::13 -Buah Kejadian di Masalalu-

بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم

⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠

⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠

📖Selamat Membaca📖

🍁🍁🍁

Haura menyentuh perutnya yang terasa kram. Akhir-akhir ini ia sering merasakan sakit yang luar biasa diarea perut. Kadang, rasa mual juga sering mengiringi sakit itu.

Rama baru saja keluar dari dalam kamar mandir, matanya tal sengaja melihat Haura merintih kesakitan. Wajahnya juga pucat, keringat juga memenuhi pelipisnya hingga area mata.

"Haura, kamu kenapa?"

Haura lantas menggelengkan kepala dengan telak. Ia tidak ingin Rama menghawatirkannya. Ada satu hal yang membuatnya begitu takut luar biasa. Saat mual itu datang, ia selalu parno. Ia takut jika kejadian buruk yang ia alami meninggalkan benih di rahimnya. Bagaimana jika Rama tahu, atau bahkan Rina. Ia pasti akan meminta Rama untuk langsung menceraikannya.

"Kita ke rumah sakit, ya."

Haura menggeleng cepat.

"Aa kan harus ke pesantren. Kasian murid-murid A Rama. Aku baik-baik, aja. Lagian aku di rumah ini kan sama bunda."

"Tapi perasaanku tidak enak, Haura. Aku cemas kalau harus meninggalkan kamu dalam kondisi sakit."

"Aku cuma masuk angin aja, A. Makanya agak kembung."

"Hmm, baiklah. Tapi kamu harus berjanji. Jika terjadi apa-apa, cepat hubungi aku."

"Siap, Pak Bos..."

Rama terkekeh pelan, kemudian mengusap puncak kepala Haura.

🍁🍁🍁

Marvin memilih untuk menemui Safiya secara diam-diam tanpa sepengetahuan Azia. Marvin tidak bisa lagi  menahan untuk memberi Sayifa waktu berpikir. Seperti kata Azia, Safiya yang butuh waktu untuk menerima itu salah. Bukan masalah waktu, tapi masalah keputusan yang akan berdampak besar untuk kehidupan masa depannya.

Marvin mengetuk pintu rumah Safiya berkali-laki, hingga perempuan itu keluar dengan mata yang masih sembab.

"Marvin? Ada apa kamu ke sini?"

"Ada apa denganmu, Safiya."

Safiya tidak menyahut, ia hanya melangkah masuk ke dalam rumah dan diikuti oleh Marvin.

"Memangnya kenapa?"

"Jangan balik bertanya. Apa maksudmu meminta Azia untuk meninggalkanku?"

Safiya tergelak, wah ternyata Azia sudah pandai mengadukan hal seperti itu pada Marvin. Dasar, perempan berhati busuk. Pikir Safiya kalut.

"Aku sudah tahu semuanya."

"Ya bagus kalau begitu." Safiya duduk di atas sofa. Ia sama sekali tidak punya keberanian untuk menatap Marvin.

"Ini salah, Safiya!" kata Marvin penuh penekanan. Ia duduk di samping Safiya lalu mendekatkan wajahnya. Safiya masih tak menyahut.

Marvin menarik wajah Safiya hingga pandangan mereka bertemu.

"Apa yang ada di pikiranmu, Safiya. Hey, kita ini bersahabat. Kenapa kamu mengatakan kalau kamu mencintaiku pada Azia? Kenapa kamu juga menjauhi Azia? Saat di Kampus dia berusaha mengejarmu, tapi apa yang kamu lakukan? Kamu selalu menghindar. Kamu tahu? Azia hampir saja tertabrak!"

"Safiya. Itu safiya, Marvin. Aku harus bicara, kenapa dia nggak mau angkat telepon aku."

Safiya yang melihat kedatangan Marvin dan Azia emosi. Ternyata Azia tidak mau mememuhi permintaannya. Jangan harap Safiya mau menemuinya.

Safiya kembali membalikkan badan melanjutkan perjalanan dan menaiki kereta. Azia membulatkan bola matanya, ia tahu Safiya pasti marah.

"Aku harus menyusulnya!" kata Azia tak sabaran. Ia tidak bisa konsentrasi, kesadarannya pun buyar saat panik melihat Safiya yang pergi begitu saja tanpa tersenyum padanya.

Azia tidak berhati-hati saat menyeberangi jalan lalu lintas, hingga sebuah mobil nyaris menabraknya. Untuk ada Marvin yang sigap mendorong tubuhnya walau oada akhirnya kereka sama2 tersungkur di atas aspal. Marvin langsung mengecek keadaan Azia. Bahkan di saat seperti ini saja, ia tetap tidak ingin dibantu Mavin untuk berdiri. Sudah cukup satu kali Marvin menyentuh tubuhnya untuk menghindari kecelakaan itu, sentuhan itu pasti Allah maafkan, karena itu bersifat darurat dan tak ada siapa pun.

Sang pengemudi keluar dari dalam mobil sambil memohon maaf. Ia juga tidak tahu karena Azia muncul secara tiba-tiba ditengah jalan.

Azia-pun sadar akan kesalahannya.

"Azia, keningmu terluka." Marvin terkejut saat melihat lecet pada kening Azia, sedikit berdarah akibat gesekan aspal saat jatuh tadi.

Tidak hanya itu, Marvin juga melihat gamis Azia dibagian lututnya sobek, dan ada bercak darah. Ternyata kakinya juga terluka.

"Azia, kakimu terluka." kata Marvin dengan nada panik. Ia berjongkok lantas ingin menyentuh kaki Azia dengan maksud untuk mengobati.

"Aku nggak apa-apa, Marvin. Aku bisa mengobatinya sendiri. Lagipula nanti lukanya juga akan sembuh sendiri."

"Hampir? Kenapa tidak sekalian tertabrak saja."

"Jaga bicaramu, Safiya. Dia itu temanmu sendiri. Kenapa kamu malah mendokan yang buruk? Aku tidak suka dengan sikap kamu seperti ini!"

"Temanku? Seorang temen tidak mungkin meyakiti temannya sendiri. Apalagi merebut orang yang disukai temannya."

Marvin tersenyum sarkas.

"Kamu menyalahkan Azia atas terlukanya kamu? Kamu sendiri yang menjadikan diri kamu ada dalam posisi seperti ini. Dulu, sebelum aku kenal Azia, kamu sendiri orang yang paling antusias menjodoh-jodohkan aku dengan Azia. Lantas sekarang kamu menyalahkan Azia? Kamu sendiri yang ngga pernah jujur dengan perasaan kamu sendiri. Kalau dari awal kamu jujur, mungkin aku akan berusaha untuk menerima kamu."

"Apa maksudmu?"

"Kalau seandainya jujur dari awal. Mungkin aku akan belajar untuk mencintai kamu. Tapi saat aku bertemu  Azia, ternyata aku tidak bisa menahan perasaanku. Apalagi saat kamu terlihat mendukung, aku rasa Azia memang jodohku."

"Itu aku lakukan supaya kamu mikir, Marvin. Aku sangka kamu akan menolak karena kamu punya perasaan yang sama denganku, nyatanya tidak!"

"Ya sudah, sudah terlanjur dan aku sudah jatuh hati pada Azia. Harusnya kamu bisa seperti Azia. Dia bisa memberikan calon suamiya untuk adiknya. Lantas kenapa kamu tidak mau merelakan aku dengannya?!"

Kedua tangan Safiya mengepal. Emosinya sudah tidak bisa ditahan lagi.

"Tidak semua perempuan seperti Azia. Kamu jangan pernah menyamakan aku dengannya. Sampai kapan pun aku tidak bisa, Marvin. Harusnya kamu mengerti!"

Marvin menggelengkan kepala, sungguh tidak habis pikir dengan kelakuan Safiya.

"Jangan harap aku akan membalas perasaanmu!" ucap Marvin untuk terakhir kalinya, ia melangkah pergi meninggalkan Safiya yang masih terdiam di tempatnya.

🍁🍁🍁

Haura mengetuk kusrsi berkali-kali dengan telunjuknya. Ia tidak mengerti kenapa dokter menyarankannya untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut dalam ruangan Radiologi. Biasanya hanya orang-orang berpenyakit serius yang dibawa ke dalam ruangan itu untuk melakukan pemeriksaan guna mengetahui penyakit yang menyerang tubuhnya.

Padahal ia hanya merasa mual dan kram perut saja. Ini yang membuat Haura tidak suka ke rumah sakit, selain ingat dengan ayahnya yang sakit, Haura juga tidak siap mendengar pengakuan dokter nanti.

Awalnya Haura tidak ingin diperiksa, tapi berkat ancaman sang bunda yang akan melaporkan pada Rama bahwa suhu tubuhnya naik secara tiba-tiba, hal itu membuat Haura mau tidak mau harus mengikuti keinginan sang bunda.

"Bunda, aku takut dengan hasilnya."

Hanum berusaha mengembangkan senyum. Ia tak kalah cemasnya dari Haura. Ia tidak.bisa memperlihatkan kekhawatirannya di depan putrinya, sebab ia tahu kalau Haura hanya butuh seseorang yang bisa membuatnya lebih nyaman.

"Bunda, kalau terjadi hal buruk, jangan pernah kasih tahu A Rama, ya."

"Kenapa, Haura. Dia suami kamu, kamu tidak boleh menutupi hal sekecil apa pun dengan suami kamu."

"Bunda, aku dan A Rama itu baru menikah. Kalau dia tahu aku punya sakit serius, gimana perasaan dia. Aku tahu kalau cinta A Rama ke aku nggak sebesar cinta dia ke kak Azia. Tapi tetap aja aku nggak mau nyusahin dia."

Terdengar suara serak dari mulut Haura. Air mata mengalir begitu saja.

"Jangan bicara begitu, Haura. In syaa Allah kamu akan baik-baik saja."

Haura menganggukkan kepala. Semoga memamg begitu. Tidak ada hal yang patut dicemaskan.

Tidak lama setelah itu seorang suster keluar dari dalam ruangan Radiologi. Memanggil nama Haura untuk melakukan pemeriksaan.

"Bismillah...."

Hanum menggenggam tangan Haura. Seolah dalam genggaman itu ia membekali Haura kekuatan sepanjang melakukan pemeriksaan.

Di dalam ruangan itu Haura melakukan pemeriksaan Rontgen. Tidak ada yang bisa Haura lakukan selain beristighar.

Kurang lebih, dua jam berlalu. Hasil pemeriksaan keluar. Kedua kaki Haura terasa lemas, ia tidak bisa menahan tangis lagi. Di dalam pelukan sang bunda, Haura melepaskan tangisan. Dinyatakan bahwa dia mengidap penyakit Kanker hati.

Mungkin ini disebabkan karena dulunya ia tidak pernah mau hidup sehat. Berbagai macam minuman keras berhasil masuk ke dalam perutnya.

Penyebaran Kanker sudah bisa dipastikan sangat cepat. Dokter juga mengatakan bahwa kebanyakan pasien penderita Kanker ini hanya bisa bertahan enam bulan setelah vonis dokter.

Apa yang harus ia lakukan? Walaupun ia baru stadium awal, tetap saja jika melakukan operasi hal itu tidak akan mencegah penyebaran kanker itu. Jika Haura memilih untuk menjalani kemoterapi, perubahan fisik pada tubuhnya pasti akan terlihat kentara, Rama pasti akan tahu.

Sungguh kabar ini menyakitkan sekali.

"Kalau saya menganjurkan, lebih baik kamu memilih untuk melakukan kemoterapi. Sebab risiko untuk melakukan operasi lumayan besar. Pertama akan terjadi luka besar, rentan kambuh dan menyebar. Kedua, struktur hati sangat kompleks, letak tumor dekat dengan hepatic portal, pengobatan mudah merusak pembuluh darah dan menyebabkan pendarahan di hati."

"Apa nggak ada obat lain, Dokter? Saya akan minum apa pun obat itu asalkan bisa bikin saya sembuh."

"Obat itu tidak bersifat menyembuhkan. Itu hanya sebagai penenang dan pereda rasa sakit."

Haura menggelengkan kepala untuk kesekian kalinya. Ia beranjak dari kursi dan pergi begitu saja meninggalkan dokter Ariel.

"Terimakasih, Dokter. Saya harus menyusul anak saya."

Ariel menganggukkan kepala seraya tersenyum. Sebenarnya ia juga tidak tega mengabarkan ini, hal yang paling sulit bagi seorang dokter adalah saat menjatuhkan vonis pada pasiennya, tapi kejujuran dan keterbukaan tentang kondisi sesungguh juga harus disampaikan agar pasiennya mau menempuh jalan pengobatan yang dipilihkan dokter.

Ariel tidak menyangka kalau akan bertemu kembali dengan Haura. Satu bulan yang lalu dia menolomg Haura saat Haura ditemukan dipinggir jalan dalam keadaan menyedihkan. Dia yang membawa Haura ke rumah sakit dibantu dengan warga sekitar tempat Haura di temukan.

Haura begitu mirip dengan mendiang ibunya. Membuat Ariel terpegun selama beberapa saat kala itu. Ia seolah melihat ibunya hidup kembali dalam sosok Haura.

Dulu Ariel sangat sedih saat melihat jasat ibunya terkubur. Penanganan yang lambat membuat ia harus kehilangan ibu dan calon adiknya. Saat itu, Ariel baru kelas tiga SD. Ayahnya hanya seorang sopir taksi yang berpenghasilan tidak menentu. Dulu, ibunya juga menderita penyakit kanker bersamaan saat ada bayi dalam rahimnya. Dokter tidak pernah mau peduli dengan kondisi ibunya. Sebab mereka orang yang tidak mampu untuk membayar biaya pengobatan di rumah sakit, bahkan saat ibunya harus melahirkan saja, rumah sakit selalu menunda dengan dengan alasan harus melunasi biaya administrasi karena itu suatu kebijakan rumah sakit.

Nyawa ibunya tidak terselamatkan. Ayahnya tidak terima hingga mengamuk di rumah sakit. Bahkan yang lebih parah lagi, satpam di rumah sakit mengeroyok ayahnya hingga ayahnya tewas. Apa yang dilakukan karyawan-karyawan di rumah sakit kala itu? Mereka bungkam, saat polisi mencari barang bukti semuanya hilang dan fakta diputar balikkan anehnya fiktif bisa seperti nyata. Kesaksian Ariel ditolak karena dia masih anak dibawah umur.

Beruntung ia masih memiliki paman yang sangat baik dan memgasuhnya di kota. Semenjak itu, Ariel bercita-cita ingin menjadi seorang dokter. Ia tidak akan membiarkan anak kehilangan ibunya, seseorang kehilangan nyawanya karena masalah biaya.

Ariel berjanji akan berusaha menyembuhkan Haura walau memang dengan proses yang panjang. Setidaknya, saat melihat Haura, rasa rindunya pada sang ibu bisa terbayarkan.

"In syaa Allah, saya akan menyembuhkanmu, Haura." Lirih Ariel dengan suara pelan.

🍁🍁🍁

Bersambung

Kubang, 18 Rabiul Akhir 1441 / 15 Desember 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top