19. °Tanpa Kabar Berita°

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Allah tidak pernah melihat seberapa kuat kamu menjalani perihnya kehidupan di dunia melainkan Ia lebih melihat seberapa besar rasa ikhlas yang kamu miliki ketika menerima segala ujian yang sudah Dia hadirkan ke dalam hidupmu

🍁🍁🍁

Azia terpegun saat membuka pintu rumahnya, tiba-tiba saja laki-laki berkulit putih itu muncul di hadapannya dengan senyuman yang mengembang.

Dilihatnya laki-laki itu memancarkan wajah sumringah menandakan bahwa dia sangat bahagia bisa bertemu kembali dengan Azia, perempuan yang sampai saat ini teramat ia cintai.

"Marvin?"

"Azia..." sahut Marvin lagi. Melihat Azia baik-baik saja seperti ini sudah sangat membuatnya jauh lebih bahagia.

Azia berjalan ke luar dan duduk di atas kursi yang ada di teras. Ia tidak tahu apakah ia bahagia dengan kedatangan Marvin atau sebaliknya.

"Kenapa responmu seperti ini, Azia? Apa kamu tidak senang dengan kedatanganku?"

"Bukan begitu, Marvin. Tapi apa tujuan kamu datang ke sini? Bukankah kamu seharusnya bersama Safiya?"

Marvin ikut duduk di sebelah Azia.

"Safiya sudah meninggal, Zi."

Azia membulatkan kedua bola matanya, sungguh tidak percaya dengan kabar yang baru saja di sampaikan Marvin.

"Safiya meninggal?" tanya Azia tak percaya

Marvin menganggukkan kepala sebagai jawaban.

"Dia kecelakaan saat kamu ingin kembali ke Indonesia. Saat itu dia ingin bertemu dengan kamu, berniat untuk meminta maaf bahwa selama ini dia sudah menyakiti hati kamu. Sayangnya, dia nggak sempat ketemu sama kamu."

"Innalillahi wa inna ilahi roji'un ..."

Azia menangis pilu. Safiya adalah sabahat yang paling ia sayangi, Azia merasa begitu berdosa karena sudah sempat membuat perempuan itu terluka, secara tidak sengaja juga ia sudah merebut kekasih hatinya tanpa disengaja.

"Dia sempat beberapa hari di rawat di rumah sakit, tapi nyawanya tidak tertolong. Aku sedih karena kepergiannya. Bagaimanapun, aku sudah menganggap dia seperti adikku sendiri."

Rasanya Azia ingin sekali pergi ke Cairo, berziarah ke pemakaman Safiya. Namun Azia tidak bisa berbuat apa-apa saat ini, masalah keluarganya saja masih belum selesai.

"Safiya juga menitipkan surat untuk kamu."

"Surat?"

Marvin merogoh saki kemejanya, dikeluarkannya kertas putih yang di dalamnya ada tulisan terakhir Safiya.

Dengan tangan bergetar, Azia menerima surat yang diberikan Marvin. Mau tidak mau, siap tidak siap ia harus membaca tulisan itu. Tulisan yang bisa saja menjadi isi hati dari seorang Safiya, sahabat yang sudah ia sakiti perasannya, sahabat yang sudah kehilangan cinta dari Marvin karena kehadiranya.

Dear Azia....

Terimakasih untuk persahabatan kita yang begitu manis. Maaf atas kekeliruanku karena kita telah mencintai laki-laki yang sama. Benar kata Marvin, seharusnya aku tidak pernah memiliki perasaan ini, seharusnya aku juga mampu menahan hati ini agar tidak melukai hati dua orang yang saling mencintai.

Aku tidak tahu bagaimana caranya aku meminta maaf. Karena sejujurnya aku yang salah, aku yang sudah merebut Marvin dari kamu.

Azia, aku tahu bahwa kamu memang bidadari baik hati yang sebenarnya. Jika untuk melepas calon suamimu untuk adikmu sendiri saja kamu bisa, kenapa tidak denganku? Kebersamaanku dan Marvin yang tidak akan kamu lihat setiap hari. Dulu, aku sering mengatakan bahwa adikmu perempuan berhati jahat karena sudah merampas lelaki yang kamu cinta. Tapi nyatanya aku jauh lebih jahat, aku memaksamu untuk meninggalkan Marvin agar aku bisa bahagia dengannya.

Air mata Azia jatuh tepat dibagia air mata Safiya yang sebelumnya sudah kering.

Azia, sungguh, aku benar-benar tidak tahu bagaimana caranya minta maaf atas semua kesalahan aku. Aku terlalu malu untuk ketemu sama kamu. Jadi aku akan meminta Marvin untuk memberikan surat ini. Setidakmya lewat surat ini permohonan maafku sudah terwakilkan.

Tidak hanya itu, Azia. Aku ingin mengembalikan Marvin pada hati yang sebenarnya. Aku tidak masalah jika harus terluka asalkan kamu bahagia. Lagipula, aku juga tidak akan bisa hidup tenang bersamanya.

Kembalilah bersama Marvin, Azia. Maafkan atas semua kebodohan yang pernah aku lakukan, maafkan atas semua rasa sakit yang pernah aku kasih untuk kamu.

Dari Safiya, sahabatmu.

Azia mengusap air matanya. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Kembali bersama Marvin atau menunggu sampai Ariel mengunggapkan perasaannya? Laki-laki yang kini namanya memiliki kedudukan lain di hati Azia.

🍁🍁🍁

"Kamu masih sedih karena suami kamu pergi?"

"Kayaknya saya nggak perlu jawab pertanyaan Dokter, deh."

Dokter Ariel memganggukkan kepalanya. Semakin hari perasaan Ariel pada Haura semakin tidak menentu. Berkali-kali ia berusaha melupakan perasaan cinta itu, tapi berkali-kali juga perasaan cinta itu kian membesar. Ariel semakin sulit mengendalikan hatinya, bahkan terkadang ia berharap bahwa Rama tidak akan kembali lagi. Harapan itu bisa membuatnya untuk menyambung tali cintanya dengan Haura.

Apa dia egois meminta hal seperti itu pada Tuhan?

Semenjak beberapa waktu belakangan ini, Ariel semakin tidak bisa mengendalikan perasaannya, cintanya kepada Haura semakin terasa besar, melihat Haura bersedih hatinya terasa sakit.

Jika harus melupakan Haura, itu bukan perkara mudah bagi Ariel, mungkin seperti ini yang namanya cinta pertama yang sebenarnya. Ingin memiliki seseorang dengan jalan menikahinya namun hal itu tidak dapat ia lakukan.

Ariel hanya bisa diam dengan ekspresi wajah yang sulit diartikan, tatapannya sendu seperti memikirkan satu masalah yang berat.

Haura menegakkan tubuhnya, Ariel mendogakkan kepala memandang Haura yang sudah berdiri.

"Aku harus pulang. Siapa tahu, A Rama udah pulang."

Ariel hanya tersenyum tipis. Hatinya terasa sakit saat mendengar perkataan Haura beberapa detik yang lalu. Sampai detik ini ia masih saja menunggu kepulangan Rama, laki-laki yang sudah tega menyakiti hatinya.

"Mau saya antar?"

Haura menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"Nggak usah, Dok. Saya bisa pulang naik taksi."

Ariel mengembuskan napas pelan. Baiklah, mungkin ini bukan saatnya ia memaksakan diri untuk mengenal Haura lebih dekat.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumusalam."

Setelah itu Ariel hanya bisa melihat kepergian Haura, memandang punggung perempuan yang sama sekali tidak menoleh kebelakang, walaupun sebenarnya Ariel ingin sekali Haura menoleh walau hanya sesaat.

🍁🍁🍁

Terik matahari yang menyengat seolah menyerang kulit putih Haura. Sesekali wanita itu menyipitkan mata akibat kilauan dari pancaran cahaya matahari. Beberapa waktu ini kota Jakarta memiliki cuaca yang sedikit lebih panas, sehingga orang-orang jauh lebih memilih untuk naik mobil dibandingkan naik kendaraan roda dua.

Haura mengembuskan napas, kakinya terasa sangat lemas. Sejak dari tadi ia juga tidak menemukan taksi yang lewat. Seandainya ponselnya tidak mati, mungkin sudah sejak tadi ia memilih untuk memesan taksi online.

Karena terlalu lelah, Haura duduk di halte yang tak jauh dari rumah sakit. Setidaknya di tempat ini cukup teduh untuk beristirahat sambil menunggu kendaraan yang lewat.

"Ternyata Jakarta semakin terasa panas."

Haura mendogakkan kepala. Kedua bola matanya langsung membulat.

"Arga?!"

Laki-laki yang disebut namanya itu hanya tertawa sarkastis. Senyuman itu adalah senyuman yang membuat Haura merasa begitu takut. Dikepalkannya kedua tangannya, emosi itu serasa membeludak seketika. Laki-laki itulah yang menyebabkan kehancurannya.

Karena laki-laki itu, ia harus mengalami kejadian buruk bersama pereman-pereman biadap itu, gara-gara Arga ia harus kehilangan kebahagiaannya, gara-gara Arga juga, ia harus kehilangan ayahnya.

"Haura kenapa kamu nangis, kamu kangen sama aku?"

Haura membuang muka ke samping, diusapnya wajahnya dengan kasar.

"Brengsek!" Haura bergumam pelan.

Sementara itu Arga memandang penampilan Haura dengan terheran-heran. Haura tiba-tiba berubah seperti ini? Arga yakin ini hanya dramanya semata. Arga sangat kenal siapa Haura, dia adalah perempuan yang sangat pandai bermain drama.

"Kita udah berapa lama nggak ketemu ya? Aku rasa kamu lagi salah deh, seorang Haura mana mau berpenampilan seperti ini, apalagi ini cuaca sepanas ini. Sumpah demi tuhan, kamu lebih cantik kayak dulu. Sekarang kamu keliatan norak."

Mendengar perkataan Arga yang seperti itu, rasanya Haura ingin sekali menampar pipi laki-laki itu, kalau perlu membogemnya hingga tergeletak di atas aspal.

"Haura, ayolah? Jangan diam terus, ikut sama aku kita akan bersenang ria lagi. Ini bukan kamu banget."

"Kamu nggak ada hak untuk bawa-bawa aku. Kamu lupa? Kita ini udah nggak ada hubungan apa-apa lagi!"

Arga berdecak kesal. Ia tidak akan melepaskan Haura begitu saja. Bagaimanapun Haura harus menjadi miliknya lagi. Seandainya malam itu ia bisa memaksa Haura lebih kesar, pasti ia akan mendapatkan segalanya.

"Jangan bikin aku berbuat kasar sama kamu Haura. Kamu nggak bisa lepas gitu aja dari aku!"

"Apa kamu bilang? Arga! Asal kamu tau, kamu itu udah hancurin hidup aku! Jangan pernah berharap kamu bisa hancurin hidup aku lagi!"

Arga mengepalkan tangannya hingga menunjukkan buku-buku jari tangannya. Ditariknya tangan Haura dengan kuat hingga membuat Haura meringis kesakitan.

Genggaman itu semakin mengencang takkala Haura berusaha berontak. Arga malah tertawa lebar menyaksikan reaksi yang Haura berikan. Ia suka dengan ketakutan yang Haura tunjukan, dengan begitu ia suka untuk menyakiti mantan kekasihnya itu.

"Kamu itu cantik, seharusnya kamu itu selamanya menjadi milik aku."

"Kamu nggak berhak maksa aku untuk balik lagi sama kamu. Aku udah nikah!" kata Haura dengan intonasi tinggi, napasnya memburu cepat, jantungnya juga berdetak kencang tak beraturan. Bagaimanapun ia harus mengumpulkan keberanian untuk melakukan perlawanan agar Arga tidak bisa bertindak kasar padanya.

Terdengar kekehan pelan dari mulut Arga. Ia tidak akan percaya dengan pengakuan Haura. Mana mungkin perempuan itu bisa menikah dengan laki-laki lain? Sementara Arga sangat tahu, seberapa besar Haura mencintainya bahkan sampai perempuan itu menentang ayahnya sendiri.

🍁🍁🍁

Hanum mondar-mandir di depan pintu, sesekali wanita paruh baya itu mengangkap kepalanya dan memandang ke luar rumah untuk memastikan kedatangan Haura. Tidak biasanya Haura pulang larut malam seperti ini. Padahal pagi tadi ia hanya pamit ke rumah sakit untuk berobat dan seharusnya Haura sudah kembali pulang sejak siang tadi.

"Azia gimana, apa Ariel tahu kemana Haura?"

Azia menggelengkan kepala. Beberapa menit lalu ia baru saja menghubungi dokter Ariel. Bukan informasi yang ia dapatkan, justru kabar yang mengejutkan.

"Nggak, Bunda. Dokter Ariel bilang, Haura sudah pulang sejak tadi siang. Bahkan sebelum pulang dia juga semoat ngobrol sama dokter Ariel."

"Ya Allah kemana anak itu." kata Hanum dengan intonasi rendah. Ia sangat mencemaskan keadaan Haura. Bagaimana jika terjadi hal buruk pada putrinya itu? Kedua mata Hanum sudah berair, menangis karena perasaannya tidak tenang.

Azia juga tidak habis pikir mengenai Haura. Apalagi sampai saat ini Rama juga belum sampai di rumah. Padahal kemarin Azia sempat senang karena Rama mengabarkan akan pulang secepatnya. Tapi nyatanya laki-laki itu tak kunjung datang, saat dihubungipun nomornya juga tidak aktif.

Tidak lama setelah itu ponsel Azia kembali berdering, di sana tertera panggilan masuk dari Ariel.

"Assalamualaikum, Azia. Apa Haura sudah sampai di rumah?"

"Waalaikumsalam, Belum Ril." Azia menjawab pelan. Azia juga mendengar bagaimana suara Ariel yang terdengar kecewa saat mendengar jawabannya. Sekhawatir itukah Ariel pada Haura?

"Aku akan mencari keberadaannya. Kalau perlu aku tidak akan berhenti mencarinya sebelum aku menemukannya."

Azia menganggukkan kepala dan berharap semoga Ariel benar-benar berhasil menemukan Haura.

🍁🍁🍁

Bersambung







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top