BAB 28: Pengampunan Terakhir
"Karena aku hidup, siapa yang akan mati?"
Jawabanku itu menyeret kami pada priode di satu minggu terakhir. Kami berhenti melempar batu. Di ladang pinggir sungai dengan wajah terhakimi layaknya anak sekolah dasar yang mengakui suatu pencurian kotak makanan. Lalu kami tidak mendapat pengampunan, dan tak bisa kembali ke masa kanak-kanak kami.
Kala itu, seluruh hal kembali menarikku pada cerita-cerita tentangnya; putra seorang penyajak, pemberi makaroni, anak yang peduli, dan seorang teman. Mata kelabunya seperti penyair mati yang telah kehilangan kata-kata. Seolah itulah ayat terakhir dari puisinya. Permainan melempar batu hari itu tak pernah usai dengan cara layak.
"Pikirkan ulang apa yang kukatakan, Noah." Jawab Muller kala itu. Ia melihatku dengan getir. Seolah tidak pernah melihat seseorang dengan cara demikian. "Aku telah melihat perawat yang merokok di depan wanita sekarat, ayah baik yang menelantarkan putranya, moralitas hina yang mati. Mungkin saja aku akan melihatmu mati dan aku akan terlihat seperti pendosa."
Demikian yang Muller pikir. Ia bersumpah dengan mulutnya di padang pinggir sungai. Seekor serangga menjalar di tumpukan buku ketika tangannya telah menutup matanya yang penuh air mata. Seharusnya aku tidak meminta apapun pada Sinclaire, dia bilang begitu. Aku berdiri di situ dan tak berkata apa-apa. Ia merasa telah melakukan sesuatu yang mengerikan. Muller menambahkan: Maafkan aku.
Suara pengampunan itu merayap seperti akar. Rambut pirangnya seolah menghisap seluruh kehidupan. Aku bertanya-tanya tentang apa yang ia minta pada Sinclaire. Tapi tak jadi kutanyakan. Aku berjalan mendekati garis sungai. Melempar beberapa kerikil yang tersisa. Suara desir sungai bernyanyi dengan isaknya. Muller bersungguh-sungguh. Kematianku adalah salahnya.
Dalam kesunyian itu aku berkata, dengan suara pelan, "Mungkin aku memang sudah mati."
"Huh?"
"Hei, tidakkah kau tahu bagaimana aku telah berhenti pergi ke sekolah. Hanya menyelinap pergi setiap minggu. Ingat lengan bajuku yang penuh darah di depanmu? Aku berpikir, aku memang akan mati, siapapun bisa, dengan cara apapun takdir memilih. Aku tidak sedang membelamu, tapi bagaimana jika itu salah?"
Itulah bagaimana percakapan tentang hidup telah berakhir. Herrz Muller bangun dari duduk singkatnya. Mungkin itu membuatnya terkejut. Mungkin itu membuatnya semakin bersalah. Ia membuat suara seperti pengelakkan tapi berakhir tidak berbicara apapun secara langsung. "Mungkin kita berdua akan mati." Suaranya tenang, seperti tanpa kata-kata.
Setidaknya ini bukan ruang pengungkapan dosa. Jika suatu hari anak makaroni ini mengayunkan pedang membunuh dirinya sendiri demi pengampunan. Meski Herrz Muller tak dimaafkan. Dia masih terhitung sebagai teman yang baik dari sisi penelaah. Itu lebih baik dari diam. Diam seolah tak masalah untuk dikubur di samping tanah makam ibunya.
Dan selama periode itu berlalu, kami masih di tempat yang sama. Aku berdiri di pinggir sungai. Sementara sorot mata Herrz Muller pergi entah ke mana, tapi itu kokoh dan bermakna. Tak peduli sepanas apa hari itu, aku ingat, percakapan kami tak menyangkut apapun soal musim panas. Andai permainan melempar batu ini berlanjut, ini adalah giliranku.
Tak ada lagi pertanyaan yang mengikuti. Aku melihat ke bawah dan sepatuku di penuhi bercak tanah. Tanganku telah menjadi pucat dan kering. Mendadak aroma apel memenuhi udara dan itu membawa suasana primitif. Serta suara dari seorang pereka penggila apel. "Ini sudah terlalu lama, kau tidak meninggalkan pesan untuk ayahmu."
Aku setengah berbalik. "Sinclaire?"
Tiba-tiba saja, tanpa salam jumpa yang mengesankan, tangan kecilnya mendorong punggungku. Dan seolah memijak tanah kapas, aku jatuh ke arah sungai, dengan amat mudah. Ia menghilang setelah mengucapkan serangkaian kata tak berarti.
Bagai ditelan. Tidak ada tepian sungai. Punggungku terasa sakit, seolah baru jatuh dari ketinggian yang tak dikira-kira. Kala aku membuka mata lagi, refraksi air berubah memantulkan bayangan jembatan, lampu jalan, dan hari telah gelap. Aku kembali tenggelam dan mengingat Muller yang menangis. Apa tadi itu mimpi? Pertanyaan itu menjadi hamparan dari pemiliknya yang mengatakan ia sudah mati.
Pada waktu yang sama hidungku terasa sakit dan aku berhenti melihat ke atas. Bukan tanpa sebab; kegelapan tampak abadi dari sini. Di tempat yang hanya ada ketakutan dan lagu mati yang terdengar seperti doa dari mulutku. Aku ingat sekarang, bahwa anak makaroni itu meninggalkanku untuk mati, setelah membicarakan tentang buku yang tak usai, kemudian mengirimku ke bawah jembatan seperti seorang penyair di cerita rakyat.
Aku telah menelan kata-kataku sejak hari itu. Dan berharap dapat kembali untuk membicarakannya. Tapi itu sudah seminggu berlalu. Tanganku telah terjulur meraih kesia-siaan. Melihat arus kebiruan alih-alih seolah bernapas di bawah langit biru. Kakiku mendorong ke sembarang, bagai memijak tanah basah tak bernama. Bulir air mataku berharap pengampunan. Aku berpikir soal catatan yang tak pernah kutinggalkan untuk orang rumah, dan Sinclaire benar.
Ketika aku hampir tak sadar, entah bagaimana, seseorang menarik kerah bajuku dengan cepat. Semakin aku merasa tercekik, ia semakin menarikku ke permukaan. Wajahnya telah separuh baya. Seluruh mantelnya basah. Napasnya memburu. Serta, wajah simpatik itu penuh dengan ketakutan yang tak sebanding.
"Noah! Noah, kau dengar ayah?"
Lama tidak bertemu. Happy reading!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top