.

Aku menggosok kedua tanganku yang dingin. Sebagaimana cara daun menyeka udara panas. Sinclaire diam dan seolah tidak bernapas. Oh, ke mana pikirannya pergi? Apa ia sedang menulis puisi di kepalanya? Seperti tentang manusia yang sekarat secara praktis, atau masa keemasan para Yunani. Apa dia tidak ingin mengatakan apapun tentang kematian yang akan terjadi antara aku dan Muller? Dia menantiku.

"Apa aku pernah memberitahumu?" Dia mulai berbicara.

"Kurasa tidak."

"Aku pernah menemui seseorang sebelummu. Anak laki-laki yang suka puisi, yang terlihat seperti tidak akan pernah mati, dan baru keluar dari kereta Berlin. Anak yang sama mulianya, kupikir. Tapi ketika Kematian sempat berpapasan dengannya sekali, dia malah bertanya apakah bisa mengambil ayahnya dan seorang suster yang pernah merawat ibunya. Kukatan ya, tentu. Tapi kurasa para Takdir tidak menyukainya. Jadi Kematian mengambil satu orang lagi."

"Apa yang dia katakan?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dan aku memburunya seperti batu yang tenggelam.

"Apa orang terakhir itu adalah temanku?" katanya enteng, mengulang pertanyaan anak itu. Seperti Sinclaire telah ditanyai pertanyaan yang sama kiranya ratusan kali oleh seseorang. "Dia bertanya setelah sadar beberapa bulan terakhir ini. Kuyakin kausudah tahu apa jawabannya saat kubilang itu kau—Noah."

Kata terakhir itu mengejutkanku, atau kami berdua. Bahkan takdir ingin menengguk kematian mentah-mentah. Pipiku menjadi hangat karena air mata. Aku dapat membayangkan anak itu berlutut di depan Sinclaire, menutup matanya dengan tangan dan menangis, meminta Kematian untuk mau menukar temannya. Dengan suara pengampunan merayap seperti akar. Sinclaire mendengar itu puluhan kali, ketika aku cuma pernah mendengarnya sekali. Semua omong kosong dongeng terasa nyata.

Aku menelan ludah dengan kasar dan gemetar. Kami kembali melamun ke sembarang arah. Dedaunan dan ranting menjalar di atas kepala kami. Menyisahkan sedikit ruang untuk Tuhan mengintip dari atas sana. Kidung dari kapel menembus langit-langit pemakaman. Terdengar seperti—lagu—untuk mengingatkan kembali di mana tempatku, atau seorang temanku. Aku tahu anak yang Sinclaire bicarakan adalah Herrz Muller. Kami hanya pura-pura tidak tahu.

"Aku juga tidak ingin kau mati."

"Kenapa?" Suaraku aneh.

"Aku tidak tahu. Mungkinkah untuk Kematian menyukainya?"

Dia lantas memegangi tanganku. Pucat dan telah kotor berserakan oleh tetesan darah. Sekarang darah membuat tangan Sinclaire sendiri juga kotor. Kita berdua seperti dikutuk bersama. "Kau ingin pulang?" Suaranya tenang dan tetap tak berekspresi sebagaimana dia.

"Tidak." Aku balik mengenggam tangannya. Sangat dingin, hampir sedingin tanganku. Seperti tangan orang mati. Hanya darahku yang terasa hangat turun dari punggung tangan Sinclaire. Berpikir apa orang lain juga memikirkan hal yang serupa saat mengenggam milikku. Kemudian bertanya-tanya apa anak ini sungguh hidup seperti ini.

"Ibuku," kataku payah seperti mengeja. "Menurutmu, apa yang akan dikatakan, ketika Kematian berpapasan dengannya dan mengatakan putranya akan mati."

Aku tidak tahu jika kematian haruslah indah dalam puisi atau karangan. Ketika justru bagian di mana aku kehilangan mereka tidak disebutkan di manapun. Dongeng hanya sekedar omong kosong para pemangku. Aku akan mati dan Muller tidak mau menunggu itu terjadi, ia berharap namaku merangkak keluar dari garis nisan. Sama seperti yang diharapkan ibuku.

Jika benar, maka seharusnya aku telah mati dua tahun lalu dan ini adalah nisanku.

Uwooo abis bikin resume gass up chapter *menangis

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top