27. Sampai di Sini?


بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

☘☘☘

Dunia dan manusia yang ada di dalamnya pasti akan mengecewakan. Tapi, Allah yang maha baik pasti akan meredakan rasa sakit itu.

☘☘☘

Haura memutar vidio Aira yang sedang bergoget ria di ponselnya. Kedua ujung bibir Haura tertarik ke samping, melihat betapa lincahnya Aira mengikuti musik Blackpink Boombayah. Tangannya bergerak lincah, kaki dan rambut tergerai ke kiri dan ke kanan. Tak lupa dengan wajah imut anak itu yang semakin membuat rindu.

Sehari tanpa Aira hidupnya terasa kosong. Haura tidak tahu bagaimana caranya menghubungi Ariel. Menjelaskan pada suaminya itu bahwa dia tidak bermaksud untuk melukai. Jika Ariel mau kembali, ia berjanji akan memilihnya dan melupakan Rama untuk selamanya.

"Bunda kangen sama Ai. Sekarang Aira lagi apa?"

Setelah kepergian Ariel, Haura baru merasakan rindu yang luar biasa. Ketakutan yang teramat besar saat kehilangan Ariel. Mungkin kemarin perasaan Haura pada Rama hanya datang sepintas, sebagai tanda bahwa Rama pernah ada di dalam hatinya.

Terlebih Ariel pergi membawa Aira, membuat hati itu terasa lebih perih dua kali lipat. Ternyata, begini rasanya hidup tanpa kedua orang itu.

'Mungkin, aku tidak bisa berjanji akan membuatmu selalu tersenyum. Tapi aku bisa menjanjikan bahwa kamu tidak akan pernah merasakan kepedihan dan dan kehilangan cinta dariku.'

Kalimat itu selalu datang sebagai penenang saat Haura merasa bahwa Ariel akan meninggalkannya. Dengan adanya janji dari Ariel, maka ia harus yakin bahwa ia tidak akan pernah kehilangan Ariel.

"Aku yakin, Ariel. Kamu nggak mungkin lupa sama janji kamu."

☘☘☘

Suhu tubuh Aira tak kunjung turun. Ariel melihat Termometer digital yang sebelumnya ditempelkan di ketiak Aira.

40°C

Ariel sangat khawatir jika Aira mengalami step akibat demam yang menyerangnya. Obat yang Ariel berikan juga tampaknya tidak bereaksi sama sekali. Ariel memprediksi kemungkinan Aira mengalami DBD, sebab beberapa gejalanya ada pada Aira, semoga saja tebakannya itu salah.

"Demamnya semakin tinggi." kata Ariel pelan

"Apa kamu tidak ingin menguhubungi Haura?"

Ariel hanya diam menanggapi ucapan Irwan. Sebanarnya Ariel juga tidak tega membiarkan Aira sakit tanpa adanya Haura yang menjanga. Tapi, Ariel sendiri juga belum tentu bisa sanggup jika harus kehilangan Aira juga.

"Kasian Aira. Dia pasti butuh ibunya."

Ariel menggelengkan kepala. "Aku bisa merawatnya."

"Apa kamu tidak ingin menemuinya? Mungkin saja saat itu kamu salah paham dan sebenarnya dia memilih kamu."

"Mungkin. Itu baru kemungkinan, Om. Belum keputusan yang mutlak. Saya juga cuma manusia biasa, hati saya bisa sakit kalau mengetahui orang yang selama ini aku sayangi tidak pernah menghargai kehadiranku. Kalaupun dia bisa menghargaiku, dia tidak akan mungkin kebingungan memilih antara aku dan Rama." Ariel berjalan mendekati Irwan.

"Rumah tangga tanpa ada cinta, itu nggak mungkin bisa dipertahankan. Jadi, cukup sampai di sini. Selama empat tahun ini, aku sudah cukup untuk berusaha mendapatkan hatinya."

"Ariel. Cinta itu nggak pernah mengenal waktu. Semisalnya seperti ini. Kamu menjual satu produk tapi saat ada pembeli yang memperotes produk kamu dan membandingkan dengan produk lain, kamu tidak perlu marah. Kamu cukup bermulut manis dan mengatakan bahwa dulu kamu pun memakai produk yang sama dengannya dan saat itulah kamu mengatakan bahwa produk kamu mampu lebih unggul dari produk yang dia bandingkan itu. Mungkin satu atau dua minggu lagi dia itu akan kembali dan membeli produk yang kamu tawarkan. Karena apa? Karena perlakuan kamu yang manis. Begitupun dengan cinta. Kamu tidak perlu menuntut Haura untuk mencintai kamu secepatnya. Bisa jadi lima tahun kemudian dia sangat mencintai kamu. Karena apa pun yang kita lakukan harus dengan iklas."

"Tapi Haura itu berbeda, Om. Di dalam hatinya hanya ada Rama."

"Siapa yang bisa tahu isi hati seseorang? Tidak ada, Ril. Om hanya menyarankan kamu tetap memperlakukan Haura dengan manis, tidak perlu menyiksanya dengan menjauhkannya dengan Aira."

"Tapi aku tidak bisa kehilangan Aira, Om."

"Tidak perlu takut. Kamu tidak akan kehilangan apa pun. Kamu harus percaya dengan kekuatan Allah. Segala sesuatu yang terjadi itu semua atas kehendak-Nya, kalau Dia tidak ingin kamu dan Haura berpisah maka sekuat apa pun hati Haura ingin kembali pada Rama, itu tidak akan terjadi."

Ariel masih diam.

Sebenarnya Irwan iba melihat Haura yang kemarin datang untuk menanyakan keberadaan Ariel dan Aira. Sayangnya Irwan sudah terlanjur berjanji untuk tidak memberikan informasi apa pun pada Haura. Irwan hanya takut Ariel marah dan membawa Aira ketempat yang lebih jauh.

Saat itu Irwan bisa melihat ada cinta yang Haura simpan untuk Ariel. Ada rasa rindu yang sedang ditahannya.

"Hubungi Haura." Irwan menepuk bahu Ariel, selanjutnya pria itu melangkah pergi.

☘☘☘

Haura berlari di lorong rumah sakit. Matanya tak hentinya memandang ke sana kemari mencari kamar Aira yang sebelumnya sudah ditanyakan pada bagian resepsionis. Serasa jantung yang bekerja tak normal, Haura menangis mencemaskan Aira.

Awalnya ia sangat senang saat ada panggilan masuk dari Ariel. Tapi senyum itu hilang tak kala mendengar kabar yang Ariel sampaikan.

Tidak lama setelah itu ia melihat kamar bertuliskan Ruangan Cempaka 023.

"Itu dia." Haura melebarkan langkahnya, tak sabar ingin sampa dalam ruangan itu. Saat pintu terbuka, ia melihat Ariel yang sedang menyuapi bubur untuk Aira. Air mata Haura langsung menetes. Akhirnya ia bisa melihat kedua orang penting dalam hidupnya.

"Bunda...."

Haura mengkah mendekati putrinya.

"Bunda khawatir banget sama kamu. Sekarang kamu masih ngerasain sakit nggak?"

Aira menggelengkan kepala.

"Aku udah diobatin, Bunda. Kata ayah, Ai harus kuat, biar nanti dikasih hadiah."

Haura menganggukkan kepala, disekanya air mata yang ada di pipi.

"Ariel..."

"Temanai Aira. Hari ini ada pasien yang harus aku tangani." Ariel berlalu begitu saja. Haura terdiam.

Ariel tak pernah sedingin ini, Ariel tak pernah secuek ini, Ariel tak pernah membuatnya menangis, Ariel tak pernah membuat hatinya terluka. Tapi, dengan sikapnya sekarang seolah menghancurkan segala kebahagiaan yang sudah dibanggunya untuk Haura. Hati Haura teramat sakit dengan sikap Ariel yang seperti itu.

"Aira tunggu sebentar ya sayang. Bunda mau ngomong sama ayah. Janji sama Bunda, jangan turun dari tempat tidur."

Aira menganggukkan kepala, mengerti dengan perintah sang bunda.

Haura keluar dari ruang rawat Aira, di luar ia masoh bisa melihat Ariel yang berjalan dengan gontai.

"Ariel. Tunggu!"

Tubuh Ariel terhenti secara mendadak saat mendengar suara itu.

"Kenapa kamu cuekin aku? Kenapa kamu nggak meluk aku? Apa kamu nggak kangen sama aku?"

Ariel memejamkan matanya yang dirasa mulai memanas, sekali lagi Haura bersuara, air mata itu akan sukses jatuh membanjiri pipi.

"Katanya, aku nggak akan pernah kehilangan cinta dari kamu, katanya kamu akan bikin aku bahagia selamanya. Tapi kenapa kamu tinggalin aku. Kenapa kamu berhenti perhatiin aku?" Haura masih berdiri di belakang Ariel.

"Itu dulu. Sebelum aku tahu bahwa sakitnya sebuah penghianatan."

"Siapa yang hianatin kamu?"

"Sudalah, Haura. Semuanya sudah berakhir. Cukup sampai di sini. Aku tidak akan menghalangi kebahagiaan kamu. Terimakasih karena sudah menerimaku walau terpaksa. Terimakasih karena sudah memberiku seorang Aira."

Haura menggelengkan kepalanya. Kenapa Ariel bicara seperti itu? Bukan ini yang ia inginkan.

"Aku nggak pernah hianatin kamu, Ariel. Kamu salah paham, aku..."

"Kita ketemu di pengadilan." Ariel memotong ucapan Haura dengan cepat. Setelah itu melangkah pergi meninggalkan Haura dengan rasa sakit yang tak terkira.

Pengadilan?

☘☘☘

Azia mengangkat ponselnya saat ada panggilan masuk dari Marvin. Sedikit dengan gerutu kesal ia mengangkat panggilan itu. Bagaimana tidak kesal.Setelah dua hari Marvin baru menghubunginya lewat panggilan whatsapp.

"Assalamualaikum. Kenapa kamu baru hubungi aku? Kamu nggak tau kalau aku khawatir banget sama kamu. Kamu bikin aku itu stres setengah mati. Kamu nggak kasian sama aku?"

"Azia..."

Azia mengerutkan kening. Itu bukan suara Marvin.

"Ini Papa. Papa Samuel."

"Pa--papa? Maaf, Pa. Aku kira tadi Marvin."

"Bukan..."

Suara Samuel terdengar berat. Tak seperti biasa.

"Azia. Kamu bisa datang ke Cairo?"

"Lho ada apa, Pa?"

"Marvin .... Marvin meninggal dunia tadi subuh."

Mulut Azia bergetar. Meninggal dunia?

"Innalillahi wa inna ilahi rojiun..." Azia menangis. Tubuhnya terasa lemas seketika.

"Kenapa, Pa?" Azia bertanya dengan suara lirih.

"Entalah, Azia. Papa sendiri masih tidak menyangka. Saat salat subuh, dia hanya bilang kalau dia lelah dan ingin tidur kembali. Tapi saat Papa ingin menangakan satu hal, Papa mendapatinya sudah tiada."

Azia masih belum berkutik. Kenapa bisa mendadak seperti ini. Apa salahnya? Kenapa ujian ini kembali datang. Terlebih ada bayi yang baru hadir di rahimnya.

"Enggak, Pa. Aku nggak percaya. Papa periksa lagi. Ini pasti bohong. Ini nggak mungkin."

Azia menjatuhkan ponselnya.

"Marvin, Marvin....." Azia mencengkram sprei dengan kuat. Ada anak di dalam perutnya, dia sangat membutuhkan ayahnya. Marvin tidak boleh lari dari tanggung jawabnya. Marvin harus membesarkan anak itu bersamanya. Haruskah berakhir seperti ini?

☘☘☘

Bersambung

Nah Azia ditinggal Marvin
Haura pun ditinggal Ariel

Dah kebayang? Pokoknya liat terus deh. Nggak akan diduga-duga pokoknya mah in syaa Allah nggak akan ketebak 😂😂









Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top