BAB 29: Tangga, Jembatan, dan Sepatu
Derit pintu kayu bertahan di tengah malam. Jejak sepatu becek mengotori lantai kayu rumah terhormat. Mantel kami membeku di tangga. Koran-koran menanggalkan hari di mana aku tenggelam di ujung jembatan. Itu berimbas pada ayah yang memapahku ratusan meter di jalanan rumit Potsdam. Dalam temaram, pakaian kami basah masai, ia melihatku rendah, dan wajahnya gelisah secara terang-terangan.
Aku beberapa kali tersandung di anak tangga sampai ayah mengangkat tubuhku ke kamar. Kakiku sobek beberapa inci. Darah menetes ke lantai kayu dan membawa memori paling lama ketika aku mulai sakit di musim gugur. Akan ada puluhan surat yang ditunjukkan ke suster pembimbingku kala itu. Seluruh pakaianku dijahit panjang untuk suatu alasan.
Ini tentu berbeda dengan apa yang terjadi kemarin-kemarin, atau tak pernah sama sekali. Semua yang bisa didengar malam itu adalah bahwa aku takut pergi ke dasar sungai untuk mati. Betapapun aku akan mati di kota tempatku tumbuh, tapi tidak dengan membayangkan wajah teman yang selalu kamu kenal melemparmu ke sungai. Dan itu kenyataannya.
"Bagaimana kau bisa berada di sana?" Ayah berlutut di sisi kasur, melipat ujung celanaku, pelupuk dari mata biru itu mengernyit tajam atas luka segar. Mengingatkanku tentang potongan percakapan dari seorang altruis yang karut-marut. "Jadi, kau tidak ingin mengatakannya?"
Ada jeda yang luar biasa. Mungkin seperti bagian dariku mencoba memahami Herrz Muller, atau itu karena aku tak yakin ayah akan percaya. Oh, semua pembodohan yang terlalu akurat selalu menghantui masyarakat. "Apa alasan tergelincir akan terdengar sudah murahan bagiku? Alasan yang sama seperti ketika kaujatuh dari tangga dulu."
"Apa?"
"Aku tahu kapan saja kauberbohong." Ia menyingkap pelan rambutku yang kaku basah. Dengan jejak mirip anumetra di nada bicaranya. Tidak ada ekspresi yang kuat. Seperti kami sama-sama melupakan pembahasan soal dusta dan sebagainya. Sampai ia tidak ingin mentolelir lagi ketidakjujuranku, yang mungkin terjadi berulang setiap kali aku pulang dengan sepatu kotor.
Ayah menganggap serius hal itu, dan berhenti mencari kain kasa di meja. Ia kembali berlutut dan kedua tangannya memakuku untuk duduk di dipan. Satu-persatu tetesan darah mengering dingin di lantai kayu. Memadat seperti irisan kecil kulit apel. Ia mengatakan tidak akan membalut lukaku sebelum aku bicara apa yang terjadi. Seolah-olah itu layak untuk dinanti dan menguras jam tidurnya.
"Dia mendorongku," kataku hampir tak bersuara.
"Siapa?"
"Aku tidak tahu."
"Aku tidak keberatan menunggu sampai pagi."
"Tapi, aku bersumpah," kukatakan itu pada ayah. Tatapannya, terlihat frustasi, mengira bahwa anaknya berusaha membela bocah dari Berlin itu lagi, padahal belum. "Aku tahu namanya, kami adalah teman tetap selama beberapa bulan, tapi sampai sekarang aku tidak mengerti siapa dia. Dan aku memang berbohong soal tergelincir saat jatuh di tangga, tapi siapa yang dapat disalahkan ketika rumah kita hanya memiliki tiga pasang sepatu?"
Ayah terpegun kecil. Agaknya itu pertama kalinya aku bersuara keras di hadapannya. Oh, itu karena aku selalu menghormati aturan-aturan. Kami—aku dan ayah—terbiasa dengan ekspresi lunak dan suara merendah. Kami hanya pernah bertengkar di surat, sisanya tidak. Tapi agaknya itu membuat air mukanya sedikit lega. Dia perlu meyakinkan kebenaran itu, dan hanya ingin melihatnya keluar dari mulutku sendiri.
Kami diam sesaat. Lukaku tak lagi terasa sakit, meski ayah bilang hanya melakukan apa yang dia tahu. Ia tetap akan memanggil dokter begitu pagi hari. Yang kuingat, pakaian kami bahkan belum kering. Arloji ayah ikut rusak saat masuk ke sungai, sobekan tiket kereta, dan pengait koper ada di kantong yang sama. Ia menaruh di atas meja sebuah potongan kertas—pesan—basah dan mengatakan beruntung sempat menemukannya.
Aku semestinya memungkiri, tapi ketika aku kembali menilik ke belakang ayah, pada sudut kecil rak berdebu, aku melihat Sinclaire menatapku. Pada paras yang kuno. Mata opal kehijauannya redup di terang-terang laras. Seperti penampakan anak-anak dalam karangan lawas Hamelin. Memaksaku untuk diam dan tak berkata apa-apa.
Ayah bangun dan mengatakan bahwa akan turun sebentar. Suaranya menjadi sangat serak untuk berbagai sebab. Ia berhenti di pintu tanpa langsung berbicara untuk beberapa detik. "Apa ada sesuatu yang ingin sekali kaukatakan?"
"Aku tidak bermaksud menyalahkan ibu."
"Aku juga tidak." Dia bersandar. Menghela napas berat seolah tak pernah seperti itu. "Tiga pasang sepatu di pagi buta, sekarang hanya dua. Aku tidak bermaksud, tapi menyalahkannya atau tidak, itu tidak berguna sekarang."
Aku tahu ia bermaksud menyalahkan mereka saja yang masih hidup.
Suara sepatunya yang pergi melalang hilang. Meninggalkanku sendiri dengan roh yang teronggok muak di sudut ruangan. Bau darah mirip dengan apel ranum yang membusuk. Sinclaire masih di sana. Menahan kalimat antiknya. Ekspresinya yang pasif berhamburan di kegelapan. Aku masih terpaku. Mengorek kenangan paling aneh. Begitu terus sampai ujung mataku berhenti untuk foto di atas meja.
Figur ibu berlutut mensejajarkan diri denganku yang baru tujuh tahun. Aku hampir lupa kapan itu diambil. Mereka mengatakan itu sebelum perang berakhir. Tapi kami justru tersenyum. Aku menarik foto itu di meja dan mendapati kata itu masih di sana. Die Treppe. Kilasan acak yang diringkas dalam puluhan surat dan foto buram itu menghantuiku. Aku tidak sempat menyudutkan Muller. Aku juga tak akan menuduh ibu apapun. Toh, itu terjadi sebulan sebelum kematiannya.
Hanya sebulan setelah itu. Kematiannya.
Aku menggenggam kuat foto itu dengan sengaja. Di lain saat, kala seisi kota tertidur, lonceng subuh hampir terdengar, Sinclaire telah menghilang sebelum aku benar-benar menyadari. Untuk menyadari itu adalah salahku sendiri.
Halo, selamat membaca.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top