Simbiosis For Benefit
"Itu yang harus kamu lakukan."
Jika Arga adalah seorang aktor yang sedang berada dalam satu scene sinetron, wajahnya pasti sudah di-close up kamera. Menunjukkan sepasang mata bulatnya yang terbelalak tak percaya, juga mulutnya yang sedikit menganga setelah mengucapkan kata, "Apa," dengan intonasi tinggi, nyaris berteriak melengking.
"Kamu paham, 'kan?"
Kepala Arga menggeleng. Bukan berarti dia sudah memutuskan, hanya saja .... "Kenapa?" Dia ingin mendengar alasan si gadis memintanya melakukan hal itu.
Si gadis yang duduk di depan Arga mengibaskan rambut ekor kudanya. Menumpukan sepasang sikunya di atas meja, dan membuat tubuh bagian atas lebih condong ke depan, ke arah Arga. "Itu syarat yang harus kamu lakukan, kalau kamu mau aku jadi pacar kamu. Tapi enggak apa-apa sih, kalau kamu enggak mau. Banyak kok yang ngantri."
Arga menelan ludah dengan susah payah bahkan setelah dibantu dengan jus jeruk yang dia pesan. Haruskah dia melakukan itu? Bagaimana dengan janjinya pada sang Ibu bahwa dia, sebagai pria, akan selalu menjaga perasaan wanita.
"Okelah. Enggak perlu dijawab sekarang. Tiga hari. Setelah itu kamu harus kasih jawaban ke aku."
Dengan gugup Arga mengangkat gelasnya lagi. Langsung meneguk habis sisa jus jeruknya.
******************************
"Maafkan Arga, Bu." Arga mengelus layar ponsel, di mana wajah sang ibu dan sang Ayah menjadi wallpaper di sana. "Arga sudah ...."
"Udah makan?"
Arga langsung menoleh ke arah pintu kamarnya yang sekarang terbuka lebar. Tidak hanya menampilkan ruang tengah yang sepi, tapi juga sosok tinggi kurus dengan jersey Liverpool yang berdiri di ambang pintu; berkacak pinggang dan menatap curiga.
"Ndak lapar, Mas," sahutnya. Tidak berniat untuk bangun dari posisi telentang atau sekedar duduk bersandar pada tembok.
"Gimana acaranya tadi siang, sukses?"
Arga membiarkan Banyu merebahkan diri di sebelahnya dan tidak protes saat cowok itu mengambil alih ponsel yang sedari sore terus ditatap.
"Enggak ada pesan masuk lagi setelah dia setuju kamu ajak jalan."
Arga menoleh dan mengganti posisi tidurnya. Miring menghadap Banyu. "Apa yang harus aku lakukan, Mas?"
"Hm?" Banyu menengok ke arah Arga dan ikut mengganti posisi tidurnya. Kini wajahnya dan wajah Arga saling berhadapan. "Dia nolak?"
Arga menggigit bibir bawahnya. Bimbang antara jujur, tapi berusaha menutupi bagian inti masalah; atau tetap bungkam dengan mengatakan ekspresinya hanya sebuah candaan menjelang malam. Selama ini hanya pada sang ibu dia berbagi kisah, kecuali soal ketertarikannya pada salah satu teman di kelas.
Untuk bisa melontarkan sekaligus meminta saran dari Banyu saja, dia butuh waktu setahun lebih. Itu pun karena Banyu tidak sengaja melihat tulisan Arga cinta Sinta di dalam bentuk love, dan sepasang manusia lidi yang saling berpegangan tangan--satu dari gambar manusia lidi itu diberi rambut ikal yang panjang hingga sebahu--di tengah-tengah buku tugas bahasa Indonesianya.
Haruskah Arga curhat lagi? Dia tidak yakin. Banyu sudah menyanggupi untuk bungkam sejak dia bercerita dari awal, tapi organ yang bernama mulut, siapa yang tahu akan terbuka. Bagaimanapun, dia bisa melanjutkan sekolah di Jakarta bukan tanpa rentetan janji. Sebelum meninggalkan tanah kelahirannya di Bumiayu, ayah dan ibunya sudah berpesan agar selalu mawas diri. Mengingat terus cita-citanya yang ingin berkuliah di STAN, lalu menjadi salah satu direktur di Direktorat Jenderal Pajak suatu saat nanti. Bukan terjebak dalam romantika ala ABG, di mana dia berperan sebagai bad boy yang tanpa ampun menghancurkan perasaan seseorang untuk meraih apa yang diinginkan.
Bad boy ... Arga mengembuskan napas secara perlahan. Bagaimana reaksi ibunya, jika tahu dia sudah terkontaminasi? Apa dia akan dikutuk seperti Malin Kundang karena dianggap sudah durhaka? Dia bergidik memikirkan hal itu.
"Si Sinta itu beneran nolak kamu, yah?"
Arga yang tadi menerawang, kini fokus pada sepasang mata Banyu. Haruskah dia jujur?
"Ciri lelaki gentle nomor sebelas, tidak suka bergosip dan mengumbar curhatan orang ke orang lain."
Arga sudah mendengar itu dari Banyu saat dia ragu untuk berterus terang soal Sinta. Dan di dalam ruang lingkup laki-laki, bukankah ada kode etik untuk tidak bergosip? Kecuali soal transfer pemain yang dilakukan klub sepak bola dunia atau mengenai otomotif dan game. Dia juga tidak bisa terus bungkam tanpa tahu apa yang harus dilakukan.
Arga mendengkus. Sudah diputuskan. Dia membuka mulut, tapi jari telunjuk Banyu menempel di bibirnya.
"Ganti posisi. Sumpah, posisi ini enak kalau buat lawan jenis." Perlahan Banyu duduk, diikuti Arga, dan Arga membuka celah yang lebih lebar di antara mereka. "Jadi, kenapa?"
Arga menghela napas. "Dadi miki aku karo Sinta mangan bakso ning warung Bu Cahyo sing pada bae karo Mas sing miki Mas ngomong. Nah ... Ning kana aku ngomong halo selama kie aku mendem perasaan seneng karo kae, sing awit pertama melebu sekolah. Aku nyong be ia wai ngerti kae alesane keprimen aku bisa cinta karo kae. Mas kan ngomong sangger wong wadon seneng wis ngomong kabeh. Marng kae kur mesem karo ngomong suwun. *
"Tapi mong sue kae ngomong angger aku kudu mereki Alea karo gawe wadon kae patah hati. Gawe Alea nganti nangis pokoke, patah hati bangetlah. Nah perasaane aku keprimen, Mas? Aku wis maapna, tapi perasaane aku dadi ora enak saiki." **
Hening. Arga melihat mulut Banyu yang sedikit menganga. Semula dia mengira ayunan tangan Banyu akan menepuk pelan bahunya, sebagai wujud bersimpati. Namun, yang terjadi dia meringis, merasakan sakit akibat tepukan kuat dari Banyu.
"Udah ngomongnya cepet, pakai bahasa Jawa lagi," protes Banyu.
Arga mengelus-elus bahunya. "Nuhun sewu, eh. Maaf, Mas." Dia segera mengganti ucapannya. Takut terkena lagi tepukan maut Banyu. "Aku gugup."
"Santai aja, sih. Kayak sama siapa aja. Coba kamu kasih tahu aku pelan-pelan. Pakai bahasa Indonesia!"
"Inggih. Eh, iya, Mas." Arga mengembuskan udara secara perlahan. Dia sudah sedikit rileks. "Jadi ...."
***
Untuk pertama kali selama dia menjadi murid, Arga melangkah lesu memasuki area sekolah. Cowok yang terkenal karena aksen Jawa-nya yang kental itu bahkan tidak menghiraukan sapaan dari beberapa siswa yang menegurnya. Dia juga tidak membungkukkan punggung dengan sopan saat melintasi koridor yang dipenuhi kakak kelas. Kepalanya memang tidak menunduk, tapi sorot matanya jelas mengarah ke bawah, dan pikirannya hinggap saat dia dan Banyu bertukar pikiran.
Dari hasil diskusi kemarin, Arga mendapat masukkan untuk menghilangkan perasaan bersalah atas tindakan yang akan dilakukan dengan cara jujur terlebih dahulu kepada korban. Dia harus mengeluarkan semua yang disyaratkan Sinta kepada Alea, tanpa memikirkan apakah Alea mengerti atau tidak. Yang penting dia sudah bilang. Namun, hatinya masih diliputi keraguan. Hal itu jelas tidak adil bagi Alea.
Sekonyong-konyong langkah Arga berhenti. Di antara aroma yang menguar di sekitar, hidungnya mengendus satu wangi yang sangat dia kenal. Badannya perlahan berbalik arah dan degup jantungnya mulai menggedor kuat dada kirinya. Satu sosok tertangkap retinanya. Berjalan bagai model dengan rambut hitam bergelombang yang dibiarkan tergerai, juga senyum manis yang menempel di bibir.
Untuk beberapa detik, Arga merasa melayang di udara. Apalagi saat Sinta berjalan di sisi tubuhnya dan mengucapkan selamat pagi dalam suara yang merdu. Ini merupakan peningkatan! Selama ini, Sinta tidak pernah melakukan hal itu. Jangankan menyapa, sekedar tersenyum saja jarang. Padahal misinya belum selesai, tapi Sinta sudah menunjukkan ketertarikan pada dirinya.
Ya, Arga akan berjuang untuk memenuhi tugasnya dan menjemput cinta Sinta untuk disimpan dalam hatinya. Dia akan berusaha untuk Sinta. Terserah Alea yang nanti mau menganggap dia sebagai lelaki kurang ajar tukang menindas perasaan. Terserah sang Ibu yang mungkin akan mengutuknya seperti Malin Kundang karena sudah membuat anak orang menangis, terlebih yang dia buat sakit hati adalah seorang perempuan. Terserah dunia mau berkata apa, menentang sekalipun ....
Ku tak takut ... tetap kukatakan kucinta dirimu .... Bibir Arga membentuk bait dari lagu Judika, tapi yang bersuara adalah hatinya. Dia harus berjuang untuk perasaan yang baru di hatinya.
***
Arga tidak mau menyia-nyiakan semangat tempurnya. Amunisi keberaniannya sudah terisi dan semakin penuh saat Sinta memutuskan menjadi teman sebangkunya, menggantikan Reno yang selalu mengolok-olok tentang dialek Jawa-nya. Untuk itu, dia berada di sini--alih-alih ke kantin--agar rencana yang sudah disarankan Banyu bisa dilaksanakan dengan baik.
Ternyata tidak sulit bagi Arga untuk mengalihkan langkah Alea yang hendak ke kantin. Gadis dengan potongan rambut pendek itu menurut saat Arga meminta waktu sebentar untuk berbicara. Gang kecil di belakang aula yang merupakan jalan ke mushola sekolah, dipilih Arga sebagai tempat yang baik untuk memulai pengakuannya. Gang yang bisa dilewati dua orang itu menawarkan kesunyian, terlebih ada pohon besar dan sumur yang sudah ditutup di dekat mereka.
Seketika Arga merasa merinding. Namun, dia teringat niatnya. Semua untuk Sinta. Dia harus fokus. Fokus!
"Ada apa?"
Arga tersentak. Dia bahkan mengelus dadanya. Pertanyaan tiba-tiba dari Alea tidak hanya membuat kesadarannya berdiri, tapi juga bulu kuduknya.
"Kalau enggak ada yang mau diomongin, aku mau ke kantin. Udah laper."
"Eh? Oh ... itu ... anu ... begini ... anu ...." Arga menutup rapat mulutnya dan mendengkus pelan. Dia lalu memosisikan tubuhnya di depan Alea. Menatap wajah yang menengadah ke arahnya itu dan dia baru sadar, tubuh Alea lebih pendek dari tubuh Sinta. Tinggi gadis itu tidak melebihi bahunya.
"Jadi?"
Arga kembali tersentak. Memutuskan sebentar kontak matanya dengan Alea sebelum kembali menatap iris hitam itu dengan suatu tekad yang kuat. "Sebelumnya aku minta maaf," Arga memulai, "Kie ana kaitane karorasa seneng qhu karo Sinta. Sinta cinta pertamane qhu. Karo kae qhu seneng. Qhu njaluk tulung karo koe njaluk bantuane qhu angger qhu ben kae dadi sepasang sing serasi. Maap angger mengko qhugawe koe seneng karo qhu mengko qhu tek tinggal kabeh. Qhu kudu ngelakukna hal kue. Maap. Sepisan maning maap." *** Dia mengambil oksigen sebanyak yang hidungnya bisa lakukan.
Alea melipat tangan di depan dadanya. "Udah?"
Arga yang masih mengatur napas hanya mengangguk.
"Balik sekolah bareng ketemu ning warteg Bu Warsih sing ning ngarep tempat fotokopi. Ana sing melu qhu takon ring ko." ****
Wajah Arga seketika memucat. Bukan karena perasaan merinding akan makhluk yang mungkin tengah menatapnya di atas pohon besar itu, tapi karena mendengar respon Alea!
***
Yang Arga tahu selama ini, Alea anak dari pemilik beberapa kontrakan di daerah Tanah Sereal, Jakarta Barat. Yang Arga tahu selama ini, nama ayahnya Alea adalah Haji Rozak, sedangkan ibunya Alea bernama Hajah Zaenab. Yang Arga tahu selama ini, Alea tidak memiliki kampung halaman karena kedua orang tua gadis itu berasal dari daerah yang sama, DKI Jakarta. Dan yang Arga tahu selama ini, nada suara Alea terkadang menggunakan logat orang Betawi. Namun, kenapa ....
"Enggak usah kaget. Setiap orang bisa belajar bahasa asing, termasuk bahasa daerah."
Ciri lelaki gentle nomor lima, berani menghadapi masalah dengan kepala dingin. Arga mengingat baik semua butir dari ciri-ciri lelaki gentle yang diberi tahu Banyu. Maka dari itu, walaupun keringat dingin terus keluar dari pori-pori tubuhnya, dia tetap mendatangi warteg Bu Warsih. Duduk di bangku plastik tanpa sandaran di sebelah Alea. Memperhatikan dengan baik Alea yang mulai mencomot gorengan di piring dekat mereka.
"Makan," perintah Alea.
Arga menurut dan turut mencomot bakwan jagung yang masih hangat.
"Ini es teh manisnya, Mbak." Seseorang yang Arga tahu sebagai karyawan Bu Warsih datang dan meletakkan dua cangkir besar es teh di sisi sebelah Arga dan Alea.
"Makasih, Mbak," ucap Alea. Tangan kurusnya mulai mengaduk perlahan es teh menggunakan sedotan. "Minum." Kembali, dia memerintah Arga.
Arga masih menurut dan mulai menyedot es teh manisnya. Butir gula yang masih belum larut ikut masuk ke tenggorokan, tapi dia suka. Dia suka segala hal yang manis. Kalau bisa, dia mencocol potongan gorengan yang dimakan dengan kecap daripada sambal terasi seperti yang dia tiru dari Alea.
"Pacar Mbak?"
"Bukan. Dia orang yang mau bikin aku patah hati."
Terdengar semburan kecil dari Arga. Remaja cowok itu mulai batuk-batuk. Air yang keluar tidak hanya dari celah mulut, tapi juga sepasang lubang hidungnya. Dan dia harus merasakan sakit di tenggorokan dan jalur pernapasan di hidung.
Arga segera meraih tisu gulung di atas etalase yang memajang menu hari ini, di depannya. Tangannya mulai sibuk membersihkan sisa cairan es teh manis di sekitar mulut. Lalu sedikit membungkuk untuk mengambil potongan bakwan jagung yang tidak sengaja dia jatuhkan dan membuang ke tempat sampah di luar warteg.
Arga kembali duduk. Sudah tidak ada lagi si Karyawan yang tadi mengikik melihat dia tersedak.
"Jadi ... apa alasan Sinta nyuruh kamu berbuat begitu?"
Arga mengurungkan niat untuk kembali menyedot es teh manisnya. Dia menghadapkan wajah ke arah Alea. Sebelah tangannya menggaruk kepala. "Syarat."
Alea menoleh ke arah Arga. Mengernyit. Dan Arga mengerti Alea butuh penjelasan lebih lanjut. Namun, belum sempat dia berkata, Alea sudah berujar, "Lebih dari itu?"
Arga berpikir. Dia hanya tahu bahwa hal itu syarat. Dan ... ah! Dia baru menyadari sesuatu! Kenapa pertanyaan penting seperti di otaknya sekarang, tidak dia tanyakan kepada Sinta kemarin? Soal ... kenapa Alea?
"Kayaknya dia masih menyimpan dendam soal Randi, deh," ujar Alea dan mulai memakan bakwan jagung lagi.
Giliran Arga yang mengernyit.
"Dia mantan aku dan Sinta. Waktu SMP, Sinta pacaran sama Randi. Kalau enggak salah ... dari kelas satu. Nah, pas pertengahan kelas dua mereka putus, enggak lama Randi nembak aku, dan aku terima."
Ini seperti kisah cinta yang sering Arga lihat di televisi. Dia tidak tahu harus berkomentar apa. Sebelum ke Jakarta, dunianya hanya seputar sekolah, ladang, pengajian. Di sini kalau malam hari di akhir pekan, dia sering diajak ke bioskop. Kalau di kampung, paling ke mushola untuk pengajian malam.
"Kamu tahu, enggak?"
Arga mulai menyimak lagi.
"Aku dan Sinta dulu temen deket, hampir jadi sahabat. Tapi karena Randi, kami jadi musuh. Perang tanpa kata."
Ah ... Arga paham soal ini. Dia pernah sedikit mendengar dari Anita, kakak dari Banyu, kalau .... "Sahabat itu lebih berharga dari pacar," ujar Arga, mengikuti ucapan Anita pada Banyu beberapa hari lalu.
Alea mengangkat bahu. "Lagian aku jadian sama Randi bukan untuk nikung. Randi taruhan sama temen-temennya. Aku cuma bantuin aja. Dan lumayan komisinya."
Kepala Arga mengangguk, walau dia masih belum paham. Setidaknya ada body language yang dia lakukan untuk membubuhi ucapan Alea.
"Sama kayak kamu."
"Eh?"
"Cuma bedanya kamu langsung ngaku. Kalau Randi, dia perlu aku ancam dulu baru mau ngaku. Seenggaknya kamu lebih baik."
Itu bukan pengakuan, tapi siasat yang salah sasaran! Namun, Arga tetap bungkam. Toh sudah ketahuan, tapi aneh ... hatinya justru merasa tenang.
"Sekarang bagaimana?"
Dan seketika menjadi galau saat mendengar pertanyaan Alea yang langsung tersambung pada wajah Sinta di khayalan. Arga merasa bahwa dia sudah kalah sebelum berperang. Targetnya mungkin akan menolak diajak bekerja sama. Mau pun, dia baru tahu kalau Sinta pernah mempunyai kekasih dan mungkin belum bisa move on.
"Dia udah move on, kok."
Arga kembali menaruh atensi pada Alea.
"Yah ... meski belum pacaran lagi, seenggaknya dia udah berhenti nulis-nulis Sinta love Randi. Aku juga mau bantuin kamu."
Arga mengerutkan kening. "Kepriwe ko gelem mbantu qhu?" ° Dia tahu Alea paham ucapannya.
"Ana loro keuntungan sing bisa qhu jukut. Salah sijine ana lah qhu bisa bebas sing jengkel Sinta. Lah ... koo bisa lewih perek maning karo Sinta. Adil, 'kan?" °° Seolah tertantang, Alea menjawab dengan logat Jawa yang kental.
Arga berpikir cepat. Memang menguntungkan. Namun, lagi-lagi hatinya merasa bersalah. Kalau kemarin soal Alea, sekarang soal Sinta. Apa yang akan dia lakukan dengan Alea hanya sandiwara. Itu tidak jujur. Dan hubungan yang didasari ketidakjujuran akan membawa pengaruh buruk di kemudian hari. Dia ingin hubungannya dengan Sinta langgeng seperti ayah dan ibunya. Bukan sekedar pelampiasan dari dirinya yang sedang memasuki masa puber. Dia cinta Sinta, bukan suka.
"Aku bakalan tutup mulut, kok.''
Oh ... itu seperti rayuan merdu yang menggetarkan gendang telinga Arga. Namun, kepalanya masih enggan mengangguk. "Kata Pak Ustad, kita ndak boleh bohong."
Alea tertawa. Sebelah tangannya berayun menepuk-nepuk bahu Arga. Cowok itu tidak keberatan. Dia mulai berhenti tertawa dan berujar, "Kita ndak bohongin dia, kok. Ini realita yang dibungkus fiksi."
"Apa toh maksudnya?"
"Makanya kalau baca tuh, jangan primbon terus. Sekali-kali harus baca fiksi atau sastra!"
Arga tersenyum, tidak tahu kalau Alea mengetahui kebiasaannya membaca primbon via internet.
"Jadi mau, enggak?"
Senyum Arga hilang. Dia masih ragu.
"Ini beneran, lho. Kamu enggak bohongin dia. Aku serius. Buatku, hitung-hitung bikin seneng hati anak orang. Kamu enggak akan jadi pembohong, karena nanti aku beneran sakit hati. Serius."
Arga masih belum paham, tapi perlahan kepalanya mengangguk. Melihat kesungguhan pada air muka Alea membuatnya sedikit yakin. Dia tidak akan berbohong pada Sinta, 'kan?
"Nah begitu, dong." Alea menepuk lagi bahu Arga. "Tapi aku punya syarat."
***
Kamu harus menuruti semua perkataanku. Tenang aja, aku bukan orang yang ribet, kok.
Alea memang bukan orang yang ribet. Sepanjang Arga mengikuti arus Alea selama hampir sebulan, dia tidak pernah diperintahkan untuk melakukan hal gila, sebagai contoh: memakai pakaian wanita dengan membawa kincringan, dan berkeliling kelas. Alea juga tidak menjadi perempuan yang sedang dalam masa mengidam, minta ini-itu.
Pergerakan Arga dan Alea memang lambat. Namun, Arga harus mengucapkan terima kasih pada Alea karena gadis itu selalu membuat situasi dekat di saat yang tepat. Dan sejauh ini Sinta tidak curiga, jika dia dan Alea hanya bersandiwara.
Arga juga bersyukur karena memiliki Alea sebagai partner. Padahal Alea bisa saja membiarkan dia mengaku pada Sinta soal persekutuan dengan Alea. Menurut pada larangan Alea, beberapa hari kemudian dia menemukan alasan. Saat pelajaran Kewirausahaan, di antara kata-kata yang tertera pada secarik kertas, Sinta menulis bahasa Jawa untuk membalas pesannya. Bermaksud iseng, dia membalas dengan kalimat yang panjang. Namun, di luar dugaan, Sinta mampu membalas pesannya. Gadis pujaan hatinya itu bahkan menyisipkan beberapa kata yang termasuk dalam krama inggil.
Sejak hari di mana Arga menggunakan media kertas untuk mengobrol dengan Sinta, dia semakin patuh pada Alea. Termasuk saat Alea memintanya menemani makan di warteg Bu Warsih seperti sekarang.
"Kita udahan, yuk."
Arga berhenti menyedot es teh manisnya. Buru-buru dia menelan air dingin dan manis yang masih menggenangi rongga mulutnya itu.
"Kayaknya udah cukup, deh." Alea menoleh sebentar, sebelum kembali menatap etalase.
Arga diam. Tidak tahu mau mengatakan apa. Alea-lah yang memulai permainan ini, jadi Alea berhak menghentikan ini kapanpun dia mau. Namun, kalau sudah berhenti ....
"Kalau kita udah selesai, kita enggak bisa kayak gini lagi." Seperti biasa, Alea seolah bisa membaca pikiran Arga. "Karena logikanya, aku akan menghindari penyebab rasa sakit. Meskipun emang sakit, sih. Makanya enggak mau lama-lama, meski ingin. Aku takut enggak bisa move on. Dan lagi," dia mengambil jeda dan menatap mata Arga, "aku udah cukup mengambil keuntungan yang lain itu," lanjutnya.
Alea memang jitu menebak isi pikiran Arga, tapi tidak mahir membuat dia paham. Dia harus lebih giat belajar mengenai hal itu pada Banyu, saat sepupunya itu sudah kembali dari Bali, karena ciri lelaki gentle nomor dua puluh adalah memahami bahasa tersirat wanita. Pelajaran itu tentu penting untuk masa depannya dan Sinta nanti.
"Dan ... karena hari ini belum berakhir, aku masih berhak minta sesuatu dari kamu, dan kamu wajib buat patuh." Alea menatap mata Arga lagi.
Arga mengangguk.
"Ini panjang, jadi dengar baik-baik. Pertama, mungkin kamu sering mendengar kalimat bahwa cinta bisa mengubah segalanya. Yang aku minta, jangan berubah. Jangan mengganti apa yang sudah orang tua kamu tanamkan dari kecil dengan sesuatu yang belum pasti. Terus menjadi Arga yang seperti sekarang.
"Yang kedua. Ini juga sering kamu dengar kalau cinta tak harus memiliki. Aku tahu ini mungkin sulit buat kamu yang lagi terserang cinta, tapi aku tekankan hal ini, jangan berikan seluruh hati kamu padanya. Ingat, jangan biarkan dia mengambil alih semuanya, termasuk cita-cita kamu. Hanya ada dua orang yang bisa mencintai dan membalas cintamu dengan tulus tanpa syarat di dunia ini, ibu dan ayahmu. Sedangkan di alam semesta ada Tuhan. Ingat ketiganya kalau kamu terpuruk oleh cintanya. Udah itu aja."
Arga tersenyum. "Aku bakal inget."
Kepala Alea mengangguk. "Bagus. Dan untuk besok, seperti ini rencananya ...."
***
Arga sudah mengirim SMS pada Sinta tentang Alea yang mengajaknya berbicara di gang belakang aula saat jam istirahat. Respon gadis itu di luar perkiraannya. Sinta tidak membalas pesannya, tapi langsung menelepon. Terdengar bersemangat saat melontarkan idenya dan ditutup dengan pujian atas keberhasilan seorang Arga Prasetyo yang sudah bisa dipastikan.
Namun, ....
Saat menghadapi langsung, menatap wajah Alea saat ini, kilas balik tentang apa yang sudah dilakukannya bersama gadis itu muncul begitu saja dalam otak. Ketika Alea meminjaminya payung, ketika Alea mentraktirnya makan di warteg Bu Warsih, ketika Alea menemaninya membeli hadiah untuk dikirim ke kampung, ketika Alea mengajarinya jalan tanpa harus menjadi sosok yang norak, dan ketika Alea menasihatinya kemarin.
Arga tidak tahu kenapa hatinya terasa seperti diikat kuat. Sesak. Bukankah yang dikatakan Alea nanti bagian dari rencana untuk melepaskan diri dari dendam Sinta. Namun, dia teringat sesuatu!
Ini realita yang dibungkus fiksi.
Apa maksud Alea? Alea benar-benar patah hati? Kalau begitu, berarti ....
"Ini mungkin konyol." Alea memulai setelah membiarkan beberapa menit berlalu tanpa suara. "Tapi aku ... aku rasa ...."
Arga memperhatikan dengan baik setiap gerak-gerik Alea. Gadis itu tampak gelisah. Tatapan mata Alea melihat ke arah tanah, tapi sesekali melirik ke arahnya. Jari-jari Alea saling meremas.
"Ini susah, beneran."
Anggap aku Randi. Arga berharap, sorot matanya dapat dipahami Alea. Bagaimanapun juga, Sinta sedang mengintip dari balik jendela aula. Tak jauh dari kepala Alea.
"Aku suka sama kamu."
Arga sempat mengerutkan kening saat mendengar kalimat Alea yang cepat. Namun, dia tersenyum. Merasa lega karena kode matanya dapat dipahami Alea.
"Aku suka karena kamu unik. Dan kamu satu-satunya cowok yang bisa jujur. Aku suka dari dulu. Kamu beda. Ini mungkin gila, tapi aku hanya ingin jujur."
"Makasih. Tapi aku suka cewek lain. Dia Sinta Maharani. Aku harap kamu enggak perlu ngejar-ngejar aku lagi. Buang perasaan itu karena aku enggak bakal suka sama kamu."
Arga menyimak dengan baik saat Sinta memberi pengarahan semalam dan sesuai prediksi. Mata Alea mulai berkaca-kaca. Untuk beberapa detik, Arga merasa bersalah. Namun, saat kesimpulan bahwa air mata Alea untuk Randi, Arga tahu diri dan paham.
Ya, dari semua perkataan Alea tempo hari, Arga menyimpulkan dengan kilat bahwa gadis itu menyukai Randi. Namun, karena Randi menjadikan Alea sasaran, Alea enggan mengakui perasaan itu. Jadi, satu keuntungan yang Alea dapatkan dari hal ini adalah, Alea bisa menjadikan dia sebagai pengganti sosok Randi. Mengungkapkan semua yang dirasa gadis itu kepada Randi dengan perantara dirinya.
Realita yang dibalut fiksi.
Ini memang kenyataan yang disamarkan dengan sandiwara. Alea tidak berbohong soal rasa sakit hatinya. Alea benar patah hati. Untuk sosok Randi. Dan ... ikatan di hati Arga perlahan melonggar dan hilang. Dia bisa menghirup udara tanpa rasa sesak.
"Udah selesai? Aku mau ke kantin. Mau ngajak Sinta makan. Dan aku harap, kamu jangan sok deket-deket aku lagi." Itu kata-kata Sinta yang keluar dari mulut Arga.
Alea menghapus dengan kasar air matanya yang mulai menuruni pipi. "Tenang aja. Aku juga enggak mau deket-deket kamu lagi."
Arga menatap tangan kiri Alea yang terulur ke arahnya.
"Aku pernah baca di buku, kalau jabatan pakai tangan kiri itu artinya perpisahan."
Tanpa pikir panjang Arga menyalami tangan kiri Alea menggunakan tangan kirinya. Hanya sebentar. Dan Alea beranjak pergi.
Sesak. Arga merasakan hal itu lagi. Dan genggaman kuat dari tangan kiri Alea masih terasa di tangan kirinya. Kini Netranya melihat fokus telapak tangan kirinya yang terbuka.
Mudah-mudahan kamu bisa move on dari Randi, Al.
Dan kembali menatap punggung kecil Alea sebelum melihat ke arah jendela aula. Sinta yang dia duga naik ke salah satu bangku di aula menunjukkan wajah. Tersenyum senang ke arahnya, yang dia balas dengan senyum yang tak kalah lebar.
Catatan:
Saya jarang--nanti dulu, enggak enak, terlalu kaku 😅--aku jarang (nah, ini pas) banget ninggalin catatan atau note setelah nulis cerita. Takut mengganggu 😅. Tapi ... berhubung ini cerpen dan rada nyantai soal cerita yang aku garap, aku mau sedikit cuap-cuap kayak beberapa teman penulis yang sering kasih catatan atau note sehabis mengetik karya 😅.
Aku mau mengucapkan Alhamdulillah, karena dengan izin Allah, cerita ini selesai 😊. Lalu untuk temen-temen di grup yang selalu menyemangati dan enggak pelit berbagi ilmu, terima kasih 😘. Dan, berhubung Big Boss ku enggak punya akun WP, aku mau minta maaf di sini karena suka korupsi waktu buat merampungkan semua target menulisku 😅. Maaf Boss ... saya bukan karyawan baik 🙇🙇🙇. Terus aku juga mau ngucapin banyak terima kasih buat Om Chandra dan Mas Wido (yang sayang-nya enggak punya akun WP) karena udah membantu sepenuhnya soal penulisan bahasa Jawa yang diucapkan Arga atau Alea dengan bahasa yang sering digunakan di daerah Bumiayu. Thank u Om dan Mas....
Tunggu traktiran dariku. Hehehe ....
*udah kayak nerima penghargaan Panasonic aja 😅😅😅.
Okelah ....
Kalau ada yang penasaran dengan Sudut Pandang, Insya Allah, diusahakan bagian kedua-nya muncul bulan ini.
Soal Make Over juga diusahakan bulan ini 😅.
*Kayak ada yang nungguin itu aja 😑😑😑
**Ye ... harus optimislah! Ini namanya promosi terselubung di lapak sendiri 😅.
Oh iya, bagi yang enggak paham bahasa Jawa, di halaman selanjutnya terdapat glosarium. Monggo ... yang mau baca bahasa Indonesia-nya.
Sekali lagi makasih.
*Suka manis 😅. Tapi aku lebih suka dikasih "sambal" (kritik dan saran 🙇🙇🙇).
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top