Bagian 7 : Sebuah Permintaan Dari Sang Kakak
Kedua mataku membuka perlahan merespon cahaya yang sedari tadi menusuk kelopak mata. Bukan menusuk yang akan membuatku berdarah. Melainkan, aku merasa telah tertidur begitu lama. Sehingga cahaya luar ini membuatku tertusuk. Terang sekali.
Aku bangkit dari posisi baringku. Kemudian mengamati sekitar. Terlihat baru. Tidak ada warna-warni dan istana Caramel itu lagi. Juga, tidak ada Talia di dekatku. Oh iya, soal Talia, aku jadi teringat kalimat terakhir yang aku dengar darinya.
Mari kita mulai berhiasnya, Ratu! Oh iya, teh yang kau minum tadi, minuman itu rupanya sudah basi. Makanya ada rasa asam dalam teh itu. Sudah seminggu aku tidak mengganti tehnya karena tidak ada yang mengunjungiku untuk minum teh. Kau tidak keberatan dengan hal itu, bukan?
Sial! Rupanya alasan teh yang dia suguhi memiliki rasa asam karena tehnya basi. BASI! Seumur hidup aku tidak pernah memakan ataupun meminum yang sudah basi. Ini pertama kali aku menyicipi minuman basi. Rasanya asam. Baiklah, anggap saja itu adalah sebuah pelajaran bagiku yang tidak pernah memegang alat dapur untuk memasak. Jika rasanya asam, artinya minuman itu akan memiliki rasa asam. Oke, aku akan ingat itu selamanya.
Disekelilingku, ada banyak sekali buku—ah tidak. Mungkin ribuan, jutaan, triliun? Aku tak bisa menghitung semuanya. Dalam logika manusia, jika melihat banyak barang yang tak terhitung jumlahnya, berarti jumlahnya bisa lebih dari jutaan.
Tidak penting dan tidak ada waktu untuk mendiskusikan ada berapa banyak semua buku yang ada di sini, ya, aku benar-benar bingung bagaimana cara mendeskripsikan tempat aneh ini.
Aku merasa telah ada di suatu tempat yang hangat. Di sini sedikit gerah. Ruangan ini luas, tapi terdapat banyak buku beserta rak buku yang sukses hampir memenuhi ruangan ini. Seperti perpustakaan, yang berbedanya adalah ... SEMUA BUKU DAN RAK BUKU DI SINI MELAYANG! TERMASUK JUGA AKU!!
Ini gila. Apa gravitasi di sini sudah lenyap? Ataukah aku sedang bermimpi dari awal aku bertemu Sora? Membingungkan sekali. Aku bahkan tak habis pikir. Sedang apa aku berada di dunia konyol ini? Aku tidak ada waktu untuk bermain. Aku harus kembali ke istana Delfidius dan mengikuti acara pertemuan raja untuk mendiskusikan permasalahan yang sudah sekian lama ingin aku lontarkan.
"Hai! Sudah bangun?"
Kalau sudah tahu aku sudah bangun, ngapain tanya lagi? Aku tidak suka kalimat basa-basi. Oh iya, bajuku baru. Gaun robekku itu sudah tidak aku gunakan lagi. Kini aku memakai gaun polos biru dengan ujung runcing disekeliling rok gaun. Kemudian ada rompi putih berdalam merah. Bagus juga. Tapi yang bedanya, ada sesuatu yang menempel di sebelah pinggangku.
Pedang? Sejak kapan aku punya pedang? Aneh sekali. Dan, di mana kalung di leherku? Kalung itu menghilang. Aku menoleh ke arah sumber suara yang menyapaku. Seorang gadis cantik berambut panjang ungu kepang dua dengan kemeja putih berdasi dua helai serta rok hitam berlipit keliling sepaha yang menjadi bawahannya itu.
Mata hijaunya melihatku berbinar seakan sedang melihat malaikat yang baru saja jatuh untuk memberikan tiga permintaan. Dia berjalan atau berjalan di udara? Bisa jadi. Sepertiku, dia juga melayang di udara. Apakah seringan itukah diriku sehingga tubuhku bisa melayang bebas tanpa ada gravitasi apapun yang melawan? Aku jadi tidak bisa membedakan antara mimpi dan nyata. Jangan sampai ini bisa membuat kewarasanku hilang.
"Selamat datang di rumahku, tepatnya di Librarytoon! Semua buku yang ada di sini adalah milikku. Jika kau ingin meminjam satu buku, kau harus mengabulkan satu permintaan dariku. Jika kau ingin meminjam dua buku, kau harus menjawab satu teka-teki dariku. Jika kau ingin meminjam tiga atau lebih, kau harus menjadi budakku!" Gadis itu mencerocos sebelum aku hampir akan membalas kalimatnya yang pertama.
Budak? Yang benar saja. Lagi pula, aku tidak suka membaca buku. Buku itu menyebalkan, terlalu banyak huruf, angka yang memusingkan, dan halaman yang terlalu banyak. Melihat buku, aku jadi teringat saat aku sekolah di kota. Aku hanya sekolah selama 3 tahun dari umurku menginjak angka 4 sampai 6 tahun. Kemudian aku berhenti sekolah dengan alasan menjadi seorang Ratu, mengganti orang tuaku memimpin kerajaan.
Aku ingin membuang semua buku-buku sekolahku agar tidak ada barang-barang bekas menumpuk di perpustakaan istanaku. Namun Jessy menyarankanku untuk menyimpan semua buku itu ke gudang. Aku menerima sarannya itu dan menyimpannya ke sana.
"Aku tidak berniat meminjam buku satu pun. Kau ini siapa?" tanyaku waspada, karena mungkin saja dia bukan orang yang ramah diajak untuk berbincang.
"Aku? Panggil saja aku Rosel," jawabnya enteng. "Kau tidak ingin meminjam bukuku? Tapi dalam peraturanku di Librarytoon, yaitu istana megahku ini, jika ada seseorang yang masuk ke dalam istanaku, kau harus membawa pulang satu atau dua bukuku dan mengembalikannya sesuai peraturan yang aku buat. Kau barusan numpang tidur di sini dan imbalannya, kau harus membawa satu atau dua bukuku!"
Aku mendecih. Sementara gadis berambut ungu bernama Rosel itu menjauh dan menghampiri beberapa buku yang melayang bebas. Dia mengambil tiga buku berbeda warna sampul kemudian kembali menghadapku.
"Siapa namamu?" tanya Rosel sambil mengamati ketiga buku yang dia ambil.
"Mouneletta Romanove," jawabku menyebutkan nama panjangku.
"Ah, nama yang indah sekali. Mouneletta. Boleh aku memanggilmu Nele?"
"Panggilanku Moune! Bukan Nele!" protesku tidak ingin dipanggil 'Nele' karena bagiku itu terdengar aneh.
"Oke-oke. Aku akan panggil kau Moune. Jadi, kau kah penyihir baru yang dibicarakan oleh Presiden? Rambut perak dan mata bercorak merah. Kau cantik jika memakai gaun merah dan sedikit ada warna hitam. Tapi, kenapa Zaqtav memberimu pakaian tempur seperti ini? Tidak buruk, sih. Cocok denganmu. Dan juga, pedangmu. Hei, kau bisa bermain pedang? Apa kau masih perawan?"
Kurang ajar! Pertanyaan macam apa itu? Apa aku harus menjawab pertanyaan mengerikan itu? Lancang sekali.
"Brengsek!" lemparku pada Rosel lantas mengeluarkan pedangku dari sarung dan menodongkannya tepat ke ceruk leher Rosel. "Aku benci merah! Dan aku tidak pernah berhubungan dengan siapapun ataupun memiliki pasangan!"
"Wah! Benarkah? Baguslah! Aku akan menjodohkanmu dengan adikku jika kau tidak keberatan," kata Rosel dan dengan gesit menghindari pedangku, lalu menenggerkan lengannya di bahuku.
"Terima kasih, tapi aku menolaknya!" cetusku kesal sambil menyapu lengannya dari bahuku. "Aku ingin pulang. Jadi, berikan aku teka-teki agar aku bisa menuntaskan semua ini dengan cepat."
Aku menurunkan pedangku dan menyimpannya kembali ke sarung. Tanganku sangat kaku untuk memegang benda tajam seperti ini. Sedikit berat dan kasar. Mungkin jika ingin bisa berpedang, aku membutuhkan waktu yang lama untuk mempelajari beberapa teknik.
"Presiden juga menyuruhku memberikanmu teka-teki. Tapi apa, ya? Aku tidak bisa membuat teka-teki," pikir Rosel sambil membuka buku bersampul coklat dan membalik-balikkan beberapa halaman. "Ah! Apa yang harus aku tanyakan padamu?"
Ya ampun. Aku ingin diberikan pertanyaan, malah dia yang bertanya tentang pertanyaan apa yang harus aku jawab. Dasar aneh. "Jika kau tidak bisa memberikanku teka-teki, berikan satu permintaan yang kau harapkan. Aku akan mengabulkannya untukmu," kataku tak mau ambil pusing.
"Hmm, artinya, kau akan meminjam sebuah buku dari istana Librarytoonku! Baiklah, aku setuju," kata Rosel menyetujui saranku. Sepertinya dia orang yang tidak mau ambil pusing juga. "Aku ingin setelah ini, kau menemui Celdo Phantrom. Dia adalah orang yang akan kau temui selanjutnya. Oh, dia itu lumayan sulit untuk diajak bersosialisasi. Karena itulah aku minta bantuan padamu untuk membuatnya bisa berbaur dengan orang lain. Kau bisa melakukannya?"
Aku tidak yakin dengan soal membuat orang yang tidak berniat berinteraksi dengan orang banyak, mampu menarik perhatian untuk mendapatkan seorang teman bicara. Alasannya adalah aku juga tidak terlalu suka berbaur dengan orang banyak. Bahkan, aku tidak memiliki kenalan di kotaku. Aku hanya berteman dengan Jessy sejak kecil dan hanya sampai disitu saja aku bisa memiliki teman.
"Oke," jawabku singkat. Tidak ada pilihan lain selain menjawab pasti, karena permintaannya itu akan membawaku pada jejak berikutnya dan berharap aku bisa cepat pergi dari dunia menganehkan ini.
Rosel tersenyum lebar sambil membuang tiga buku yang dia pegang, lalu memelukku erat. Lho? Kenapa dia memelukku? Aku pikir gadis ini mempunyai sifat 'anti' orang baru dan acuh tak acuh. Ternyata dia orang yang ramah dan hangat.
"Terima kasih. Kau sangat baik. Aku harap, dia bisa berteman denganmu dan orang lain," ucap Rosel yang entah kenapa membuatku tertegun. "Baiklah, agar kau cepat sampai ke tempatnya, aku akan memberikanmu jalan pintas."
Rosel melepas pelukannya dan kembali melesatkan diri ke sebuah buku bersampul coklat. Kemudian dia membuka buku yang dia ambil dan mencari halaman yang dicarinya. Sementara aku menunggu selesai dengan bukunya, aku merongoh sebuah surat gulungan kecil yang ternyata telah lama tergantung pada sarung pedangku. Isinya begini:
Pedang ini adalah cermin Doorfan. Cermin ini terus berubah wujud setiap hari dan bisa kau ubah sesuai keinginanmu. Kau bisa gunakan cermin ini untuk bertarung selain memandomu ke berbagai tempat yang akan membawamu. Oh iya, Perak, kau tidak memberitahukan namamu. Jadi, aku akan memanggilmu 'Perak' saja, ya?
Selamat datang di Fantasy Land! Semoga hari-hari petualanganmu menyenangkan!
Satu hal lagi. Jika kau menemui Celdo Phantrom, kau harus pandai bicara, oke?
Salam manis penuh gula,
-Talia-
Aku bisa merasakan mulutku menyungging senyum sambil membaca isi surat itu. Talia dasar bocah. Aku jadi penasaran bagaimana sosok Celdo itu. Apa dia sesulit itu didekati? Sepertinya begitu jika melihat Rosel dan Talia menggambarkan Celdo dari pendapat mereka. Semoga saja aku bisa mengabulkan permintaan Rosel.
Oh iya, di mana mahkotaku? Rasanya mahkotaku masih melekat di kepalaku. Tapi, kok, rasanya beban kepalaku sedikit terasa ringan? Ataukah ini hanya perasaanku? Aku harus memastikan ini.
Kedua tanganku meraba-raba puncuk kepala. Mahkotaku masih ada. Syukurlah, tapi, kenapa letaknya sedikit mengarah ke samping kanan? Lalu, kenapa rambutku diikat menjadi ekor kuda begini? Apa yang sudah Talia lakukan dengan rambutku?
"MAHKOTAKU!!" pekikku histeris melihat diriku kini dipantulan jendela kaca yang rupanya dekat denganku. Apa-apaan ini? Mahkotaku berubah menjadi ikat rambut?!
"Ah! Ini dia!" seru Rosel setelah menemukan halaman yang dicari. Kemudian berjalan ke arahku. "Hei, kenapa mukamu pucat begitu?"
"Kau tidak melihat mahkotaku jadi begini??? Mahkota bukan sebagai hiasan kepala! Mahkota dipakai untuk melambangkanku sebagai orang bangsawan! Bukan hanya menjadi tampak cantik! Kenapa mahkotaku menjadi ... ikat rambut?!" teriakku tidak terima dengan penampilan rambutku.
"Hmm, bagus, kok! Aku suka gaya rambutmu. Keren! Zaqtav memang yang terbaik kalau menata rambut dan baju untuk orang lain!" Rosel mengacungkan jempol padaku. Dia malah memuji hasil karya Talia?! Ini mengesalkan. "Bajuku ini juga buatannya. Aku suka semua pakaian yang dia buat untuk semua penghuni Fantasy Land. Termasuk Presiden juga memakai produknya. Oh iya! Ini. Kau baca saja kalimat yang aku tunjuk dalam buku ini. Bawalah buku ini sampai aku bisa menemuimu nanti. Kalau buku ini hilang, kau harus menggantinya!"
Baiklah, masa bodoh memikirkan model rambutku yang sekarang. Hal yang paling penting adalah pergi dari sini. Aku mengambil buku bersampul coklat yang Rosel sodorkan. Kemudian siap untuk menyebutkan satu kalimat dalam buku itu yang entah untuk apa.
"Sebelum aku membaca ini, aku ingin bertanya satu hal," kataku. "Celdo itu siapanya kau? Kau terlihat senang sekali saat aku akan membuatnya bisa berbaur dengan orang lain."
"Ah, Celdo? Dia itu adikku," jawab Rosel. "Sebagai seorang kakak, aku harus membuatnya bahagia. Orang tua kami sudah tiada dan aku harus membuatnya senang. Kau harus mengabulkan permintaanku itu."
Ini membingungkan. Yang mana saja keinginannya? Membuat Celdo bersosialisasi atau membahagiakan adiknya itu? Aku hanya bisa memdengus dan mengangguk mengerti.
Aku melihat sebuah kalimat dalam buku Rosel yang entah kenapa hanya ada satu kalimat dalam halaman itu. Kalimat itu aneh. Aku tidak pernah bertemu kalimat ini dalam buku sejarah atau pun buku sekolahku dulu yang mutlak dipelajari dan dihapal. Ini kalimat yang benar-benar berbeda, ataukah ini ... mantra?
"Victoilrillo saweitropra eksektraya?" ucapku sedikit terbelit karena kalimat itu susah sekali untuk dibaca. Bahasa macam apa ini? Mengerikan sekali.
Tiba-tiba cahaya berwarna hijau menyelimuti sekitarku. Aku melihat Rosel melambaikan tangan perpisahan untukku. Tentu saja aku tidak peduli. Tapi, aku mendengar kata-kata terakhirnya.
"Sampai bertemu nanti, Nele!"
"SUDAH AKU BILANG JANGAN MEMANGGILKU NELE!!"
👑👑👑
Tidak sampai satu menit, aku sudah sampai ke tempat yang berbeda lagi. Tentu saja aku tidak tahu ini di mana, tapi untung saja aku bisa sedikit mendeskripsikan berada di mana aku sekarang.
Malam. Ya, mungkin dunia ini sudah waktunya berganti malam. Langit tampak hitam dan gelap. Bulan tampak terang di atas langit. Hanya saja tidak ada bintang. Entah kenapa hanya ada bulan saja, langit sudah cukup indah untuk dipandang. Juga ...
BULAN ITU BENTUKNYA LONJONG! YA! LONJONG! TIDAK SALAH LAGI!!
Ini sudah semakin gila. Terakhir kali aku melihat bulan di duniaku, bentuk yang sebenarnya itu lingkaran sempurna. Bukan oval. Sudah berapa kali aku berkata 'gila' untuk semua hal berbeda di Fantasy Land ini? Aku tidak mau menghitungnya.
Aroma harum mawar tercium kuat di penciumaku, karena disekelilingku terdapat banyak bunga mawar tumbuh disekitarku, termasuk yang tidak sengaja aku injak sekarang. Mawar putih ternyata harum juga. Lebih kalem dan tidak mencolok. Mungkin aku mulai menyukai mawar putih. Ladang mawar ini membuatku mengantuk.
Suara seorang lelaki terdengar menyahutku. Tapi sayang sekali, aku tidak bisa menyadarkan diriku untuk melihat siapa yang telah menyahutku dari jauh. Aku mulai terhanyut dengan aroma mawar menyengat ini.
Aku ingin tidur.
"Cih! Merepotkan sekali!"
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top