BAB 23: Mimpi dari Masa Lalu
Rasanya aku sering bermimpi tentang masa-masa itu dan aku mengingatnya dengan baik. Tentang koridor panjang nan sempit, suara ayah yang berbicara di telepon, dan pintu kayu yang tak pernah terbuka. Ada saat di mana aku hanya berjalan di sana sambil menangis.
Angin dingin masuk dari sela jendela yang terbuka, waktu itu pasca musim gugur, tidak ada penerangan, dan masih terlalu pagi. Lemari memiliki tiga pasang sepatu. Ibuku masih hidup sejauh ingatan itu. Seolah-olah aku menangisi masa-masa ini dengan kekecewaan penuh.
Gema panggilanku dari atas tangga hanya seperti lantangan belaka. Namun, seperti kataku, ini masih terlalu pagi. Tidak ada percakapan dini hari. Namun, gambaran itu terus datang. Kepercayaan dan rasa takut yang menjijikan.
Tiba-tiba suara langkah tergambar dengan cepat. Kini seseorang berdiri di belakangku dan gambaran itu terulang kembali. Seseorang datang dan tidak berkata apa-apa. Wajahnya pasti membeku.
Bahkan saat aku tersenyum seperti memuja, ingatan ini tetap terulang. Ia mendorongku dari atas tangga. Seakan itu bukan apa-apa. Seakan tak ada kehidupan yang harus dibayar setelahnya. Mata marmer itu bersembunyi di bawah rambut gelap. Untuk pertama kalinya aku merasa takut pada ingatanku sendiri.
Keseimbanganku runtuh dan berakhir menyerah pada kemungkinan. Terlalu banyak anak tangga. Aku yakin meninggalkan darah di setiap ujung tangga. Sosok itu diam. Hal terakhir yang dapat kulihat adalah matanya, tanpa ekspresi, gelap, dan sesuatu yang tak pernah terjamah. Aku berakhir di dasar tangga.
Aku tidak bisa membuka mataku. Sampai aku menangis dan berharap udara dingin ini tidak pernah ada. Kepalaku sakit luar biasa. Telingaku berdengung sampai aku berteriak.
Satu hal yang ingin kutahu, aku berharap itu hanya mimpi buruk dan bukan potongan halaman yang cacat. Tapi semua ini pernah nyata. Aku memilih menjadikannya mimpi dan tetap diam. Berpura-pura dan mengatakan pada ayah bahwa itu kecelakaan yang tidak disengaja.
Perlahan sebuah suara fanatik menarikku. Merayap di antara teriakan yang tak pernah kudengar. Seiring dengan keyakinan bahwa ini hanya mimpi. Udara panas memenuhi napasku yang berat.
Hampir saja aku berteriak begitu sadar. Aku bangun dan menatap ke arah langit-langit kayu. Separuh lainnya adalah wajah Sinclaire yang penasaran setengah mati. Tiba-tiba saja kami seperti orang asing. Ia melihatku lama dan sebagian rambutnya hampir menutupi mata.
Angin panas berhembus dari jendela. Kami berniat membongkar buku sekolahku awalnya, sampai berakhir tertidur di sofa dan beralaskan tumpukan buku keras. Tidak heran jika rasanya seperti membentur lusinan anak tangga. Beruntung Sinclaire tidak menendangku karena itu.
"Padahal mimpi buruk tapi malah tidur lama sekali."
Gadis itu mengamatiku dengan kesanjungan yang aneh. Sepertinya aku menangis tadi atau Sinclaire memang sudah tahu. Tidak mengherankan. Mungkin itulah rasanya dapat membayangkan manis dan pahit seseorang, kemudian kau tidak perlu peduli bahwa itu tidak mutlak.
Ketika aku hanya melihat pada bayangan yang runtuh di kaca jendela dan tidak tertarik pada percakapan, Sinclaire masih begitu mencolok di ujung mataku dengan ekspresi yang unik. Sepertinya mimpi barusan berhasil membangun kegandrungan pada anak ini.
Napasku masih sangat berat dan dadaku terasa sakit. Rasanya seperti hampir mati di dalam mimpi sendiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Agak mengejutkan melihat mata antusias itu bersimpati. "Masih tidak tahu siapa yang mendorongmu?"
Oh, dia tahu! Sinclaire memang bebas bertanya. Hanya saja terkadang tingkat penasarannya itu lebih dari bagaimana ia berbicara. Sayangnya, aku tidak senang membahas trauma aneh. Mungkin akan lebih menyenangkan membagikan pengalaman mengeruk salju ketimbang ini.
Tidak bohong, terkadang reaksi spontannya bisa jadi sangat keterlaluan. "Ya, itu tidak penting. Hei, bagaimana kau tahu?"
"Aku di sana saat itu. Memegangi sabit raksasa dan menunggumu," katanya sambil tertawa tidak serius.
"Tunggu, kau yang mendorongku?"
"Apa? Tidak!"
Kami saling melihat. Kurasa membual bukanlah sandarannya dalam melucu. Dia tidak akan memberi tahu bahkan jika dia tahu. Tapi jika benar dia ada di sana saat aku jatuh maka bukankah itu sedikit keterlaluan. Sinclaire tidak pernah mengatakan hal itu.
Aku tak menghiraukannya lagi saat merapikan buku-buku. Gadis ini tak membantu. Bahkan ia mengambil beberapa buku yang sudah kurapikan dan bertanya mengapa aku membaca buku itu. Dia tidak bisa bertanya soal selera. Walau sederhananya buku-buku ini milik ibuku.
Sekarang dia malah duduk di sofa dan membolak-balikan halaman buku yang tertinggal. Tidak, dia bukan maniak buku. Sinclaire memanggilku dan ia bertanya lagi apa aku baik-baik saja. "Tidak apa, aku ingin tidur di kamar. Ayah bisa membantuku belajar nanti malam."
Jadi, begitulah bagaimana aku membawa semua ini sendiri. Tanganku sakit luar biasa saat membawa tumpukan buku ini ke kamar. Bahkan meja ikut bergetar saat semua jatuh sekaligus. Kemudian aku duduk di kursi dan pemikiran soal mimpi itu masih berlanjut. Harusnya Sinclaire tidak perlu tahu. Ini seperti menuangkan satu tetes air pada gelas yang hampir penuh.
Tentu, dari waktu ke waktu seharusnya ini sudah berakhir. Kejadian itu sudah lama dan terjadi sebelum ibu meninggal. Orang-orang rumah percaya aku tergelincir karena lantai basah. Tidak ada yang tahu bahwa aku di dorong—lagi, siapa yang akan melakukannya—dan gadis itu tahu, semudah ia membalikkan tangan.
Demi Tuhan, dia harus bertukar tempat dengan manusia sebentar saja.
Kemudian aku menarik laci meja dan itu dipenuhi oleh tabung pil, tidak semuanya. Di dalamnya ada beberapa foto lama, pena ayah, dan jam saku kuno. Masih ada satu buku di dalam. Kami baru selesai meributkannya kemarin. Sekarang buku itu masuk dalam kepemilikanku.
Sinclaire mengatakan bahwa akulah yang harus menentukan. Selama ini kukira ia punya ide terhadap hidupku yang singkat. Pada akhirnya itu kembali lagi seperti telegram yang kehilangan alamatnya. Inilah yang dimaksud menambah setetes air lebih banyak.
Saat terbuka, kertas buku itu ditimpa oleh cahaya dan bayangan dari isi kotak pensil. Tidak ada yang berubah di halaman sebelumnya. Sampai di halaman baru. Sebuah bab terisi kembali. Kupikir barusan aku hampir meloncat ke luar jendela cuma karena ini. Kegembiraan seakan keluar dari sana.
"Sinclaire, lihat! Bukunya terisi lagi!"
Gema antusiasku menghias dari atas tangga. Namun, tidak ada suara yang mengikutinya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top