Bagian 9 : Pembohong yang Menyukai Mawar Hitam

"Hei, kerbau! Cepat bangun! Katanya mau mengajariku cara berteman! Kemarin kau menyuruhku bangun lebih awal dan rupanya kaulah yang kesiangan! Dasar tukang tidur! Hei! BANGUN!!!"

Pagi-pagi buta begini, suara Celdo telah membuatku terbangun memecahkan mimpi. Tapi saat pekikannya berhenti, aku kembali meletakkan kepalaku ke bantal merah yang begitu nyaman dan empuk.

Kamar ini sangat nyaman. Mungkin lebih nyaman dari pada kamar yang ada di istanaku. Selimut, guling, juga ranjang tidur yang luas, benar-benar membuatku malas untuk bergerak dan bangun. Kualitas kain seprainya membuatku seakan ada berada di atas awan. Lembut sekali. Aku merasa seperti terekat oleh lem di ranjang tidur ini. Ingin sekali aku memiliki ranjang tidur senyaman ini di kamar istanaku. Kalau boleh, aku akan menyeret tempat tidur ini ke duniaku dan membawanya menjadi milikku.

"Cepat ... BANGUN! AKU BILANG BANGUN!!!" pekiknya lagi sambil menarik bantal yang aku gunakan dan beberapa kali dengan sekuat tenaga menghantamkan bantal itu tepat ke wajahku. "Bangun kau! Kalau tidak aku akan .."

DUG!!

Lantas aku bangkit dari baringku. Bukan untuk bangun dari tidur, mengambil handuk, dan segera menuju ke kamar mandi. Melainkan aku sedang menjalankan pengajaranku sebagai seorang guru. Maksudku, mengajarinya untuk menjadi dewasa.

Aku merampas bantal itu dan membuang benda itu jauh. Kemudian menarik Celdo paksa ke tempat tidur. Kemudian membuatnya terbaring dan membungkam kedua lengannya. Ringan sekali dia. Mudah sekali untuk menjebaknya. Sementara dia sedang meronta minta dilepaskan. Aku menyeringai. Tidak akan aku lepaskan semudah itu.

"Kalau tidak, apa hah?" godaku.

"A-apa yang kau lakukan? Lepaskan aku!" pekik Celdo tak terima. "K-kau mau apa, hah??"

Aku bisa melihat wajahnya tersipu menahan malu. Lucu sekali melihatnya begini. Bocah seperti dia ini lebih menyenangkan diajak bermain dari pada diriku yang terus digoda para Pangeran Delfidius dengan otak mesum mereka masing-masing. Aku lebih suka menggoda bocah seperti dia.

"Kita mulai pelajarannya. Pertama, kau tidak boleh malu bertemu pada siapapun. Situasi apapun kau harus percaya diri termasuk pada situasimu yang sekarang ini. Santai saja. Nah, sekarang bagaimana perasaanmu?" jelasku enteng dan cepat.

Aku masih menahan kedua tangannya sekaligus menindih tubuhnya agar tidak bisa kabur.

"Perasaanku mengerikan! Apa yang ingin kau lakukan lepaskan aku sekarang juga!!" jawab Celdo histeris, sedangkan aku tertawa terbahak-bahak melihatnya menderita. "Minggir kau dasar nenek sihir bermata merah!"

Refleks aku berhenti tertawa dan menatapnya tajam. Kurang ajar! Dia mengataiku 'nenek sihir??!' Tidak ada sebutan yang lebih bagus selain itu? Rambutku sudah lebat dan paras cantikku tidak mungkin akan dikatai seperti itu. Ini pertama kalinya aku dihina oleh seorang bocah. Aku sempat bingung bagaimana cara menghadapi anak ini. Tapi, aku harus berhasil membuatnya sedikit mengubah ekspresi dingin nan judesnya itu dengan hanya satu cara, yaitu membuatnya sering tersenyum. Aku harus membuatnya menjadi orang yang ramah, agar dia bisa didekati banyak orang. Itulah pelajaranku padanya hari ini.

"Hoh? Kau memanggilku nenek sihir? Oke, kau boleh katai aku apa saja. Tapi sebagai ganti dari itu, mulai sekarang kau harus tidur seranjang denganku! Whahaha!!" balasku dengan tawa jahat yang disengaja seolah aku ini adalah iblis, sedang Celdo adalah anak kecil pungutan yang tidak beruntung. Tamatlah kau, Celdo!

Sejak kapan aku jadi melucu begini? Ini mengejutkan, tapi seru juga. Aku akan memperlakukan Celdo seperti 'ini' sampai dia bisa mendorong diri untuk berinteraksi dengan orang banyak. Masa depannya harus cerah, apalagi anak sekecil ini sudah tidak memiliki orang tua. Miris memang.

Meskipun aku juga merasa hampa, karena temanku hanyalah Jessy. Orang tuaku pun juga sudah tiada sejak aku masih kecil. Aku juga tidak pandai bersosialisasi. Kenapa Tuhan memberikanku cobaan seperti ini? Apa tujuanku bertemu dengan makhluk tidak masuk akal dan terjerumus ke dalam dunia sesat ini? Bertemu dengan Rosel dan Celdo, sepasang saudara kandung yang tidak memiliki orang tua. Apa maksud-Nya?

"Tidak mau! Bahkan jika kau memberikanku mawar pelangi, seumur hidupku aku tidak mau tidur seranjang dengam siapa-siapa! Apalagi kau!!" tolak Celdo membuatku begitu tertusuk dengan kata-katanya.

Kalimat penolakan dan penekanan itu telah membuatku semakin berapi-api untuk membuatnya berubah. Anak tak tahu adab ini akan aku ajarkan dengan serius. Jangan khawatir, Rosel! Adikmu ini akan menurut dan mau berteman dengan orang banyak. Lihat saja nanti.

"Kya!! Kau ini lucu dan menggemaskan sekali! Nanti kalau ada waktu, kau datang ke istanaku dan tinggal selamanya di sana, oke?" jeritku dengan sengaja sambil memeluknya gemas. "Ah! Rosel memintaku untuk menikahimu. Apa kau setuju kalau kita menikah?"

"Aku lebih memilih dikutuk menjadi pohon dari pada harus berjodoh dengan wanita bejat sepertimu!" balas Celdo semakin pedas sambil masih meronta dipelukanku.

Aku juga tidak mau menjadikanmu suamiku, kecuali jika sifatnya tak seperti iblis. Kau itu mengerikan, Celdo Phantrom ... lebih mengerikan dari pada monster Swonlerda, kataku membatin ngeri.

"Aih! Kata-katamu itu semakin pedas saja! Iya, iya aku bangun!" kataku akhirnya sambil beranjak dari ranjang tidur, sementara Celdo ikut beranjak dan membetulkan dasi kupu-kupu ungu yang dia pakai.

"Cih!" Aku bisa mendengar decihan Celdo. Mukanya masih merah. Hahaha, dia itu pemalu sekali. "Cepat kau mandi sana! Bau burketmu itu sampai menempel pada bajuku karena kau memelukku! Hiii!!"

Aku terkejut. Lantas aku mengangkat lengan kananku dan mengecek bau ketiakku. Kemudian sebelah kiri. Tak ada bau amis. Mana mungkin aku tidur sampai berkeringat. Memangnya aku tidur sambil berjalan? Sepanjang malam saja hawanya dingin sekali sampai aku menggunakan selimut tebal.

"Ketiakku tidak bau! Jelas-jelas aroma tubuhku ini wangi alami sepanjang hari!" protesku tak terima aku dibilang bau.

Celdo hanya mengangkat bahu tidak peduli dan berlenggang pergi dari kamarku. Sebelum itu, dia mengatakan ini. "Oh iya, selesai kau mandi, temui aku di ruang makan untuk sarapan."

Dan setelah itu, dia benar-benar meninggalkan kamarku dan menutup pintu dengan anggun. Jengkel sekali aku mendengar nada bicaranya. Norak dan angkuh.

"Dasar bocah tengik!" ejekku sambil mengambil handuk dari dalam lemari berwarna hitam yang anehnya hanya berisi satu handuk dan berlenggang menuju kamar mandi. Dan sampainya di kamar mandi ...

"Astaga!" Aku terkejut melihat bak mandinya. Mengerikan sekali melihat ada banyak tumbuhan mawar melilit bagian dinding bak mandi. Airnya juga dipenuhi oleh kelopak mawar hitam dan merah. Norak.

Terpaksa aku melepas baju dan segera masuk merendamkan seluruh tubuhku ke dalam bak mandi. Airnya hangat dan menenangkan. Aku pikir air jika dicampurkan dengan hal yang macam-macam, akan berdampak kematian. Ternyata tidak. Aroma air ini begitu harum akan mawar. Aku jadi mulai betah untuk berendam lebih lama. Rileks sekali.

👑👑👑

"Sial! Aku harus pakai baju apa? Tidak mungkin Celdo punya baju perempuan di dalam lemarinya! Tidak mungkin aku akan memakai baju yang kemarin!" seruku selesai aku membersihkan diri dan mengeringkan badan.

Setelah aku berendam di dalam bak mandi penuh kelopak bunga dan membersihkan badanku termasuk bagian ketiak —aku masih kesal dengam Celdo menyebutku bau— badanku terasa sejuk dan harum. Kulitku jadi lebih licin dan lembut dibandingkan berendam di dalam kolam susu. Jika setiap hari aku mandi menggunakan air bunga, mungkin aku tak akan memakai parfum lagi.

Tapi, betapa sialnya baju apa yang akan aku pakai. Kalau aku memakai baju berian Talia yang aku pakai kemarin, berarti sia-sia saja aku mandi.

Aku memandang lemari berwarna putih yang letaknya tak jauh dari lemari hitam. Kedua lemari itu bersebelahan. Ini membingungkan. Lemari hitam hanya berisi satu handuk, lalu apa isi lemari yang satunya? Jika ingin tahu, aku harus membuka isinya.

Kedua tanganku segera menggenggam gagang pintu lemari dan menarik keduanya. Tepat saat aku membuka lemari putih ini lebar-lebar, pupilku melebar melihat isinya. Ada satu baju yang tergantung di dalam sana. Sepotong baju yang panjangnya bisa sampai ke lututku, bermotif polkadot merah muda dan terdapat dasi pita di bagian kerah. Aku mengambil baju itu kemudian menyesuaikannya ke tubuhku di depan cermin.

"Baju ini terlalu konyol untukku. Apa boleh buat. Dari pada telanjang, lebih baik pakai ini saja," cerocosku.

Tanpa basa-basi lagi, aku segera memakai baju kemudian duduk di cermin rias. Rambutku terlihat masih sedikit basah dan berantakan. Aku mengambil sisir sikat di meja rias.

Tunggu. Bagaimana cara aku menggunakan ini? Aku tidak pernah menyisir rambut. Bahkan ini kali pertama aku menyentuh sisir. Dayang-dayangku di istana selalu ada disaat aku susah begini. Mengeringkan rambut, menyisir, memakaikan baju padaku dengan benar, juga memakaikanku sepatu.

Di dunia ini, aku harus melakukan itu sendiri. Baiklah, aku tidak ingin bersikap manja. Tidak ada Jessy dan dayang-dayangku, aku tidak akan merasa dalam kesulitan. Aku akan bertahan dan berusaha menyesuaikan diri di tempat mengerikan sekaligus aneh ini. Semoga bisa.

Aku mencoba menyisir rambut indahku dan beberapa kali menyisir tiba-tiba saja tanganku tidak bisa lagi digerakkan. Rambutku ... KUSUT!!

Rambutku kusut sekali! Bagaimana cara menyisir rambut panjangku ini dari belakang? Seharusnya ada yang menyisir rambutku. Aku menyerah! Aku tidak bisa melakukan ini sendiri! Bahkan aku saja tidak bisa mengikat dasi pita. Jujur, kenapa aku payah sekali?!

"Wah, ternyata Tuan Celdo punya tamu? Aku pikir Tuan tidak akan pernah membawa orang ke dalam istananya. Bahkan tamunya seorang wanita."

Seruan seseorang membuatku menolehkan kepala ke arah pintu. Tampak seorang lelaki berkemeja putih dan bawahan celana panjang hijau tua berdiri sambil memandangiku dengan tanya. Lelaki berambut coklat itu membawa beberapa bunga mawar hitam yang telah diikat rapi.

"Kau sendiri siapa? Kenapa kau tidak mengetuk pintu lebih dulu?Tidak sopan," kataku padanya seraya menggumamkan dua kata pada bagian akhir dan berjalan mendekat ke arahnya. Aku jadi teringat Jessy yang juga tidak bisa mengetuk pintu lebih dulu sebelum masuk.

"Maaf. Aku adalah pelayannya Tuan Celdo, namaku Jee Wanpa. Kau bisa memanggilku Jee. Aku disuruh Tuan membawakan seikat bunga mawar hitam ke kamar ini," katanya memperkenalkan dirinya padaku sembari memberitahukan tujuannya ke sini. "Ini bungamu."

Aku menerima seikat bunga itu dari tangan Jee. Mawar ini cantik sekali. Tapi sayang sekali, bunga ini bukan digunakan untuk hiasan. Kata Celdo, semua bunga mawar di sini digunakan untuk membasmi. Tunggu, membasmi? Maksudnya membasmi apa?

"Terima kasih. Apa kekuatan mawar hitam ini?" tanyaku.

"Mawar berwarna hitam memiliki kekuatan teleportasi," jawab Jee lantas membuatku sedikit bingung. "Oh iya, aku ingin tahu kenapa Tuan Celdo membawamu ke sini? Kau siapanya Tuan?"

Apa yang harus aku jawab? Siapanya Celdo? Mungkin dia tidak tahu Presiden atau apalah itu mengundangku ke dunia ini yang sepertinya ingin bertemu denganku. Aku bahkan tidak mengenalnya, apalagi bertemu? Tidak pernah sama sekali. Aneh memang apa tujuan orang itu sampai membawaku ke sini. Tapi untuk menjawab pertanyaan dari Jee, aku harus sedikit ... berbohong.

Ya, aku tahu apa jawabannya.

"Aku? Kau ingin tahu apa alasanku ke sini? Aku siapanya Celdo?" ulangku kemudian menyeringai.

"Iya. Setahuku, Tuan Celdo tidak pernah mengundang seorang pun ke istananya kecuali aku dan saudaraku untuk bekerja di sini. Kau siapa?"

"Namaku Mouneletta Romanove. Tentu saja kau akan bertanya. Baiklah, akan aku beritahu. Aku adalah tunangan Celdo, ah, bukan maksudku, CALON istrinya," jawabku yang sukses membuat Jee ternganga lebar. "Hei, kau pelayan di istana ini, kan? Kau tidak keberatan menyisir rambut panjangku ini? Aku tidak bisa melakukan ini sendiri."

👑👑👑

Aku bisa melihat dengan jelas ekspresi Celdo tampak tidak bersahabat seperti sebelum aku pertama melihatnya, tapi yang ini lebih parah, seakan ingin menghajarku habis-habisan. Sesudah Jee merapikan rambutku dan memasangkan mahkotaku yang entah kenapa berubah menjadi ... SEBUAH PITA KECIL MURAHAN!!

Oke, aku tidak akan terkejut lagi dengan perubahan ini. Sudah berapa kali mahkotaku berubah wujud yang mungkin karena dampak dunia menganehkan ini. Jee mengikatkan pita itu ke atas kepalaku dengan gaya yang sedikit miring, membuatku jadi terlihat lebih kekanak-kanakan dengan pakaian polkadot ini. Untung kesabaranku masih ada.

Jee sangat baik. Dengan senang hati, dia menyisir rambutku lembut dan memasangkan dasi pita ke kerah bajuku. Sambil menyisirku, dia sedikit mengobrol dan itu membuatku terhibur dengan cara bicaranya yang melucu. Ah, beruntung sekali Celdo mendapat pelayan seperti Jee. Sangat berlawanan dengan Jessy—Jessy itu seenaknya dan menjengkelkan.

"Cih! Selama itukah seorang wanita mandi dan berpakaian? Dua jam aku menunggumu saja!" pekik Celdo sambil melihatku berjalan ke arah meja makan mewah dan menarik kursi. Kemudian menoleh ke arah Jee yang rupanya telah berdiri di samping Celdo duduk. "Kau sudah menyelesaikan tugasmu?"

"Tugas yang mana, Tuan? Tugas saya banyak. Mengantarkan bunga pada pembeli, bersih-bersih, mencuci pakaian .."

"KAU PIKIR AKU BODOH SAMPAI KAU MEMBERITAHUKAN PEKERJAAN YANG AKU BERIKAN PADAMU??!"

Aku terkejut sekaligus tidak terima Jee dibentak seperti itu. Menurutku, pertanyaan Jee itu benar. Apa tugas yang dimaksudkan Celdo, itu memang harus dipertanyakan karena seorang pelayan mempunyai tugas yang banyak. Jee tidak bisa menangkap tugas mana yang dimaksudkan majikannya itu. Termasuk aku.

"Maafkan atas kesalahan saya, Tuan. Saya tidak tahu tugas mana yang Anda maksud," ucap Jee sambil menunduk maaf.

"Cih! Mendekatlah ke sini!" kata Celdo menyuruh Jee mendekatkan telinga. Dia itu hobi sekali mendecih, ya? Dasar bocah sok bangsawan.

Jee segera mendekatkan sebelah telinganya ke arah Celdo. Kemudian Celdo membisikkan sesuatu yang ternyata tidak bisa aku dengar dari seberang meja ini. Kenapa dia berbisik? Tak perlu juga dibisikkan begitu, bukan? Aku jadi penasaran dengan apa yang dia bisikkan.

"Ah, saya sudah mengantarkan bunganya, Tuan. Dia senang sekali dengan mawar hitam yang Anda pilih," kata Jee kemudian setelah dibisik. Sebenarnya Celdo baru membisikkan apa sih?

"Berisik! Bagaimana jika dia dengar??" balas Celdo seraya menjitak kepala Jee. Kemudian menoleh padaku. "Letta, mari. Pilihlah makanan yang kau suka."

Apa? Sejak kapan Celdo anak yang kurang ajar ini punya sopan santun? Aku pikir dia akan terus-terusan tak acuh padaku, ya walaupun matanya masih menatapku tidak bersahabat dan tajam.

"Ba-baiklah, tapi tunggu. Kau tidak makan sejak tadi?" tanyaku seraya mengambil segelas air mineral dan segera meneguknya.

Aku penasaran melihat tak ada bekas piring yang dipakai. Hanya terlihat piring putih bersih di depannya tanpa ada setitik makanan pun mengotori.

"Iya. Aku sengaja menunggumu datang untuk makan bersama," jawab Celdo yang nyaris membuatku tersedak.

"A-apa katamu tadi?" tanyaku tak sengaja meletakkan gelas yang aku genggam dengan keras di atas meja.

Mungkinkah aku salah dengar? Bocah sialan ini ... menungguku?!

"Aku sengaja tidak makan untuk makan bersama denganmu. Kau itu kenapa, sih? Dasar aneh!" balas Celdo mengulangi apa yang dia katakan barusan. "Ayo langsung saja kita mulai sarapan sebelum makanannya basi." Entah kenapa kata-kata yang satu ini membuatku sedikit kesal.

Aku hanya bisa mengangguk pelan dan segera mengambil makanan yang aku sukai. Tak ada lagi yang bisa aku katakan melihat wajah polos dan penutup sebelah mata itu memakan sepotong kue stroberi sambil mengulang-ulang kalimatnya di kepalaku.

Di meja sepanjang dan selebar ini, hanya untuk kami berdua, suara garpu dan pisau yang berkeletok di atas piring, dan Jee berdiri di pojok meja makan sambil membawa nampan ... KENAPA AKU JADI TERASA CANGGUNG BEGINI??? INI MENGERIKAN!!!

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top