17::Hanya Sehelai Kertas

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🌺🌺🌺

Terkadang kesedihan tidak serta-merta diwakili oleh air mata. Sebab diam dan pergi adalah salah satu kekecewaan yang luarbiasa yang tak bisa diungkapkan dengan kata.

🌺🌺🌺

Haura menangis tersedu-sedu saat menyadari bahwa nomor telfon Rama tidak bisa dihubungi. Karena kekecewaan itu, Rama pergi meninggalkannya. Menghilang tanpa mengucapkan kata hanya untuk sekadar kata pamit.

Rama---terlalu tega melakukan ini padanya. Pantaskah ia yang harus disalahkan atas kematian neneknya? Berkali-kali Haura memohon dan memberi alasan atas kenapa ia tidak ingin dimadu. Tapi berkali-kali pula Rama tidak mau mendengarnya.

Mungkin, seperti ini rasanya dicintai hanya dengan sebatas kata. Terkadang, Haura berpikir bahwa ia salah menyimpan nama Rama dalam hatinya, seharusnya ia menyimpan nama laki-laki itu dalam doanya. Agar kelak nama itu naik kelangit lalu kelal di sana.

'Jangan mencariku. Aku ingin menenangkan diri. Untuk urusanku dengan Haura, aku akan menyelesaikannya setelah aku kembali nanti. Aku rasa, aku memang tidak bisa memaafkannya.'

Kertas itu lepas dari tangan Haura, melayang secara perlahan hingga tergeletak di atas lantai. Bersamaan dengan itu pula, tubuh Haura jatuh ke lantai. Menangis sesegukan, hanya itu yang bisa ia lakukan sekarang.

Haura semakin mengerti, mengapa Rama mau menyakitinya hingga seperti ini. Kematian nek Rani hanya dijadikan sebagai alasan untuk membuang Haura dari hidupnya. Haura tahu, di dalam hati Rama masih menyimpan cinta yang jauh lebih besar untuk Azia.

Sandra yang saat itu juga hanya mampu menangis tidak bisa melakukan apa-apa. Apalagi saat tahu bahwa Haura sedang mengandung cucunya. Tidak mungin Sandra harus menyalahkan Haura sepenuhnya.

Azia lantas berjongkok lalu memeluk Haura dengan erat. Seandainya ia bisa mengembalikan keceriaan adiknya, apa pun cara yang bisa ia lakukan, pasti ia lakukan.

"Kak, aku mohon kak. Cari A Rama. Suruh dia pulang, Kak. Seandainya dia mau nikah sama kakak, aku nggak bakal ngelarang lagi. Dia harus pulang, Kak. Dia harus tau di dalam perut aku, ada anak dia..."

Pelukan Haura pada Azia kian mengencang, sakit tak berdarah. Begitulah orang-orang menyebutnya.

"Tidak, Haura. Itu bukan satu-satunya cara untuk menyuruh Rama kembali. Kakak tidak akan pernah mau menikah dengan suami dari adik kakak sendiri."

"Terus apa, Kak. Apa? Kakak tahu gimana cara bawa A Rama ke sini? Enggak, kan!"

Sandra berdiri dari atas sofa. Dihapusnya air matanya dengan kasar.

"Azia, bawa adikkmu pulang. Suruh dia istirahat. Jangan sampai dia membuat tante kehilangan calon cucu tante juga."

Kening Azia berkerut saat mendengar ucapan yang tercetus dari bibir Sandra. Marahkan Sandra padanya?

Tidak lama setelah itu, Sandra pergi meninggalkan Azia dan juga Haura yang masih menangis. Sandra terlalu pusing dengan masalah yang ada, mertuanya baru saja meninggal dunia, sekarang anaknya pergi entah kemana. Sekarang ia hanya bisa berharap semoga Aryo bisa menemukan Rama, membawa anaknya pulang dalam keadaan baik-baik saja.

🌺🌺🌺

Semua tempat yang pernah Rama kunjungi, sudah Aryo datangi. Namun tidak di satu tempat pun Aryo temukan keberadaan Rama.

Aryo duduk di atas sofa sambil memijit kepala yang terasa pening. Walau pun Rama sudah berpesan untuk menenangkan diri, tetap saja Aryo mencemaskannya, bagaimana pun, Rama adalah anak satu-satunya yang ia miliki.

"Mas, bagaimana dengan Rama? Apa kamu sudah tahu keberadaannya?"

Aryo hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban. Sandra mendesah resah, kecemasan itu semakin saja membesar.

"Apa sebenarnya yang ada di dalam pikiran anak itu, menurutku, dia tidak seharusnya melakukan hal seperti ini."

"Entalah, Sandra. Aku juga tidak mengerti. Yang aku tahu, Rama begitu mencinta Haura, bahkan dia rela meninggalkan rumah ini asalkan Haura tidak berselisih dengan mendiang ibu. Tapi, saat kejadian kemarin, Rama malah marah besar pada istrinya itu."

"Aku mengerti bagaimana perasaan Haura. Tapi entah kenapa kalau melihat Haura, emosiku datang seketika karena Rama pergi gara-gara dia, tapi sebisa mungkin aku menahannya agar mulutku ini tidak melukainya."

Aryo mengembuskan napas pelan. Mungkin kemarin ia sempat kecewa karena Haura menolak untuk di madu. Namun pada akhirnya Aryo-pun menyadarinya. Bahwa berbagi suami dengan perempuan lain bukanlah satu hal yang mudah bagi seorang wanita.

Seharusnya Rama juga harus berpikiran seperti itu, terlebih Haura sendiri adalah istrinya. Memikirkan perasannya juga menjadi kewajiban bagi Rama. Emosi yang tak tertahan bisa mengalahkan segalanya. Termasuk menghilangkan sikap Rama yang sering memaafkan.

🌺🌺🌺

'A Rama, A Rama di mana? Ayo pulang, A. Maafin aku. Maaf kalau aku udah nyebapin nek Rani meninggal dunia. Maaf kalau aku udah egois.'

'A Rama mau nikah sama kak Azia? Aa marah waktu aku larang itu? Sekarang kalau dengan cara menikah dengan kak Azia bisa bikin Aa pulang. Nggak apa-apa, nikah aja.'

'Aku cuma mau A Rama pulang. Aku bakal kasih A Rama kejutan, itu mungkin bisa bikin marah A Rama ke aku itu hilang.'

Beberapa pesan dikirim Haura pada Rama. Tapi tetap saja pesan itu gagal terkirim. Nomor ponsel Rama masih tidak aktif.

Haura seperti kehilangan semangat hidup, padahal di saat seperti ini seharusnya dia berbahagia menunggu kelahiran sang buah hati. Bayi mungil yang selama ini dinantikan kehadirannya oleh Rama.

Haura meringis memegangi perutnya yang terasa sakit, tapi sakit itu belum sebanding dengan sakit yang ada di hatinya.

"Haura, buka pintunya. Kamu jangan terus-terusan mengurung diri seperti ini, Nak."

Kali ini rayuan Hanum untuk menyuruh Haura keluar, setelah sebelumnya Azia gagal meminta Haura untuk membuka pintu kamarnya.

Hanum mendesah pelan, pada akhirnya usaha itu kembali gagal. Kedua bola mata Hanum berarir, lagi-lagi ia merasa gagal menjaga Haura. Seanainya Fatih masih hidup, mungkin semuanya tidak akan seperti ini. Setidaknya Fatih bisa membantu untuk menemukan keberadaan Rama, bahkan bisa memarahi Rama karena sudah melukai putrinya.

Azia-pun tak kalah cemasnya. Apalagi saat tahu mengenai kondisi kesehatan adiknya sekarang, jika hal buruk terjadi pada Haura, Azia berjanji akan meminta pertanggung jawaban dari Rama.

"Kamu sudah coba hubungi Rama lagi?"

"Sudah, Bunda. Tapi tetap saja. Nomornya tidak aktif."

"Ya Allah..."

Hanum hampir menangis karena suda merasa putus asa. Ia benar-benar tidak menyangka kalau Rama akan sampai hati menyiksa Haura seprti ini.

"Ini semua salahku, Bunda."

Azia menjatuhkan pandagan ke lantai, butiran bening kini mengantung di pelupuk mata, satu kali kedipan cairan itu akan jatuh dari matanya.

"Seandainya aku tidak menyuruh Haura menikah dengan Rama, mungkin Rama tidak akan melukai Haura, nek Rani tidak akan meninggal, Marvin tidak akan jatuh cinta sama aku, persahabatan aku sama Safiya tidak akan hancur, dan...."

Azia meganggantungkan ucapannya, sesak sekali dada itu.

"Dan bayi yang ada di dalam perut Haura tidak akan kehilangan ayahnya. Ini salahku, Bunda. Aku sudah salah mengambil keputusan, Allah berhak menghukumku. Karena perbuatanku, semua orang sengsara, aku udah lukain banyak orang."

Tangisan Azia kian mengencang. Terlalu banyak masalah yang ia hadapi beberapa waktu ini. Masalahnya yang ada di Cairo belum selesai. Ia pikir saat ada di Indonesia, semuanya akan baik-baik saja, ia akan memulai hidup baru. Namun semuanya di luar prediksi. Masalah yang ada di depan matanya jauh lebih besar.

Hanum memandang putri sulungnya dengan tatapan tak terbaca. Semuanya terkuak, diam-diam Azia juga sedang banyak masalah. Lagi-lagi ia tidak bisa peka sebagai seorang ibu. Seandainya Hanum bisa mengambil semua masalah kedua anaknya, ia akan mengurasnya hingga habis, biarkan dia saja yang menderita dengan semua masalah yang ada.

"Azia, jangan bicara seperti itu. Ini bukan salah kamu. Semuanya sudah terjadi atas kehendak Allah, Zi."

Azia menggelengkan kepala. Tetap saja ia merasa bersalah. Ia sudah menitipkan Haura pada tangan yang salah. Rama, tidak sebaik yang ia kira. Rama, laki-laki yang tidak punya hati.

Pintu kamar Haura terbuka, pandangan keduanya tertuju kepada Haura yang berdiri dengan wajah pucat.

"Bunda..., sa---sakit."

Tubuh Haura tumbang seketika membuat kedua wanita itu memekik.

"Haura ... bangun, Haura. Kamu kenapa?" tanya Hanum dengan wajah cemas luar biasa.

Kedua bola mata Azia membulat tatkala melihat bercak darah pada gamis yang Haura kenakan.

"Bunda, Haura berdarah."

🌺🌺🌺

Rama duduk tak jauh dari ustad Riza, guru sekaligus sahabat Rama sejak dulu. Di pesantren sahabatnya ini setidaknya Rama bisa menenangkan diri.

Semua masalah sudah ia jelaskan pada Riza meminta solusi untuk keputusan yang harus ia ambil selanjutnya.

Rama tahu, kalau dia memang bersalah. Tapi untuk menerima kematian sang nenek, masih berat baginya.

Rindu, tentu. Ia sangat merindukan Haura. Bagaimana kabarnya sekarang?

"Maafkan aku, Haura."

🌺🌺🌺

Bersambung






Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top