::3 -Persepsi Yang Salah-


ب

ـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Manusia yang paling mulia adalah yang paling mudah mencintai dan paling lambat bermusuhan, seperti gelas dari perak, susah pecah dam mudah diperbaiki. Sedangkan manusia yang paling hina adalah yang paling lambat mencintai dan paling cepat bermusuhan., seperti gelas dari tanah liat, mudah pecah dan susah diperbaiki
(Rufaqaa'utht Thariiq, 22)

🍁🍁🍁

Lelehan air mata yang terus mengalir dari pipi Hanum adalah satu bukti bahwa Fatih dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bahkan yang membuat Hanum khawatir akan kondisi Fatih adalah jantungnya. Ternyata Fatih menderita penyakit jantung. Mungkin ini semua disebabkan karena usia yang sudah lanjut ditambah dengan emosi Fatih yang sering tak terjaga.

Hanum tidak bisa menyalahkan Haura atas apa yang menimpa Fatih, karena pada sejatinya Haura tidak salah sepenuhnya.

Dering ponsel milik Hunum berbunyi, ia segera mengangkatnya.

"Assalamualaikum, Bunda. Gimana kondisi ayah?" tanya Azia dengan nada khawatir. Tadi ia mendapat pesan dari bundanya karena ayahnya baru saja dilarikan ke rumah sakit akibat serangan jantung setelah bertengkar dengan Haura. Sungguh kabar itu sangat membuat Azia merasa khawatir.

Sebab selama ini Fatih sudah memberikan kasih sayang seorang ayah yang tak pernah Azia dapatkan dari laki-laki mana pun.

Katanya saat Azia baru berumur 2 bulan dalam kandungan, ayahnya meninggal dunia saat berada di tanah suci. Ayahnya mengalami kecelakaan hingga merenggut nyawanya detik itu.

Azia bahkan tidak pernah tahu seperti apa wajah ayahnya. Sebab sejak dulu ayahnya tidak mau difoto lantaran ada larangan jika memajang gambar bernyawa di rumah.

Dari cerita bundanya Azia percaya, kalau ayahnya adalah orang yang baik. Makanya Allah memgambil ayahnya lebih cepat. Bahkan usia pernikahan bunda dengan ayahnya baru satu tahun.

Tapi saat berusia sembilan tahun, Azia mendapatkan kasih sayang seorang ayah dari Fatih. Laki-laki yang mau menyayanginya dengan tulus, ayah yang tidak pernah membandingkannya walau pun dia hanya sekadar anak tiri. Jadi sudah hal yang wajar jika Azia sangat mencemaskannya.

"Waalaikumussalam, Azia. Saat ini ayah kamu masih belum sadar."

"Maafin Azia ya, Bun. Karena sekarang Azia belum bisa bantuin Bunda jagain ayah."

"Nggak pa-pa, sayang. Yang penting Azia doain ayah ya. In syaa Allah ayah akan baik-baik aja."

"Terus sekarang Haura ada di mana, Bunda? Azia mau ngomong sama dia."

"Bunda nggak tau, Sayang. Tadi setelah ayah ditangani dokter, dia pergi. Sampai sekarang belum balik."

Terdengar Azia beristigfar. Azia tidak habis pikir dengan kelakuan Haura. Sejak Azia mengenal Haura, adiknya itu selalu bersikap kasar, sangat beda dengan ayahnya.

Azia pernah ingat saat kecil Haura pernah mendorongnya dari sepeda, hingga gamis yang ia kenakkan sobek. Lututnya berdarah.

Haura malah tertawa seperti senang dengan aksinya. Haura juga sering meneriakinya sebagai anak yang tidak punya ayah sehingga merebut ayah yang ia punya.

Teman-teman Haura pun tak mau kalah, ia juga sering mencemooh Azia seperti nenek-nenek karena pakaiannya.

Azia ingin sekali marah, tapi ia selalu ingat pesan bundanya, agar tidak membalas perbuatan adiknya. Karena hukumnya seorang kakak harus mengalah demi kesenangan adiknya.

"Yasudah Azia, nanti Bunda hubungi lagi, ya."

"Iya, Bunda."

"Assalamualaikum..."

Tidak ada yang bisa Azia katakan selain menjawab salam dari bundanya.

Azia menatap layar ponselnya, sekarang sudah jam delapan pagi di Mesir. Sekarang di sana sedang musim dingin, orang-orang keluar dari rumah menggunakan baju super tebal untuk menghangatkan tubuh.

Tidak lama setelah itu Safiya; teman dekat Azia kembali dari toilet. Selama berada di Mesir---lebih tepatnya di kota Kairo--- Azia memang tidak terlalu banyak dekat dengan orang. Selain pendiam, Azia juga salah satu perempuan yang terbilang sulit berkomunukasi dengan orang-orang baru.

Jika tidak Safiya yang dulunya mengajak Azia berkenalan, mungkin Azia tidak akan menyapa duluan. Bukan karena dia tidak butuh orang lain, hanya saja setiap orang lain pasti memiliki karakter tersendiri.

Pernah dulu ada seseorang yang mengagumi Azia, lalu menyampaikan hal itu kepada Sayifa. Saat Sayifa mengatakan pada Azia, Azia hanya memberi jawaban, bahwa dia belum bisa membalas rasa kagum itu. Sebab sebentar lagi dia akan menikah dengan pilihan orang tuanya. Sebagai seorang anak yang baik, tentunya Azia tidak mungkin menolak permintaan orang tuanya. Terlebih kesalihan lelaki itu tidak di ragukan lagi.

Mengingat Rama--- teman bermain sekaligus orang yang selalu Azia sebut namanya dalam doa. Apa kabar laki-laki? Dulu saat masih semasa taman kanak-kanak, hanya Rama satu-satunya teman yang Azia punya. Dia baik dan menggemaskan, bahkan Azia suka mencubit lengannya saat Rama selalu mengatakan bahwa dia sangat cantik. Di situlah awal mula Azia ingin bercadar seperti gurunya yang pasti.juga sangat cantik, karena katanya kecantikan itu harus ditutupi, agar kita terhindar dari bahaya.

Kembali pada Rama, Azia sendiri tidak tahu sejak kapan perasaan itu tumbuh, apalagi saat mengetahui kalau dia akan dijodohkan dengan Rama, sebab kedekatan keluarga keduanya sudah berlangsung sejak lama.

"Gimana kondisi ayah kamu?"

Azia hanya menggelengkan kepala, pertanda bahwa ia belum tahu mengenai kondisi ayahnya lebih jauh.

Dari cerita yang Safiya dengar, adik tirinya itu terlalu egois dan jahat. Tapi bisa-bisanya Azia mengatakan kalau dia sangat meyayangi Haura. Padahal gadis it adalah adik tirinya, jika Safiya yang diperlakukan buruk seperti itu, sudah pasti dia akan membalas perbuatan buruk seseorang padanya.

Kalau seandainya Safiya ada kesempatan untuk datang ke Indonesia, dia akan mencari perempuan yang bernama Haura itu.

"Kenapa sih adik kamu itu selalu aja nyari masalah."

"Mungkin dia nggak sengaja, Fi."

Tidak sengaja? Lagi-lagi Safiya heran dengan Azia. Ia tahu ini bukan urusannya, tapi bagaimana pun Azia sahabatnya. Ia tidak ingin melihat Azia bersedih seperti ini.

Ditambah sebentar lagi Azia akan pulang ke Indonesia, itu artinya mereka akan jarang bertemu, bahkan bisa dikatakan tidak mungkin lagi bertemu.
Walau sama-sama berkebangsaan Indonesia, tetap saja orang tuanya sudab menetap di sini, ia tidak punya kerabat dekat yang ada di Indonesia, sehingga membuatnya tidak memiliki peluang untuk tinggal di Indonesia.

🍁🍁🍁

Haura masuk ke dalam kamar Fatih dengan wajah dongkol. Ia malas sekali masuk ke dalam ruangan penuh bebauan obat-obatan seperti ini. Haura tidak peduli dengan kondisi ayahnya, sumpah demi Tuhan ia tidak suka melihat ayahnya berpura-pura sakit seperti itu hanya untuk dikasihani.

Hatinya terlanjur sakit saat ayahnya berniat untuk mengirimnya ke pesantren. Itu artinya ia akan kehilangan dunianya, sesuatu yang bisa membuatnya jauh lebih bahagia.

Ini salahnya? Tidak! Ini bukan salahnya. Sebab Fatih sudah menyebabkan ibunya meninggal. Itu artinya Fatih sudah membuatnya kehilangan sayap surganya, seseorang yang paling tulus memberinya kasih sayang.

"Haura, maafkan ayah."

Haura tidak mengacuhkan perkataan Fatih.

"Jangan pergi dari rumah, ayah janji tidak akan memaksa kamu untuk masuk ke pesantren." kata Fatih mengalah. Ia tahu seperti apa tabiat anaknya yang suka nekat, ia tidak ingin mengambil risiko yang bisa membahayakan nyawa anaknya sendiri. Tidak apa, Fatih akan berusaha lebih keras untuk menjaga putrinya.

"Haura yang ayah kenal bukan seperti ini. Haura anak ayah itu lembut, baik dan penurut."

Kali ini Fatih akan bicara selembut mungkin pada Haura, kalau bisa ia akan menguras semua air matanya, agar Haura sadar betapa besar rasa cintanya untuk Haura.

"Kamu ingat nggak waktu kamu kecil kamu suka minta ayah buat beliin buku dongeng terbaru?"

Haura tidak menatap ayahnya, tapi semakin ke sini matanya semakin memanas.

"Waktu itu ayah beliin kamu buku dongeng 'Tukang Semir Saleh yang Mendapatkan Derajat Haji'. Kamu masih ingatkan kisah itu?"

Tentunya Haura ingat, karena saat itu dia sangat mengagumi sosok lelaki miskin itu. Katanya, walau pun dia hidup susah tekatnya untuk naik haji ke tanah suci tidak pernah pudar, setiap hari ia mengumpulkan sedikit demi sedikit hasil jerih payahnya dari menyemir. Hingga suatu hari impiannya tercapai, semua uang yang sedikit demi sedikit ia simpan akhirnya terkumpul, mencukupi biaya untuknya pergi ke tanah suci.
Tapi tiba-tiba tetangganya yang juga miskin menderita sakit yang amat parah hingga ia tidak tega dan memberikan uangnya pada tetangganya untuk berobat. Saat itu juga seorang saudagar kaya saat di Padang Arafah bermimpi bertemu dengan Rasullullah, ia bertanya siapa yang ibadah hajinya diterima di sisi Allah. Dia menjawab bahwa si tikang semir lah haji mabrur, sekembalinya ia dari tanah suci, ia mencari si tukang semir, betapa kagetnya ia saat mengetahui bahwa si tukang semir tidak pernah naik haji. Di sana ayah Haura berpesan saat mengakhiri donengengnya, bahwa Allah melihat apa yang kita perjuangkan bukan apa yang bisa kita miliki.

Bayangkan, betapa kagumnya Haura pada sosok tukang semir kala itu. Sampai-sampai Haura ingin seperti tukang semir saja, yang dicintai Allah dan Rasullullah.

"Sekarang kenapa kita nggak bisa sedekat itu, Haura. Kenapa kamu jauh dari ayah. Apa ayah punya salah?"

Haura mengusap air matanya dengan kasar, kemudian berjalan mendekati Fatih.

"Ayah mau tau apa salah ayah?" tanya Haura penuh penusukkan.

"Apa, Haura. Katakan biar ayah bisa memperbaikinya."

"Aku begini karena aku sakit hati sama ayah. Ayah udah ngebunuh mama aku, ayah udah kasar sama mama, ayah pukul mama karena mama tau ayah selingkuh kan sama tante Hanum itu? Sampai-sampai ibu kecelakaan dan meninggal. Ini salah ayah!" lelehan air mata Haura tidak bisa di tahan. Sekarang ia akan mengeluarkan sesuatu yang selama ini ia tahan, karena Fatih ia kehilangan mama yang paling ia sayang. Mama yang selalu menyiapkan roti untuknya saat pagi hari. Mama yang menyiapkan makanan selain nasi kala ia tidak ingin makan nasi, Haura kehilangan itu semua gara-gara ayahnya sendiri. Ayah yang ia bangga-banggakan adalah penyebab kematian mamanya. Lantas salahkah dia membalas Fatih seperti ini?

Fatih menggelengkan kepala, ayah dan anak itu sama-sama menangis. Ternyata selama ini Haura sudah salah paham padanya.

🍁🍁🍁

Bersambung





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top