31. Langkah Kaki
بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
☘☘☘
Terkadang tuhan mendatangkan seseorang kedalam hidup kita hanya untuk sekadar singgah, tidak untuk menjadi teman hidup selamanya.
☘☘☘
Suasana pemakanan Haura diiringi isakan tangis. Sekarang tugasnya di dunia benar-benar sudah selesai. Sesingkat ini memang, bahkan kepergiannya tidak pernah terduga sebelumnya. Ariel sangat berharap bahwa kepergian Haura hanyalah mimpi buruk yang sedang singgah di alam bawah sadarnya. Namun ini adalah kenyataannya. Kenyataan bahwa ia harus mengiklaskan kepergian sang istri untuk selama-lamanya.
Saat jasat Haura diturunkan, Ariel mendekap dengan begitu erat. Ini adalah pelukan terakhir yang ia berikan untuk Haura. Setelah ini dapat dipastikan bahwa ia hanya akan bisa mengenal sosok yang tidak pernah terlihat lagi.
Air mata Ariel turun tanpa henti, kakinya gemetar seakan ingin jatuh tak sadarkan diri.
"Maafkan aku, sayang." Hanya itu yang mampu keluar dari mulut Ariel.
"Kamu harus bersabar, Ariel. Saya tahu kamu sangat bersedih. Tapi kamu harus bisa meingklaskan istrimu."
Ariel hanya bisa menganggukkan kepala saat mendengar ucapan Martin, salah satu kerabat Haura yang datang dari Surabaya.
"Iya, Pak. In syaa Allah."
Rama yang berada di sana juga tidak menyangka kalau Haura akan pergi secepat ini. Meninggalkannya lebih dulu. Hatinya ikut terasa perih saat kehilangan perempuan yang ia cintai, perempuan yang pernah menjadi istrinya. Rama tidak pernah menyesali kebersamaan yang singkat saat bersama Haura. Yang ia sesali adalah ketika ia tidak mampu membahagiakan Haura semasa hidupnya.
Azia pun tidak mampu berkata lagi, kesedihannya benar-benar sangat dalam. Haura adalah satu-satunya adik yang ia miliki, tapi sekarang ia sudah kehilangan sosok adiknya itu. Azia hanya bisa mengencangkan pelukannya pada Aira yang ada dalam gendongannya. Gadis kecil itu tak henti-hentinya menangis. Sungguh tangisan yang amat menyiksa hatinya. Tidak hanya itu, Aira pun langsung jatuh sakit.
"Aira sayang, Aira nggak boleh nangis lagi ya. Sekarang Aira harus jadi anak yang kuat, Aira tunjukin sama bunda, kalau Aira bisa jadi anak kebanggaan bunda. Karena Aira harus tahu, di surga sana bunda pasti liat Ai."
Dengan dada yang kian menyesak, Hanum mengusap pelan rambut Aira. Aira hanya menggelengkan kepala. Ia tidak ingin siapa-siapa, ia hanya ingin bundanya saja.
"Nanti Ai tidur sama siapa, nanti siapa yang jagain Ai kalau ayah kerja."
"Kan masih ada Bia, sayang."
"Bia kan nggak tinggal sama Ai, Bia tinggal sama om Marvin."
"Ada nenek juga sayang." Lagi dan lagi Aira hanya menggelengkan kepala.
Pandangan Ariel beralih pada Aira. Harusnya ia tidak boleh seperti ini, yang paling terluka atas kepergiaanya bukan dia saja. Tapi, Aira. Aira yang merasakan kesedihan berkali-kali lipat darinya.
"Aku akan menjaganya. Aku janji, seluruh hidupku akan aku habiskan untuk mengasihi dan menyayanginya. Aku akan memberikan kasih sayang seorang ibu sekaligus ayah untuknya."
☘☘☘
"Azia, maafkan aku. Aku tidak sempat ikut kepemakaman adikmu."
"Nggak apa-apa, Marvin."
"Berita kematian Haura benar-benar mengejutkan. Aku sampai takut bagaimana kalau hal itu terjadi padamu, terlebih disaat kamu mengandung, aku sangat takut apa yang dialami Haura juga kamu alami."
Marvin baru saja tiba dari Cairo. Selama perjalanan menuju Indonesia, ia tak henti-hentinya mencemaskan Azia. Sebab keguguran bisa menyerang siapa saja, bahkan secara tiba-tiba sekaligus. Terlebih keguguran bisa amat berbahaya bagi seorang perempuan, bahkan bisa merenggut nyawanya.
"Lalu bagaimana dengan Aira. Aku tidak melihatnya dari tadi."
"Dia ada di kamar. Ariel sedang merawatnya, setelah pulang dari pemakanan, demamnya semakin tinggi."
"Ya Allah, kasihan sekali dia. Aku sangat mengerti, bagaimana hancurnya hati kita saat kita kehilangan sosok ibu kita."
Azia menganggukkan kepala.
"Kamu benar, bahkan aku yang sudah sedewasa ini tidak sanggup jika harus kehilangan bunda."
"Kamu bisa berjanji? Jangan lakukan itu pada anak kita nanti."
Azia tersenyum tipis.
"Kalau untuk hal itu aku tidak bisa berjanji, Marvin. Karena maut bukan aku yang menentukan. Tapi kalau kamu meminta aku untuk menjadi istri dan ibu yang baik, in syaa Allah aku akan berusaha."
Marvin membawa Azia ke dalam pelukannya.
"Terimakasih, sayang."
☘☘☘
Ariel menundukkan, sebenarnya ia juga tidak tega mengatakan hal ini pada ibu mertuanya. Tapi keberadaannya di sini semakin membuatnya tersiksa. Setiap sudat rumah ini memiliki banyak cerita saat ia masih bersama Haura.
"Kamu mau cerita apa Ariel?"
"Bunda, saya sudah memutuskan, bahwa saya harus meninggalkan negara ini. Saya akan pindah ke Turki. Dulu, Haura pernah berkeinginan agar Aira bisa kuliah di sana. Saya akan mewujudkan itu semua, bahkan sejak awal pendidikannya."
Hanum tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Turki? Sejauh itu?
"Tapi Ariel. Kamu tidak bisa membawa Aira begitu saja, dia itu cucu bunda. Satu-satunya anak yang Haura miliki. Bunda sudah kehilanhan ibunya, dan bunda juga tidak mau kehilangan Aira."
"Aku mengerti kalau bunda sangat menyayangi Aira. Tapi bagaimanapun, dia anakku. Aku berhak membawa dia kemanapun yang aku mau. Aku tidak sanggup jika terus menerus berada di sini. Rumah inji selalu mengingatkan saya pada Haura."
"Tapi negara itu terlalu jauh, Ariel. Bagaimana terjadi sesuatu dengan kamu saat ada di sana, kamu tidak memikirkan Aira?"
"In syaa Allah saya akan baik-baik saja." Ariel menyandarkan punggungnya.
"Saya tidak akan menikah lagi, Haura tidak hanya membawa raganya, tapi dia juga membawa seluruh cinta yang aku punya. Mulai detik ini, aku hanya akan memprioritaskan Aira lebih dari apa pun. Aku akan menghabiskan hidupku hanya untuk membuat dia bahagia."
Hanum menggelengkan kepala. Ia masih bekum.bisa menerima keputusan Ariel.
"Saya janji, saya akan selalu menghubungi bunda saat berada di sana. Lagi pula, sebentar lagi anak Azia juga akan hadir di tengah-tengah kalian, setidaknya anak itu bisa menemani kalian. Sementara aku, aku hanya memiliki Aira, hanya dia satu-satunya harta yang aku punya."
"Tapi Aira masih kecil, Ariel. Bunda tidak bisa jika harus kehilangan dia."
"Saat dia dewasa nanti, saya akan membawanya kembali. Saat ini biarkan kami menyembuhkan luka ini."
Azia dan Marvin yang saat itu sudah mendengar pembicaraan keduanya hanya bisa menyerahkan keputusan pada Ariel. Karena benar adanya, hanya Ariel yang berhak menentukan semuanya. Sedih memang jika harus berpisah dengan Aira, sebab ia pun juga amat menyayangi gadis kecil itu.
"Bunda, kita harus terima apa pun keputusan Ariel."
"Tapi Azia, rumah ini milik Aira, dan sudah seharusnya Aira berada di sini."
Ariel mengembuskan napas, ternyata tidak mudah untuk membujuk mertuanya itu.
"Aira tidak akan kehilangan rumah ini, Bunda. Seperti yang Ariel katakan. Aira akan kembali lagi."
"Terserah kalian."
Hanum menegakkan tubuhnya. Meninggalkan ketiga orang itu.
"Bersabarlah, Ariel."
"Terimakasih."
Marvin menganggukkan kepala.
Hanum yang merasa tidak sanggup berpisah dengan cucu kesayangannya itu pun tidak bisa berbuat apa-apa. Ia berjalan pelan memasuki kamar Aira. Dilihatnya Aira masih tertidur, mata gadis kecil itu masih sembab. Kepergian sang ibu benar-benar berhasil menghancurkan dunianya. Hanum tidak bisa berbicara banyak hal. Yang bisa ia lakukan saat ini hanya satu hal, yaitu memberikan Aira pelukan.
"Nenek ikhlas, sayang. Nenek ikhlas kalau ayah kamu harus pergi membawa kamu. Semoga di sana kamu bisa menemukan kebahagiaan bersama ayah kamu."
Dengan hati yang teramat sesak, Hanum mencium kening Aira lembut.
☘☘☘
Bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top