BAB 24: Dia yang Tahu Kematian
Hari-hari pasca musim semi tidak pernah lebih buruk dari hamparan daun mati, jalanan becek, atau angin dingin yang ekstrim. Paling-paling rumput aneh akan tumbuh di depan rumahmu dan anak-anak sekolah dasar akan mencuri mangga di ladang orang lain. Aku pernah melewatinya seperti itu baru saja kemarin.
Ada banyak hal jelas di Potsdam selama musim semi dan sisanya terlalu membosankan untuk diketahui. Pada dasarnya ini lebih terasa seperti tahun terakhir bagi anak-anak sekolah. Tidak ada kelas arahan, terutama jika mereka cukup ulung melangkahi wawasan si pengajar. Begitulah kira-kira Herrz Muller mendapatkan waktu senggangnya hari ini.
Lokomotif melewati padang rumput di sisi yang jauh ketika aku berjalan keluar mengikuti Herrz Muller. Aku mengikutinya dengan lubang kecil di ujung sepatuku. Sementara anak itu melepas rompi sekolah dan menggantungnya di tangan.
Tidak ada seorangpun yang tahu aku pergi. Lagipula jika Sinclaire tahu ia pasti akan menyeretku kembali. Apalagi secara kebetulan anak ini datang beberapa hari setelah bab terakhir terisi. Herrz Muller datang padaku lima belas menit setelah bel sekolahnya dan menawarkanku roti isi yang ia dapat.
Di lain sisi, aku tidak pernah tertarik untuk pergi ke bawah jembatan dan duduk di tepi sungai sepanjang siang. Namun, tidak dengannya dan itulah rencananya. Hanya tumpukan buku dan angin panas yang tahu ke mana langkah kami berhenti. Kami duduk di tepi sungai dan tiba-tiba membicarakan pemilik kedai yang menjual kopi terbaik Brandenburg.
Di sini, ia membicarakan banyak hal seolah-olah tidak ada yang pernah terjadi, kematian ayahnya ataupun hal lain yang berhubungan. Tidak ada ekspresi kesedihan atau rasa kecewa. Di depanku, punggungnya tegap dan kemalangan itu seakan hilang.
Herrz Muller hanya melempar batu satu demi satu ke sungai, sampai menit awal menjadi seperti permainan sepihak begitu ia selesai bicara. Melihat anak itu membuatku bingung. Apa aku di sini hanya untuk melihatnya menyampirkan lengan baju?
Oh, kukira ia berniat menagih buku ceritanya. Malahan tidak ada pembahasan mengenai apapun soal buku ini. Aku duduk di pinggir, tepatnya di belakang Muller dengan kepala yang melihat ke bawah. Tanganku memainkan ujung buku dan menghalangi angin untuk membuka pada halaman lain.
Bahkan jika ia tahu sesuatu tentang buku ini sejak awal, mengapa tidak membuatnya menjadi jelas? Ia pernah secara tidak langsung memintaku menjauhinya. Mengatakan bahwa seorang tak bermoral tidak pantas menjadi temanku. Tidak ada alasan yang datang untuk memperjelas setelahnya.
Jika buku ini mempresentasikan aku dan Muller. Bukankah justru artinya aku yang jahat di sini. Hanya Hansel—aku—yang mendapat penawaran dari penyihir yang menjebak mereka. Layaknya Sinclaire yang hanya menawarkan hidup padaku. Di akhir akulah yang tidak dapat menjadi teman baik untuknya.
Mengapa Sinclaire ingin dia yang menanggung akhir kematian? Ah, ditambah gadis itu lagi-lagi menghilang.
"Buku apa yang kau baca?"
"Oh, i-ini." Aku menjatuhkan buku ceritanya dan cepat-cepat beralih pada buku lain. Selalu berakhir pada pengalihan yang aneh. "Buku! Hanya ensiklopedia. Kemarin aku baru membongkar kotak buku di kamar ayahku."
Ia tertawa diam-diam sementara aku melihatnya tajam. "Belajar, ya? Kemarilah, ambil kerikil, lempar, dan katakan apa yang ingin kau katakan."
Jujur saja, permintaan itu sedikit mengintimidasiku dari sini.
Aku menghela napas penuh eluhan sebelum berdiri. Mengambil batu apapun dan mendekatinya dari belakang. Kemudian, aku melempar batu di tanganku dengan kuat ke tengah sungai. Ia terlihat puas.
"Apa kau kecewa karena tidak bisa pergi ke Berlin dan memancing dengan mendiang ayahmu lagi?" tanyaku.
Dia diam. Mengacuhkanku dan ekspresinya tidak berubah. Dalam sedetik aku harap aku tidak melukai perasaannya. Namun, dia benar-benar tidak menangis untuk kematian ayahnya dan itulah yang ingin kukatakan.
Tidak ada balasan dalam kurung semenit. Aku melihat ke bawah, mengumpat pada diri sendiri seperti seorang kurang waras yang gemar duduk di sudut barak. Sampai tiba-tiba ia melempar lagi batu di tangannya. "Tidak. Sejujurnya aku lebih suka di sini, di Potsdam."
Tanpa sadar suaranya menjadi tumpul. Persis bagaimana saat ia berbicara di pekan dia pulang dari Berlin. Aku mengikuti senyum itu. Dalam kesempatan ini permainan lempar batu berubah menjadi sesi lemparan pertanyaan.
"Kalau begitu, mengapa kau ingin menemuiku? Apa ada sesuatu yang ingin kau bicarakan?" Aku melontarkan pertanyaan lain selagi menghempaskan batu ke sungai. Permukaan air berdengung saat kami berdua hanga diam.
Sampai Muller menoleh dan melihatku lama sekali. Seolah ia menimbang banyak jawaban dan memilih salah satu yang paling ia tunggu. Senyum itu seperti kehilangan kewarasannya. Sesuatu yang begitu familiar darinya.
"Aku ingin ... aku tidak ingin kau yang mati nanti." Sebuah batu di lempar dengan amat kuat. Seolah jam berhenti dan permintaan itu menggantung di udara. "Ibuku, ayahku—esais tua itu—maupun perawat lalai Starnberg, tapi kali ini siapa lagi?"
Reaksi yang ditarik oleh keterkejutan. Aku tidak mampu berbicara. Keseriusan itu membawa pergi wajah keramahannya. Hanya butuh sebentar saja, aku mendapat pemahaman samar atas wajah sedih Muller di makam ibunya, reaksi tak berarti atas kematian ayahnya, dan permintaan maaf di hari pot jatuh menimpaku.
Sementara aku melihatnya juga, suara kereta yang lewat mengacaukan nyanyian serangga dan riak air sungai. Sementara angin melakukan tugasnya pada benda kecil tak berdaya. Di sampingnya, aku hanya melihatnya, merasakan sesuatu yang beruntun, hal yang tidak pernah sederhana. Mengapa?
Angin berhembus melewati rambut yang sekuning lemon itu. Aku tidak berani memikirkan apa yang selanjutnya dapat terjadi. Titahnya sebagai pemberi makaroni terdengar seperti ultimatum. Bahkan di akhir aku belum mengetahui Muller sepenuhnya.
"Baik, sekarang giliranku." Di sela pemikiranku Herrz Muller mengambil kerikil terakhir dan melempar benda itu sejauh yang ia bisa. "Jadi, Noah, apa bukunya sudah selesai? Kuharap Sinclaire benar soal membantumu."
Tidak hanya buku, dia tahu semua kematian itu dan ia hanya diam selama ini.
Author's note
AYEEEE, gak kerasa bentar lagi. Ya walau sepertinya masih banyak pertanyaan yang harus dijawab //Hanya ingin menyapa
Dan maaf jadwal update-nya jadi geser. Semoga menikmati. See yaa~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top