BAB 22: Si Pengarang
Tidak, sekarang aku memahami omong kosong mengapa buku itu sangat serius. Herrz Muller tidak akan meminta kembali buku ini dengan dasar yang spontan. Maksudku, siswa negeri dengan kefanatikan buta terhadap puisi dan roman—aku bertaruh ia akan lebih memilih koran—sekarang bertanya mengenai buku yang tak ubahnya terlihat umum.
Walau secara khusus buku itu mungkin adalah miliknya di awal, aku tidak yakin bahwa Sinclaire akan setuju. Gadis itu dipihakku sepanjang waktu, entah apa yang membuatnya tak menaruh simpati pada si pemberi makaroni ini. Kalau begitu, apa yang membuatnya tertarik untuk peduli padaku? kepribadianku bahkan tidak menyenangkan.
Aku berputar pada pertanyaan berkisar mengenai minat tiba-tibanya itu selama perjalanan pulangku kemarin. Herrz Muller memberitahuku bahwa tak ada sedikitpun minat yang mengikutinya. Namun, anak itu meminta kembali buku itu! Tentu, mungkin sesuatu yang penting baru saja menarik kegilaannya pada puisi. Aku tahu Herrz Muller bersungguh-sungguh saat ia bilang tidak menyukai dongeng murahan.
Karena buku itu mendadak aku kembali berdebat dengan Sinclaire. Bukan menentangnya tapi ia tidak setuju jika aku harus mengembalikan buku itu pada Herrz Muller. Aku bertanya padanya mengapa aku tidak boleh melakukan hal itu dan dia hanya diam. Apa ia takut Herrz Muller akan berbohong padaku? Pada dasarnya mereka berdua bahkan tak memberiku alasan untuk semua ini.
"Jangan naik ke atas meja!" Aku nyaris berteriak. Gadis itu membawa bukunya dan berdiri di meja. Ayolah, kita tidak bertengkar seperti anak kecil.
Andai aku cukup kuat untuk melempar kursiku karena kesal, apakah ia akan turun sebentar? Mengingat aku tak pernah semarah itu, pasti akan terlihat aneh. Tapi Ia bahkan hampir menendang buku-buku lain dengan kakinya itu. Sinclaire berdiri di sana, seakan dia adalah patung, seakan dia adalah pemilik kamar ini dan bukan aku. Gadis itu tersenyum dengan cara yang sama.
Berusaha tidak menanggapinya. Aku keluar dan nyaris membanting pintu. Sementara anak itu tetap di tempatnya, mungkin ia akan mengira aku agak impulsif. Selama beberapa waktu Sinclaire hanya melakukan apa yang ia inginkan sejak di makam. Aku ingat dengan jelas ia bertanya mengapa aku ingin terus hidup. Apa kematian juga berburu hidup seseorang?
Di luar, setelah sebelumnya diam-diam mengambil apel di meja, aku duduk di serambi rumah—di atas tangga kayu yang hanya sebanyak empat pijakan. Bernapas panjang sambil mengamati warna di ujung awan, melalui corak selembut kapas, dengan tipikal angin barat yang panas. Aku selalu memperhatikan mereka.
Angin menghirup ujung kumpulan rumput. Matahari memapar sosok-sosok yang berjalan mendekatinya. Aku suka memperhatikan orang-orang yang lewat sebentar. Itu seperti pekerjaan untukku. Bahkan ketika si penggila apel itu tak ada.
Terkadang aku selalu ingin memberi tahu orang-orang apa yang kulihat. Keindahan dan kegelapan yang disebutkan. Kata-kata berat dan kematian yang memburu manusia. Apa kematian juga dihantui oleh manusia yang tidak takut mati? Namun, sebagian orang tidak ingin tahu. Bahkan aku juga tidak ingin.
Aku mengigit apel di tanganku dalam satu gigitan penuh. Aroma yang sama dengan biasanya. Oh, bagaimana aku harus mendeskripsikannya lagi? Rasanya tidak jauh berbeda dengan yang orang-orang tahu.
"Kau harus mencucinya dulu."
Seseorang berbicara di samping dengan tiba-tiba. Membuatku terkejut dan hampir menelan satu gigitan penuh. Aku batuk dengan keras sambil sedikit terengah-engah. Kupikir aku hampir mati cuma karena menelan sedikit apel.
Sinclaire menepuk punggungku keras dengan ekspresi wajah yang tidak aku sukai. Sepertinya ia juga sama kesalnya. "Pelan-pelan, Noah. Kau punya tubuh yang buruk tapi malah memakan segala hal tanpa berpikir. Bukan salahku kalau kau mati duluan."
Gadis itu merebut apelku. Ia berbicara seperti seorang pengurus dan bilang aku harus berhenti. Bukankah Sinclaire tidak ingin bicara denganku barusan. Bahkan kekesalanku belum sepenuhnya selesai. Maksudku, siapa yang tidak kesal saat seseorang berdiri di atas mejamu, kemudian menolak untuk bicara.
"Ya, yang padahal kau bisa membiarkanku mati sejak lama dengan tidak pernah datang untuk menawarkan hidup," singgungku sedikit sarkastik.
Kalau meminta hidup semudah itu maka rumah sakit dan pemakaman tidak akan penuh dengan orang mati. Ia bisa lebih peduli pada para tentara yang berperang, pengerajin tua yang hidup sendiri, dan anak yatim piatu yang miskin. Ia tidak pernah memberiku alasan. Alasan mengapa aku harus hidup sejak hari pemakaman ibuku.
"Jika kuberitahu alasannya saja aku yakin kau akan melompat dari jendela kamarmu, atau bahkan lebih parah."
"Jadi kapan kau akan memberi tahuku?"
"Nah, tidak akan."
Dan seperti itu lagi, sekarang aku tidak tahu alasanku untuk hidup lebih lama. Apa yang terjadi dan dikorbankan di belakang bayangan gadis ini. Sinclaire lalu melempar bukunya ke arahku. Tatapan matanya dipenuhi oleh kehidupan yang tak pernah aku tahu, dan diam-diam dipenuhi oleh kebengisan yang sulit dijelaskan. Dia selalu seperti itu.
Ya, seseorang yang mengadaptasi dirinya dalam kisah dongeng. Sementara kau tidak tahu bagaimana semua itu harus berakhir adil. Dimainkan oleh takdir di mana kau bisa saja sudah mati dan tidak. Saat kau bisa juga memutarnya berlawanan, tapi tidak akan. Hanya bagaimana caranya. Aku kemudian membuka buku itu dan lagi-lagi bab akhirnya hanya dipenuhi tumpukan kertas kosong.
"Ini bukumu, Noah, yang artinya kaulah yang mengarang—dan menentukan—akhirnya. Hanya kau, bukan aku, bahkan Herrz Muller."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top