Bagian 44 : Salju yang Memutih

"Apa yang membuatmu menangis, Letta? Sampai berteriak begitu. Kau telah membuat telingaku berdengung lumayan lama. Rasanya sama sekali tidak enak," kata Celdo diakhiri dengan gelengan kecil sembari mengusap semua air mataku.

Sudah tenang kembali dan sudah selesai menangis sambil berteriak, Celdo melepaskan pelukannya dan menatapku cemas. Aku merasakan ada sedikit cairan lendir di dalam hidungku, membuatku kadang harus mengambil napas cepat untuk membuat cairan itu tidak keluar. Celdo tiba-tiba mengeluarkan serbet putih dari dalam sakunya. Melekatkan serbet itu tepat ke hidungku sembari menekan hidungku agar cairan itu keluar.

"Ingus tidak baik dipelihara di dalam hidungmu. Aku tidak mau kau kena pilek," kata Celdo lagi.

"Berhenti. Biar aku sendiri yang melakukannya," kataku merampas serbetnya dan membuang semua ingusku. Setelah itu, aku memberikan serbetnya kembali.

"Hei, memangnya aku bodoh ingin menyimpan serbet penuh ingus?"

"Ini kan punyamu, bodoh. Terima kasih sudah membantuku untuk tenang."

"Simpan saja serbetnya. Jadi, kenapa kau menangis?"

Aku membisu sebentar. Melihat sebuah bola kaca kecil berwarna putih tergeletak bebas di lantai. Kakiku berjalan pelan menghampiri benda kaca itu. Meraih bola kaca itu dan mengangkatnya ke atas.

"Jessy. Dia adalah teman pertamaku."

Celdo berjalan menghampiriku. "Berarti, bukan aku yang menjadi teman pertamamu?"

Aku tertawa kecil. Menurunkan bola kaca dan kembali memandang benda ini di telapak tanganku. "Kau bukan temanku. Kau itu cintaku."

Wajah Celdo seketika memerah. Aku langsung tertawa terbahak-bahak. Tanganku meraih tangan kanannya, membuka telapak tangannya, dan meletakkan bola kaca putih itu di tangannya. Celdo menatapku bingung.

"Lakukan itu untukku. Aku tak sanggup memecahkannya," suruhku masih memandang bola kaca itu dengan sendu.

"Baiklah," balas Celdo menggenggam bola kaca putih itu.

Celdo mengangkat bola kaca itu dalam genggamannya dan menghempaskan benda kecil itu ke lantai dengan kencang. Suara pecah itu entah kenapa membuatku sedih kembali. Dan menghilangnya serpihan pecah kaca itu, bersamaan dengan diriku meneteskan setetes air mata. Dengan cepat aku mengusap air mataku.

"Mungkin, sulit untuk membuka hati Anda yang beku sedingin es oleh banyak lelaki. Ya, baguslah, karena saat anda jatuh cinta nanti, Anda akan tetap selalu setia padanya."

Aku harap, kau berbahagia di sana, Jessy. Kau tetap temanku, walaupun kau tetap membenci diriku. Beristirahatlah dengan tenang. Beberapa kata-kata darimu akan aku ingat di dalam memoriku.

Sebuah cahaya yang tak terlalu terang, namun mampu mengundang mata kami untuk melihat ke sumber cahaya. Cermin Doorfan mengeluarkan kekuatannya setelah Celdo menghancurkan batu kekuatan milik Jessy. Cermin itu kini berubah menjadi sebuah mahkota indah yang berkilau.

Aku mengambil mahkota itu. Ada tulisan kecil menyala emas dimahkota itu, namun hanya menyala sebentar. Tertulis Raja Fantasy Land. Raja? Bukankah di Fantasy Land menamakan pemimpin itu Presiden?

"Letta, mahkotamu berubah," kata Celdo menunjuk jari telunjuknya di atas kepalaku.

"Hah?" Aku meraih mahkota di atas kepalaku. Benar kata Celdo, mahkotaku berubah menjadi hampir mirip dengan mahkota yang satunya. Di mahkotaku, ada tulisan kecil juga. Tertulis Ratu Fantasy Land. Aku tersenyum. "Ah, aku tahu sekarang."

"Apa maksudmu?" tanya Celdo.

Aku kembali memakai mahkotaku. Lalu, aku meletakkan mahkota yang satunya ke puncak kepala Celdo. Dia masih menatapku bingung. Di tambah lagi, dia melongo saat aku memberinya lututan hormat.

"Hormat kepada Yang Mulia Raja Fantasy Land," kataku.

"A-a-ap-apa??? Jadi, ini benar? Aku juga ikut memimpin Fantasy Land denganmu??" tanya Celdo panik sendiri.

"Tentu saja, bodoh! Aduh, kau ini Raja atau apa sih, masa kau menganggap ini tidak benar." Aku kembali berdiri dan menggelengkan kepala.

"Berhenti memanggilku bodoh! Aku bukan bodoh! Aku Celdo! Celdo Planos!" pekik Celdo tampak sudah emosi.

"Dan juga Rajaku. Hahaha!!" Aku kembali tertawa kencang.

Sedangkan Celdo menghela napas menerima cobaan dariku dengan sabar. Dia meraih tangan kiriku dan menggenggamnya, membuatku berhenti tertawa, dan melihatnya tersenyum.

"Kau seorang Mouneletta Romanove dan Ratuku," kata Celdo membalas ucapanku. Aku tersenyum lebar menanggapi itu. "Ayo kita keluar dari sini."

Sambil bergandengan tangan, aku dan Celdo berjalan keluar dari istana ini yang entah sejak kapan telah berganti warna menjadi putih. Tak ada warna hitam yang tersisa. Penjaga pintu ruang singgasana melihat kami dengan tatapan terkejut, setelah itu langsung berlutut di samping kami. Begitu juga dengan Gresva dan Grisvi yang tiba-tiba saja sudah ada di hadapan kami. Mereka berlutut lumayan lebih lama dibandingkan lelaki berpakaian piama itu. Baju mereka juga berubah warna menjadi putih.

"Hormat kami kepada Yang Mulia Besar Raja dan Ratu Fantasy Land. Senang melihat Raja dan Ratu memakai mahkota bersinar Fantasy Land yang baru," kata Gresva dalam lututannya.

Celdo tampak bingung harus berkata apa, membuatku ingin sekali tertawa. Aku yang sudah tahu apa yang harus aku katakan saat dihormati, memberi mereka perintah.

"Bangkitlah."

Gresva dan Grisvi pun bangkit dengan senyuman mereka yang begitu cerah. Mereka mempersembahkan kami menuju pintu keluar istana mengawali kami. Saat hampir menuju pintu keluar istana, tiba-tiba saja gaunku berubah menjadi sebuah gaun yang lebih indah dari yang sebelumnya. Berwarna putih dan perak disertai ada sebuah bunga menghias pada bagian tengah dadaku. Begitu juga dengan Celdo, namun bukan sebuah gaun- tentu saja. Warna pakaiannya juga sama sepertiku. Kemeja putih, celana panjang putih, jubah kelebaran berwarna merah, dan dasi perak. Celdo tampak tak sadar kalau pakaiannya telah berubah secara drastis, membuatku tertawa lepas. Celdo menatapku bingung dan semakin bingung.

"Kenapa kau tertawa? Dan, kenapa dengan gaunmu? Kau semakin cantik."

"Bajumu juga. Kau semakin tampan saja. Hahaha!!"

Sampailah di luar istana. Kami sungguh terkejut melihat banyak sekali orang tampak menantikan kemunculan kami. Mereka tersenyum lebar dengan bahagia dan serempak namun ada yang berurutan, berlutut dan membungkuk hormat membuka jalan. Prajurit dan penduduk Fantasy Land telah berkumpul di depan mata kami memberikan hormat.

"Yang Mulia Raja dan Ratu Fantasy Land, kami semua menantikan hari di mana Presiden digantikan. Dan akhirnya, hari itu pun muncul. Terima kasih, Tuhan!" kata Gresva lantang mewakili semua yang ada.

Masih bergandengan tangan, aku menggoyangkan tangan Celdo, membuatnya menoleh padaku dengan ekspresi yang sangat sedang dilanda kebingungan dan mukanya yang jelas begitu merah.

"Perintahkan mereka untuk bangkit," bisikku pada Celdo.

"Ha-harus, ya? Kenapa aku?" tanya Celdo gugup.

"Tentu saja itu harus. Kau Rajanya. Giliranmu yang memerintah pada orang lain," jawabku. "Jangan gugup. Hadapi mereka dengan santai namun berkelas."

Celdo mengangguk kecil. Dia menarik napas dan menghembuskannya dengan pelan. "Bangkitlah kalian semua."

Semua yang membungkuk maupun berlutut segera bangkit mematuhi perintah Celdo. Sedangkan aku tengah dilanda rasa terkejut. Suaranya tadi terdengar laki-laki sekali, seolah berbeda dengan nada bicara biasanya yang selalu menyebalkan. Dewasa. Suara kepemimpinan yang begitu terasa alami.

"Horeee!!!!!!" Semua bersorak bahagia dan menari-nari tidak jelas.

"AAA!!! Celdoku semakin gagah saja! Suaramu saat memerintah begitu membuat jantungku berdebar-debar!! Tambah sayang, deh!!" jeritku memeluk Celdo mengelus-elus sebelah pipinya. Sedangkan Celdo menghela napas menerima perlakuan kekanakkanku padanya.

"Walaupun aku lebih tua darimu, kau masih saja memganggapku sebagai anak kecil dan juga masih merasa kalau kau lebih tua dariku," kata Celdo. Aku tertawa mendengar itu.

"Nah, jadi, apa jawabanmu?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Jawaban apa?" tanya Celdo balik.

"Ah, sepertinya aku harus mengulangi ucapanku waktu itu," jawabku mengalihkan pandanganku menuju semua orang yang masih bersenang-senang merayakan kedamaian Fantasy Land. "Mohon perhatian, semuanya!"

Semua langsung diam dan mata mereka hanya mengarah padaku dan Celdo. Wajah Celdo kembali memerah saat dilihat banyak orang. Setelah mendapat perhatian dari mereka, aku kembali mengeluarkan suaraku dengan lantang.

"Aku adalah Ratu dari kerajaan Romanove yang terletak di dunia manusia. Aku berasal dari dunia manusia, tempat diriku dilahirkan. Dulu, aku tak berniat mencari pasangan untuk dijadikan sebagai Raja dalam kerajaanku. Tapi sekarang, aku telah memutuskan akan menjadikan Celdo Planos sebagai Raja dari kerajaanku. Untuk itu, aku meminta persetujuan dan jawaban darinya," jelasku pada mereka semua, lalu aku kembali menatap Celdo. Aku berlutut dihadapan Celdo dan menurunkan mahkotaku. Meletakkan di dalam peganganku, di depan dada. Dan tanganku yang satunya mengangkat ke arah Celdo. "Celdo Planos, aku mencintaimu. Sangat. Maukah kau menjadi Rajaku di kerajaanku, kerajaan Romanove, menggantikan Ayahku, dan hiduplah bersamaku, Celdo."

Tidak lama, tanganku bisa merasakan dinginnya tangan lembut milik Celdo. Dia menerima tanganku dan itu juga menjadi jawaban dari pertanyaanku.

Aku bangkit dari posisi hormatku. Tersenyum padanya yang tengah memasang ekspresi yang begitu tegang. Rasanya aku ingin tertawa, untunglah aku ahli dalam menahan tawa. Dia pun mengangguk.

"Aku .. aku ju-juga mencintaimu."

Sekali lagi sorak semuanya kembali terdengar memekik setelah mendengar jawaban Celdo. Mereka semua sangat bersemangat.

"HIDUP RAJA DAN RATU ROMANOVE DAN FANTASY LAND!!!! HIDUP!!!!"

Tiba-tiba sebuah benda putih yang mencair mendarat lembut di punggung tanganku. Salju. Aku menengadah ke atas langit. Salju turun dengan pelan. Ternyata, di Fantasy Land juga bisa turun salju.

Selain istana, salju juga ikut memutih. Tunggu. Salju, kan, memang warna putih. Ada-ada saja.

Setelah ini, kami memutuskan untuk pergi ke berbagai tempat menggunakan kereta kuda istana.

👑👑👑

Di Akademi Wonderland.

Semua yang ada di sini berlutut hormat kepadaku dan Celdo. Kami mendapati orang-orang yang kami ingin temui, yaitu Anna, Alex, Yoanne, dan Yana. Anna dan Yana berlari menghampiri dan memeluk diriku. Sementara Alex dan Yoanne tengah asik berbincang dengan Celdo.

"Do'a saya terkabul, Miss. Miss Manove mengalahkan Presiden! Saya senang sekali!!" kata Anna masih memelukku begitu erat.

"Ternyata kau memang bukan dari keluarga Phantrom. Tapi, aku dan semua anggota keluarga Edelexia sudah berbaikan dengan keluarga Phantrom. Kau jangan khawatir lagi. Kita masih berteman, kan?" Alex menawarkan tos tinju.

Celdo mengepalkan tangan kanan dan meninju di kepalan Alex. "Tentu saja, kawan."

Setelah ke Akademi Wonderland, kami pun menuju ke istana Catteppo, istana milik Felice Mariya.

Semua kucing-kucing yang ada di sana menunduk hormat pada kami. Aku yang daritadi terus bersin karena berada di dekat hewan berbulu seperti kucing. Felice tiba-tiba muncul di depan kami sembari duduk di atas Rissa, kucing paling besarnya. Dia memberikan sebuah minuman khusus agar aku tidak bersin saat berada di dekat kucing. Minuman itu bekerja selama 2 jam.

"Raja dan Ratu tidak perlu repot-repot ke sini. Selamat atas menangnya Raja dan Ratu mengalahkan Presiden," ucap Felice formal.

"Tidak apa. Kami senang mengunjungimu. Oh iya, di mana Kerling?" tanyaku mengarahkan mataku ke banyak arah.

"Kerling? Siapa itu?" tanya Celdo padaku.

"Dia adalah seekor kucing abu-abu yang imut sekali. Dia juga teman baikku," jawabku sembari mengingat rupa Kerling. Sudah lama sekali aku tak melihatnya.

"Maafkan saya, Raja dan Ratu. Saya tidak sanggup mengatakan ini, tapi, Kerling sudah tiada sejak lama," jawab Felice dengan tundukan.

Aku yang mendengar jawaban mustahil itu langsung diam. Mulutku kelu tak bisa berkata. Aku bisa merasakan air mataku jatuh berlinang membasahi kedua pipiku.

"Tidak mungkin. Itu mustahil, Felice. Aku ingin menemuinya sekarang. Aku ingin mengelus bulu-bulunya. Aku ingin menggendongnya. Aku ingin melihatnya. Aku ingin bicara dengannya. Aku-" Belum selesai aku berkata, Celdo meraihku dalam rengkuhannya, menenangkanku.

"Apa yang sudah terjadi, Mariya?" tanya Celdo meminta penjelasan alasan Kerling mati.

"Sejak Ratu pergi dari istana saya bersama Rissa, istana saya diserang oleh beberapa monster milik Presiden. Kerling berusaha melindungi saya. Saat saya lengah, dia melindungi saya.Kerling pun terkena serangan monster itu. Sebelum Kerling mati, dia mengatakan sesuatu untuk Ratu. Kerling berkata, semoga Moune mengalahkan Presiden dan membuat Fantasy Land menjadi lebih baik lagi."

Aku semakin menangis tersedu-sedu mendengar penjelasan Felice. Celdo masih memelukku erat sambil mengelus kepalaku. Sungguh tidak bisa dipercaya. Kerling benar-benar sudah mendahuluiku. Felice dan Rissa juga ikut bersedih. Begitu juga dengan Celdo. Dia melepas pelukannya dan menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. Padahal dia tidak mengenal Kerling bahkan bertemu saja tidak pernah.

"Tolong berhenti menangis. Sudah, tenanglah, Letta. Aku mohon."

Tetap saja, aku malah menangis semakin parah, membuat kucing-kucing yang melihatku juga ikut menangis. Akhirnya, Celdo mengeluarkan setetes air matanya saat dia memejamkan mata sebentar.

"K-kau!! Sebenarnya apa kau ini?? Kau bisa ... berbicara?!"

"Aku memang bisa bicara. Kenapa kau terlihat kaget begitu? Semua hewan di Fantasy Land bisa berbicara dan berkomunikasi dengan penyihir secara baik. Apa kau baru tahu itu? Ah, salam kenal. Namaku Kerling."

Mengenal Kerling, rasanya seperti baru kemarin. Ini terlalu cepat.

👑👑👑

Di istana Caramel.

"Ah, akhirnya Ratu Moune berhenti menangis. Syukurlah, itu berkat teh dan kue buatanku," ucap Talia yang sedang duduk di kursinya menghadap kami setelah menyeruput secangkir teh.

"Tidak basi, kan?" tanyaku menatapnya menyelidik.

Celdo yang mendengar pertanyaanku dan ingin menyeruput tehnya, terjeda sebelum mulutnya mengenai mulut cangkir.

Talia langsung tertawa terbahak-bahak. Dia sampai ingin jatuh dari kursi. Aku dan Celdo saling berpandangan bingung, melihat Talia dengan datar.

"Tentu saja tidak, Ratu. Tehnya aman untuk dikonsumsi. Saya tidak akan membuat kesalahan lagi. Ah, Ratu, Anda membuat saya senang sekali. Apalagi, Celdo, maksudku Raja, menjadi pemimpin Fantasy Land juga."

"Aku hebat, kan?" Celdo tersenyum angkuh. Setelah itu dia pun menyeruput tehnya. Ya ampun, keangkuhannya bangkit.

"Ah, semoga kalian bahagia selamanya. Dan, oh! Karena kalian berhasil mengalahkan Presiden, saya akan memberikan kalian hadiah, terutama Anda, Ratu! Anda akan mendapatkan gaun terbaru saya! Pasti akan cocok sekali dengan Anda! Kya!!!"

"Hahaha, terima kasih, Talia. Berkat ada kau, aku berhasil mengalahkan Presiden."

Begitulah, kami membicarakan banyak hal di istana Caramel. Setelah itu, aku dan Celdo menuju istana Librarytoon.

Di istana Librarytoon, tampak sama saja seperti dulu pertama kali aku pernah ke sini. Buku dan rak buku yang melayang bebas beserta diriku dan Celdo. Aku yang selalu kehilangan keseimbangan, dipegang tanganku oleh Celdo agar aku tidak ke mana-mana.

Kami pun menemukan sosok yang kami cari. Rosel Phantrom, kakak angkat Celdo. Dia tampak sedang membaca buku. Kami pun berencana mengagetkan Rosel. Dalam hitungan ketiga, kami pun bersamaan mengagetkan Rosel.

"DAARR!!"

"AAAAA!!!"

Rencana sukses membuat korban sakit jantung. Rosel terkejut sambil berteriak dan melayangkan bukunya entah hilang ke mana. Dia membalikkan badan melihat kami dengan mata yang mengerjap.

"I-ini ... Nele dan ... CELDO???!! ITUKAH KAU, ADIKKU??"

"KAKAK!!"

Mereka berdua pun berpelukan. Aku yang melihat itu cukup terharu. Walaupun mereka tidak sedarah, tapi mereka terlihat seperti dua bersaudara sungguhan.

"Lihat dirimu. Wooowww, apa yang terjadi padamu? Kau sudah kembali ke tubuhmu yang semula! Wah, ada mahkota! Kau menjadi pemimpin Fantasy Land bersama Nele? Oh! Astaga! Aku telah lancang!!" Mendadak Rosel menjauh dan ingin membungkuk, namun bersamaan aku dan Celdo mencegah Rosel dengan memegang tangannya.

"Berhenti memanggilku Nele." Aku menatap datar.

"Tidak apa-apa. Bersikap biasa saja jika tidak ada banyak orang. Kakak, aku merindukanmu." Celdo tersenyum lembut.

"Kakak juga merindukanmu. Syukurlah kau baik-baik saja. Dan, apa ini? Kenapa kau juga ikut menjadi pemimpin Fantasy Land? Kau dan Nele seperti sepasang kekasih baru saja."

"Kami memang sepasang kekasih. Tinggal satu langkah lagi agar itu menjadi sebuah ikatan yang sah, yaitu menikah," kataku meraih lengan Celdo, membuat Rosel melongo sebentar. Setelah itu, dia bersorak gembira.

Kami pun duduk di kursi melayang beserta meja yang juga ikut melayang. Aku menyungging senyum melihat keadaan luar dari jendela. Saljunya turun semakin deras dan menebal. Namun, di dalam sini, bersama orang-orang yang aku sayangi, aku tetap merasa hangat.

"Letta," panggil Celdo. Aku pun menoleh padanya. Tak tahu saja, dia langsung mencium bibirku, namun hanya beberapa detik. Setelah itu, dia menoleh ke arah Rosel. "Tuh, sudah lihat sendiri, kan? Kenapa Kakak tidak percaya padaku?"

Aku langsung saja menjitak kepala Celdo. "Karena kau sudah menjadi Raja, kau bisa melakukan apa saja tanpa izin, begitu?"

"Pfff!!" Rosel tampak menahan tawa.

"B-bukan begitu maksudku! Aku hanya ingin membuktikan pada Kakak kalau aku mencintai Letta!" kata Celdo membela dirinya sendiri.

"Alasan yang bagus. Awas kalau mencium tanpa izin, kau bisa aku bekukan dengan kekuatanku," ancamku.

"B-baiklah," balas Celdo tampak ketakutan melihatku, menunduk bersalah.

Aku menyandarkan diriku kepada Celdo. "Haha, bercanda. Kau boleh menciumku tanpa izin. Itu terasa mengejutkan tapi aku suka. Terima kasih, Celdo."

Rosel mendadak tertawa lepas. Dia sampai memegang perutnya yang mulai kesakitan akibat tertawa terlalu lama. "Ahahaha!! Kau polos sekali, Celdo! Hahahaha!!"

"Ukh, Kakak menyebalkan," keluh Celdo menerima diriku bersandar padanya dengan memegang pundakku. Aku hanya tertawa kecil.

Suka maupun duka aku rasakan di sini, di tempat yang hangat dan orang-orang tercinta yang tak bisa digantikan dengan apapun itu.

Ayah, Ibu, aku merindukan kalian. Semoga kalian juga berbahagia di sana.

















Catatan :

Terima kasih banyak sudah membaca SILVER QUEEN sampai bagian terakhir^^ Jika ada kesalahan kata maupun kejadian yang sama ataupun alur yang sama, mohon dimaafkan karena cerita ini murni dari pemikiran sendiri. Tidak ada copypaste/memplagiat karya orang lain. Itu haram bagi seorang penulis yang ingin berkarya juga ingin menjadi penulis novel handal.

Aku akan beri sedikit dialog untuk penutup. Jadi, mari, SIMAK!

"Celdo."

"Ya?"

"Aku ingin tahu siapa penjaga pintu singgasana itu."

"Oh, dia Max."

"Lalu, teka-teki apa yang dia berikan saat aku masuk lebih dulu ke dalam ruang singgasana?"

"Teka-tekinya mudah. Ada benda yang tidak digunakan pada pagi, siang, dan sore hari. Saat malam tiba, benda itu pun digunakan. Benda apakah itu?"

"Sial, teka-teki macam apa itu? Apa jawabannya?"

"Yakin, tidak tahu jawabannya?"

"Aku malas berpikir."

"Jawabannya adalah tirai jendela!! Masa teka-teki semudah itu saja tidak tahu! Dasar payah."

"Sialan!"

👑

THE END
|
Silver Queen
8 Desember 2016

👑

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top