81:: may i?
Tuk!
Gerakan tangan Alyssa yang sedang menulis terhenti sejenak. Ia menahan diri untuk tidak berteriak. Kemudian lanjut mencatat tugas yang ditinggalkan Bu Farida.
Tuk!
Alyssa mendengus kesal. Namun masih menahan diri.
Tuk!
"Kalvi!" Alyssa memukul mejanya dan menatap tajam seorang laki-laki disampingnya. Untung saja kelas sedang ribut karena Bu Farida tidak hadir dan hanya meninggalkan tugas pada guru piket. Jika tidak, mungkin ia sudah menjadi pusat perhatian sekarang. "Jangan lempar-lempar penghapus, bisa?"
"Kalo gue bilang nggak bisa gimana?" Dia tersenyum lebar seperti sedang tidak melakukan kesalahan. "Abis jenong lu bikin gue pengen mendaratkan penghapus di jidat lo, sih! Jadi jangan salahin gue, salahin aja jenong lo."
Astaga! Kalvi adalah anak yang paling menyebalkan di dunia. Bagi Alyssa.
"Gue nggak bisa salahin jidat gue karena ini ciptaan Tuhan. Kalo mau nyalahin, salahin aja Tuhan tuh!"
"Astaga, Sa. Nggak boleh nyalahin tuhan, Sa. Dosa baru tau rasa lo. Ck ck ck." Kalvi mengusap dadanya dan menggeleng, persis seperti ustad yang baru saja menyaksikan maksiat di pinggir jalan.
Alyssa tidak tahu harus berbicara apa lagi sekarang. Kalvi sepertinya bukan orang yang pandai membaca situasi karena Alyssa saat ini tidak mau diganggu. Dari pertama menginjakkan kaki di sekolah ini, ia sudah bertekad untuk tidak main-main dalam belajar. Karena situasi keluarganya yang seperti sekarang, sangat tidak memungkinkan baginya untuk kuliah tanpa beasiswa.
"Kal, daripada kamu motong-motong penghapus segede upil kayak gitu terus dilempar ke jidatku, mending kamu kasih ke aku deh yang masih gede itu tuh, yang masih bisa dipake." Alyssa menunjuk penghapus abu-abu yang tinggal setengah di atas meja Kalvi. "Buang-buang duit aja."
"Penghapus kecil gini emangnya berapaan, sih? Di koperasi juga banyak. Tinggal beli lagi." Kalvi melemparkan satu lagi dan mengenai tepat di tengah-tengah jidat Alyssa.
"Nice." Ia tersenyum lebar.
"Kalo mau buang-buang duit nggak usah deket gue deh. Gue alergi sama orang yang suka buang-buang duit. Uangnya juga punya orang tua lagi. Persis kayak lo gini, nih." Alyssa mulai mencari jawaban dari pertanyaan yang sudah disalinnya ke buku latihan. Alyssa tahu Kalvi sedang memperhatikannya, namun ia tidak peduli. Ia pun tidak sadar bahwa Kalvi sedang menatapnya dengan tatapan abstrak.
[.]
Alyssa memutar pandangan ke bangku di sampingnya, tapi tidak menemukan pemiliknya duduk di sana. Lima belas menit lagi pulang, namun setelah laki-laki itu izin keluar, dia masih belum kembali. Hanya tas hitam, buku yang terbuka, dan pena tanpa tutup di atas meja. Ke mana dia? Di jam pelajaran Ekonomi biasanya ada satu lagi selain tiga hal itu.
Kepalanya. Karena Kalvi selalu tertidur saat jam pelajaran Ekonomi. Karena ia pernah dengar kalau Kalvi benci Ekonomi dan segala tetekbengeknya. Cukup aneh untuk seorang siswa jurusan IPS di mana Ekonomi merupakan mapel wajib.
Setelah sekitar lima bulan berada di kelas yang sama, setidaknya Alyssa mengetahui beberapa tabiat temannya, termasuk Kalvi. Karena Kalvi temannya, teman yang duduk disampingnya.
"Daf," Alyssa berbisik dan menendang pelan bangku di depannya.
"Paan?" Daffa memutar badan ke belakang.
"Kalvi kemana? Cabut, ya?"
"Mungkin. Dia kan benci banget sama Eko. Lagian dia juga kena marah tadi sama Pak Ujang."
"Kapan? Kok gue nggak tau?"
"Pas lo permisi tadi."
"Daffa!" suara bariton Pak Ujang membuat keduanya terkejut.
"Oke, Pak. Ampun!" Daffa membentuk tanda 'oke' dengan jarinya dan langsung memutar badannya ke depan, trauma dengan hukuman yang diberikan Pak Ujang. Pak Ujang memang tidak menoleransi siswanya yang berbicara saat ia menerangkan pelajaran.
Setelah beberapa menit izin keluar, Kalvi tidak kembali. Bahkan ketika bel pulang telah berbunyi.
Alyssa yang melihat Daffa membawakan tas Kalvi tidak bisa menahan diri untuk tidak bertanya. "Eh, Daf. Kalvi nggak balik, ya? Kok lo bawain tas Kalvi?"
"Nggak tau juga sih. Dia di Vertigo dan minta bawain tas dia kesana," jawab Daffa seadanya.
"Vertigo?"
"Itu loh. Clu–tempat karoke. Hmm di sana!" Daffa menunjuk ke sembarang arah, toh Alyssa juga tidak mengetahuinya. "Yaudah gue cabut dulu ya Al." Tidak ingin ditanya lebih lanjut, Daffa memilih untuk kabur. Ia hampir saja keceplosan dengan mengatakan Vertigo itu tempat clubbing yang anak sekolahan nggak boleh masuk ke dalamnya.
Alyssa hanya mengangguk-angguk. Sebelum keluar dari kelas, ia melirik meja di sudut dekat pintu belakang yang bangkunya tidak dinaikkan ke atas meja.
[.]
"Nih!" Daffa melempar tas itu pada pemiliknya, yang ditangkap dengan sangat baik oleh Kalvi. "Lo kenapa cabut, Kal?" tanya Daffa duduk disamping Kalvi.
"Males gue sama Pak Ujang yang kebanyakan bacot." Kalvi menyandarkan punggungnya ke sofa.
"Tapi kasian doi loh. Tadi pas pulang sekolah gue liat ban motor dia kempes gitu."
Daffa tiba-tiba tersadar akan sesuatu.
"Jangan bilang. . ."
Kalvi tidak menjawab, namun ia tersenyum tipis.
[.]
Karena adiknya sedang sakit, ibunya tidak bisa membuat lontong untuk dijual dan menyiapkan bekal untuk Alyssa. Sebagai gantinya, ayahnya memberi uang jajan lebih untuk makan di kantin sekolah.
Sebelumnya Alyssa tidak tahu bahwa kantin selalu seramai ini saat jam istirahat. Yah, tentu saja karena ia selalu membawa bekal. Saat memesan sepiring batagor, ia melihat ke sekitar untuk mencari meja yang kosong. Nihil, tidak satupun meja yang isinya kurang dari empat orang.
Ia masih mencari meja yang kosong ketika sepiring batagor itu kini sudah di tangannya. Matanya menangkap satu meja di sudut yang hanya diisi oleh dua orang yang tidak terjamah oleh matanya tadi. Meja Farah dengan Daffa.
"Tems, gue duduk sini ya? Nggak ganggu kalian pacaran, kan? Anggap aja gue nggak ada, oke?" Alyssa tersenyum dan meletakkan piring batagornya di atas meja. "Geser dong, Far."
Farah bergeser, kemudian menoyor kepala Alyssa. "Gue nggak pacaran sama Daffa, bego."
"Tau tuh. Gue sama Betet cuman sahabat kali. Biasa aja." Daffa ikut membela diri.
"Tapi kan di dunia ini nggak ada cowok sama cewek yang bisa sahabatan tanpa memendam rasa," jelas Alyssa sambil mengaduk batagor. Farah yang sedang minum nyaris menyemburkan semua air yang ada di mulutnya. Walaupun tidak semua, tapi tetap saja ada sedikit air yang tidak mampu ditahan oleh mulutnya dan muncrat mengenai lengan baju Daffa.
"Faraah! Baju gue!" Daffa menatap jijik lengan bajunya yang 'disemprot' oleh Farah.
"Nyontek dari mana tuh?" Farah mengacuhkan Daffa.
"Ih baju gue. . ." Daffa mencium lengan bajunya, kemudian berekspresi masam "bau jigong lo anjir."
"Ah elah, sori sori nggak sengaja gue. Abis gimana? Alyssa tiba-tiba jadi bijak ala-ala Mario Teguh begini. Keseringan nonton drama korea atau Mario Teguh Golden Ways?"
"Tanggung jawab lo! Ikut gue" Daffa menarik paksa lengan baju Farah. "Al, gue duluan."
"Astaga Daf! Tunggu, woi! Kaki gue nyangkut nih! Gue duluan, Lyss."
Farah yang biasanya berani ternyata bisa juga diseret-seret gitu ya sama Daffa, pikir Alyssa sambil menggeleng.
"Sa!" Pukulan meja yang berasal dari arah samping membuat batagor yang hendak mendarat di mulutnya jatuh ke meja.
"Kalvi!" bentaknya kesal diiringi tatapan yang selalu diberikannya pada Kalvi-–tatapan tajam sambil berusaha terlihat segarang mungkin.
"What? Gue cuman nyambung nama lo. Daffa manggil 'Al' Farah manggil 'Lyss' dan gue akhirnya dengan keren melengkapi nama lo. Nama lo kan Alyssa, bukan Alyss." Kalvi mengangkat bahu dan duduk di kursi yang diduduki Daffa tadi. Seperti biasa Kalvi selalu membuat lelucon-lelucon yang tidak masuk akal bahkan ketika Alyssa sedang melemparkan tatapan marah, seperti sekarang. Tapi kali ini sedikit masuk akal, untungnya.
Alyssa tidak menjawab. Hanya menatap mata Kalvi dalam diam. Kemudian ia menatap ke meja di mana batagornya terbaring lemah tak berdaya. Seperti sadar sesuatu, Kalvi ikut menatap batagor itu.
"Sori deh."
"Kenapa lo makan? Kan kotor?" tanya Alyssa tidak percaya. Maksudnya tadi hanya ingin menunjukkan pada Kalvi kalau lelaki itu baru saja membuang batagornya. Bukan memakannya.
"Lo bilang nggak suka buang-buang duit. Kalo dibuang kan sayang Sa. Mending dimakan. Belum lima menit juga," jelas Kalvi sambil mengemut jari jempol dan telunjuknya yang masih menyisakan saus kacang.
"Ntar kalo sakit perut gimana?" Alyssa masih heran dengan Kalvi yang tiba-tiba berubah.
"Halah, nggak bakal kok. Perut gue kuat." Kalvi tersenyum bangga. "Udah lupain aja. Sebenernya gue mau diskusi sama lo. Tentang tugas akhir semester dari Pak Boy. Mau pakai lagu apa?"
Bagus, Kalvi baru saja mengingatkannya tentang tugas yang dibencinya. Dan mood makannya seketika hilang bersama hembusan napas beratnya.
"Nggak tau. Gue nggak punya bakat seni." Alyssa mendorong piringnya.
"Pasti adalah." Kalvi menatap batagor milik Alyssa "Kenapa? Nggak mau? Buat gue ya."
Piring itu kini berpindah tangan ke Kalvi. Padahal gadis itu belum mengiyakan.
"Lo bilang nggak suka orang yang buang-buang duit. Batagor–"
"Udah-udah, jangan dilanjutin. Gue tau lanjutannya." Alyssa memutar bola matanya malas.
"Nice." Kalvi tersenyum dan kembali makan dengan lahap.
Kenapa lo harus repot-repot terlihat nggak mau buang-buang duit di depan gue? Kenapa lo harus makan batagor gue? Yang jatuh lagi.
Kenapa lo bikin gue geer?
Alyssa menatap laki-laki yang sedang makan seperti anak kecil di hadapannya curiga.
[.]
Dari jendela, Alyssa dapat melihat Kalvi yang sedang bermain gitar. Karena posisi Kalvi yang membelakangi jendela, Alyssa tidak dapat melihat wajahnya. Namun, Alyssa hapal bentuk punggung dan gaya duduk Kalvi entah sejak kapan. Mungkin semenjak wali kelasnya memindahkan tempat duduk Kalvi di depannya.
"Hoi!" Alyssa membuka pintu setelah permainan gitar Kalvi selesai. "Sori gue telat. Tadi gue dipanggil Dhea. Lo udah lama?"
"Lama banget Saaa. Capek tau nunggu lo," ucap Kalvi hiperbola.
"Lebay lo." Alyssa menaruh tasnya di lantai dan duduk di sebuah alat musik yang ia tidak tahu namanya. Oh, cara memainkannya memang diduduki.
"Lo bisa main alat musik?"
"Nope."
"Kalau gitu lo nyanyi."
"Hah? Gila aja lo. Nggak nggak. Gue nggak mau nyanyi ah."
"Trus lo mau apa?"
"Emangnya nggak ada ya alat musik yang cara maininnya gampang?"
Kalvi berpikir. "Ada!"
"Apa?" Alyssa mencondongkan badannya ke arah Kalvi tanpa sadar.
"Lo beli yakult, lo minum isinya. Trus kalo udah abis, lo isi ama beras. Bisa jadi marakas." Kalvi tersenyum jahil. "Cara maininya kayak tante-tante bencong main. . . eh apa namanya yang buat anak TK itu? Yang bunyinya kring kring kring, bunder, pinggirannya ada–"
"Kal! Gue serius!" Alyssa menghentakkan kakinya sebal. Laki-laki ini tidak pernah serius dalam hal apapun.
"Ya mana gue tau alat musik yang cara maininnya gampang, Sa? Emang gue abang-abang penjual alat musik?"
"Emang lo mau main apa? Gitar? Emang bisa?" Alyssa tahu Kalvi bisa, hanya berpura-pura tidak tahu.
"Bisalah," ucap Kalvi mantap.
"Coba?"
"Lo nantang? Ntar gue dapet apa?"
"Lo mau apa?"
"Lo."
"Hah?" Refleks, Alyssa memiringkan kepalanya. Tidak paham dengan maksud Kalvi.
"Gue mau lo." Alyssa terdiam. Sesaat kemudian Kalvi tertawa terpingkal-pingkal.
"Gue becanda kali, Sa. Gila aja lo mau ama gue."
[.]
Sejak kejadian batagor beberapa hari lalu, Kalvi mulai sering makan dengan Alyssa. Laki-laki itu bahkan sengaja membawa bekal dari rumah agar bisa makan dengan Alyssa.
"Lo tau? Laki-laki yang bawa bekal cuman lo, Kal." Alyssa menatap Kalvi, namun tidak mengejek. Hanya memberi tahu.
"Biarin aja. Bodo amat." Kalvi menarik kursinya ke meja Alyssa dan membuka kotaknya. "Lo bawa apa, Sa? Enak banget keliatannya."
"Tau darimana? Kotaknya kan belum gue buka?" Alyssa membuka kotaknya, "Wiih, tumben Ibu buat pecel lele."
"Kita tukeran, ya!" Kalvi merebut kotak makan Alyssa dan memberikan miliknya pada gadis itu.
"Ini apa, Kal? Gue nggak mau makan makanan yang nggak jelas gini. Balikin kotak gue."
"Ini namanya sushi. Pembantu baru gue jago masakan Jepang, loh. Edan kan? Gue aja kaget. Dapat bahannya juga dari mana coba?" Bukannya mengembalikan kotak Alyssa, Kalvi malah makan dengan lahap pecel lele buatan ibunya. "Tapi gue bosen, Sa. Tiap hari makan makanan jepang mulu. Gue kan orang lokal. Tetep aja lidah gue lebih suka yang lokal."
Alyssa tersenyum. Entah sejak kapan ia selalu tersenyum jika melihat Kalvi makan seperti anak-anak.
"Kalvi!" suara seorang perempuan dari arah pintu menghentikan Kalvi.
Kalvi menoleh ke arah pintu. "Hai Cla!"
Alyssa kenal dia. Clarissa, pacar Kalvi, terhitung sejak satu bulan yang lalu.
"Oh, kamu udah makan ya? Ya udah deh. Aku makan bareng temenku aja." Rissa hendak beranjak meninggalkan kelasku ketika Kalvi menghentikannya.
"Tunggu Cla! Biar aku temenin." Kalvi menutup kotak milik Alyssa yang sudah kosong. "Thanks ya, Sa. Besok tukeran bekel lagi, ya?" Kalvi mengembalikan letak kursinya. "Kalo lo udah selesai makan, taro aja kotaknya di laci gue. Bye, Sa" Kalvi berlari ketempat Clarissa dan merangkul pundak gadis itu.
Alyssa menutup kotak milik Kalvi yang belum ia sentuh dan meletakkannya di dalam laci meja disampingnya. Ia tidak tahu kenapa dia merasa kesal sekarang.
[.]
Setelah pagar rumah yang tinggi menjulang itu dibukakan oleh Pak Kamto-–ia melihat namanya di name tag di baju bapak itu--Alyssa terlihat kagum dengan kediaman Kalvi Dirgantara kendati dirinya tahu bahwa temannya suatu saat nanti pasti akan menjadi dirut di perusahaan ayahnya.
Seseorang membukakan pintu. Dari pakaiannya, sepertinya orang di hadapannya ini adalah pembantu di rumah ini. Namun, jika dilihat dari wajahnya, orang orang mungkin mengira dia adalah turis yang numpang menginap dirumah Kalvi, atau client ayahnya yang menginap di sini karena ingin melakukan pendekatan dengan ayah Kalvi.
Ah, Alyssa tahu. Mungkin ini adalah pembantu Kalvi yang dari Jepang itu.
"Cari siapa?" Alyssa benar. Gaya bicara berbahasa Indonesianya kedengaran aneh.
"Saya mau cari Kalvi."
Tanpa berkata-kata, pembantu dari Jepang ini mempersilakan Alyssa masuk dan memberitahu letak kamar Kalvi.
"Kalvi." Alyssa mengetuk pintu kamar yang ditempeli stiker Transformer yang sudah kusam. Pintu terbuka, menampilkan sosok Kalvi yang terlihat err . . . kacau?
"Eh, Sa. Ngapain kesini? Masuk dulu deh." Kalvi menarik tangan Alyssa dan mendudukkan gadis itu di sofa kamarnya.
"Lo kemana aja? Kok tiga hari nggak masuk sekolah? Ini keliatannya baik-baik aja." Ia bohong. Alyssa tahu Kalvi terlihat tidak baik sekarang.
"Gue kesini mau diskusi tentang tugas akhir senbud." Alyssa bohong lagi. Sebenarnya ia sengaja meminta alamat Kalvi untuk melihat keadaan laki-laki itu. Ia tidak bisa berbohong dan berkata ia tidak khawatir dengan teman yang duduk disampingnya itu.
"Baik apanya? Lo nggak liat gue berantakan gini?"
"Sebenernya sih iya, berantakan banget. Tapi kenapa?"
"Gue sama Rissa putus, Sa."
"Oh, gara-gara Rissa, ya?" Tidak bisa dipungkiri bahwa Alyssa mendapati dirinya sedikit senang. Namun juga kesal kenapa Kalvi harus seberantakan ini cuman karena putus sama Rissa? Untuk menunjukkan sedikit keprihatinannya, Alyssa bertanya. "Kok bisa?"
Kalvi mengacak-acak rambutnya, terlihat frustasi. "Gue juga nggak tau, Sa. Gue ngerasa nggak ada yang salah, tapi tiba-tiba dia mutusin gue. Tanpa penjelasan pula." Nada bicaranya berapi-api karena sangat kesal.
"Ya udah lah, ngapain galau diputusin pacar," ujar Alyssa menghibur Kalvi "mending lo galauin gue yang nggak tau harus ngapain buat tugas senbud. Nilai akhir semester kita loh ini"
"Kan udah gue bilang, lo nyanyi, gue main gitar," ucap Kalvi simpel.
Belum sempat Alyssa memprotes, tiba-tiba pintu kamar Kalvi terbuka. Pembantu dari Jepang itu membawa minuman dan beberapa kue untuk disajikan pada mereka. Setelah itu dia keluar tanpa mengatakan apa-apa.
"Eh, Kal. Itu pembantu lo yang dari Jepang itu ya?"
"Iya, emang kenapa? Cantik, kan?"
"Cantik sih, nemu dimana?"
"Nggak tau. Bonyok yang nyari." Kemudian Kalvi berjalan ke arah lemari dan mengambil gitar yang tersimpan di baliknya. Setelah membersihkan debu yang mengumpul di badan gitar, Kalvi duduk bersila di atas kasurnya.
"Temenin gue ngegalau ya, Sa?"
[.]
"Yakin nggak mau gue anter?" Kalvi bertanya untuk yang keempat kalinya pada Alyssa.
"Ngeyel banget sih lo, Kal. Udah dibilang nggak usah juga." Alyssa berdiri setelah memasang sepatunya. "Ortu lo mana? Gue mau pamit."
"Mereka nggak dirumah. Jarang pulang, macem Bang Toyib." Kalvi tersenyum hambar.
"Jadi lo tinggal sendiri? Di rumah segede gini?"
Kalvi mengangguk. "Pembantu nggak diitung ya." Setelahnya, Kalvi terkekeh. Lalu saat suasana menjadi canggung.
"I'm sorry."
"No problem. Gue udah biasa kok. Karena udah terbiasa banget, jadi berasa nggak punya orang tua." Kalvi tergelak, namun Alyssa tau Kalvi sedang berusaha untuk tidak menangis. Atau setidaknya terlihat sedih. "Udah sana pulang. Ntar kemaleman kena marah lagi sama bonyok lo."
"Ya udah kalo gitu gue pulang ya, Kal."
"Yoi. Ati-ati, Sa"
Setelah mendengar pintu rumah Kalvi ditutup, Alyssa menghentikan langkahnya. Ia menatap rumah besar itu dengan iba. Bukan pada rumahnya, namun pada pemiliknya.
[.]
Kalvi: udh nyampe rumah?
Alyssa: Udh dr td kal
Alyssa: Knp?
Kalvi: gak knp2
Kalvi: cuma mastiin kalo lo nyampe rumah dg selamat
Alyssa: Tenang aj
Alyssa: Gue selamat kok
Kalvi: ya udh. gut night yeaa
Alyssa: Gut night too
Alyssa tidak bisa berhenti tersenyum sejak ia sampai di rumah. Pikirannya melayang ke kejadian siang tadi, ditambah dengan SMS dari Kalvi saat ia selesai mandi.
Saat Kalvi mengajaknya galau bareng, Alyssa menyetujuinya namun memberikan syarat.
"Temenin gue ngegalau ya, Sa?"
"Nggak mau, ah. Buat apa gue nemenin lo ngegalau? Galauin cewek pula. Sorry, gue masih normal dan masih menyukai lawan jenis." Alyssa mengangkat tangan tanda tidak setuju.
"Ya elah, lo kan temen gue, Sa. Masa nggak mau bantuin temen sendiri sih?"
Alyssa berpikir sejenak. "Ya udah, kalo gitu gue temenin lo sekarang tapi janji nggak galau lagi. Oke?"
"Deal!" Kalvi mengaitkan jari kelingkingnya di jari kelingking Alyssa.
Sekitar tiga jam Alyssa berada di rumah Kalvi. Mulai dari nyanyi bareng, bercerita tentang masa kecil sampai memikirkan kemungkinan-kemungkinan tentang di mana ayah Kalvi menemukan pembantu dari Jepang itu.
Menghabiskan waktu bersama Kalvi cukup lama, Alyssa jadi mengetahui beberapa hal tentang Kalvi.
Laki-laki itu selalu mengacak-acak rambutnya saat frustasi.
Kalvi selalu bermain gitar saat dia sedih.
Orang tua Kalvi tidak bangga dengan prestasi Kalvi di bidang apapun kecuali akademik.
Dan Alyssa menemukan perbedaan antara Kalvi yang di sekolah dengan Kalvi yang ada dirumah. Di sekolah, Kalvi seperti sedang memakai topeng ceria dan konyol. Di rumah, Kalvi terlihat kesepian. Apalagi saat ia melihat ekspresi yang dikeluarkan Kalvi saat berbicara tentang orang tuanya, walaupun hanya sekelebat.
Alyssa menatap langit-langit kamarnya. "Kal, kalau di depanku, kamu mau nggak lepasin topengmu? Kamu pasti lebih tampan kalo buka topeng." Ia menggumam sebelum akhirnya kehilangan kesadaran menuju alam mimpi.
[.]
Kalvi sampai di kelas tepat setelah Alyssa selesai bernyanyi. Gadis itu tersenyum dan membungkukkan badannya sebelum kembali ke bangkunya. Kalvi berjalan menghampiri Alyssa di bangkunya, harap-harap cemas gadis itu marah padanya karena ia terlambat. Terlebih lagi, alasan keterlambatannya karena menemani Rissa di UKS yang sempat pingsan saat upacara. Alyssa tidak suka ia berpacaran dengan Rissa untuk alasan yang Kalvi tidak ketahui.
"Hai Kalvi." Alyssa tersenyum ketika pemilik bangku disampingnya sudah disana. "Maaf ya, gue tampil duluan. Soalnya yang lain bil–"
"Lo nggak marah, Sa?" potong Kalvi. Melihat Alyssa yang hanya menyapanya dengan santai tanpa mencak-mencak seperti biasa adalah suatu keanehan baginya. Mungkin saja gadis sekarang sedang menjadi sebuah bom. Yang tiba tiba DUAR! meledak begitu saja sebelum ia mempersiapkan diri.
"Ngapain marah? Gue bersyukur kali lo nggak ada. Jadi gue nggak perlu takut lo ngetawain gue." Alyssa terkekeh. "Santai, bro." Kemudian ia menepuk pundak Kalvi dua kali.
"Tapi ntar lo tampil sendiri, ya?"
Alis Kalvi bertaut, bagaimana bisa? "Kalo gue tetep tampil sendirian, buat apa kita latihan satu minggu penuh? Nggak capek lo latihan tapi nggak jadi tampil?"
"Kan gue udah tampil, bego." Alyssa menoyor pelipis Kalvi. "Pak, Kalvi belum tampil nih!" Alyssa berteriak jahil sebelum Kalvi sempat menutup mulutnya.
"Ah iya, Kalvi! Giliranmu," kata Pak Boy tegas.
Bahu Kalvi mengendur. Sebelum berjalan ke depan kelas, Alyssa mendengar Kalvi menggumam yang membuatnya ingin tertawa. "Sialan lo, Sa."
Kalvi mengambil gitarnya dan duduk di samping Pak Boy. Ketika ia mulai memetik gitarnya, Alyssa benar-benar tidak melewatkan sedetikpun pemandangan itu. Tidak ingin mengalihkan pandangannya dari laki-laki itu.
Lagu itu. 'Catching Feelings' milik Justin Bieber, salah satu lagu yang mereka nyanyikan saat menemani Kalvi bergalau ria. Lagu itu membuatnya tersenyum sambil mengingat hal gila yang mereka lakukan saat itu.
Tidak seperti waktu itu-–mereka menyanyikannya dengan tidak serius dan setengah berteriak untuk menghilangkan frustasi--Kalvi menyanyikan lagu ini dengan sangat baik. Begitu indah sampai di gendang telinga Alyssa. Kemudian Alyssa mengambil selembar sticky note dari dalam kotak pensilnya, menuliskan sesuatu menggunakan pena biru-–warna kesukaan Kalvi--dan menempelkannya sudut meja Kalvi.
Kal, aku pengen berenti jadi cewek normal. Boleh?
Alyssa ingin berdamai dengan hatinya dengan mengaku kalau ia menyukai Kalvi.
***
"Lo tu aneh tau, Al? Di sekolah ini, nggak ada cewek yang nggak suka sama Kalvi. Seenggaknya nggak sampe ke taraf benci. Yang ada mereka seneng kalo diganggu atau dideketin sama Kalvi, bukannya mencak-mencak nggak jelas kayak lo." Daffa meneguk minuman isotoniknya hingga setengah.
Alyssa memandang Kalvi yang saat itu sedang menggiring bola di lapangan. Tidak seperti biasanya, Kalvi terlihat serius. "Justru gue merasa normal dengan nggak suka Kalvi, Daf. Orang-orang yang suka sama Kalvi itu cuman liat tampang doang. Atau nggak, numpang eksis. Gue nggak suka dia karena kepribadiannya. Dan yang suka sama dia nggak tau gimana kepribadian dia."
Keduanya terdiam. Setelah Daffa menyelesaikan tegukan terakhir, dia berujar, "Ati-ati, Al. Ini masih awal semester satu. Ntar lo kena karma loh. Bilangnya sekarang nggak suka, nanti pas semester dua akhir berharap nggak pisah kelas sama Kalvi."
Alyssa tertawa. "Ngawur lo, Daf. Nggak mungkin banget lah."
•••
wow. bukan cuma gue kan yang ngerasa di'wow'in sama tulisan kansaws di atas? gila, gue pas pertama baca ini langsung mikir, "wah, ini kalvinya dapet banget. bener-bener kerasa deskripsi baik-baik-bajingannya."
i love how you pay attention to the details, Kan. dari mulai kalvi selalu manggil alyssa sa, bukan al, dan bukan lyss kayak temen-temennya; kalimat-kalimat alyssa yang ada di drafts; sampe yang kecil banget (but speaks so much about their personality) kayak alyssa manggil orang tua 'ortu' sedangkan kalvi manggil 'bonyok'. karakter mereka hidup banget di atas, dan bener-bener mirip sama yang ada di Sincerely, Alyssa. i am impressed.
ada beberapa kesalahan EyD yang udah gue revisi di atas. mulai dari kata depan di, imbuhan se-, sampe tanda koma sama titik. tapi apa daya, kalvinya udah terlanjur bikin gue nggak bisa move on. makanya, kamu yang menang #SAoneshot kali ini.
•••
JUARA 2:
calladaiva punya kamu juga bagus banget. ceritanya rapi (aku nggak nemu salah EyD) dan baper parah. endingnya bikin aku kaget karena aku nggak kepikiran sampe sana. apalagi alur mundurnya, aku suka banget. kayak di cerita-cerita dongeng gitu. kalo ada yang pengen liat rama di cerita sincerely, alyssa, pasti suka sama cerita berjudul Kalisa ini cx (sop iler guise)
•••
JUARA 3:
cindyhs yours is also really cool. endingnya implisit tapi realistis. ada kesalahan EyD yang kurang lebih sama kayak cerita May I. tapi aku bisa kenalan sama karakter Dhea yang ternyata agak-agak mirip tante-tante arisan, ya? hahaha
•••
JUARA FAVORIT:
wicksn mail, kamu teh bisa pisan. aku ketawa loh bacanya. alyssa sama kalvi jaman baheula jadi orang sunda? main bola rame-rame terus jadi temen kecil? lucu banget. aku malah jadi penasaran sama masa kecil mereka :_)
•••
buat yang namanya nggak ada di atas, jangan sedih. siapa tau nanti bisa ikutan lagi one-shot ginian buat cerita uhm ... FL? tapi nggak janji hehehe. btw maaf ya yang udah nungguin cerita itu, gue harus baca ulang sebentar karena udah lama banget nggak ngelanjutin. doain bisa tamat bulan depan :')
terima kasih semuanya yang udah baca sincerely alyssa dan udah ikutan one shot! i luv u guys so much <3
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top