BAB 27: Malam Kematian

Di pertengahan kota ketika hari menggelap. Aku berjalan sendiri di atas tanah bata yang basah. Dengan roman dari bait Potsdam yang masih persis. Asap pembakaran, percakapan tua, dan barisan bilik telepon kosong telah menguliti setiap inci pada kota ini. Sudah beberapa meter sejak ruam lampu terakhir. Ada senandung yang terdengar seperti puisi. Menyeruak dan mirip dengan surat-surat musim dingin. Lantas aku tetap menarik langkah ke jembatan yang dijanjikan.

Setelah tahu Sinclaire menulis catatan Herrz Muller. Keesokan hari setelah itu aku meminjam telepon kabel ayah dan mengatakan ingin bertemu dengan anak makaroni itu. Tidak, buku itu bahkan belum berakhir dalam versiku. Atau mungkin belum mengakhiri bagianku yang masih hidup. Aku mungkin adalah anak paling tidak waras karena memutar koin taruhan pada si penggila apel. Sang pembuat janji pun tak kunjung datang meski para buruh sudah berkeliaran di jalan. Barang kali itu adalah iktikadku untuk datang.

Di saat itu, aku bersandar pada batang besi tua yang memagari jembatan—hanya setinggi setengah meter. Itu terasa dingin atau semacamnya. Seseorang dapat mencium aroma lumpur sepatu yang basah. Bercampur dengan batu yang seukuran daun poplar muda. Tidak ada orang di sini. Selain imajinasi puitis dari orang yang berkeliaran seperti gelandangan. Kemudian aku melihat anak yang berada agak jauh dari sini. Wajahnya tak pernah begitu samar dari jarak berapapun. Itu Herrz Muller.

Ia menyapa kemudian bertanya, "Apa kau menunggu lama, Noah?" Aku tidak tahu apa itu suara yang menyenangkan atau tidak.

"Tidak juga."

Mungkin ada beberapa kata yang tertinggal, tapi ia secara sengaja menahannya di ujung. Mungkin tidak ada yang perlu dibicarakan selain meminta kembali buku ini. Sementara sisanya tidak penting untuk kuketahui. Begitu kira-kira. Terdengar seperti mempertanyakan. Memang. Ada sisa keju di ujung mulut Herrz Muller. Lengan mantelnya pun terlihat berantakan. Aku tidak tahu kenapa itu justru paling menarik perhatianku.

Aku menunggu suatu percakapan lain.

"Sinclaire tidak mengatakan apapun soalku?" Dia bertanya serius.

Aku diam. Berpikir barang sedetik. "Hanya sekali, itu pun beberapa bulan lalu ketika dia melihat surat ...."

"Tidak. Maksudku adalah hal yang lain."

Tatapan itu tidak sama sekali beralih. Aku dapat dengan cepat menangkap seperti, oh, aku tahu ke mana pembicaraan ini bermaksud. Tidak, ini bukan pembahasan soal penyair atraktif atau argumen dari bocah amatiran. Kami seharusnya membicarakan ini sejak lama. Ibarat kualitas pertemanan kami sedikit buruk. Tapi itu tidak berarti aku tak acuh. Hanya animo kuat sudah membusuk mendahului bayangan kami. Tidak ada kejutan.

Aku menggosok kedua tangan pelan. Bekas berkarat turut serta di telapak tanganku. Tampak tak jauh berbeda dengan karat dari engsel jendela tua di kamarnya. Genggamanku melemah. "Ya, dia mengatakannya dengan kesungguhan. Secara tak langsung seperti "jauhi Muller". Hampir sedikit dilebih-lebihkan walau sebenarnya dia agak benar."

"Lalu kau tidak mendengarkannya."

"Menurutmu? Jika berada di sisi yang sama apa kau akan percaya?"

Senyap. Tidak ada jawaban setelah itu. Dia diam dan itu seolah memaksanya. Membuatku bertanya apa yang ia pikirkan di sepersekian detik tadi. Namun, mendadak kepalaku terasa sakit dan tanganku kembali menggenggam pagar besi. Oh, seharusnya aku tidak pergi semalam ini. Masih tak ada suara di sana-sini. Ketika aku bertanya pada Herrz Muller ia menahan tanganku, kemudian berkata, "Kita harus tetap di sini." Tapi aku tidak tahu pembicaraan apa yang ia tunggu untuk itu.

"Sebenarnya kenapa kau ingin aku datang ke sini?"

Kupikir dia hanya butuh bukunya. Tapi tidak. Mata kelabu yang hidup itu menatap lurus pada rupa yang semati batu. Mereka terlihat cakap, dipenuhi oleh kepercayaan, tapi hampir sangat hampa. Itu telah menyadarkanku dengan pertemuan selepas musim dingin di makam ibunya. Hari di mana dia berbohong soal buku itu. Seharusnya Muller menyimpan bukunya untuk dirinya sendiri.

"Sinclaire tidak mengatakan bahwa kau akan mati karena aku?" Dia mengatakan dengan sangat mantap dan tanpa penyesalan. Tidak ada pengulangan.

Suara itu menjadi samar di telingaku. Punggungku bersandar pada pembatas jembatan. Angin berhembus di belakang. Di balik jembatan yang tingginya beberapa meter. Kedua tangannya di bahuku. Membuat mataku tampak kosong di hadapannya. Tak berdaya atau bahkan diperdaya. Sementara pernyataan itu telah menusuk pada tulang. Tak tersisa untuk menunjukkan reaksi barang sedikit.

"Ya, dia pasti mengatakannya," katanya di luar pembicaraan. Suaranya telah lelah berdebat. "Tapi kau tahu kapan itu akan terjadi? Bagaimana jika itu adalah hari ini di sini! Setelah buku itu selesai."

Aku semakin tidak mengerti.

Tidak ada seorang pun di sini untuk melihat kami. Kuharap seseorang ada di sini. Herrz Muller meneguhkan kedua tangannya di bahuku. Aku sudah berusaha menahan lengannya. Tapi ditambah dengan kesakitan, itu berakhir kosong. Sebuah kesia-siaan yang belaka. Mataku mulai terasa sakit dan aku tidak ingin meratap. Aku berharap, yang entah untuk apa, bahkan jika aku berakhir di dasar yang antah berantah. Kemudian bayangan soal mimpiku kembali begitu saja.

Di akhir tatapannya yang kelabu, ada kata terakhir yang tersisa. Tapi tak pernah ia gumamkan. Lenganku terasa kaku. Seharusnya aku mendengarkan perkataan Sinclaire. Tidak, waktu terlalu sedikit untuk disesali sekarang.

"Muller ... kau—"

"Kau harus hidup, Noah!" Kata terakhir itu berdiam di detik terakhir sebelum dia mendorongku yang sekarat seperti kertas. Aku jatuh—seperti sebuah apel dari dahan kering—bersama buku di tanganku. Aku terlalu payah untuk melihat sisanya.

Hal terakhir yang kulihat adalah dia menangis. Kenapa dia menangis?

How about this chapter? Percayalah ada empat kali kurevisi bab ini *crying in the corner*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top