::4 -Pengakuan Dusta-

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Haura berlari meninggalkan gedung rumah sakit, sesekali tubuhnya menabrak beberapa orang yang berjalan di koridor rumah sakit. Haura tidak percaya dengan pengakuan sang ayah. Fatih mengatakan kalau selama ini dia sudah salah paham, ia sudah membela mamanya yang salah. Jelas hal itu membuat Haura murka. Mana mungkin ibunya bersalah seperti apa yang dikatakan ayahnya. Jelas-jelas ia melihat sendiri bagaimana Fatih menampar mamanya hingga membuat mamanya itu menangis, lalu pergi meninggalkan rumah dan pulang dalam keadaan tidak bernyawa. Kita lebih percaya dengan apa yang kita lihat bukan? Haura pun akan melakukan hal yang sama. Karena apa yang kita lihat adalah bukti yang paling akurat dibandingan dengan apa pun.

Haura duduk di bangku taman yang tak jauh dari rumah sakit. Ia melanjutkan tangisan di sana. Dari dulu ayahnya bisa hidup bahagia dengan istri barunya. Bahkan yang membuat Haura merasa jengkel, Fatih tidak pernah mau datang ke pemakan ibunya. Dulu sewaktu Haura kecil, Fatih selalu menolak dengan alasan sibuk bekerja. Tapi saat Hanum meminta diantar kemana pun, pasti Fatih selalu bersedia, bahkan dia lebih mementingkan Hanum dibandingkan pekerjaannya.

Dulu Haura juga sering melihat Fatih membelikan berbagai macam hadiah untuk Azia, sementara saat Haura memintanya, Fatih malah mengatakan kalau Haura sudah terlalu banyak mainan.

Apalagi saat Azia menjadi juara pertama, Fatih selalu bangga saat naik ke atas pentas sambil memeluk Azia karena prestasi yang dia dapatkan.

Perasaan cemburu yang bertalu-talu tumbuh menjadi kebencian yang teramat dalam hati Haura. Jadi bukan kah hal yang wajar ia membenci kedua orang itu sampai sejauh ini?

Tidak seorang anak pun yang siap dibanding-bandingkan dengan siapa pun. Apalagi saat sebelum kedatanga Azia, semua kasih sayang yang Haura dapatkan selalu utuh tanpa dibagi dengan anak mana pun. Sejak ia kenal dunia, ia selalu mendapatkan pujian dari ayahnya kala ia berhasil melakan satu hal yang luar biasa.

"Sedih itu adalah hal yang wajar."

Haura mengangkat kepalanya, untuk beberapa saat ia tertegun saat melihat kehadiran laki-laki itu di hadapannya.

"Aa Rama." Haura menghapus air matanya. Ia kaget kenapa Rama bisa ada di sini. Padahal empat tahun yang lalu Rama pindah ke garut---kampung halamannya.

"Kamu boleh menangis seperti apa pun yang kamu mau, kalau dirasa itu bisa mengurangi beban yang ada di dalam hati kamu."

Haura membuang muka ke samping. Untuk apa laki-laki itu datang dan bicara seperti ini di dahapannya. Dia salah satu orang yang akan memberikan kebahagiaan pada Azia, jelas hal itu membuat Haura risih saat melihat kehadirannya.

Padahal dulu dia dan Rama juga teman bermain. Waktu masuk SD dulu, Rama selalu membelikannya es krim, Rama juga yang selalu menjaganya kalau ada yang menjailinya. Tapi saat Haura tahu kalau Rama menyimpan perasaannya untuk Azia, saat itu juga Haura tidak suka dengan Rama.

"Bukan urusan, A Rama."

Rama mendesah pelan. Haura berubah drastis dari tahun ketahun. Ia juga mendapat kabar bahwa Haura sering bepergian keluar rumah dan pulang larut malam, ia juga menjadi perempuan kasar hingga menyebabkan ayahnya masuk ke rumah sakit. Jika saja Rama diperbolehkan menyentuh Haura, ia akan memeluk perempuan itu dan memberikan ketenangan. Walau pun Rama sudah menganggapnya seperti adik sendiri, tatap saja mereka bukan mahrom yang pantas bersentuhan.

"Memang bukan urusanku. Tapi aku cuma mengingatkan. Kamu harus mensyukiri apa yang masih kamu miliki saat ini, Haura. Karena saat kamu kehilangan apa yang kamu miliki, kamu akan menyesal saat menyadari itu adalah hal yang berharga,"

"Nggak usah Aa nasehatin aku. Simpan aja nasehat itu untuk Azia. Kayaknya dia lebih butuh biar nggak ngambil apa yang dimilikin sama orang lain."

"Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?" tanya Rama. Ia tidak suka dengan cara bicara Haura yang terkesan tidak pantas.

"Itu kakak kamu, nggak sepantasnya kamu ngomong kayak gitu."

"Kenapa? Aa mau belain dia? Wajar kok. Kan Aa calon suaminya." Haura tertawa remeh. Memangnya apa kelebihan dari seorang Azia itu? Tidak lebih dari wanita aneh seperti ninja yang wajahnya hanya terhilat dibagian mata. Apalagi baju-baju perempuan itu yang terlihat kuno dan ribet. Haura ingat saat sebelum Azia berangkat ke mesir, saat di perjalan pun pakaiannya menyentuh tanah, itu artinya pakaian itu akan menjadi kotor, bagaimana kalau menyentuh kotoran binatang? Menjijikkan---begitulah cara Haura memandang.

Setelah bebicara seperti itu, Haura berdiri kemudian melanglahkan kakinya meninggalkan Rama begitu saja.

Rama mengembuskan napas, memamg sulit bicara dengan Haura. Ternyata hatinya sudah terlanjur keras.

🍁🍁🍁

"Lepasin, Arga! Kamu nggak berhak lakuin ini sama aku!" Haura mendorong tubuh Arga yang terus mendekat. Haura tidak mengerti mengapa tiba-tiba Arga menjadi seperti ini.

"Kenapa, Haura? Bukannya kita ini saling mencintai? Aku rasa wajar kita melakukan hal itu. Anggap aja kalau ini sebagai salah satu bukti kalau kamu benar-benar cinta sama aku."

Haura menggelengkan kepala. Meski pernah mengancam ayahnya untuk menjual diri, tapi tetap saja Haura tidak mau melakukan hal nista seperti ini. Bagaimana pun dia masih memiliki otak yang normal sehingga bisa menolak melakukan hal gila seperti itu.

"Tetap aja, Arga. Kamu nggak bisa lakuin ini sama aku!" kata Haura penuh penolakan. Sekuat tenanga ia berusaha melepaskan tangan dari cengkraman Arga. Di jalanan sepi seperti ini tega-teganya Arga memenita hal yang tidak mungkin ia penuhi.

"Sekali aja!"

"Enggak!" bentak Haura dengan oktaf tinggi, ia memukul wajah Arga dengan kepalan tangannya sehingga membuat Arga membuang muka. Arga memegang pipi yang terasa berdenyut akibat pukulan Haura.

"Berengsek! Lo pikir gue mau lakuin hal itu? Sekali pun gue bukan perempuan baik-baik, gue nggak bakal lakuin hal itu!"

Rahang Arga mengetat, ia tidak terima dengan penolakan yang Haura berikan.

"Oke, kalau lo nggak mau, kita putus!"

"Gue nggak peduli! Oke, gak masalah!"

"Yaudah! Sekarang keluar dari mobil gue!"

"Lo gila? Lo mau ninggalin gue di tempat sesepi ini? Otak lo dipake!"

Arga yang sudah naik pitam, memilih keluar dari mobil, kemudian membuka pintu sebelah Haura duduk, diseretnya Haura keluar dari dalam mobil itu.

"Lo yang seharusnya pakai otak! Lo bukan siapa-siapa gue, jadi gue nggak berkepentingan buat biarin lo tetap ada di dalam mobil gue!"

Arga berlalu begitu saja, meninggalkan Haura yang sedang menyimpan kekesalan setengah mati. Haura menghentakkan kaki, bahkan sempat melempar mobil Arga dengan high heels yang ia pakai. Tapi sayangnya mobil Arga sudah meleset jauh. Tidak ada yang bisa Haura lakukan selain berteriak murka sambil mengucap sumpah serapah padanya.

Mau tidak mau Haura harus berjalan meninggalkan tempat sepi ini. Ia bersumpah tidak akan pernah mau memaafkan Arga sampai kapan pun.

Selama beberapa meter Haura berjalan, tiba-tiba ada tiga orang pereman yang tiba-tiba saja menghalangi jalannya. Kedua bola mata Haura terbuka lebar, ia sempat mundur beberapa langkah.

Sumpah demi Tuhan, Haura tidak pernah merasakan ketakutan seperti ini. Ketiga pereman itu saling melemparkan pandangannya. Mereka memandang Haura dari ujung kaki hingga ujung kepala. Sudah bisa dipastikan mereka pasti akan melakukan tindakan yang jahat.

"Neng kok sendirian sih?!" tanya salah seorang pereman, dia berhasil meraih lengan Haura. Haura beronta tapi tenaga pereman itu jauh lebih kuat darinya.

"Lepasin gue! Jangan macam-macam atau gue laporin lo ke polisi!" Haura menelan ludahnya dengan kasar. Ini semua gara-gara Arga sialan itu, karena dia, Haura harus berhadapan dengan orang-orang jelek dan gendut seperti ini.

Haura bergedik jijik saat pereman yang memiliki gigi jelek itu tertawa padanya.

"Jangan kasar-kasar dong, Neng. Ayo temanin kita ini."

"Jangan macam-macam lo atau gue teriak biar kalian digebukin."

"Apa minta tolong?"

Mereka bertiga malah tertawa, dasar perempuan gila!

"Tolong ...., tolloooong...," teriak salah satu pereman seolah sedang mengejek Haura. Artinya tidak akan ada yang mendengar. Mereka sudah mendapatkan sesuatu yang berharga, tentu hal ini tidak akan mereka sia-siakan begitu saja.

Mereka menyeret Haura entah kemana. Saat Haura melakukan perlawanan, satu pukulan malah mendarat di pipinya, Haura menangis. Haruskah ia mengalami hal buruk kini.

Di tempat yang sepi itu, Haura menjemput takdirnya. Di mana sesuatu yang paling berhaga dalam dirinya, sesuatu yang berusaha ia jaga dari tangan Arga malah dirampas oleh orang-orang yang tidak beradap. Sampai mati pun Haura tidak akan pernah melupakan kejadian paling buruk ini dalam hidupnya.

🍁🍁🍁

"Astagfirullah ..." Hanum memegang kakinya yang terasa sakit akibat jatuh di toilet. Tiba-tiba saja perasaannya menjadi tidak enak. Entah kenapa tiba-tiba saja ia ke pikian dengan Haura.

Mungkin ini sudah menjadi takdir Allah, walau pun Haura seorang anak tiri, tapi Hanum merasa ada ikatan batin antara dia dan Haura, bisa saja hal ini terjadi karena Hanum sangat menyayangi Haura.

Hanum keluar dari dalaam dalam toilet dengan kaki yang sedikit pincang. Kemudian berjalan menemui Fatih yang duduk di depan ruangan rontgen.

"Hanum, kamu kenapa?"

"Aku tadi jatuh, Mas."

"Jatuh? Kenapa bisa? Apa kita perlu periksa? Aku takut terjadi sesuatu denganmu." tanya Fatih bertubi-tubi. Hanum menggelengkan kepala pertanda kalau dia baik-baik saja dan tidal perlu dilakukan pemeriksaan.

"Kenapa? Sepertinya ada yang kamu pikirkan?"

"Mas, aku khawatir dengan Haura. Tiba-tiba perasaanku nggak enak."

Sebenarnya Fatih juga merasakan hal yang sama. Sejak tadi ia juga mencemaskan Haura.

"Kamu merasakannya? Aku juga."

Hanum semakin tidak tenang. Biasanya saat Haura bepergian ia tidak secemas ini.

"Tapi semoga ini hanya sekadar kecemasan biasa. Pasti dia baik-baik saja."

Hanum hanya menganggukkan kepala mendengar perkataan suaminya. Semoga anaknya memang baik-baik saja.

🍁🍁🍁

Bersambung

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top