::6 -Air Mata Seorang Ibu-


بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Di dalam ruangan berbau obat-obatan itu, Haura mengedarkan pandangan. Memandangi Hanum yang saat itu ada ketika pertama kali ketika ia membuka mata.  Haura tidak menyangka kalau saat ini ia masih bisa hidup dan bernapas dengan baik. Saat ia mengingat kejadian kemarin, mustahil ia selamat.

Air mata Haura jatuh bertetesan, ia meremas sprai dengan kuat, kejadian mengerikan itu terbayang jelas di dalam otaknya. Kejadian paling buruk yang tidak akan pernah ia lupakan.

Tiga orang yang tidak ia kenal suda merusak hidup dan masadepannya. Laki-laki berengsek yang tega memperlakukannya layaknya seperti seekor hewan. Haura menangis sejadinya, histeris tak terkira saat mengingat sepintas perlakuan keji para pereman itu. Tidak hanya itu, mereka juga menyakitinya, memukul hingga meninggalkan luka fisik di tubuhnya.

Ini semua terjadi karena Arga. Kalau seandainya Arga tidak meninggalkannya saat itu, mungkin semuanya tidak akan hancur seperti ini.

Hanum mengusap puncak kepala Haura, digenggamnya tangan Haura dan diciumi dengan lembut. Haura bisa melihat bagaimana air mata Hanum berlomba-lomba keluar saat menatapnya. Sendu dan penuh luka. Apakah Hanum benar-benar menyayanginya?

"Haura, bagaimana kondisi kamu? Apa masih ada yang sakit? Bunda panggilin dokter ya?"

Haura hanya menggelengkan kepala. Entah apa yang harus dia katakan dalam kondisi seperti ini. Semua orang pasti sudah tahu apa yang sedang menimpa dirinya. Sumpah demi Tuhan, Haura sangat malu. Haruskah ia menghabisi nyawaya detik ini juga.

Dalam beberapa detik, Haura mengerutkan kening. Sejak tadi ia belum melihat keberadaan Fatih.

"Di mana ayah aku?"

Jantung Hanum serasa tak kuat lagi mendegar pertanyaan ini. Apa yang harus dia katakan pada Haura?

"Di mana ayah aku? Kenapa diam aja?"

Hanum tidak menjawab apa-apa, tapi air matanya kian deras mengalir, bahkan Hanum sudah tak sanggup menahan tangisan itu lagi, kesedihan itu pecah diiringi dengan jeritan dari mulutnya.

Haura menelan ludahnya dengan susah payah. Ia berusaha bangkit dari pembaringan. Dipegangannya tangan Hanum yang masih larut dalam tangisnya.

"Kenapa nangis? Jawab, di mana ayah aku?!"

"Haura. Kemarin, ayah kamu mengetahui apa yang sudah terjadi sama kamu. Dia sangat terkejut, hingga akhirnya dia serangan jantung untuk kedua kalinya. Sekarang, dia masih ada di ICU, kondisinya kritis..."

Haura menggelengkan kepala. Ini tidak mungkin terjadi, kenapa semua bencana buruk datang kepadanya? Walau pun Haura mengatakan benci pada ayahnya, tetap saja hanya Fatih satu-satunya keluarga yang Haura miliki. Haura tidak ingin kehilangan.

Kebencian dan sumpah serapah yang selama ini ia katakan hanya sebatas di bibir saja. Hatinya tetap menolak untuk membenci ayahnya sendiri. Setiap kali Haura menatap mata ayahnya yang selalu kecewa padanya, membuat ia terluka secara diam-diam.

Allah tidak serta-merta menjatuhkan rasa benci itu padanya. Karena pada kenyataannya ia tidak akan bisa membenci Fatih. Selama ini yang ada hanya rasa marah, kecewa dan kesal.

Sejauh ini Fatih seolah lebih menyayangi Azia. Setiap ada tamu yang datang ke rumah, pasti Azia selalu disebut. Jelas Haura marah dan merasa tersisihkan.

Haura tahu, ia tidak sepintar Azia. Tapi bukankah setiap anak memiliki kelebihan masing-masing? Entah Fatih yang terlalu acuh padanya atau memang Haura sendiri yang membuat dirinya jauh dari ayahnya. Bahkan Fatih tidak tahu apa satu kelebihan yang Haura punya.

Tapi ini bukan saatnya Haura menghitung kesalahan Fatih.

Dengan tenaga yang masih tersisa, Haura bangkit dari atas tempat tidur.

"Aku mau ketemu, ayah. Anterin aku!"

Tidak ada yang bisa Hanum lakukan selalin mengikuti semua permintaan Haura. Ia berdiri di samping Haura, menyokong tubuh Haura untuk berjalan.

Saat sampai di ruangan ICU, Haura bisa melihat Fatih yang terbaring lemah. Beruntung jam besuk pasien masih bersisa setengah jam lagi. Setidaknya Haura masih punya kesempatan untuk bertemu dengan ayahnya itu.

Kemarin saat Fatih tahu bahwa anaknya dinodai oleh orang yang tak bertangggung jawab, ia sangat marah.
Bahkan ia juga sempat marah karena Hanum bisa-bisanya menutupi rahasia sebesar itu padanya.

Fatih yang curiga karena Hanum selalu bolak-balik keluar dari ruangannya memilih untuk mengikuti secara diam-diam.

Awalnya Fatih merasa kalau dirinya dalam keadaan tibak baik-baik saja. Tapi ia malah menemukan kenyataan yang berbeda. Hanum berbicara pada dokter mengenai kondisi Haura, yang paling membuat Fatih terkejut adalah saat mengetahui anaknya menjadi korban pemerkosaan.

Hancur, itu yang Fatih rasakan kala itu. Berlian paling berharga baginya sudah dirusak oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab.

Berlian berharga yang saat lahir ia agungkan, harta paling berharga yang ia punya dirusak orang. Sejak kecil Fatih sudah menjaganya dengan baik, sekuat tenanga ia menjaga Haura.

Kemarahan Fatih membuat emosinya tidak terkontrol, sehingga menyebabkan jantungnya kembali bermasalah.

Haura berjalan menekati tempat pembaringan ayahnya. Untuk pertama kali Haura baru kembali menatap ayahnya dengan teduh, sendu penuh rasa takut.

Perkataan kemarin-kemarin yang ia lontarkan saat ingin membuat ayahnya malu bak cambuk yang dilayangkan pada tubuhnya.

Pedih sekali rasanya.

Sebenci-bencinya, sebengis-bengisnya Haura pada ayahnya, tetap saja hatinya rapuh kala melihat pemandangan seperti ini. Ia juga manusia biasa, memiliki hati seperti wanita normal lainnya.

Haura memegang tangan Fatih yang saat itu juga sedang membuka mata. Ia mekihat Haura yang sedang menangis, air mata Fatih pun juga tak bisa dibendung.

"Ayah..., maafin aku."

Fatih hanya memejanmkan mata sebagai jawaban bahwa dia sudah memaafkan Haura sepenuhnya. Anaknya tidak bersalah, jadi tidak perlu ada yang dimaafkan.

"Sekarang aku sadar, kalau ayah itu penting buat aku. Ayah harus sembuh ya. Kita bisa sama-sama kayak dulu lagi."

Hati Fatih sangat senang mendengar ini semua. Di balik musibah yang menimpa ada anugerah yang tiba, Haura berbicara amat lembut padanya.

"Haura..."

"Iyaa, Ayah."

"Maafin ayah, mu---ngkin, selama i---ini, a--yah, kurang pe---perhatian sa---sama, kamu." kata Fatih tertatih-tatih. Lidahnya terasa sangat berat. Haura hanya menangis, begitu pun dengan Hanum.

"A--ayah ti---tidak bisa me--menja--ga ka--kamu. Hingga kamu ha--harus me--mengalami ii--ini..."

Haura menggelengkan kepala. Ini bukan salah ayahnya. Tapi murni kesalahan Arga yang pecundang itu. Arga yang membuatnya tidak berarti lagi, Arga juga yang membuat ayahnya serangan jantung seperti ini. Kalau Arga tidak meninggalkannya sendirian seperti malam itu, pasti kejadian ini tidak akan pernah terjadi.

"Ayah mau, ka--kamu ja--jadi anak ayah se---seperti dulu."

Dada Haura terasa sesak sekali. Tangan Fatih terasa sangat dingin, keringatnya juga deras. Kuku-kuku Fatih juga tampak membiru. Haura sangat mencemaskan kondisi Fatih. Sungguh tidak ingin kehilangan.

Mungkinkah ini yang disebut bersama serasa ingin muntah, tapi jika berjauhan serasa ingin mati.

Haura tidak bisa membayangkan bagaimana kalau kondisi Fatih kian memburuk.

"Kalau Ayah mau aku jadi orang baik, Ayah harus sayangin aku. Ayah nggak boleh bandingin aku sama Azia lagi. Aku sakit hati saat ayah selalu lebih banggain Azia. Padahal aku yang anak kandung, Ayah. Selama ini Ayah pikir aku bisa nerima gitu aja? Enggak, Yah."

Fatih hanya diam, mendengarkan apa yang ingin disampaikan putrinya itu. Barangkali itu bisa membuat Haura jauh lebih baik. Fatih akan mendengar semuanya.

Benarkah selama ini dia sudah lalai dalam memperhatikan Haura? Fatih benar-benar tidak menyadarinya.

"Aku kayak gini karena aku kesel sama Ayah. Di mata Ayah aku nggak ada gunanya. Jadi menurut aku, lebih baik aku cari kesenangan lain. Di luar aku selalu dapat pujian dari orang. Itu ngebuat aku bahagia. Sementara di rumah, Ayah nggak pernah sayangin aku."

Haura memangis. Kebahagiaan? Haura geli sendiri mendengarnya. Kebahagiaan yangia daoat di luar hanya bertahan sementara, dan tidak menghasilkan apq-apa, ia justru malah hancur sehancur-hancurnya.

"Sekarang aku mau rasain perhatian penuh lagi dari Ayah. Ayah harus sembuh."

Tidak ada yang bisa Fatih lakukan selain menangis dan menganggukkan kepala.

🍁🍁🍁

"Bunda temanin kamu di sini ya. Bunda nggak mau kalau nanti tiba-tiba ada orang yang pengin nyakitin.kamu."

"Nggak usah, temanin ayah aja."

"Haura, kalau pun bunda temanin ayah kamu. Itu juga akan di luar ruangan. Biarin ayah kamu istirahat."

Haura tidak menjawab apa-apa. Canggung, itu yang bisa ia rasakan sekarang. Orang yang selama ini selalu ia maki-maki justru selalu memberikan perhatian padanya.

Haura menyadari itu semua sejak dulu. Walau pun ia selalu berteriak pada Hanum, tapi ibu tirinya itu sama sekali tidak pernah membalas teriakannya, apalagi memukul seperti kebanyakan ibu tiri yang dimiliki anak-anak lain.

Padahal Hanum juga punya anak kandung sendiri, dari pernikahan sebelumnya.

Hanum selalu baik padanya, selalu berusaha memberinya kasih sayang.

Mungkin selama ini ia keliru menilai ibu tirinya. Kalau pun memang Hanum berniat menyingkirkannya, pasti itu sudah dilakukan dari jauh-jauh hari.

Ingin memanggilnya dengan sebutan bunda pun, juga terasa canggung. Sebab selama ini jarang sekali memanggil seperti itu, mungkin lebih tepatnya tidak pernah.

Hanum mengusap rambut Hara.

"Kamu mau makan apa? Biar bunda beliin."

Haura hanya menggelengkan kepala.

"Nggak usah, makasih."

Hanum hanya tersenyum tipis. Setidaknya sekarang Hanum tahu, kalau hati Haura mulai melunak. Mungkin sekarang Allah sudah mengabulkan doanya, meminta agar ia bisa dekat dengan Haura layaknya seorang ibu dan anak.

🍁🍁🍁

"Tumben lo nggak sama Haura. Dia kemana?" tanya Kamila saat berpapasan dengan Arga di depan perkarangan Pub.

Arga hanya mengangkat kedua bahunya acuh.

"Gue udah nggak ada urusan sama perempuan itu."

"Maksud lo? Dia kan pacar lo. Gimana, sih?"

"Gue udah putus sama dia."

Kedua bola mata Kamila membula. Ia kaget mendengar apa yang dikatakan Arga. Rasanya tidak mungkin hal itu terjadi. Sebab yang ia tahu, Arga dan Haura begitu saling mencintai. Mereka juga berpacaran sudah sejak SMA.

Kamila juga ingat, bagaimana saat Arga menyatakan cinta pada Haura dilapangan. Sebelum mereka olahraga. Begitu sangat romantisnya Arga saat menembak Haura dengan mengenakan pakaian badut Mickey Mouse.

"Jangan becanda deh. Nggak mungkin kalian putus."

"Kenapa enggak? Yang nikah aja bisa bercerai. Apalagi cuma pacaran."

"Emang kenapa?"

"Coba deh lo pkiri. Gue pacaran sama Haura itu udah tiga tahun. Masa selama itu gue nggak bisa dapat apa-apa. Percuma dong kedekatan gue selama ini sama dia kalau dia nggak mau ngasih dirinya sepenuhnya buat gue."

"Hah? Gila ya lo!"

Satu tamparan berhasil Kamila layangkan di pipi Arga. Arga membuang muka ke samping, memegang pipinya yang terasa panas akibat tamparan itu.

"Berengsek banget lo jadi cowok. Serusak-rusaknya gue, gue juga gak bakal mau lah."

"Terus kenapa? Banyak kok di luar sana yang kayak gitu."

"Tapi lo nggak bisa lah samain setiap orang."

"Ya terus gimana. Gue udah terlanjur mutusin dia."

Kamila hanya bisa menggelengkan kepala. Sungguh, tidak menyangka dengan kelakuan Arga. Sekarang Kamila tahu, pasti Haura sedang bersedih. Pantas saja sejak dua hari yang lalu ia tidak biaa dihubungin.

🍁🍁🍁

Bersambung

Afwan ya, baru bisa up. Soalnya baru isi kuota 😊, oh iya makasih atas doanya buat adik aku 🙏🏻🙏🏻

Kubang, 13 Rabiul Awal 1441 / 10 November 2019

Publikasi ulang, 02 Maret 2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top