::12 -Bukan Surgaku-
بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
"Nenek nggak izinin kamu keluar dari rumah ini, Rama!"
Rina menarik koper yang ada di tangan Rama. Tatapan tajam ia layangkan kepalada Haura yang saat itu berdiri tepat di samping Rama.
Demi Tuhan, ia semakin membenci Haura. Perempuan yang tidak pantas untuk menjadi pendampinh cucunya.
"Ini pasti hasutan kamu, kan?!" tanya Rina mengintimidasi, telunjuknya berhenti tapat di depan wajah Haura.
Tidak ada yang bisa Haura lakukan selain diam. Percuma melakukan perlawanan, sebab pada akhirnya ia sendiri yang akan sakit hati karena ucapan Rina.
"Nenek, ini semua bukan kesalahan Haura. Saat aku menikahinya tugasku jelas menafkahinya, termasuk memberikannya memberinya kenyamanan dengan tempat tinggal yang dia suka."
"Lho, bukannya ini sudah tempat tinggal, rumah ini cukup besar kok. Mau cari tempat tinggal seperti apa lagi? Emangnya kamu udah beli rumah?" Rina melipat kedua tangannya di atas perut.
Rama hanya tersenyum. Ia sudah tahu kalau respons neneknya akan seperti. Tapi yang jelas, Rama sudah mendapatkan izin dari kedua orang tuanya untuk pindah ke rumah Haura.
"Azia akan kembali ke Cairo. Jadi, untuk sementara aku tinggal di rumah Haura. Setelah Azia kembali, kami akan tinggal di rumah sendiri."
"Halah, tinggal di rumah dia? Kamu mau harga diri kamu diinjak-injak sama dia? Kamu nggak liat kelakuan dia itu seperti apa?"
Rama mengembuskan napas pelan. Ia memijit kenin pelan.
"Nenekku sayang. Jangan terlalu buruk menilai Haura. Dia istriku, keburukannya adalah keburukanku. Kalau Nenek selalu memandangnya buruk, artinya Nenek memandangku dengan hal yang sama. Percaya sama aku, Haura sudah berubah, Nenek harus menyayanginya." Rama menyentuh kedua bahu Rina, berusaha meyakinkan neneknya hahwa semua yang ada dipikirannya itu salah. Bagaimana pun Rina harus berusaha menerima kehadiran Haura.
Rama memeluk Rina kemudian mencium tangan nenek yang angat ia sayangi itu.
"Ma, aku kamu pamit, ya."
Sandra mengangguk lalu memeluk Haura hangat.
"Bilang sama Mama, kalau Rama berani marahin kamu, Mama akan balik barahin Rama."
Keduanya sama-sama tersenyum, Hara menganggukkan kepala.
"Iya, Ma."
"Aku tidak akan peenah menyakiti hatinya, Ma. Sebab aku selalu melihat Papa memperlakukan Mama dengan begitu baik. Aku akan mengikuti cara Papa untuk menghormati seorang perempuan."
Sanda memandang suaminya, Ivan adalah suami yang sangat baik. Sejak dulu, Ivan tidak peenah meninggikan suaranya saat bicara dengannya.
"Awas ya, kalau sampai Papa dengar kamu memarahi istrimu." Ivan sekali lagi mengingatkan Rama, Rama hanya membalas dengan anggukan kepala.
Rina mendegus kesal, kemudian pegi begitu saja.
🍁🍁🍁
"Aa, aku masih kepikiran sama nek Rima. Dia itu masih marah sama aku."
"Nggak apa-apa. Nanti dia pasti akan menyayangi kamu."
"Hmmm,"
"Sudah, jangan membahas nenek lagi. Kamu menginginkan sesuatu?"
"Sesuatu apa, A?"
"Yaa barang kali ada sesuatu yang kamu inginkan?"
"Enggak, Aa."
Rama hanya diam. Tapi tidak lama setelah itu, Rama meminta sopir taksi berhenti tepat di depan rumah kucing. Haura memandang bangunan yang ada di sebelah kiri itu. Beberapa foto kucing yang menggemaskan terpajang di sana.
"Aa, kita ngapai di sini?"
Rama hanya tersenyum dan tidak menjawab apa-apa.
"Pak, tunggu sebentar ya."
"Iya, Mas."
"Ayo ikut."
Haura mengerutkan kening, ia hanya bisa mengikuti Rama yang menarik tangannya untuk keluar dari dalam taksi.
Saat sampai di dalam ruangan yang dipenuhi beberapa hewan menggemaskan itu, Haura malah dipenuhi rasa kagum. Ini aneh, dulu Haura tidak suka kucing, pandangannya saat melihat hewan itu biasa-biasa saja. Tapi sekarang ia serasa ingin menggendong.
Seekor kucing berwa putih jenis persia medium berlari ke arah Haura, kemudian berjalan mengelilingi kaki Haura sambil menggosokkan badannya.
Kedua ujung bibir Haura tertarik ke samping. Ia berjongkok lantas mengelus tubuh hewan itu. Kucing itu mendoggakan kepala sambil memgekuarkan suara dan menggerakkan ekor ke kiri dan ke kanan, seolah dia suka dengan sentuhan Haura.
"Sepertinya dia tahu, kalau kamu mau mengadopsinya."
"Maksud Aa?"
"Kalau suka, kita bisa adopsi kucing ini."
"Seriusan Aa?"
"Iya, makanya aku ajak kamu ke sini. Kamu tahu? Memelihara kucing itu adalah salah satu pembuka pintu rezeki, dia juga salah satu perhiasan rumah tangga. Aku ingin perjalanan rumah tangga selalu manis apalagi dengan kehadiran hewan kesayangan Rasulullah ini."
Haura tersenyum. Mungkin dia tidak terlalu banyak tahu hal tentang Rasulullah, tapi bersama Rama perlahan-lahan ia akan mengerti hal-hal yang berguna bagi dunia dan akhirat.
"Ini aneh, Aa. Dulu aku gak suka sama kucing, tapi sekarang aku malah suka banget."
Tidak lama setelah itu seorang peremmpuan muda mendekati Rama dan Haura.
"Permisi, Mas, Mbak. Bagaimana, suka dengan kucing ini? Atau mau melihat yang lain?"
"Sepertinya saya mau adopsi kucing ini aja, Mbak." Haura menjawab dengan begitu antusias. Mungkin kali ini Haura mengakui, bahwa kucing memang salah satu makhluk terampuh yang begitu pandai mencuri kasih sayang dari manusia.
🍁🍁🍁
"Kamu jangan begini terus Azia. Kita harus bisa buktikan pada Safiya kalau kita memang berhak untuk saling menyatukan cinta kita. Kalau kamu selalu diam dan tidak mau bicara denganku, aku jadi berpikir kalau kamu akan melakukan hal yang sama seperti Rama padaku."
Azia tidak melepaskan pandangannya dari jendela pesawat. Gumpalan awan sesekali bersentuhan dengan badan pesawat. Dua puluh menit yang lalu pesawat mereka sudah lepas landas meninggalkan Jakarta.
Sungguh, Azia tidak bermaksud mengabaikan Marvin yang sejak tadi terus berusaha mengajaknya bicara. Hanya saja, Azia masih terlalu berat meninggalkan bundanya. Sebab, kepergian ayahnya baru dua minggu yang lalu.
Dulu, saat pertama kali ia berangkat ke Cairo, kepergiannya juga diiringi air mata dari Hanum. Tapi saat itu masih ada Fatih yang bisa memeluk Hanum, memberinya pelukan hangat agar kesedihannya berkurang.
Tapi tadi saat Azia melepaskan pelukan dari Hanum, ia bisa melihat betapa berusahanya Hanum untuk tetap tersenyun saat melepas kepergian putri tercinta. Azia berjanji setelah kuliahnya selesai di Cairo, ia tidak akan pernah lagi meninggalkan Hanum sendirian.
"Kamu salah paham. Aku masih sedih aja karena harus ninggalin bunda."
"Maafkan aku, Azia." kata Marvin menyesal. Sejak tahu kabar tentang Safiya, Marvin selalu merasa tidak tenang. Ketakutan selalu datang menguasai pikirannya.
Azia tidak menyahut lagi.
"Kamu beruntung bisa memiliki ibu seperti bunda." Marvin tersenyum kecil.
"Andai Mamaku seperti bundamu. Pasti aku akan sangat bahagia. Mamaku perempuan egois yang pernah aku kenal. Sejak perceraiannya dengan ayah, dia tidak pernah menanyakan kabarku atau hanya sekadar menanyakan kabarku di sosial media. Padahal dia tahu akunku."
"Kamu jangan pernah berburuk sangka sama ibu kamu sendiri. Kamu hanya melihat sisi kedekatan antara aku dan bunda aja. Seandainya kamu bisa melihat lebih jauh, di dunia ini ada seorang ibu yang bahkan mau menghabisi nyawa anaknya sendiri. Kamu cuma liat enaknya aja, Vin. Kamu liat bundaku baik bukan berarti kamu menjadikan mereka berdua sebagai perbandingan. Selagi seorang ibu nggak berniat membunuh anaknya, kamu harus percaya kalau rasa sayang yang dia miliki untuk anaknya pasti ada. Mungkin cara mereka yang berbeda."
"Tidak, Azia. Kamu belum mengenal Mamaku. Kamu pernah tahu? Sewaktu aku kecil, dia pernah memukuliku hanya karena aku tidak sengaja membuat ponselnya jatuh. Padahal, ponselnya juga tidak rusak." Marvin menyandarkan punggungnya di sisi kursi. Beberapa fragmen masa kecil yang menyakitkan berputar jelas seperti rekaman di dalam otaknya.
Mungkin pandangan Marvin tentang seorang anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya dan sebaliknya itu salah. Karena sejak dulu pun ia tidak pernah merasakan kedekatan seperti itu.
Katanya, ibu adalah surga bagi anaknya, tapi Marvin rasa mamanya tidak berhak menerima sebutan semulia itu. Bagi Marvin, surganya bukan pada ibunya.
"Aku dipukul dan ditampar. Kamu bayangkan, saat itu usiaku masih lima tahun. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti sepenting apa ponselnya itu."
Azia hanya bisa diam mendengarkan cerita Marvin.
"Mungkin kamu bisa dengan mudah mengatakan bahwa aku tidak boleh berburuk sangka pada mamaku. Itu karena kamu tidak merasakan apa yang aku rasakan."
Kedua mata Marvin terasa memanas cairan bening berlomba-lomba keluar. Dengan cepat Marvin menyeka air matanya.
"Aku merasakan betapa sakitnya tidak diperhatikan seorang ibu. Itu sebabnya aku tidak ingin anakku kelak merasakan apa yang aku rasakan. Aku ingin mencarikan ibu terbaik untuk anakku kelak. Aku percaya, bahwa seorang Azia tidak mungkin melakukan itu kepada anaknya sendiri."
Azia tidak bisa berbicara apa-apa. Ia sedih melihat Marvin seperti itu. Ia tak berdaya untuk menolong masalalu pahit yang pernah dialami Marvin.
"Sudalah, maafkan aku. Lupakan saja, aku tidak ingin mengingatnya lagi."
🍁🍁🍁
Kamila tidak menyangka bahwa Haura sudah diam-diam menikah tanpa sepengetahuannya. Padahal Kamila tahu betul betapa cintanya Haura dengan pacarnya.
Untuk beberapa saat Kamila terkejut mendengar kabar buruk sekaligus kabar baik dari Hanum. Pantas saja selama beberapa pekan Haura menghilang seperti ditelan bumi.
Kamila juga melihat betapa drastisnya perubahan Haura sekarang. Jika dulunya Haura selalu tampil seksi dan modis, sekarang ia menutupi seluruh tubuhnya. Hanya menyisakan wajah dan telapak tangan saja.
Sementara itu Rama tidak mau menemani Haura untuk bicara dengan Kamila, sebab Rama tidak suka dengan pakaian perempuan itu.
"Lo masih mau kuliah kan?"
"Masih, setelah ini aku bakal fokus sama pendidikan aku."
Kamila menganggukkan kepala. Entalah, ia masih terlalu terkejut dengan perubahan Haura.
"Kenapa sih kamu ngeliat aku kaya gitu."
"Nggak apa-apa, sih. Cuma gue kayak ngeliat orang lain aja."
"Anak bunda jadi lebih cantik, ya." kata Hanum sabil menggoda Haura. Haura hanya tersenyum malu. Sampai saat ini Haura masih memiliki orang-orang yang tulus padanya. Ia tidak kehilangan sahabat dan kebahagiaannya.
🍁🍁🍁
Bersambung
Maaf ya malam kemarin nggak jadi posting. Aku kehabisan paketan, dan baru diisi 🙊
Kubang, 17 Rabiul Akhir 1441 / 14 Desember 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top