Bagian 8 : Hampa Tapi Penuh Warna
"Kau!!!"
Aku berada di kamar orang tuaku yang telah dilumuri banyak darah. Masuk dengan langkah pelan dan memandang keji tepat ke arahnya. Dengan perasaan murka, aku menunjuk orang itu. Orang yang membunuh orang tua tercintaku. Dia ... dia baru saja selesai membantai orang tuaku. Menusuk dan menebas mereka sampai bermandikan darah. Tidak bisa diampuni.
"Kau membunuh mereka! Kau membunuh orang tuaku!! Kau harus mati!!"
Tanganku menarik pedang dari sarungnya dan segera berlari gesit ke arah pembunuh itu. Tapi saat aku akan menyerangnya, dia menebasku lebih dulu, dan aku sama sekali tidak bisa menghindari serangan kilat itu. Cepat sekali.
SSTTHH!
"Uhuk!" Aku terbatuk disertai muntahan darah keluar dari mulutku. Rasanya menyakitkan sekali.
Tubuhku terhempas seketika ke lantai. Dia menebas perutku begitu dalam seperti telah menusukku. Darahku mengalir deras memenuhi lantai. Aku berusaha tidak merintih karena luka ini. Jika aku merintih, sama saja aku menampakkan kelemahanku.
Sementara aku memegangi perutku dan berusaha bangkit walaupun itu mustahil, dia berjalan santai mendekatiku yang tengah tersungkur mengenaskan. Aku menatapnya benci. Orang yang entah siapa karena wajahnya tertutup oleh gelap. Dia mengatakan sesuatu.
"Keluarga Romanove harus mati!"
Dan orang misterius itu siap menusukku dengan pedangnya. Apa aku akan berakhir mati dalam keadaan seperti ini? Tidak! Aku tidak mau mati dengan cara ini! Aku harus bangun! Bangkitlah, Moune! Kalahkan dia!
👑👑👑
Mendadak, aku membuka kedua mataku. Apa barusan aku bermimpi? Aneh sekali. Di mimpiku tadi, aku bertemu dengan pembunuh orang tuaku. Namun, wajahnya sama sekali tak terlihat. Tertutup oleh gelapnya keadaan malam karena tidak mendukungnya lampu yang tak dinyalakan. Sial, padahal aku ingin tahu sekali siapa pembunuh itu.
Aih ... Untuk apa percaya pada mimpi? Aku akan menemukan pembunuh itu sendiri tanpa bantuan tanda-tanda dari mimpi atau apalah itu. Omong-omong, di mana aku sekarang? Apa yang sudah terjadi padaku?
Udaranya dingin. Aku masih berada di luar. Tampak ladang bunga mawar putih terlihat dari kejauhan. Di bawahku, ada pohon sakura yang entah baunya sampai menyengat ke indra penciumanku. Harum sekali. Aku tidak pernah mengira pohon sakura akan seharum ini. Aku pikir, pohon sakura hanya berada di tempat-tempat tertentu yang hanya bisa dilihat pada satu tempat saja. Ternyata di sini juga ada. Tunggu. Pohon sakura punya aroma? Ini aneh!
Aku beranjak dan segera duduk. Tak menyangka rupanya aku berbaring di sebuah batu raksasa yang mungkin panjangnya sekitar diriku. Batu itu tidak kasar untuk menjadi alas tidur. Aku menduga yang aku tindih ini adalah ranjang tidur. Apa semua batu di sini empuk? Astaga.
Selain ladang bunga mawar putih, di sampingnya juga terdapat ladang mawar merah dan ... hitam?! Sejak kapan mawar ada warna hitam? Mengerikan sekali. Tapi, kenapa jadi terlihat cantik, ya?
"Mereka semua mempunyai warna yang beraneka ragam dan juga kekuatannya. Seperti mawar putih, jika kau menghirupnya lebih dari satu menit, kau akan mengantuk. Lima jam yang lalu, kau ke ladang mawar putih ini dan menghirup mereka. Jika kau terus menghirupnya selama lima menit, kau bisa tertidur selamanya. Kau mau mati, huh? Jika kau bukan orang yang Presiden katakan, aku sudah membiarkanmu terbaring di sana. Merepotkan saja!"
Lantas aku menolehkan kepala ke arah seorang lelaki yang sepertinya lebih muda dariku. Dia berdiri di tengah-tengah ladang mawar putih sambil menghirup satu tangkai bunga mawar putih yang dia petik. Kepalanya berhiaskan topi hitam dengan sebuah bunga berwarna abstrak di bagian depan. Mata kanannya tertutup oleh penutup mata hitam, pakaian berjas hitam, kain berbentuk mekar pada bagian leher dan dada, juga memakai dasi kupu-kupu ungu.
Aku jadi ingin tahu kenapa dia memakai penutup mata kanan. Dan juga, jika bunga mawar putih itu bisa berefek fatal, kenapa dia tidak terpengaruh dengan aromanya?
"Aku tidak mau mati," kataku sambil mengepalkan kedua tangan.
"Apa?"
"AKU TIDAK MAU MATI! Bahkan jika bunga itu bisa membunuhku, aku akan melawan kematian itu!"
"Melawan kematian, huh? Kata-katamu itu sangatlah basi!"
Lelaki itu berjalan menjauh dari ladang bunga mawar putih. Kemudian sampai di depanku. Dia pendek, jadi teringat Hellois. Sepertinya mereka berdua punya tinggi yang sama.
Aku melihat alas kaki yang dia pakai. Sepatu berhak yang lumayan tinggi. Seharusnya sepatu hitam itu untuk wanita. Lucu sekali, tapi melihat tatapan juga ekspresinya, bisa aku sebutkan, garang. Dia bukan orang yang ramah. Mata biru sebiru langit itu menatap mata merahku begitu menusuk. Tentu saja aku tidak akan kalah dengan tatapan tajamnya. Aku membalasnya tajam.
"Bagaimana cara melawan kematian? Kau bisa mencontohkannya sekarang? Tidak, kan? Semua kiasan itu MUSTAHIL! Bahkan kau tidak mampu menghindari kematian!" pekiknya membuatku tidak tahan.
"KAU TIDAK MENGERTI!" balasku memekik. "Hidup adalah mati. Mati adalah hidup. Kau menganggap hidup adalah hidup dan mati adalah mati. Bukan seperti itu! Aku hidup, namun aku merasakan diriku ini sudah mati. Tapi, dalam setiap detikku, tak akan aku biarkan diriku mati dengan mudah. Akulah yang akan membunuhku. Jika aku penuh luka, penuh darah, aku tak akan pernah menganggap itu adalah kelemahanku. Jika darah ini mengalir deras keluar, aku akan menganggap itu adalah hal sepele! Aku bukan wanita yang lemah! Biar aku tekankan itu!!"
Dia menatapku kosong. Tak ada balasan. Seakan sedang masih menerima dengan apa yang sudah aku katakan. Aku menunggu responnya. Apa dia tak bosan diam? Dan juga, dia jarang berkedip. Perasaanku horror melihat mata birunya. Tapi, kenapa matanya ... gelap. Tak ada cahaya di sana. Hampa. Benar-benar hampa.
Mendadak dia mengangkat mawar putih di tangannya itu ke samping. Semua kelopak mawar itu lepas dan terbang bebas menghias angin malam. Sementara batang mawar masih berada di tangannya. Aksi yang anggun dan juga angkuh. Dan betapa terkejutnya, batang mawar berduri itu tiba-tiba saja ... BERUBAH WUJUD MENJADI PEDANG!
STTTHHH!
Dia gesit menggerakkan pedangnya ke arahku. Reflek aku menarik pedangku dan segera mengarahkan senjataku ke pedangnya.
TINGGG!!
Pedang putih itu hampir saja akan menebasku. Beberapa rambutku terkena tebasan itu dan terpotong. Untung tidak semuanya. Bahkan tadi tubuhku nyaris tertebas. Jika aku tak menangkisnya dengan pedangku ... jangan bayangkan. Itu mengerikan.
Tunggu dulu. Aku bisa menangkis serangannya? Dengan pedangku? Ini .... KEREN!
"Aneh," ucapnya tak jelas. Aku menatapnya bingung. "Aku bisa melihat matamu berapi-api saat kau bicara barusan. Kau memiliki ambisi kuat untuk membunuh seseorang. Siapa yang ingin kau bunuh?"
Aku mendecih sambil menurunkan pedangku dan kembali memasukkan benda tajam ini ke sarung pedang. Mataku membuang kontak mata dan melangkah sedikit menjauhinya agar dia tidak repot-repot melihat mataku.
"Kau tidak perlu tahu urusanku. Ini masalah pribadiku," jawabku, kemudian mendadak aku membalikkan badan kembali melihat lelaki pendek itu. "Selain itu, untuk apa kau menyerangku? Itu mengejutkan sekali! Kalau aku jantungan bagaimana?? Aku ke sini juga tidak mau bertarung denganmu! Aku hanya ingin pulang dari dunia sesat ini! Dan untuk itu, aku harus melewati banyak cobaan, terutama darimu! Rosel memintaku bertemu denganmu untuk mengajakmu bersosialisasi dengan orang lain. Jika aku tidak bisa mengabulkan permintaannya, maka aku akan .. "
"Tidak!" teriaknya berhasil memotong kalimatku yang belum selesai. Sudah aku duga, dia itu adiknya Rosel, yakni bernama Celdo Phantrom. Dia menodongkan pedangnya ke arahku. "Aku tidak mau! Aku tidak ingin memiliki teman atau berteman denganmu pun aku tidak sudi! Melihatmu saja aku sudah ingin muntah! Kau dengar itu, kan? Aku-tidak-akan-berteman! TITIK!!!"
Wajahnya semakin sangar saja. Ekspresi biasanya yang sudah terlihat sangar, apalagi kalau melihatnya sedang marah? Bayangkan saja. Aku sampai takut melihatnya. Bagaimana aku bisa membuatnya berbaur dengan orang banyak jika dia punya sifat yang mengerikan bahkan yang akan mengajarinya bersosialisasi pun merasa grogi.
Tidak. Aku tidak boleh menyerah sampai di sini. Aku harus mengabulkan permintaan Rosel. Celdo harus berteman. Harus!
"Kakakmu ingin melihatmu memiliki teman. Bukannya berdiam diri di sini! Kau akan aku ajarkan cara berteman dengan baik dan mendapatkan banyak teman!"
"Cih!" Dia berdecih di hadapanku. Benar-benar tidak sopan.
Celdo menurunkan pedangnya dan membuang benda itu jauh. Kemudian pedang itu berubah menjadi batang mawar, kembali seperti semula. Mungkin itu adalah kekuatannya. Kekuatan yang aneh.
"Aku tidak bisa membunuhmu karena kau adalah tamu Presiden. Jika aku membunuhmu, sama saja aku cari mati," kata Celdo memberitahukan alasan dia membuang pedangnya. "Kalau kau bersikeras ingin mengajariku, kau harus jawab teka-tekiku. Jika jawabanmu benar, kau berhak melakukan apapun yang ingin kau lakukan—aku akan terima. Tapi jika jawabanmu salah, aku menolak untuk mendapat pelajaranmu itu!"
Aku menyeringai mendengar keputusannya memberiku teka-teki. Sebenarnya, aku suka menjawab teka-teki. Tapi jika teka-tekinya adalah tentang mata pelajaran sekolah, aku tidak akan selamat. Celdo tampak antusias melihatku mengembangkan senyum. Sepertinya dia akan serius.
"Baiklah. Katakan saja sekarang teka-tekinya," balasku enteng.
"Oke. Waktu menjawabnya tiga menit. Kalau kau tidak menjawab teka-tekiku sampai tiga menit selesai, kau telah aku diskualifikasi. Paham?" jelas Celdo membalas senyum licik padaku.
"Apa? Curang! Kenapa harus menggunakan waktu?? Aku tidak ter .."
"Ah, kau tidak terima peraturanku? Ya sudah! Berarti, aku juga tidak terima untuk berteman dengan siapa-siapa, dong!"
Aku menatapnya tidak terima. Menyebalkan sekali. Dalam waktu tiga menit, aku harus menjawab teka-tekinya dengan benar. Ini tantangan yang cukup sulit. Rasanya aku ingin sekali menonjok wajahnya. Ini menjengkelkan. Apa boleh buat, aku harus menerima peraturan itu.
"Baik, baik. Aku terima peraturanmu. Katakan teka-tekimu sekarang. Aku sudah siap," jawabku ketus.
Celdo tersenyum lebar. Aku pikir dia tidak mudah tersenyum. Tapi, senyumannya itu bukan mengundang persahabatan, malah menakutkan, seolah menunggu jawabanku salah. Aku tidak akan salah. Jawabanku harus benar.
"Maksudmu, siap untuk mati?"
"Jangan membuatku emosi! Cepat katakan saja teka-tekinya!"
"Mudah, kok. Diantara semua warna, apa warna kesukaanku? Ayo, jawab! Kau ingat, waktumu cuma tiga menit, lho!"
Aku melongo setelah mendengar teka-tekinya. Inikah yang dinamakan teka-teki?
"Teka-teki macam apa itu? Kau mempermainkanku! Mana aku tahu apa warna kesukaanmu!" protesku murka.
"Tik-tok-tik-tok! Waktunya terus berjalan, sayang. Silahkan dijawab," balas Celdo tak peduli.
Anak tidak tahu sopan santun pada orang yang lebih tua! Kurang ajar sekali telah mempermainkanku. Ini bukannya sulit, melainkan aku telah dipermainkan! Apa jawabannya? Jika salah, dia akan menolak untuk mengajarinya berteman. Jika jawabanku benar, lihat saja, aku akan membuatnya berlutut padaku! Bocah sinting.
"Tinggal dua menit lagi," ucap Celdo santai sambil berjalan mengelilingi ladang bunga mawar hitam. Sementara aku sedang berpikir keras menentukan jawaban yang benar sambil mengamatinya.
"Satu menit lagi," ucapnya lagi. Kali ini dia memetik satu tangkai mawar hitam dan menghirupnya dengan anggun.
Dia juga mempercepat waktunya berjalan! Sial. Awas saja kalau jawabanku benar!
Peraturan ini sesat. Benar-benar sesat. Anak ini perlu diajarkan cara menghormati seorang bangsawan terutama menghormati wanita sepertiku. Jawabanku harus mutlak. Aku akan mengabulkan permintaan Rosel. Aku akan membuat sang kakak bahagia melihat adiknya bahagia berteman dengan orang banyak. Bayangan itu harus terwujud.
Aku terus mengamati dan mengamati. Memperhatikannya begitu detail dan mengumpulkan berbagai bukti untuk jawabanku. Ya! Sekarang aku tahu apa jawabannya. Jelas sekali, kenapa dari awal mulai aku tidak menangkap jawaban yang pas? Ah, bodohnya aku. Jawabannya tepat ada di sekitarku. Aku menyungging senyum.
"Pelangi. Warna kesukaanmu adalah pelangi. Benar?"
Aku tersenyum kemenangan melihat wajahnya yang kini tampak pucat dan mendesah kekalahan.
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Celdo meminta penjelasan.
"Kau ingin penjelasanku? Ah, mudah sekali. Aku bisa melihat berbagai macam warna di tempatmu ini. Hitam, putih, ungu, hijau, merah, biru, dan lain-lain. Jika disatukan, maka akan menjadi sebuah warna yang bercampur aduk, yaitu warna abstrak. Tapi, saat aku melihat matamu, aku merasa tidak sudi mencampurkan warna matamu ikut tercampur menjadi abstrak. Warna abstrak itu menjijikkan. Jadi, bisa aku simpulkan, warna kesukaanmu adalah pelangi," jawabku pasti.
Celdo mengangkat alis dan pupil matanya sedikit melebar. Sepertinya dia terkesan dengan penjelasan dari jawabanku. Namun aku bisa melihat wajah acuh tak acuh khasnya begitu terasa menusuk mata. Ini lucu, karena jawabanku benar, aku bisa melakukan semua yang aku lakukan padanya. Itulah kontrak kami. Entah kenapa ini begitu menyenangkan. Memenangkan suatu hal itu sangatlah membahagiakan.
Kelopak bunga mawar hitam yang dia petik lepas dari puncuk tangkai dan terbang menjauh. Sedangkan tangkainya berubah seketika menjadi sebuah kunci yang begitu diukir secara detail. Dan kunci itu punya gantungan hias berbentuk topi. Mungkin dia menyukai topi tabung yang berada di kepalanya itu. Memang cocok untuknya, sih. Namun untuk bocah seperti dia, aku jadi teringat pemain sirkus bertopi.
Lelaki berambut biru malam itu mengulurkan tangan kanannya padaku. Aku harap dia bisa sedikit tersenyum tulus. Tapi apa yang aku lihat di wajahnya? TEMBOK! Datar sekali.
"Ikutlah denganku," ajak Celdo. "Oh iya, siapa namamu?"
Nada bicaranya mulai terdengar halus dan ramah. Oke, aku anggap ini adalah kemajuan yang pertama untuk orang sangar seperti dia. Aku yakin bisa membuat Celdo tertarik bergaul dengan orang lain.
"Hm? Aku pikir kau tidak akan bertanya tentang namaku," godaku dengan sengaja sambil menyikutnya jahil.
Aku bisa melihat kedua pipi Celdo memerah. Lho? Kenapa dia mudah sekali tersipu? Aku pikir bocah ini hanya punya sifat jutek, judes, arogan, acuh tak acuh, temperamental, dan sifat dingin lainnya.
"Aku harus memanggilmu apa jika aku tak tahu namamu, tolol!" balas Celdo kembali kasar.
"Duh! Oke, oke! Namaku Mouneletta Romanove! Puas sekarang??" jawabku tak kalah kerasnya.
"Namaku Celdo Phantrom. Baiklah, Letta, sesuai perjanjian, aku akan menuruti apa yang akan kau lakukan dan katakan padaku. Ini sudah malam. Sebaiknya kita pergi ke istanaku dan istirahat. Aku sudah capek. Ayo, pegang tanganku."
Dia memanggilku Letta? Oke, aku terima nama panggilan itu. Tapi kalau dipanggil 'Nele', rasanya aneh jika nama itu terdengar ke telingaku. Menggelikan, bisa dibilang.
Tanpa berpikir panjang lagi, aku meraih tangan kanannya. Ukuran tangan itu hampir sama dengan milikku yang sedikit lagi akan menyamakanku. Anak laki-laki itu memang tumbuh begitu cepat dari pada anak perempuan. Aku melihat wajahnya. Lumayan tampan untuk usia seperti dia. Mungkin sekitar 12-13 tahun. Jika dia tidak memakai sepatu hak, mungkin aku sudah akan menengok wajahnya ke bawah.
Celdo menarikku pergi bersamaan dengan lenyapnya kami berdua oleh ratusan kelopak bunga hitam dan putih. Tempat penuh mawar itu memang cocok untuk menyendiri jika sedang gelisah atau menenangkan pikiran. Mungkin jika sedang tertimpa masalah, aku bisa ke sana lagi untuk merenungkan pikiran. Oke tidak perlu. Aku mau pulang ke duniaku saja.
Tidak menunggu lama, kami berdua sampai di depan sebuah istana berwarna hitam dan putih. Tempat tinggal milik Celdo. Apa di Fantasy Land memiliki istana sendiri? Mungkin semua orang di sini kaya sehingga bisa memiliki istana sebesar ini. Wah, dunia impian. Tapi, isi dunia ini menganehkan. Aku sampai sakit kepala mengingat hal-hal baru yang seharusnya tidak akan pernah aku lihat secara langsung. Aku masih bisa melihat bulan lonjong itu tampak di atas langit. Menyebalkan sekali jika dilihat bentuknya. Dunia ini benar-benar sudah tidak waras.
Celdo mengarah ke pintu istana diikuti aku mengekor dari belakang. Dia memasukkan kunci yang sedari tadi dia pegang ke dalam lubang kunci pintu, kemudian memutarnya beberapa kali. Sesudah terputar sebanyak tiga kali, dua daun pintu besar itu pun terbuka disertai dengan bunyi decitan khasnya.
"Selamat datang di istana Flowered. Aku berguna sebagai penghasil tumbuhan mawar dan lainnya untuk dipesan oleh siapa saja. Tetapi, bunga-bungaku digunakan untuk membasmi, bukan sebagai hiasan. Dalam pengantaran, bukan aku yang mengantarkannya karena aku tidak ingin bertemu pada siapapun. Maka dari itu aku menyuruh beberapa karyawanku melakukan semua itu. Ingin mengambil beberapa ikat mawar secara gratis? Sebagai guruku, aku akan biarkan kau sedikit berkuasa karena sudah menjawab teka-tekiku dengan benar. Ayo masuk."
Berkuasa? Dia bilang, berkuasa?? Satu kata yang menggairahkan bagiku. Berkuasa adalah hobiku. Aku harus gunakan kesempatan ini agar dia tahu bagaimana aku bisa menggunakan kata 'berkuasa' yang dia berikan ini. Lantas senyumanku mengembang penuh rencana dan terkikik geli, sukses membuat Celdo terlihat bertanya-tanya tentang reaksiku ini.
"Baiklah kalau kau memberikan hak kuasa padaku, aku akan mengendalikanmu layaknya seperti boneka kayu. Jika kau membantah setiap perkataanku, sama saja kau mengkhianati dirimu sendiri. Kau mengerti?"
"Cih! Iya, iya!"
Aku menyeringai puas. Bocah ini harus aku ajarkan beberapa hal. Dan aku tahu apa yang harus aku ajarkan padanya. Mulai saat ini, aku akan menjadi guru sekaligus memperalatnya dengan halus, karena dia sudah menyebut kata 'berkuasa'. Aku tidak akan setengah-setengah untuk berkuasa.
"Oh iya, katamu aku boleh mengambil beberapa ikat bunga untuk aku bawa nanti, kan? Aku ingin warna hitam. Boleh?"
"Boleh, pilihan yang bagus." Senyuman tipis. Dia tersenyum tipis padaku. Oke, yang penting senyumannya tulus dan tidak memaksa.
"Ayo masuk, Letta!" ajaknya lagi. Dia menarik tanganku lagi dan melangkah masuk ke dalam istananya. "Aku akan menunjukkan kamarmu."
Aku mengangguk dan mengikutinya dari samping sembari melihat-lihat detail istana. Semua dinding istana diwarnai papan catur. Lalu terdapat banyak bunga di setiap sudut dan atas yang menghias lampu gantung.
"Kau tinggal sendiri?" tanyaku sambil tetap melihat sekitar dan mengikutinya.
Oh iya, kami masih bergandengan tangan. Oke, jangan salah paham. Celdo tidak melepaskan genggamannya agar aku tidak tersesat sampai dia menunjukkan kamar yang akan menjadi tempat tidurku. Bukan tujuan lain.
"Iya," jawabnya. "Presiden memberi peraturan kepada seluruh makhluk Fantasy Land untuk mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan sendiri."
"Peraturan yang aneh," komentarku tanpa berpikir panjang. "Apa kau tidak keberatan dengan peraturan seperti itu? Pekerjaan? Bahkan kau masih kecil begini!"
"Apa boleh buat. Jika melawan, sama saja aku cari mati. Presiden itu menyeramkan. Kalau melawan sedikit saja, entah apa yang akan dia lakukan."
"Oh iya, Celdo, kau bisa menggunakan pedang?" tanyaku sengaja mengganti topik.
"Tentu saja! Aku adalah pemain pedang terbaik di Fantasy Land. Memangnya kenapa?" jawabnya angkuh, membuatku sedikit jengkel.
"Kalau begitu, sambil aku mengajarkanmu cara berteman, kau ajarkan aku beberapa teknik berpedang! Bagaimana?"
"Hah?!"
Celdo berhenti melangkah dan menatapku tanya sekaligus heran. Aku hanya menatapnya polos. Kalau lama-lama lihat wajah Celdo, dia imut juga. Apa aku perlu sedikit menggodanya? Ini akan seru.
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top