::11 -Hanya Sementara-
بـــــــسم اللّـــــــه الرّحمن الرّحيـــــــم
⚠Ambil baiknya, buang buruknya⚠
⚠Jangan ngejudge suatu cerita sebelum kamu mebacanya sampai tamat⚠
📖Selamat Membaca📖
🍁🍁🍁
"Kenapa kamu bisa mengambil keputusan seperti kemarin? Aku pikir, keputusanmu bisa berubah." Pertanyaan itu diajukan Marvin setelah ia dan Azia berkeliling mendatangi beberapa tempat wisata di Jakarta. Kali ini, mereka sedang berada di salah satu Gramedia, sebab Azia ingin memborong beberapa buku untuk dibaca saat kembali ke Cairo nanti.
Azia yang mendengar pertanyaan itu menghentikan aktivitasnya sejenak. Dipandangnya Marvin dengan tatapan tak terbaca.
"Aku sangat menyayangi Haura. Bagiku, kebahagiaan Haura adalah segalanya. Aku akan melakukan apa pun agar bisa membuatnya bahagia."
"Termasuk mengorbankan kebahagiaanmu?"
"Ya."
Marvin tersenyum mendengar pengakuan tulus dari Azia. Dia tahu bahwa perempuan yang ada di depannya adalah perempuan paling langka. Selama ia hidup dan mengenal dunia, hanya Azia yang ia temui seperti ini.
Marvin semakin paham dengan sifat Azia. Dia tidak akan mungkin melukai orang-orang yang dia cintai.
"Azia, aku ingin bicara satu hal padamu."
"Apa itu?"
Marvin tiba-tiba saja berlutut di hadapan Azia. Ia mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.
"Marvin?"
"Untuk kedua kalinya aku menyatakan perasaan ini, Azia. Mungkin kemarin aku pernah menyampaikan niatku pada Bundamu, tapi hal itu belum aku dapatkan jawaban yang pasti. Aku ingin kamu menjadi istriku, Azia. Dulu kamu menolakku karena Rama. Sekarang aku ingin mendengar jawabanmu lagi. Apakah kamu bersedia menjadi istriku? Menjadi perempuan yang mau bergandengan denganku untuk menemukan surga Allah. Menjadikanku satu-satunya laki-laki yang berhak melihat wajahmu yang istimewa itu."
Azia tergemap selama beberapa detik. Ia tidak tahu bagaimana memberi jawaban pada Marvin. Ia ingin menerima lamaran Marvin, laki-laki baik yang sudah mau menunjukkan perjuangannya atas kesungguhan cinta yang ia miliki. Sementara Azia juga tidak tega merusak hubungan baiknya dengan Safiya.
Azia menatap kotak beludru yang Marvin buka, di sana ada cincin yang tersemat indah dengan kilauannya.
"Aku sudah yakin bahwa di sini aku bisa melakukannya. Aku mempersiapkan cincin ini sebelum kita ke sini. Ternyata dugaanku benar, aku bisa melamarmu. Aku percaya kalau kita memang berjodoh."
"Marvin? Boleh aku kasih jawaban saat kita sampai di.Cairo nanti? Setidaknya kita perlu bicara dengan Safiya."
"Safiya? Ada apa dengannya?" Pertanyaa itu keluar dari mulut Marvin. Ia bingung kenapa Azia memberikan respon seperti itu.
"Kenapa dengan Safiya?"
Azia mengembuskan napas resah. Azia melangkah menjauhi Marvin yang masih berlutut, sontak Marvin pun berdiri, pandangannya jatuh kepada cincin yang ia pegang.
"Azia, kenapa?"
"Aku bingung, Marvin. Aku nggak tau harus bagaimana. Kemarin, Safiya sempat menghubungiku. Dalam pesan yang ia kirim, ia mengungkapkan perasannya tentang kehadiran kamu, Marvin."
"Kehadiranku? Apa makasudmu, Azia?"
"Safiya memberikan kesaksian bahwa dia sangat mencintai kamu. Dia menginginkan kamu untuk menjadi kekasihnya."
Kedua bola mata Marvin membulat, seakan tidak percaya dengan pernyataan Azia barusan. Padahal yang ia tahu selama ini Safiya tidak menunjukkan hal apa-apa, sejauh ini Safiya juga terlihat mendukung asmaranya dengan Azia. Jadi, mana mungkin tiba-tiba perempuan itu mencintainya?
Marvin menggelengkan kepala tak habis pikir.
"Tidak mungkin, Azia. Dia tahu aku hanya mencintai kamu dan hanya ingin menjadikan kamu sebagai istriku, dia juga selalu memberi dukungan, bukan?"
"Aku tahu itu, Marvin. Tapi di dalam pesan itu, dia mengatakan hanya berpura-pura. Itu sebabnya dia ingin aku mengembalikan kamu sama dia. Dia merasa aku sudah merebut kamu."
Marvin mengusap wajahnya. Matanya berkaca-kaca, rasanya sangat sulit sekali untuk mendapatkan seorang Azia. Padahal ia sudah sangat bahagia saat Azia memberinya kesempatan. Kabar bahagia itu juga sudah ia sampaikan Samuel--ayahnya--, Samuel juga ikut bahagia, bahkan ia ingin Marvin dan Azia cepat-cepat menikah.
"Lantas apa yang ingin kamu lakukan, Azia? Apa kamu ingin menyuruhku untuk menikahinya? Sama seperti kamu menyuruh Rama untuk menikahi adikmu?"
Azia hanya diam, dia tidak menjawab apa-apa. Sungguh ia tidak bisa memberikan keputusan. Kenapa semuanya bisa kacau seperti ini?
Besok mereka juga akan kembali ke Cairo, karena bagaimanapun Azia harus menyelesaikan kembali kuliahnya.
"Kalau kamu kembali melakukan hal itu, berarti kamu perempuan egois, Azia. Kamu hanya memikirkan orang lain tanpa harus memikirkan dirimu dan perasaanku."
"Maafkan aku, Marvin. Aku tidak bermaksud membuat kamu marah. Kita bisa melanjutkan pembicaraan ini bersama Safiya juga. Kalau kita memang berjodoh, Allah pasti akan mempersatukan kita, walaupun ada orang lain yang berusaha memisahkan kita, itu tidak akan terjadi selama Allah menginginkan aku menjadi istrimu dan kamu menjadi suamiku."
Marvin tidak memjawab apa-apa, ia tidak menayangka kalau sekarang justru Safiya yang menjadi menghalang hubungannya dengan Azia. Marvin berjanji akan meyakinkan Safiya bahwa cinta yang ada dalam hati perempuan itu adalah sebuah kesalahan besar.
Pantas saja kemarin Safita tidak membalas email darinya. Seandainya ia tidak mengirim pesan, pasti Safiya tidak akan benari mengatakan itu pada Azia. Kedua tangan Marvin terkepal menahan amarah.
Marah pada Safiya yang bisa-bisanya menyimpan perasaan itu.
🍁🍁🍁
"Mau apa kamu di sini?!"
"Mau makan, Nek."
"Siapa yang izinin kamu makan di sini? Saya nggak izinin kamu, ya. Kalau kamu mau makan, tunggu kami selesai!"
Haura terpegun di tempatnya, ia kembali mendorong kursi yang seharusnya dijadikan tempat duduk. Dengan susah payah, ditahannya air mata agar tidak.jatuh menetes. Tak apa, ia hanya butuh waktu untuk berbaur dengan keluarga barunya.
"Kenapa Nenek melarang Haura? Dia istriku, sudah sepantasnya dia ikut makan bersamaku."
"Istri? Istri macam apa. Datang ke rumah ini seenaknya dan nggak mau bantu-bantu, tadi pas Nenek suruh dia masak, dia nggak bisa!"
"Kan Nenek bisa ajarin. Haura juga butuh belajar, Nek."
"Halah, kalau perempuan baik-baik itu pasti bisa segalanya, apalagi cuma masak. Dia aja jaga diri nggak bisa, gimana mau bisa masak. Seharusnya ya Rama, kamu itu nggak nikahin dia, udah bagus mau nikah sama Azia. Nenek yakin, dia pasti ancam Azia sampai Azia mau suruh kamu nikah sama dia."
Haura memejamkan mata, sungguh tuduhan Rina amat menyakitkan hati.
"Karena dia tau, nggak bakal ada laki-laki yang manu nerima perempuan rusak seperti dia, sekali perempuan itu pernah jual diri, sifat itu nggak bakal berubah!"
"Aku nggak pernah jual diri, Nek. Itu nggak bener." Haura menggelengkan kepala, air matanya sudah tumpah meruah. Sumpah demi Tuhan, dia sudah tidak sanggup mendengar makian Rina. Haura pergi meninggalkan ruangan itu dengan tangisan yang sudah pecah.
Sandra dan Aryo pun juga tidak bisa membela Haura. Sebab Rina terlalu kasar. Jika Sandra membela Haura, maka Rina yang akan berbalik marah padanya.
Kejadian yang dialami Haura dulu juga pernah dia alami saat pernikahannya diuji dengan lambatnya dikarunia seorang anak. Jadi, sampai kapan pun Sandra akan sangat mengerti dengan keadaan Haura.
"Nenek sudah kelewatan."
"Kelewatan bagaimana? Emang dia yang salah, wajar dong nenek begini."
Rama hanya menggelengkan kepala, setelah mengambil nasi, Rama berlalu begitu saja.
"Lihat anak kalian yang katanya paham agama, sama orang tua aja nggak bisa hormat!"
Rama masuk ke dalam kamar sambil membawakan nasi untuk Haura. Rama masih melihat Haura yang masih menangis di atas tempat tidur. Sejak kemarin, Haura selalu menjadi sasaran bagi neneknya. Berkali-kali ucapan pedas yang tak pantas di dengar selalu terlontar dengan kentara, membuat Haura tidak berani muncul di meja makan.
Haura cepat-cepat menyeka air matanya saat melihat kedatangan Rama, tapi terlambat, Rama sudah melihatnya menangis lebih dulu.
"Maafkan nenek, ya."
"Nggak pa-pa, kok. Nenek bener, aku nggak pantes jadi istri A Rama."
Rama meletakkan nasi di atas nakas. Rama duduk di samping Haura kemudian tangannya terangkat untuk menghapus air mata istrinya itu.
"Itu kan cuma kata nenek, bukan kata Allah. Manusia nggak berhak menentukan siapa pun yang pantas untuk mendampingi hidupnya, sebab yang menilai itu semua bukan kewajiban manusia di bumi."
"Tapi tetap aja, A. Sebagai pandangan manusia, tetap harus ada pilihan."
"Pandangan dan penilaian manusia hanya sebatas di dunia, itu pun hanya bersifat sementara. Kenapa kamu harus sedih. Pernikahan ini kita berdua yang menjalaninya, bukan orang lain termasuk nenek."
Tidak ada yang bisa Haura lakukan menangis.
"Besok Azia kembali ke Cairo, kan?"
Haura hanya menganggukkan kepala.
"Besok kita bisa kembali ke rumah kamu. Aku tahu, nenek sudah keterlaluan dalam menilaimu, untuk menghidari perselisihan, kita bisa pindah."
"Tapi gimana kalau nenek makin marah?"
"Biar itu menjadi urusanku." Rama mengusap lembut kepala Haura.
"Sekarang kamu harus makan, biar aku yang menyuapi kamu."
"Aku bisa sendiri, A."
"Untuk memulai pernikahan yang manis, harus dilakukan hal-hal kecil seperti ini. Aku ingin menyuapi kamu, jadi jangan melarangku, ya."
"Hmmm, oke..."
Rama mengambil piring yang ada di atas nakas, kemudian menggeser posisi duduknya agar lebih dekat dengan Haura.
"Kamu harus tahu satu hal. Bukan hanya makanan ini saja yang harus memiliki gizi yang seimbang, tapi hati kamu juga perlu penyeimbang dan itu adalah aku."
Haura tersenyum malu mendengar gombalan Rama barusan, ternyata diam-diam juga jago merayu, dan rayuan itu berhasil membuat hatinya jauh lebih tenang
"Ih, apaan sih, Aa."
Rama hanya terkekeh pelan.
"Ayo makan."
"A Rama juga belum makan, kan?"
"Belum."
"Kita makan berdua, ya."
"Ide yang bagus. Hal seperti ini juga sering dilakukan Rasulullah dan istrinya, makan dan minum berdua."
"Rasullullah romantis, ya."
"Aku juga bisa begitu."
Haura tersenyum sebagai respons
🍁🍁🍁
Bersambung
10 Rabiul Akhir 1441 / 7 Desember 2019
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top