::8 -Mengapa?-
بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
Sebelumnya aku pun pernah memaksa Tuhan untuk membuat hatimu bisa mencintaiku. Tapi aku pun sadar bahwa kebahagiaanmua ada bersama wanita lain. Mungkin aku pernah seegois itu untuk memiliku saat meminta takdir untuk menyerahkanmu padaku
🍁🍁🍁
Azia menginjakkan kaki di depan rumahnya. Saat itu bendera kuning juga berdiri di halaman, air mata Azia jatuh bertetesan, ini bukan sekadar mimpi. Ayahnya memang sudah pergi untuk selama-lamanya.
Kenangan semasa kecil saat bersama ayah berputar bagaikan kaset di benaknya. Azia sangat merasakan betapa hangatnya cinta yang Fatih berikan. Azia melangkahkan kaki dengan gontai, sementara itu Marvin hanya bisa mengikuti Azia dari belakang. Dilanglahkan kakinya masuk ke dalam rumah sambil mengucapkan salam. Di sana ia melihat Hanum duduk di atas sofa sambil memangku kepala Haura. Tercetak kesedihan yang mendalam antara keduanya, pemandangan ini amat menyiksa hati Azia.
"Bunda."
"Azia..." Hanum pun berdiri saat Haura bangkit dari pangkuannya, detik selanjutnya Hanum memeluk.tubuh putrinya.
"Bunda rindu sama, Azia."
"Azia juga, Bunda. Maafin Azia karena Azia nggak bisa pulang waktu ayah sakit." suara Azia serak.
"Tidak apa-apa, sayang. Ayah juga pasti mengerti."
Azia menganggukkkan kepala.
Hanum mengerutkan kening saat melihat Marvin yang berdiri di belakang putrinya.
"Azia, dia siapa?"
"Dia Marin, teman Azia di Cairo, Bunda. Dia yang antar Azia pulang ke Indonesia."
Hanum tersenyum menyambut kedatangan laki-laki berwajah tampan itu. Dari tatapannya saja Hanum bisa menyimpulkan kalau laki-laki bernama Marvin itu adalah pria yang baik. Buktinya Azia mau berteman dengannya.
Hanum sangat tahu bagaimana Azia. Ia tidak akan mungkin mau berteman dengam semabarangan orang, bukan berarti dia sombong, hanya saja Azia memang sangat membatasi dirinya.
"Terimakasih, nak Marvin sudah mau mengantar Azia pulang."
"Iya, Bunda." jawab Marvin singkat. Hanum tergelak, ia pikir Marvin tidak mengeri bahasa Indonesia. Tapi nyatanya Marvin paham apa yang dia katakan. Walau pun terdengar lucu saat mengucapkannya, seridaknya Hanum tidak bingung jika harus bicara dengan anak muda itu.
Haura hanya bisa diam di tempatnya. Ia terlalu banyak salah pada Azia. Lantas bagaimana dia harus menyapa? Semuanya terasa amat canggung dan hambar.
"Haura?" panggil Azia pelan. Di balik niqabnya Azia tersenyum saat melihat Haura begitu anggun dengan khimar yang ia pakai. Ternyata sekarang Haura sudah banyak berubah, tatapannya juga teduh dan tenang. Nyaman sekali Azia mematap manik mata itu.
Azia berjalan mendekati Haura, di peluknya Haura dengan penuh ke rinduan. Haura hanya bisa diam membiarkan tubuhnya di peluk sedemikian erat.
"Aku senang kamu mau berpakaian seperti ini."
Haura hanya tersenyum tipis, Azia melapaskan pelukan pada Haura.
Dari sekian banyak saudara tiri dan ibu tiri, mungkin jarang akan mendapatkan kakak dan ibu tiri yang baik.
Sesayang-sayangnya ibu tiri pada anak tirinya pasti tidak akan mengalahkan rasa sayangnya pada anak kandungnya sendiri. Tapi Hanum tidak seperti itu, dia benar-benar menyayangi Haura dan Azia sama rata. Begitupun dengan Azia. Dia sangat menyayangi Haura. Dari sekian banyak perempuan bergelar ibu, mungkin hanya keimanan yang kuat yang bisa mencintai dengan tulus seorang anak yang tidak lahir dari rahimnya.
Marvin terpana melihat pemandangan itu. Ia sudah mendegar cerita dari Safiya tentang adik tiri Azia yang katanya jahat. Tapi Azia tetap baik padanya. Rasa kagum Marvin pada Azia semakin bertambah. Hatinya begitu baik tanpa memiliki dendam pada orang yang pernah membencinya.
Ternyata memang benar apa yang dikatakan orang. Jika ada orang yang selalu menyakiti kita, tidak harus serta-merta dibalas dengan kejahatan pula.
Mungkin Marvin harus belajar lebih banyak tentang kesabaran dari Azia. Agar dia juga bisa memaafkan ibunya yang sejak dulu kurang perhatian dengannya.
"Bunda, aku boleh pinjam telepon? Aku mau memberi kabar pada orang tuaku bahwa aku telah sampai di Indonesia dengan selamat."
Hanum menganggukkan kepala, kemudian mengambil ponsel yang terletak di atas meja untuk diberikan kepada Marvin.
🍁🍁🍁
Embusan angin malam dari kafe Al-Fishawi yang tak jauh dari masjid Al-Azhar mengibarkan pasmina yang setengah menutup rambut Safiya. Kepergian Marvin ke Indonesia bersama Azia membuat hatinya terasa sepi. Ada yang tahu bagaimana perasaan Safiya? Jelas tidak akan ada yang tahu.
Di depan Marvin dan Azia ia seolah bersikap baik-baik saja. Seperti tidak terjadi apa-apa dengan hatinya.
Mungkin ini yang dinamakan cinta dalam diam, sakit sekali rasanya cinta yang tak terbalas.
Safiya yang lebih dulu mengenal Marvin, tapi di hati laki-laki itu ada nama wanita lain---sahabatnya sendiri.
Safiya tidak menyangka kalau Marvin akan jatuh cinta pada Azia secepat itu, tidak sedikitpun terlintas dibenaknya bahwa setelah mengenalkan kedua orang itu salah satunya akan jatuh cinta. Hatinya perih saat tahu kalau Marvin malah mencintai wanita yang baru ia kenal. Lebih mengenaskan Safiya harus berpura-pura mendukung perasaan Marvin pada Azia.
Langkah Safiya terhenti di pasar Khan Al Khalili. Bagunan bangunan kuno mencetak gang-gang sempit di sana. Safiya mengembuskan napas pelan. Sampai kapan ia harus bertahan dengan dramanya sendiri?
Tidak ada yang bisa Safiya lakukan selain diam menerima kenyataan yang pelik itu. Keraguan akan kejujuran yang Safiya takutnya. Ia tidak siap menerima kemarahan Marvin kala laki-laki itu tahu isi hatinya.
"Aku berterimakasih padamu, Safiya. Sudah mengenalkan Azia kepadaku. Kamu memang sahabat yang paling baik. Semoga kamu cepat menemukan pasangan." Marvin mencubit gemas pipi sebelah kiri Safiya. Safiya hanya tersenyum tipis. Ia hanya bisa menikmati momen seperti ini dalam hitungan detik saja. Di perlakukan seperti ini saja sebagai status sahabat setidaknya jauh lebih membuatnya bersyukur daripada tidak mendapatkan apa-apa.
"Aku rasa percuma deh, kalau laki-laki itu tidak peka."
"Kamu sedang mengatakan isi hatimu? Siapa laki-laki yang tidak peka itu? Ayo katakan. Nanti akan aku temui dia dan mengatakan kamau kamu menyukainya."
Safiya membulatkan kedua bola matanya. Kemudian memukul lengan Marvin kuat. Sayangnya bagi Marvin pukulan itu tidak berasa apa-apa.
"Kata siapa? Aku tidak menyukai siapa-siapa. Maksudku kalau tidak ada laki-laki yang peka percuma saja aku mengaguminya, kan."
"Itu artinya kamu yang harus menyatakan perasaan itu."
"Aku takut dia marah."
"Kenapa dia harus marah? Bagiku sah saja kalau ada yang menyatakan perasaan suka. Itu manusiawi dan juga hak setiap manusia."
"Sudalah Marvin. Kamu tidak akan mengerti."
"Baiklah, kalau kamu tidak mau aku bantu berarti kamu yang harus membantuku lebih keras. Aku ingin mendapatkan hati Azia. Mungkin aku bisa menggeser posisi calon suaminya itu. Aku akan memperlakukan dia dengan sangat baik."
"Hmm, baiklah."
Safiya mengapus air matanya. Mungkin selama beberapa hari ia harus meninggalkan Darrasah dan menenangkan diri di Asyir, tempat kediaman neneknya. Asalannya untuk fokus pada skripsi ternyata hanyalah sebuah alasan klise. Sebenarnya ia bisa ikut ke Indonesia menemani Azia. Sayangnya dia tidak siap jika mendengar Marvin benar-benar melamar Azia.
Safiya naik ke atas ke reta. Di dalam kereta ia juga merasa sepi. Semua orang sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ia benar benar sendiri dalam sepi.
Safiya mengambil ponselnya, ia memencet menu galery. Dilihatnya fotonya bersama Marvin yang diabadikan oleh Azia. Potretannya sangat bagus, seperti fotografer yang handal.
Hanya sekadar foto candaan saja. Safiya memperagakan kepalan tangan di depan wajah Marvin. Kala itu Marvin juga memasang ekspresi menggemaskan, wajahnya ciut seperti takut dengan bogeman yang diperlihatkan Safiya.
Safiya menggeser slide selanjutnya. Ia tergelak sendiri.Entah kenapa pose seperti ini bisa terjadi. Keranjang sampah menempel di kepala Marvin, sementara itu dirinya memegang sapu. Lumayan menghibur.
Tapi Safiya bisa apa? Itu hanya foto biasa. Setiap persahabatan juga akan ada seperti itu.
🍁🍁🍁
Haura merenung di tepian ranjang dengan keadaan mata sembap. Meratapi takdir yang menurutnya tidak adil. Kejadiaan naas yang menimpanya beriringan.dengan kepergian ayah tercinta. Haura benar-benar merasa sepi setelah kepergian Fatih---ayah tercinta--- yang selama ini suka ia lawan. Tak lama kemudian Haura mendengar suara pintu terbuka. Azia masuk ke dalam kamarnya.
"Apa kamu masih sedih dengan kepergian ayah?"
Haura menganggukkan kepala. Lagi-lagi kristal bening itu menggantung di pelupuk mata. Masalahnya terasa sangat berat.
"Aku jahat, Kak. Gara-gara aku, kita semua kehilangan ayah."
Haura menahan napas. Dadanya terasa sesak sakali.
Kalau seandainya dia mau mendengarkan perkataan ayahnya, pasti sampai saat ini ia tidak akan merasakan pedihnya kehilangan. Luka yang meninggalkan lubang amat dalam, tidak berarah tapi pedihnya luar biasa.
"Jangan berpikiran gitu, Haura. Bukan kita yang menentukan hidup dan matinya seseorang. Sakit yang dialami ayah bukan sebagai pnyebab meninggalnya ayah. Tanpa sakit pun ayah akan tetap meninggalkan kita semua, karena umur yang Allah kasih untuk ayah memang segitu. Awalnua emang terasa berat. Tap kita harus tetap ikhlas."
"Tapi tetap aja, Kak. Selama hidupnya, aku nggak pernah bikin ayah bangga. Dia cuma banga sama kakak."
"Kata siapa? Ayah bangga kok sama kamu. Coba kamu ingat-ingat, apa yang pernah kamu kasih ke ayah sampai ayah bangga?"
Bibir Haura bergetar, air mata kian deras membanjiri pipinya.
Perlahar Azia memeluk Haura penuh dengan kelembutan. Memberikan topangan dan kekuatan untuk sang adik. Ia tidak menyangka kalau Haura akan serapuh ini.
"Aku harus gimana lagi, Kak. Aku kangen sama ayah, aku pengen ketemu sama ayah." Isakan Hura semakin mengencang, bersamaan dengan pelukan Azia yang semakin erat.
"Kita salat, ya. Kita doain ayah."
Azia dan Haura pun salat berjamaah karena waktu Isa sudah masuk. Hanya ini jalan satu-satunya Haura untuk memeluk ayahnya dari jauh.
"Jika sekarang aku diberikan kesempatan untuk mendengar suaranya, aku akan memilih untuk mendengarkan teriakan suaranya saat memarahiku.
Tapi kini aku pun menyadari, bahwa setelah kepergiannya aku harus tetap menjadi gadis kecilnya yang kuat."
🍁🍁🍁
Bersambung
Kubang, 23 Rabiul Awal 1441 / 20 November 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top