23. Rindu Hanya Benalu.

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

☘☘☘

"Kamu sudah ingin pulang?" tanya Ariel pada Haura. Ia memberikan teh hangat untuk Haura, setidaknya minuman itu bisa membuat Haura sedikit lebih tenang.

Haura hanya menggelengkan kepala. Ia tidak sanggup jika harus kembali ke rumah. Melihat bayang-bayang Rama di sana sangat menyiksanya.

Saat berada di ruang TV, kamar, mau pun dapur. Semua sudut menyimpan setiap kenangan.

"Lalu bagaimana, Haura. Ibu kamu pasti khawatir."

"Aku ingin di sini. Setidaknya, kalau berada di sini, aku nggak ngeliat bayangan A Rama."

Ariel mengangguk mengerti.

"Kehilangan orang yang sangat kita sayangi itu memang berat, Haura. Setiap orang pasti pernah kehilangan. Bahkan seorang ibu bisa gila karena kehilangan anaknya. Itu hal yang wajar, Haura. Karena kehilangan itu memang sangat membuat batin tersiksa. Apalagi, kepergian orang terkasih itu sangat mendadak."

"Tapi Dokter, apa yang saya alami ini sangat berat."

"Saya pun pernah mengalami hal yang paling berat dalam hidup saya." Aril memasukan kedua tangan ke dalam saki celananya. Berdiri tak jauh dari Haura.

"Saat itu usia saya baru menginjak lima tahun. Saya kehilangan kedua orang tua saya sekaligus. Kamu tahu apa yang saya rasakan saat itu? Saya hanya bisa menangis, menangis dan menangis. Saya tidak bisa melakukan apa pun bahkan berdoa agar kedua orang tua saya tidak meninggal dunia. Tapi saya bisa apa? Semuanya sudah ditakdirkan seperti itu. Kamu tahu? Bgaimana rasanya berangkat ke sekolah tanpa diantar mama atau papa? Dimasakkan makanan kesukaan, dimandikan, disiapkan baju, dipakaikan topi dan disulap menjadi anak yang tampan versi ibu saya. Rasanya sangat sedih Haura. Setiap berangkat sekolah saya selalu menangis, saya rindu mama saya, saya ingin dia mengurus saya. Tapi sekali lagi saya katakan, saya tidak bisa melakukan itu." Kedua bola mata Ariel sudah berair, siap menetaskan air mata kepedihan, air mata sebagai saksi atas kerinduan yang selalu kentara adanya. Jika selalu bercerita mengenai kedua orang tuanya, Ariel tidak bisa bersembunyi dari air matanya.

"Saat di sekolah, saya melihat teman-teman saya dijemput orang tuanya. Sementara saya? Hanya diantar-jemput seorang sopir. Kadang saya suka berpikir, apa saya bisa membeli mama dan papa? Tidak Haura, saya tidak bisa membeli mereka. Tapi lambat laun saya pun berpikir, bahwa saya tidak boleh selamanya begitu, saya harus menghargai paman saya yang berusaha memberikan saya kebahagiaan. Dia berusaha menjadi ayah untuk saya."

"Lalu apa bedanya sama saya, Dok? Saya juga kehilangan ibu saya, terus akhirnya saya kehilangan ayah saya. Saya juga kehilangan suami sekaligus anak saya. Apa itu masih belum cukup untuk membuat saya menderita?"

"Setidaknya kamu masih memiliki ibu dan kakak yang sangat menyayangi kamu. Kemudian soal pasangan, kamu masih bisa mendapatkan penggantinya, Haura."

Tatapan tajam Haura layangkan pada Ariel.

"Dokter pikir apa saya bisa melakukannya semudah itu? Tidak! Saya tidak bisa!" Tangisan Haura kembali meledak. Bagi Haura, Rama adalah lelaki terbaiknya.

"Mungkin saat ini kamu belum bisa, Ra. Tapi apa pun itu, saya akan berusaha untuk meyakinkan kamu bahwa kamu akan kembali menemukan kebahagiaan itu."

☘☘☘

Azia berucap syukur saat membaca pesan dari Ariel.
Gadis itu langsung ke luar dari dalam kamar sambil memanggil Hanum berkali-kali. Berlari menuruni anak tangga, sambil memandang liar ke area rumah.

"Bunda..."

Dilihatnya Hanum yang sedang duduk di atas sofa, wajah Hanum sudah pucat, otaknya menyimpan beban yang cukup berat.  Tak sedetik pun ia lewatkan untuk tak memikirkan Haura.

"Bunda, aku mendapat kabar bahwa dokter Ariel bershasil menemukan Haura. Kata dokter Ariel, Haura ada di rumahnya."

Wajah Hanum memancarkan raut kaget sekaligus bahagia. Benarkah yang barusan ia dengar? Haura sudah ditemukan?

"Kamu nggak bohong kan, Azia?"

Azia menggelengkan kepala.

"Tapi Haura masih ingin menenangkan diri. Kita tidak perlu khawatir, Bunda. Dokter Ariel orang yang baik, dia pasti akan menjaga Haura."

"Tapi Bunda ingin bertemu dengan Haura."

"Besok, aku janji kita akan ke sana."

Hanum menganggukkan kepala, berkali-kali mengucap syukur, tidak ada yang bisa Hanum lakukan selain memuji Allah, sebab ia sudah menjaga Haura melalui Ariel.

☘☘☘

Aku tidak pernah tahu bagaimana ini bisa terjadi. Aku seperti tertarik pada dunia masalalu, di mana saat aku sama sekali tidak menemukan cahaya, dunia ini terlalu kelam rasanya. Tanpanya, aku seperti tidak berarti menjalani hidup, tanpanya dunia ini hanya seperti ilusi, tanpanya bahagia itu hanya cerita, tanpanya cinta itu hanya sebuah sejarah, tanpanya rindu ini hanyalah benalu. Tanpanya, raga ini kosong tak bernyawa, tanpanya ceritaku dan dia hanya air yang mengalir.

Terkadang, aku sering kali berpikir, bahwa dia belum pergi, jantung ini serasa masih menemukan kejadirannya. Bolehkah aku sedikit berhayal? Cerita kematiannya hanya kesalahan dalam pelacakan?

Haura menghentikan tulisannya di atas kertas. Pulpen yang ia pegang pun terlepas seketika. Tangisan itu semakin kentara terdengar. Sudah hampir satu tahun kepergian Rama. Bahkan hingga saat ini ia masih menolak kenyataan yang sudah hadir di depan mata.

Kenapa sangat menyakitkan seperti ini?

Tidak banyak yang berubah selama satu tahun belakangan ini. Mavin, Azia dan Ariel juga sudah menjadin hubungan persahabatan yang baik.

Haura sama sekali tidak mengerti tentang tujuan Ariel yang selalu hadir untuk mengisi harinya. Haura pun hanya bisa berharap, semoga Azia bisa berjodoh dengan Ariel mau pun Marvin. Sebab kedua lelaki itu sama baiknya.

"Haura..."

"Iya, Bunda?"

"Kamu mau kan menemani Bunda untuk membeli keperluan dapur? Bunda pengen ditemani sama kamu."

Haura menganggukkan kepala.

"Iya, Bunda."

"Sebelumnya, Bunda mau cerita sama kamu."

"Apa itu?"

"Menurut kamu, yang lebih baik itu Dokter Ariel atau Marvin?"

Kening Haura berkerut.

"Hmm, selama ini aku nggak begitu dekat dengan kak Marvin. Cuma menurut aku, kak Marvin sama baiknya sama dokter Ariel."

Hanum tersenyum penuh arti.

"Kenapa Bunda nanya gitu?"

"Siapa tau mereka berdua bisa menjadi menantu bunda."

Haura terkekeh pelan.

"Emang Bunda mau suruh kak Azia punya dua suami?"

"Bukan punya dua suami, Haura. Kan Bunda punya dua anak perempuan."

Selebihnya Haura hanya diam. Dia tahu ke mana arah pembicaraan sang bunda. Haura tahu, Ariel memang laki-lai yang baik, hanya saja, Haura masih belum tahu apakah dia sudah siap menerima laki-laki lain untuk hadir ke dalam hidupnya.

☘☘☘

Marvin tersenyum bangga melihat Coffee Shop yang berhasil ia dirikan. Berkat bantuan dana dari Samuel ayahnya, dan uang simpanannya selama bekerja di Jakarta berhasil menjadikannya orang yang sukses. Di sini ia sudah memiliki 25 karyawan. Coffee-nya pun juga selalu ramai pengunjung. Ini berkat Azia yang selalu menemaninya semasa perjuangan itu.

Jujur, Marvin sempat beberapa kali merasa cemburu dengan kedekatan antara Ariel dan Azia. Tapi Marvin pun percaya bahwa Azia masih menyimpan cinta untuknya. Walau ia sendiri belum pernah mengungkapkan kembali perasannya.

Marvin mengangkat tangan hingga sesejer dengan dada, dilihatnya jam berwarna hitam yang melingkar di tangan.

"Sudah jam dua siang, kenapa Azia masih belum sampai di sini? Bukankah jadwal kerjanya hanya sampai jam satu siang?" Gumam Marvin pelan

Tidak lama setelah itu Azia pun datang bersama Ariel. Terlihat Ariel yang sedang tertawa lepas, begitu pun dengan Azia yang terlihat sedikit matanya menyipit, sudah dipastikan bahwa Azia juga sedang tertawa.

Apa yang mereka bicarakan?

☘☘☘

Bersambung



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top