Bagian 6 : Empat Rasa yang Berbeda

Mata gadis cilik itu berwarna perak, persis seperti warna rambutku. Rambutnya pendek sebahu dengan ujung bergelombang. Dia tersenyum manis padaku dan menyapa kedatanganku ke rumahnya yang dia namakan istana Caramel.

"Hai! Aku pemilik istana Caramel, menyediakan berbagai rasa kue dan pakaian cantik! Mau masuk ke dalam dan melihat-lihat?" sambutnya.

Aku membalas senyum yang bisa aku curahkan untuk gadis semanis gula lollipop itu. Kakiku melangkah untuk berhadapan dengannya. "Bisakah kau menjelaskan padaku tempat apa ini?" tanyaku.

Gadis cilik itu tertawa. Entah mungkin karena pertanyaanku. Apa ada yang salah? Maksudku, apa yang dia tertawakan? "Ini di Fantasy Land. Sekarang kau berada di daerahku. Semua langit yang berwarna merah muda adalah daerah kekuasaanku—maksudku, milikku. Dan di sini, kau akan aku perkenalkan istanaku beserta aneka macam makanan dan baju yang aku buat untuk penghuni Fantasy Land! Oh, jangan-jangan, kau ini pendatang baru? Matamu merah. Berarti, kau termasuk dalam kelompok penyihir terkuat?"

Aku terkejut mendengar itu. Tidak masuk akal. Dia bilang aku seorang penyihir? Tidak mungkin. Aku ini manusia. Manusia!

"Emm ..." Aku tak bisa berkata apa-apa karena tidak mengerti situasi. Ini membingungkan. Bagaimana jadinya jika aku disebut sebagai dalam kelompok penyihir terkuat karena mataku merah, sedangkan aku masih tidak tahu apa-apa. Apalagi, aku disebut penyihir? Ini gila.

"Hei, bajumu indah sekali. Dari apa itu? Permen karet? Awan ungu? Atau ... sarang tawon?" tanyanya.

Astaga, bahan kain macam apa itu? Permen karet, awan ungu, dan ... apa tadi? Sarang tawon?! Mungkin di dunia ini, semua orang yang ada di sini memakai baju dari bahan yang disebutkan oleh gadis ini. Gila memang, tapi jika boleh jujur baju yang dia kenakan juga indah.

"Aku tidak tahu. Tapi yang pasti ini dari kain yang sangat mahal," jawabku seadanya, dari pada tidak tahu apa nama benda yang sedang membaluti tubuhku ini.

"Ah, kau sangat cantik seperti seorang Putri dalam kerajaan! Sebagai seorang tamuku, kau boleh masuk ke dalam istana Caramelku!" serunya seraya kedua tangan mempersembahkanku ke arah pintu utama berwarna putih krim itu. "Oh iya, aku lupa memperkenalkan diriku. Namaku Zaqtav Retolliophia!"

Aih ... Nama macam apa itu? Zaqtav? Bagaimana cara aku memanggilnya dengan sebutan yang merepotkan lidahku ini? Selain lokasi dan bahan kain baju, ada yang lebih parah anehnya, yaitu nama orang. Nama yang bisa dikategorikan 'gila'.

"Aku harus memanggilmu apa?" tanyaku tak mau ambil pusing.

"Terserah kau saja, yang penting ada namaku dalam panggilan yang kau karang untukku," jawabnya enteng.

Aku berpikir sebentar. Mengetuk dagu dan mengerutkan kedua alis. Sesekali aku melihat wajah manisnya itu. Nama panggilan apa yang cocok untuk gadis semanis dan semencolok kue stroberi seperti dia?

"Kalau begitu, aku akan memanggilmu Talia! Bagaimana menurutmu?"

"Wah! Kau pandai merangkai nama. Aku sama sekali tidak keberatan karena bagus sekali!"

Dia bertepuk tangan untukku hanya karena aku mengarangkan nama 'Talia'? Lucu sekali. 'Ta' diambil dari nama Zaqtav, kemudian 'lia' diambil dari nama Retolliophia. Tersusun dan terbacalah menjadi 'Talia.' Pintar juga aku ini, kan?

"Oke, Talia, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan di sini. Kau bisa membantuku menunjukkan jalan tujuanku ada di dunia konyol ini?"

Sekali lagi dia tertawa kencang. Kali ini temponya lebih panjang. Ada apa lagi dengannya? Ah, dia sudah gila—jika diprediksikan.

"Aku suka sindiranmu. Sangat mengena. Kau pasti mengkategorikan bahwa dunia ini begitu abstrak. Jika kau penghuni baru di Fantasy Land, kau akan menemukan banyak orang yang pasti tak akan membuatmu rugi—semoga saja."

Kalimatnya meragukan. Aku menatapnya dengan tatapan menyelidik. Apa yang aku selidiki? Kalimatnya barusan. Setelah ini, aku akan bertemu orang-orang aneh yang lain. Dan dia bilang, aku tak akan rugi jika aku sudah menemui mereka semua.

Talia lantas menarikku masuk ke dalam rumah besarnya. Mungkin bukan rumah. Lebih cocok dinamakan istana saja. Istana serba putih dan di sudut istana terdapat warna merah muda pastel sebagai pemanis istana. Kemudian lampu-lampu gantung dari buah ceri merah, patung-patung malaikat dengan pose makan kue dan memegang kue, dan lebih parahnya kedua mataku menemukan sebuah piano yang tak jauh dari kami saat ini. Untuk apa piano itu ada di sini? Tidak nyambung sekali.

"Oh, itu pianoku. Aku suka bermain piano. Tapi, aku hanya bisa memainkan lagu Twinkle-twinkle Little Star. Ibuku yang mengajariku bermain piano. Aku berharap bisa bermain biola juga. Tapi, tak ada yang bisa mengajariku."

Aku menoleh padanya dan tersenyum penuh persahabatan. Sungguh, dia lucu dan manis sekali seperti kue. Seolah dia ini benar-benar kue dan bisa dimakan.

"Di mana Ibumu?"

"Dia selalu sibuk. Aku sampai tak bisa bertemu dengannya akhir-akhir ini. Aku terus-terusan menadi mansion. Tapi tak apa. Selama aku bisa mengurus bisnis keluargaku—Retolliophia—aku akan terus berusaha!"

"Kalau Ayahmu?"

Oke, aku jadi banyak tanya sekarang. Tapi tidak ada salahnya aku bertanya tentang keluarganya. Dia sudah menganggapku sebagai tamunya. Dan aku adalah sumber dari apa yang akan kami bincangkan.

"Dia sudah mati."

Deg!

Aku terkejut. Bukan hanya jawaban itu yang membuatku kaget. Ini masalah reaksinya saat aku melontarkan pertanyaan keadaan Ayahnya. Ya, ekspresi. Datar sekali dan begitu dingin. Entah dari mana, aku bisa merasakan perasaannya saat ini. Gersang.

"Ah! Ada apa dengan bajumu? Kenapa sampai robek begini? Padahal bagus sekali. Tapi tak apa, aku akan memberikanmu sebuah gaun yang pantas dan lebih cantik dari ini secara percuma! Karena kau adalah tamu spesialku! Kau pasti akan menyukainya!" seru Talia mendadak melesat ke belakangku.

Aku lupa. Gaun belakangku robek karena aku menginjaknya dan tertarik secara tak sengaja. Aku juga ikut kecewa karena ini adalah gaun favoritku. Padahal baru beberapa jam yang lalu aku memakai gaun ini terlihat masih baik dan cantik.

"Wow, rambutmu panjang sekali, bahkan hampir akan menyentuh lantai. Kau cantik sekali kalau rambutmu akan ada sedikit hiasan. Dan, apa yang ada di atas kepalamu ini? Mahkota?" tanya Talia sambil menyentuh sehelai rambut perakku.

"Ya, ini adalah mahkotaku. Aku dilantik sebagai seorang Ratu di dalam duniaku," jawabku secara halus.

Jarang-jarang aku bicara secara halus begini. Polos seolah aku ini dari dunia malaikat bersayap tanpa dosa jatuh ke dalam dunia konyol ini.

"Hmm ..." Talia bergumam. Sedang memikirkan sesuatu sembari mengelus-elus ujung dagunya dan menelitiku dari ujung kaki sampai puncak kepala. "Aku akan memberikanmu makanan dan pakaian baru, tapi kau harus jawab satu teka-tekiku."

"Apa aku harus menjawab teka-tekimu?" tanyaku polos—tidak terlalu polos juga.

"Itu mutlak," jawab Talia hampir membuatku kehabisan kata. "Beberapa jam yang lalu, aku diberikan sebuah tugas oleh Presiden jika ada seorang gadis berambut perak yang datang ke Fantasy Land, aku harus memberikannya sebuah teka-teki."

Aku masih bingung sebenarnya bagaimana sosok Presiden itu? Apa dia orang yang harus dihormati di sini? Siapa dia?

Kan sudah aku bilang. Ini di Fantasy Land. Sudah aku duga kau tidak akan bisa menahan satu pertanyaan pun agar aku tidak banyak bicara. Aku benci berbincang, tapi sudahlah. Jika aku meremehkan tugasku, Presiden akan marah besar padaku.

Saat aku teringat kalimat Sora, sepertinya Presiden yang dimaksud oleh Talia dan Sora, mempunyai sosok yang menyeramkan. Mungkin dia kejam, dingin, pemalu, dan ... hei! Talia bilang, 'jika ada seorang gadis berambut perak yang datang ke Fantasy Land, aku harus memberikannya sebuah teka-teki'? Apa orang itu tahu tentangku? Aih! Memangnya siapa dia? Aku tidak tahu apa-apa tentangnya, bahkan sosoknya saja aku tidak tahu! Bagaimana dia bisa tahu tentangku? Ada yang aneh dari sosok 'Presiden' itu.

"Presiden itu apa?"

Oh, luar biasa! Sekarang aku menjadi seorang gadis yang benar-benar polos! Jika Talia menertawakanku lagi, aku akan mengartikan bahwa dia sedang menghinaku.

"Presiden itu artinya sosok paling tinggi dari pada kita. Dia memimpin Fantasy Land sekaligus mengendalikan semua yang ada di Fantasy Land. Seperti Tuhan saja, bukan?"

Aku hanya mengangguk. Sudah aku duga Presiden itu seorang pemimpin seperti seorang Raja. Tapi, apa bisa dia mengendalikan semua yang ada? Bagaimana caranya? Jika dia itu adalah Tuhan, artinya ... aih! Pikiranku semakin tercemar saja oleh dunia bodoh ini. Secepat mungkin aku harus keluar dari sini sebelum aku sudah benar-benar gila.

"Oke, kau boleh beritahu teka-tekimu," kataku sok siap—aku memang sudah siap.

"Sebentar. Kursi dan meja, ke sini kalian!" teriak Talia mengisi dalam istana yang sepertinya kedap suara.

Apa yang baru saja dia panggil? Kursi? Meja? Apa?! Oh, demi mahkota emas! Sudah berapa kali aku membatin kata 'gila'?? Sudah cukup!

Tapi, tak aku sangka perintah mustahil bagiku itu terkabulkan. Dua kursi dan satu buah meja melayang dari lantai atas istana. Melayang dengan ajaibnya seakan tengah dikendalikan oleh suatu kekuatan yang entah dari mana. Meja bertaplak putih itu mendarat lembut di depan kami. Serta satu buah kursi merah itu tepat menyentuh pantatku seolah menyuruhku duduk. Aku duduk di kursi itu diikuti Talia juga duduk di kursinya. Oke, aku hampir kehabisan kata untuk menjabarkan semua yang aku lihat.

Sebuah teko bergambar kue dan dua cangkir bermulut kelopak bunga melayang mengelilingi Talia. Dia dengan tenang mengambil satu cangkir dan teko. Menuangkan cairan hangat dari dalam teko ke cangkir dan melayangkan benda itu dan berhenti di depan dadaku.

Tak ambil pusing, aku menerima cangkir itu dari memegang tangkainya. Lalu menyeruput minuman ini. Rasanya manis, seperti teh tapi sedikit ... asam?

"Baiklah, aku akan sebutkan teka-teki yang akan kau jawabkan untukku," kata Talia bersamaan dengan menjauhnya teko dan cangkirnya, seakan tidak ingin mengganggu kami.

Talia menjentikkan jarinya dan tiba-tiba saja sebuah buku bersampul merah muda polos muncul digenggamannya. Ajaib sekali, aku sampai tidak bisa tercengang lagi. Di sini terlalu baru untukku juga terlalu mengejutkan.

"Ada empat rasa yang kita kenal. Satu manis, dua asam, tiga asin, dan empat pahit. Dari empat rasa yang kita tahu, rasa apa yang pertama kali diciptakan?"

Ini mustahil. Bagaimana aku tahu rasa yang pertama diciptakan? Aku bukan peramal ataupun Tuhan! Tidak ada pilihan lain. Aku harus menjawab teka-teki ini. Benar ataukah tidak, jawabanku akan menjadi nasibku juga. Jika aku berhasil menjawab pertanyaan menyebalkan ini, aku akan mendapat makan siang di sini dan pakaian baru. Jika aku tidak berhasil, aku akan mati di dunia sialan ini.

Mati? Tidak. Aku tidak akan mati secepat itu. Jawabanku harus benar. Aku akan menuntaskan semua ini. Kemudian pulang.

"Asam. Jawabanku adalah rasa asam," jawabku pasti. "Kau memberikanku teh dengan rasa manis yang pas dilidahku. Tapi, ada satu rasa yang membuatku menyeruputnya sekali lagi. Ada rasa asam yang menyelimuti rasa manis teh ini. Asam bisa berada di mana saja. Seperti buah stroberi, jeruk nipis, dan mangga. Stroberi itu manis, tapi ada rasa asam yang membuat kita bertanya-tanya. Apakah stroberi itu manis atakah asam? Jeruk nipis memang rasa asam. Tapi jika kita ingin membuat minuman jeruk nipis untuk meredakan panas dalam, kita akan berinisiatif membuat minuman dari jeruk nipis dan memberikan beberapa sendok gula dan air. Sama dengan mangga, buah itu manis, tapi jika kita makan mangga yang mentah, kita akan merasakan rasa asam yang luar biasa. Jadi bisa aku simpulkan, rasa pertama yang diciptakan adalah rasa asam."

Oh, keren sekali. Jawaban disertai dengan penjelasannya. Semua yang aku jelaskan keluar begitu saja dari mulutku seolah mengalir begitu deras. Dan lebih gilanya lagi, aku sama sekali tidak mengerti dengan jawabanku. Oke, jangan tertawa.

"Pfff!!" Talia meringis geli sambil memegang perutnya. Sudah aku duga, apapun yang akan aku jawab, dia akan tertawa.

"Benar atau salah?" tanyaku enteng sambil melipat kedua tanganku di depan dada.

"Kau gila? Aku saja tidak tahu apa jawabannya! Tapi kau membuatku tahu rasa apa yang pertama kali diciptakan! Benar-benar ... HEBAT!" J
jawab Talia sambil tertawa terpingkal-pingkal di kursinya.

Ini penghinaan. Benar-benar penghinaan. Sudah jelas yang gila itu adalah dia.

Oh iya, di mana cermin itu? Maksudku, cermin Doorfan? Seharusnya dari tadi, tanganku menggenggam benda kaca itu. Tapi sekarang tidak ada. Di mana cermin itu?

Tiba-tiba sesuatu yang bercahaya muncul tepat di dadaku. Kalung? Sejak kapan aku memakai kalung? Rasanya saat aku dipakaikan gaun oleh dayang-dayangku, tidak ada yang memasangkanku kalung berbuah kaca bening ini. Bahkan, aku tidak punya kalung seperti ini.

"Cermin Doorfan bercahaya, artinya jawabanmu benar. Selamat!"

Cermin Doorfan? Apa yang dia maksud adalah kalung ini? Cermin ini menjadi sebuah kalung? Sejak kapan??

Dan seperti aku berpisah dengan Sora, aku dikelilingi oleh cahaya yang membuatku kesilauan. Sampai aku tidak duduk di kursi merah itu lagi, aku malah berada di tempat yang berbeda. Namun, aku masih bersama dengan Talia.

Ruangan ini dipenuhi dengan warna hijau. Setiap dinding dipenuhi gambar kue dan buah-buahan. Kemudian lampu gantung ceri yang sama dengan ruang utama istana Caramel ini. Ada sebuah ranjang tidur berseprai merah muda di sudut kamar, empat sofa putih, sebuah meja panjang yang di atasnya terdapat mesin jahit dan beberapa gulungan kain berbeda warna. Sepertinya dia memang sedang mengerjakan karirnya sebagai seorang desainer.

"Baiklah, sesuai dengan janjiku. Sebelum kau pergi dari istanaku, aku akan memberikanmu makanan dan pakaian buatanku! Makanan dan pakaian paling terbaik di Fantasy Land. Di sini adalah kamarku. Kau bisa lihat ada ranjang tidurku di sana. Terus ada barang-barang kamar lainnya. Kau akan aku pakaikan baju yang sangat cantik dan menghiasi sedikit rambutmu yang panjang ini. Anggap saja ini kamarmu sendiri, oke? Lemari!"

Talia kembali melengkingkan suaranya. Sebelum itu, dia memanggil meja dan kursi. Sekarang lemari? Apa dia bisa bicara dengan benda mati? Memberikan perintah untuk kemari dan menjauh sesuai keinginannya? Bukan ajaib lagi. Lebih cocoknya, mengerikan.

Sebuah lemari besar berwarna putih melayang masuk ke dalam kamar Talia. Lemari dua pintu itu mendarat dengan sedikit hentakan di depan kami.

Talia langsung menyambar dua gagang pintu lemarinya dan membuka lebar-lebar lemari itu. Berderet baju-baju dengan gaya dan warna yang berbeda-beda membuat mataku berbinar. Bajunya sangat bagus, bahkan lebih bagus dari pada gaun-gaun yang ada di istanaku.

"Mari kita mulai berhiasnya, Ratu! Oh iya, teh yang kau minum tadi, minuman itu rupanya sudah basi. Makanya ada rasa asam dalam teh itu. Sudah seminggu aku tidak mengganti tehnya karena tidak ada yang mengunjungiku untuk minum teh. Kau tidak keberatan dengan hal itu, bukan?"

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top