5th: B E T O N Y

Sayang aku gak? Sayang gak sayang harus sayang :") Abaikan Typo kalo sayang ya :**

HAPPY READING^^

.

Hujan kembali mengguyur kota dengan semangat yang menggebu. Debit airnya turun deras menghantam jalanan dan atap-atap rumah mau pun gedung. Atau bahkan payung-payung kecil yang memenuhi trotoar yang lumayan lebar tersebut.

Di antara kumpulan payung itu terlihat satu payung yang memakan tempat. Payung tersebut berjalan lebih cepat dari pada payung lain. Itu Wonho. Yang tengah beradu cepat dengan dinginnya suhu udara untuk mencapai apotik di blok depan. Terlihat juga lipatan kertas tersemat dalam genggaman eratnya.

"Hosh.. Hosh..."

Sembari mengatur napas Wonho melangkah masuk apotik. Dengan berbekal catatan kecil dari dr. Son ia memberitahukan obat apa yang tengah ia cari. Tentu tak lain adalah obat yang dapat memperkuat imunitas Hyungwon.

"Permisi, apakah obat ini tersedia disini?" tanyanya.

Nampaknya obat yang dicari Wonho sedikit langka dan sulit dicari. Buktinya sudah beberapa apotik ia singgahi namun tak mendapatkan obat yang ia inginkan. Dalam benaknya ia sudah pesimis lantaran berulang kali gagal sebelumnya. Dan lagi ia sudah lelah berlarian mengitari tikungan kota.

"Tunggu sebentar, akan saya ambilkan."

Helaan napas lega meluncur dari bibir Wonho. Ia bersandar pada dinding meja kasir guna mengistirahatkan kakinya dan menunggu obatnya.

"Hoi~ Hoi~ Wonho~"

Wonho tersentak kaget menyadari sesorang menginterupsinya dari belakang. Ia pun berbalik dan mendapati sosok Taehyung lengkap dengan cengirannya. Masih dengan keterkejutannya Wonho mengacungkan jarinya. Menunjuk wajah Taehyung penuh tanya.

"Kau.. Apa yang kau lakukan disini?"

"Hehe, sebut saja kerja part time sebagai kasir." jawab Taehyung singkat.

Wonho berdecak dan kembali membalikkan badannya untuk bersandar. Menunggu dengan santai obat yang ia inginkan dan mengabaikan salah satu kawan cerewetnya ini.

"Obat apa yang kau cari?" tanya Taehyung.

"Bukan urusanmu."

Wonho yang selalu bersikap dingin di depan umum tak pernah membuat Taehyung menyerah. Bahkan kebanyakan mereka yang berteman dengan Wonho pasti memiliki ambisi untuk meruntuhkan dinding kedinginannya.

"Untuk Hyungwon ya? Hei, kemarin dokter bilang dia sakit apa?" tanya Taehyung antusias.

Ia bahkan menaiki meja kasir untuk sekedar bertatapan dengan Wonho. Benarkan? Mereka sangat suka menggoda Wonho. Tapi apa jawaban Wonho atas pertanyaan ringan itu?

"Kau tak perlu tahu."

Taehyung tersenyum lantas memutar tubuhnya. Melompat turun tepat dihadapan Wonho.

"Baiklah, akan ku cari tahu sendiri." ujarnya.

Wonho menggeleng lemah sambil memegangi kepalanya yang mendadak pusing karena ulah anak ini. Ia berpaling membelakangi Taehyung. Beberapa saat kemudian nuna yang mengambilkan obatnya pun datang.

"Taehyung, sedang apa kau disitu?" tegurnya.

"Eh? Maaf."

Segera Taehyung kembali ke asalnya. Menerima pesanan Wonho dan terlibat pembayaran kecil dengannya. Tapi ketika melihat obat apa yang dibeli Wonho, Taehyung terkejut. Membolak-balikkan bungkusnya seolah memastikan analisisnya salah.

"Kenapa kau membeli obat seperti ini? Jangan bilang kalau Hyungwon..."

"Ish! Jangan asal bicara. Obat ini untukku sendiri." ujar Wonho sembari merebut kasar bungkusan obatnya lalu meninggalkan apotik tersebut.

Taehyung terdiam menyadari Wonho terlihat panik. Sebagai seseorang yang setahun bekerja di apotik ia tentu mampu menganalisis obat dan penyakit yang setara. Dan apa itu tadi? Wonho membeli obat peningkat imunitas yang berdosis tinggi. Jangan tanyakan betapa terkejutnya dia. Sejauh yang ia ketahui, vitamin semacam itu biasa dikonsumsi bagi mereka yang memiliki kekebalan tubuh sangat rendah. Hal itu hanya berarti satu hal; AIDS.

Sekarang tinggalkan Taehyung dengan segala renungannya. Beralih pada Wonho yang melupakan payungnya dan berlari cepat menembus hujan.

Terkaan Taehyung yang seratus persen benar itu sedikit membuatnya takut. Bagaimana kalau Taehyung menanyakannya pada Hyungwon? Semua akan berantakan. Hyungwon akan mengetahui kebenaran yang ia sembunyikan.

***

[Wonho pov]

Clek!

"Hosh.. Hosh..."

Napasku terengah-engah begitu sampai dirumah. Bajuku sudah basah kuyup total. Ku yakini suhu tubuhku menurun drastis lantaran menghadapi hujan dimusim dingin.

Aku kedinginan hebat. Namun tak ada keinginan dariku untuk segera melepas bajuku seperti biasa. Sepertinya membanting tubuhku dilantai akan lebih menarik. Terkapar.

Tap!

Tap!

"Dari mana kau?"

Aku diam mengatur napas sebelum menjawab ocehan ayah. Bertahan pada posisi ini meskipun tatapan mengintimidasi dari ayah begitu tajam menusuk. Aku paham arti tatapan itu. Ia tak pernah suka jika aku dan Hyungwon terpisah. Aku jadi merasa bahwa ayah menginginkan hubungan kami benar-benar nyata.

Lelaki paruh baya itu sendiri kini tengah menenteng selimut tebal ditangannya. Berjalan memasuki ruang tengah dan menyelimuti seseorang yang tertidur di sofa. Kemudian duduk dibawahnya menyemil sambil menikmati tayangan televisi.

Aku melongok kedalam. Itu Hyungwon. Meringkuk dan tertidur pulas. Pastilah lelaki manis itu menungguku tadi. Karena sebelumnya aku sempat melarang Hyungwon untuk ikut. Tentu aku tak ingin dia kelelahan. Terlepas dari itu, aku tak ingin Hyungwon tau obat apa yang aku beli. Tidak secepat ini ku biarkan Hyungwon mengetahui keadaannya.

"Dari apotik." jawabku dalam selang waktu terbilang lama.

"Apotik?"

Ayah menatapku heran yang kurespon dengan tatapan heran yang serupa. Memangnya salah jika aku pergi ke apotik?

Aku bangkit tanpa menjawab pertanyaan ayah. Melangkahkan kaki menghapiri Hyungwon kemudian mengangkatnya. Memindahkannya ke kamar.

PUK!

Eh, plastik obatku terjatuh. Posisiku saat ini cukup menyulitkan tubuhku untuk membungkuk. Karena apabila satu tanganku terlepasmaka Hyungwon akan jatuh.

SRET!

Aku mendongak. Baru saja aku berjongkok hendak mengambil bungkusan itu. Namun gerakanku sedikit lebih lambat dari ayah. Sial! Nampaknya ayah mulai curiga. Dapat kulihat dari caranya terkejut dan sorot matanya yang tak biasa.

"Jelaskan!"

Aku bungkam. Menatap ayah dengan dada sedikit bergetar. Tak pernah ku dapati ayah melemparkan tatapan mengintimidasi setajam itu kepadaku.

"Katakan! Apa penyakit yang diderita Hyungwon!" bentaknya.

"Ulkus."

"Kau pikir aku sudah tua untuk mengingat apa ini!" pekiknya mengacungkan bungkusanku.

".. dan HIV." lanjutku lirih.

Mau dikatakan seperti apapun kenyataan itu tetap sangat menyakitiku. Sulit sekali mengatakannya meskipun hanya sekedar huruf H, I danV. Karena aku tak pernah rela mengucapkan itu.

"Kenapa kau tak bilang?"

"........"

"Kau pikir bisa menanganinya sendirian huh?"

"......."

"HIV bukan penyakit sepele Wonho!"

Tes..

"AKU TAU! Berhenti menceramahiku. Aku tau apa yang kulakukan"

Tes..

"Aku hanya ingin Hyungwon menikmati hidupnya dengan tenang."

Tes..

"Tanpa harus terbebani oleh penyakitnya."

Sial! Aku terisak. Tak bisa menahannya lebih lama. Terakhiraku menangis adalah hari dimana aku menerima hasil tes penyakit Hyungwon. Dan sejak saat itu aku terus tersenyum. Tepatnya berusaha tetap tersenyum.

PLAK!

Ayah menamparku keras. Boleh dibilang aku sangat terkejut. Tak pernah lelaki aneh yang hidup puluhan tahun bersama ku ini berlaku kasar.Apalagi denganku. Semarah itukah?

"Bodoh! Aku tidak mencari uang untuk kematian Hyungwon! Aku mencari uang untuk kesembuhannya. Jangan pernah sekali pun mengatakan anak bungsuku akan mati secepat itu!."

Aku membeku. Tubuhku bergetar mendengar penuturan dariayah. Benar, Hyungwon tak boleh mati secepat itu.

"Jangan berpikir menangani ini sendirian Shin Wonho. Kau masih punya ayah yang mau membantumu."

Demi apa pun kata-kata ayah sangat menyentuhku. Aku semakin tak bisa menahan air mataku yang terus menerus mengucur keluar.

PUK!

"Semoga kau tidak berakhir sama dengan ku, Wonho."

Ayah menepuk kepalaku dan mengusapnya lembut. Tersentak. Aku baru mengingatnya. Masa lalu ayah yang pahit. Ditinggalkan oleh seseorang yang sangat ia cintai hingga tak mampu membuka hatinya lagi untuk orang lain. Termasuk Mama. Dia lelaki yang hebat tapi juga menyedihkan secara bersamaan.

***

Hyungwon melenguh kecil pertanda hendak bangkit dari alam bawah sadarnya. Matanya yang belum bisa membuka lebar tampak sesekalimengerjap. Menyesuaikan cahaya yang mampu diterima oleh pupil matanya.

Saat itulah ia baru menyadari. Seluruh tubuhnya terasa hangat. Tentu saja karena seseorang memeluknya dengan erat. Siapa lagi kalau bukanWonho. Saudara yang ia cintai secara berlebihan.

"Hyung~"

Hyungwon berbisik halus lantaran tak bisa melepaskan diri. Sebenarnya ia tak tega membangunkan Wonho. Tapi mau bagaimana lagi, ia memang tak biasa bangun siang. Lelaki yang disiplin.

"Hmm??"

Akhirnya Wonho merespon. Ia melonggarkan pelukannya dan menyesuaikan diri. Menguap lebar sembari merenggangkan otot tubuhnya.

"Selamat pagi~" serunya.

Hyungwon duduk manis sembari memperhatikan Wonho. Tersenyum penuh arti kearah lelaki itu. Meski pun jika diamati lebih dalam, akan sulit mencari arti sesungguhnya dari senyuman tersebut.

"Apa?" tanya Wonho merasa diperhatikan.

"Hhmm.. Hyung tampan." jawab Hyungwon dengan senyuman manisnya.

Seketika semburat merah muncul di wajah Wonho. Tapi bukan Top profesional namanya kalau tidak bisa menyembunyikan itu.

SRET!

"Benarkah? Setampan apa?" goda Wonho sambil mendekatkan wajahnya.

Hyungwon membeku dengan tatapan nakal Wonho. Bahkan lelaki itu menjulurkan tangan dan menoel dagunya membuat dirinya semakin kaku. Hyungwon terpancing dalam permainan Wonho. Tapi bukan Hyungwon namanya jika menolak umpan semanis itu.

SRAK!

Hyungwon menyingkap selimut yang menutupi tubuhnya dan Wonho. Melompat dalam pangkuan Wonho dan mengalungkan lengannya. Saking terkejutnya Wonho hampir terbanting ke kasur karena keagresifan Hyungwon. Tapi saat berikutnya dia sendiri yang kualahan karena tak bisa menahan keinginannya untuk melahap makhluk manis dipangkuannya.

"Hei, tatapan apa itu?" pancing Hyungwon.

"Tatapan bernafsu. Kurasa."

"Mau tunjukkan seberapa besar nafsu mu?"

Wonho tersenyum mendapat sinyal positif dari Hyungwon. Ia menarik Hyungwon semakin dekat hingga dada mereka menempel sekarang.

"Kau ingin tahu?"

Hyungwon memanyunkan bibirnya tak sabar. Baginya Wonho terlalu banyak mengulur waktu. Sebentar lagi ayah mereka pasti akan segera menggedor pintu.

CHU~

"Jangan memonyongkan bibirmu seperti itu."

"Eee~ kau curang!"

Wonho terkekeh melihat betapa manisnya adiknya ini. Hingga dalam waktu yang tak berselang lama ia sudah kembali menyambar bibir Hyungwon. Kali ini bukan kecupan singkat seperti sebelumnya karena Hyungwon tampak sangat agresif pagi ini. Ia tak membiarkan Wonho lepas.

Tes..

"Hyungwon?"

Wonho melepas tautannya ketika merasakan cairan asinmenyentuh indra perasanya. Menangkup wajah Hyungwon yang entah sejak kapan sudah basah dan menatapnya intens.

"Ada apa? Kau merasakan sakit lagi?" paniknya.

Tapi Wonho tak ingin cerewet soal ini. Memilih diam dan membiarkan Hyungwon menangis sesukanya. Biarkan dia tenang terlebih dahulu.

"Aku benci..." lirih Hyungwon.

"Benci.. Apa?"

"Ciumanmu." ujarnya lagi.

Wonho tertegun lama. Menatap Hyungwon tanpa ekspresi. Bahkan sejujurnya otak Wonho sudah kosong sekarang. Makanya tak ada ekspresi apapun yang mampu di gambarkan lelaki itu.

"Aku benci ciuman Wonho...... karena itu sangat manis."

"E-eh?"

"Aku benci ciumanmu karena aku selalu menginginkannya lagi."

Seolah mendapat pencerahan tiba-tiba bersamaan dengan jatuhnya besi sepuluh kilogram menghantam kepalanya, Wonho bisu. Tadinya iasudah benar-benar diujung harapannya ketika dikelilingi badai. Namun tiba-tiba angin sejuk dari Hyungwon mendorongnya untuk tersenyum. Dan yahh, menangis.

"Bodoh! Kenapa kau ikut menangis! Harusnya kau menenangkanku!" cibir Hyungwon.

"Aku.. Senang!! Hyungwon, aku mencintaimu!" pekik Wonho dan memeluk Hyungwon erat.

Hyungwon yang tadinya terheran mulai mengerti jalan berpikir Wonho. Ia mengulurkan tangannya untuk membalas pelukan tersebut. Dan sepertinya posisi ini akan bertahan lama mengingat tak satu pun dari mereka berdua yang menginginkan sentuhan hangat ini terlepas.

"Hyung..."

"Heung?"

"Aku juga—mencintaimu."

"Tanpa kau katakan aku juga sudah tahu."

"Kalau begitu tidak jadi."

"Apa maksudmu?"

Hyungwon mengeratkan pelukannya. Posisinya yang berada dipangkuan Wonho membuat tubuhnya sedikit lebih tinggi. Hal itu mengakibatkan Wonho tenggelam lebih dalam pada ceruk leher Hyungwon.

Sepertinya hal itu dimanfaatkan dengan baik oleh pemilik seringaian terbaik itu. Dengan jail Wonho mengecupi kulit polos leher Hyungwon. Sesekali menjulurkan lidahnya membuat permukaan itu basah.

"Akh! Hyung....Hen-tikan."

Meski pun mencibir, Hyungwon justru tampak lebih menikmatinya dibanding Wonho. Ia mencengkram kuat punggung Wonho. Otomatis Wonho tak akan punya celah untuk lepas dan menghentikan aktivitasnya.

Wow! Sebagai bottom, Hyungwon terlalu pervert.

BRAK!

"Hei! Hei! Hei! Hyungwon, Kau mau ke sekolah dengan bercak merah dimana-mana? Kau juga Wonho, jangan mempermalukan adikmu."

Orang ketiga sudah datang. Tandanya mereka harus mengakhirinya sekarang. Tapi lihatlah mereka berdua. Tatapan macam apa itu? Semacam tatapan membunuh kah? Hoi, kalian tidak boleh membunuh ayah kalian tau!

"Kami akan segera keluar." ucap Hyungwon karena merasa terejek oleh ekspresi ayahnya.

"Hahaha.. Menyenangkan sekali mengganggu kedua bocahku bermesraan."

"PAPA!!" pekik mereka bersamaan.

"Hahaha.. Baiklah, Papa berangkat. Dan kau Wonho, jangan macam-macam. Ini masih pagi. Tahan sampai nanti malam. Huahahaha."

Dan begitu puas tertawa akhirnya ayah Hyungwon danWonho melangkah pergi. Berangkat pada pekerjaan baru yang ia geluti belakangan ini. Meninggalkan kedua anaknya yang sama-sama dalam mood berantakan.

"Dasar orang tua gila." keluh Wonho.

Hei, disini memang dia yang paling dirugikan bukan? Berhenti ditengah jalan padahal permainannya baru saja dimulai.

"Hahaha, kita beruntung memilikinya."

Hyungwon bangkit dari tubuh Wonho dan berjalan ke arah lemari. Mengambil seragam yang akan ia kenakan lalu melangkah keluar.

"Akh! Beruntung? Darimana untungnya!."

"Kita kan direstui."

Hyungwon menoleh singkat ke arah Wonho sebelum menghilang dari penglihatan kakaknya. Jangan lupakan senyum manisnya yang tak pernah tertinggal.

Wonho cemberut. Tampaknya ia masih tetap berantakan. Membaringkan tubuhnya kembali dan bersembunyi didalam selimut hangatnya. Menunggu Hyungwon mandi itu setara dengan tidur siangnya.

"Di restui? Hehh.. Bahkan aku tidak paham hubungan macam apa ini." gumamnya.

"Apa kami sepasang kekasih atau bukan. Yang jelas kami saling mencintai."

Wonho duduk bersandar. Ia tak bisa kembali terpejam. Lagi pula ini sudah cukup siang untuk tidur lagi. Memilih untuk menghabiskan waktunya dengan melamun.

"Hei, sampai kapan kau akan duduk manis disitu?" tegur Hyungwon yang melipat tangannya diambang pintu.

"Sampai kau menjemputku."

"Dasar." Hyungwon berbalik. "Cepat mandi, akan ku buatkan sarapan." lanjutnya.

Wonho tersenyum. Setidaknya mereka berdua memang baik-baik saja dengan hidupnya sejauh ini. Tapi akan sampai kapan semuanya berjalan seperti ini? Bahkan Wonho baru teringat lagi, dalam waktu yang bisa ia katakan singkat, Hyungwon pasti akan meninggalkannya.

"Sial! Bagaimana aku bisa hidup tanpa lelaki itu." gerutunya lalu bangkit. Menarik laci dan mengambil satu botol kosong dan mengisinya dengan obat yang ia beli kemarin malam. Setidaknya dengan ini Wonho bisa lebih lama mengulur waktu.

***

Wonho menatap ragu pada Hyungwon yang tengah menikmati sarapannya. Sejak hari dimana Hyungwon pulang dari rumah sakit, kondisinya jauh lebih baik. Ia tak pernah lagi mimisan atau muntah darah. Bahkan demam atau mual pun tak pernah. Wonho jadi takut memberikan obatnya.

"Eung.. Hyungwon."

"Ya?"

Wonho mendesah berat. Menggaruk kepalanya selagi ia menyusun kata-kata yang tepat. Yang tak akan menyinggung Hyungwon.

"Kau baik-baik saja 'kan?"

"Tentu."

Hyungwon meletakkan sumpitnya. Nampaknya ia menyadari gelagat Wonho yang sedikit ganjal. Lelaki itu pun memberikan senyuman manisnya mengisyaratkan pada Wonho bahwa ia siap mendengarkan.

"Syukurlah."

"Hanya itu? Kupikir ada sesuatu yang penting." ucap lelaki itu kembali melanjutkan sarapannya.

Wonho menarik napas. "Aku membelikan vitamin untukmu." ujarnya ragu.

Hyungwon tertegun sejenak. Ia menatap Wonho penuh selidik. Lelaki itu menyadari bahwa kakaknya sangat menjaga intonasi bicaranya.

Hyungwon meraih botol kecil dari Wonho dan mengamatinya. Ia sedikit curiga lantaran tak ada label yang melingkupi botol itu.

"Vitamin apa ini?"

Wonho tersenyum tipis lantaran reaksi Hyungwon meleset dari dugaannya. Ia pikir Hyungwon akan mengintrogasinya lebih aneh dari ini.

"Untuk lambung mu. Kemarin aku memecahkan botol aslinya, jadi kusalin."

Hyungwon mengangguk mengerti. Meletakkan botol itu disampingnya dan melanjutkan sarapannya.

"Hyungwon, minum itu dua kali sehari. Jam delapan pagi dan lima sore."

Hyungwon menatap Wonho tajam. Lelaki praktis itu memang tak pernah suka makannya diganggu. Ditambah ucapan Wonho, ia tak suka sesuatu yang mengikat.

"Itu vitamin atau obat?" tudingnya sambil mengacungkan sumpitnya ke arah Wonho.

"Eee~ kurasa keduanya."

"Baiklah."

Hyungwon membuka botol tersebut dan mengambil satu butir sebelum kemudian menelannya. Sejujurnya Wonho sedikit terkejut adiknya ini akan sangat mudah menurut. Apalagi ia baru menyadari saat ini tepat pukul delapan pagi.

"Huft.. Baguslah." gumamnya.

Sesegera mungkin mereka berdua menyelesaikan makan dan berangkat bersama. Wonho masih sibuk memakai sepatu ketika Hyungwon sudah menunggunya di ambang pintu.

"Hyung." panggilnya lirih.

"Lambungku.. Eehh.. Aku.. Sakit apa?" lanjut Hyungwon ragu.

Wonho tersentak. Teringat kembali bahwa penyakit Hyungwon akan segera membawa perpisahan mereka. Tidak, Wonho memaksa untukmenghilangkan kata 'segera' dalam benaknya. Meskipun itu artinya membohongi dirinya sendiri.

"H-hyung?" ulang Hyungwon.

"Ulkus. Kau memiliki tukak lambung yang bisa dibilang sudah cukup parah." ucap Wonho sedih.

"Sudah separah apa?"

Hyungwon berjongkok di hadapan Wonho dan menatapnya menuntut. Lelaki itu tak cukup bodoh sebenarnya untuk mengerti raut tak menentu dari Wonho. Dia sedang dalam keadaan tidak baik. Itu pasti.

"Pokoknya jangan terlambat minum obat itu. Paham?"

Wonho berucap tegas lalu berdiri. Melangkah lebih dulu mendahului Hyungwon.

"Baiklah."

***

Kegiatan belajar mengajar si Hyungwon dan Wonho tetap berjalan lancar seperti biasanya. Keduanya tampak tenang seolah tak ada kejadian penting yang baru saja membuat keduanya menguras air mata. Semuanya aman terkendali.

Namun ditengah pelajaran tersebut, terlihat seorang lelaki yang duduk gelisah sambil sesekali melirik sepasang saudara itu. Taehyung, si penjaga apotik. Nampaknya ia masih memikirkan kejadian beberapa malam lalu ketika Wonho datang membeli obat. Sejujurnya ia ingin menanyakan secara langsung pada Hyungwon. Tapi niat itu batal begitu melihat keduanya baik-baik saja.

TET!

Jam pelajaran pertama berakhir. Digantikan oleh jam berikutnya, yaitu olah raga. Sepertinya bukan hal baru lagi jika dalam cerita semacam ini pelajaran olah raga selalu ikut ambil bagian. Lagi pula sayang sekali jika cerita sepele yang terjadi di lapangan olah raga dilewatkan.

Para siswa tampak bergegas keluar kelas. Beberapa sudah menenteng kaos olah raga masing-masing. Sebagian lagi tengah mengganti sepatu mereka. Tapi ada juga yang masih santai tak melakukan apa-apa, seperti Wonho misalnya. Ia sibuk dengan acara mengantuknya.

"Hei, nanti kita akan bermain sepak bola. Bagaimana jika kita satu tim?"

Kihyun membalik duduknya dan mulai mengoceh ke arah Hyungwon. Sementara itu Taehyung yang berada disampingnya malah sibuk memperhatikan Wonho yang mulai merubah ekspresi wajahnya.

"Sepak bola? Baiklah, kita—"

"Tidak! Kau tidak boleh main." ujar Wonho dingin.

Seketika larangan Wonho yang disertai dengan nada membentak itu mengejutkan ketiga lelaki dihadapannya. Apalagi Hyungwon yang kata-katanya terpotong.

"Ke.. Kenapa? Hanya sepak bola kan."

"Tidak boleh."

"Hyung!"

"Ku bilang tidak! Jangan main-main dengan tubuhmu Shin Hyungwon!Kau itu mudah lelah!."

Wonho sebenarnya tidak tega membentak Hyungwon seperti ini. Tapi ia sendiri tidak bisa menahan atau sekedar memelankan intonasi suaranya. Tak mengerti kenapa dirinya begitu emosi.

"Tapi—"

"Apa kau tidak dengar Shin Hyungwon! Jangan main!" bentaknya untuk yang terakhir kalinya.

Wonho menolak untuk melanjutkan perdebatan. Melangkah cepat keluar kelas menuju lokernya dan mengambil kaos olah raga yang ia simpan disana.

BRAK!

Wonho memukul keras pintu lokernya. Meluapkan seluruhemosi yang terpendam dalam dirinya. Sebenarnya kenapa dia harus semarah itu, ia pun tak mengerti.

Sementara dikelas, Hyungwon tak hentinya menggerutu. Mengumpat Wonho sesukanya selagi lelaki itu tidak ada. Poor Hyungwon.

"Apa salahnya sih! Aku hanya ingin bermain dengan Kihyun."

"Sudahlah, aku tidak apa-apa."

"Heuh, itu kau! Tetap saja aku kesal. Wonho hyung terlalu membatasi pergerakanku. Aku tidak suka! Lelaki *sensor*!"

Kihyun hanya menggeleng pasrah menanggapi Hyungwon. Hal seperti ini sudah biasa mereka berdua lihat. Belakangan HyungWonho memang sering berdebat. Terutama semenjak Hyungwon mulai aktif dan tidak sering absen lagi. Lelaki itu selalu memaksa ini-itu dan Wonho juga selalu menolaknya. Lebih tepatnya melarang.

"Sudahlah, turuti saja apa kata kakakmu. Dia lebih tau segalanya." ujar Taehyung menenangkan.

"Jangan sok bijak, seolah kau tau hidupku." Cibir Hyungwon galak.

"Aku memang tahu." batin Taehyung tanpa berani mengucapkannya.

Saat ini mereka tengah berada dilapangan. Semua bermain kecuali Hyungwon dan Wonho. Setidaknya Wonho mengerti keadilan yang tak akan menyinggung adiknya, jadi ia memutuskan untuk sama-sama tidak menikmati pertandingan. Menemani Hyungwon yang sedang bad mood dibawah pohon pinggir lapangan.

GREP!

"Sedari tadi kau belum tersenyum." goda Wonho sambil memeluk Hyungwon.

"Menjauh dariku."

"Tidak mau. Aku sayang Hyungwon." manja Wonho.

"Hyung, ini disekolah."

"Memangnya aku peduli."

CHU~

Wonho mengecup singkat pipi Hyungwon yang langsung bersemu merah. Lelaki itu bahkan butuh waktu cukup lama untuk sadar dan memekik.

"SHIN WONHO!"

Mereka berdua terlalu asyik sendiri hingga tak menyadari seorang keeper tengah memperhatikan mereka. Taehyung, siapa lagi. Meskipun posisinya sebagai keeper tapi ia tak terfokus pada permainan. Melainkan pada dua bocah yang sedang berduaan tersebut.

"Taehyung!"

"Hah?!?"

SRAK!

"GOAL!!" seru separuh pemain.

Taehyung mendesah ringan menyadari kelengahannya. Ia kembali melirik ke arah dua lelaki sedarah yang masih tak beranjak. Tak terpengaruh oleh sorak sorai para pemain yang ribut. Tenggelam dalam dunia mereka sendiri.

"Semoga tidak apa-apa." gumamnya.

Kembali kepada HyungWonho. Saat ini Wonho tengah sibuk tertawa karena Hyungwon menggelitikinya. Rasa canggung yang melanda mereka beberapa saat lalu tiba-tiba sirna begitu saja.

"Ouch! Hentikan! Hahaha.. Hyungwon! Hahaha."

Hyungwon yang sedang sangat jail tak mau berhenti. Ia terus saja menggelitiki pinggang Wonho hingga tanpa sengaja lelaki itu menendang adiknya. Membuat Hyungwon terjungkal ke lapangan.

JDUAK!

"Ahh! Hyungwon!." panik Wonho melihat Hyungwon kesakitan.

Tapi diluar dugaannya, sebuah bola melayang cepat ke arahnya. Menghantam wajahnya hingga membuatnya terjatuh beberapa jengkal ke belakang. Belum lagi imbuhan sebuah tubrukan dari lelaki yang mengejar bola tersebut. Wonho terpental.

"Hyung!" pekik Hyungwon melihat Wonho tertindih lelaki yang menabraknya.

Sontak semua orang bergerumul. Karena nampaknya Wonho dalam keadaan yang tidak baik. Lelaki itu masih terduduk memegangi kepalanya. Padahal orang yang menubruknya sudah bangkit dan ikut berteriak panik.

"Hyung, kau tidak apa-apa?" ujar Hyungwon menggoyangkan tubuh Wonho.

"Ya. Hanya pusing."

Kepanikan Hyungwon sedikit reda. Ia membantu Wonho yang sedikit kesulitan berdiri. Sepertinya ia belum mendapatkan keseimbangannya.

Tapi belum sampai tegak ia berdiri, Wonho merasa tubuhnya begitu ringan. Seseorang memegangi badannya. Ia tak bisa berdiri. Matanya buram dan pusing. Tak mampu fokus hingga ia sadar dunianya sudah berubah gelap.

"Hyung!!"

Hyungwon semakin heboh mendapati Wonho pingsan. Panik. Seumur hidup baru kali ini ia tahu Wonho kehilangan kesadarannya. Bingung dengan tindakan apa yang harus ia lakukan.

"Bawa ke ruang kesehatan!" pekik seseorang yang langsung didengarkan.

Tubuh Wonho pun diangkat beramai-ramai oleh kawan-kawannya. Sementara Hyungwon hanya mengekor dengan segala kegelisahannya.

Segera setelah Wonho dibaringkan dan Lee Jooheon menghampirinya, para penolong itu pun bubar. Menyisakan Hyungwon, Kihyun dan Taehyung yang tetap tinggal.

"Hyungwon, bisa kita bicara?" bisik Taehyung pelan.

Hyungwon mengangguk. Menepuk bahu Kihyun lalu mengekori Taehyung keluar ruangan. Sejujurnya banyak tanda tanya dalam benaknya. Lelaki macam Taehyung sangat jarang berkomunikasi empat mata dengannya.

"Ada yang ingin ku tanyakan." mulainya.

Hyungwon mendengarkan. Satu persatu ia mulai menepis tebakan-tebakan yang ia anggap mustahil. Tapi bukannya menebak dengan hal baru, hal yang ia tepis itu justru lewat kembali.

"Sebenarnya yang punya HIV itu kau  atau Wonho?"

DEG

Tersentak. Tercekat. Dan membatu. Begitulah.

"Apa maksudmu?"

"Ya~ diantara kau dan Wonho, siapa yang AIDS?"

Hyungwon semakin kaku. HIV/AIDS? Siapa? Dirinya atauWonho? Entahlah. Ia sendiri bahkan tidak tahu salah satu dari mereka terjangkit.

"Ke—Kenapa.. Kau bertanya?"

"Wonho pernah membeli obat di apotik tempat aku bekerja. Ku pikir itu obat yang biasa dipakai pengidap HIV untuk meningkatkan imunitasnya." jelas Taehyung.

Bayangan Hyungwon melayang kemana-mana. Obat? Ia teringat botol yang diberikan Wonho. Tanpa label. Mungkinkah Wonho membohonginya bahwa itu bukanlah obat untuk lambungnya? Wonho menyembunyikan kenyataan yang sebenarnya dari dirinya.

Wonho hyung....

HIV/AIDS..

Aku?

.

TBC

.

Btw, up tiap hari ini keknya doh xD. Padahal lagi sibuk ngetik Extra Chapter buat Fucking Villain :") Bentar lagi jadi, heuheu~ Ngetik rate M JooKyun itu susah *gg

KOMENTARNYA SAYANKQ :**  


Sabtu [19:59]
Kalsel, 13 Mei 2017
Love,
B A B Y W O N

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top