Bagian 40 : Aku Telah Mengambil Keputusanku Sendiri

“Hah?”

Satu kata itu secara bersamaan keluar dari mulutku dan Celdo. Apa yang lelaki itu katakan, sama sekali tak menjelaskan apapun. Kebingungan malah melanda kami. Mata kami berdua berpandangan dengan tatapan bingung, lalu kembali mengarah pada dua orang asing yang sedang berlutut pada kami.

Aku yang sudah terlalu pernah dilututi secara hormat seperti itu segera memberi perintah. “Bangkitlah. Angkat kepalamu. Kalian siapa? Apa kalian adalah anak buahnya Presiden?”

Mereka berdua menurut padaku, mengangkat kepala dan segera bangkit, namun masih pada posisi menunduk dan tangan kanan menyentuh dada bagian kiri. Celdo yang tadinya menatap bingung, beralih menjadi tatapan tajam. Dia sudah siap dengan pedang putihnya.

“Kami berdua baru saja bangkit, karena merasakan keberadaan calon pemimpin Fantasy Land yang sangat kuat, bukan, lebih dari kata kuat,” jawab gadis itu.

“Memangnya aku juga akan menjadi pemimpin Fantasy Land, begitukah?” Celdo menunjuk dirinya sendiri.

Dua orang asing itu mengangguk sebanyak satu kali. “Benar,” jawab gadis itu lagi, “sesuai yang telah kami prediksikan, kali ini pemimpin Fantasy Land akan ada dua orang. Namun, jika kalian bisa mengalahkan Presiden yang sekarang.”

Celdo tercengang mendengar jawaban itu. Mungkin, dia tidak akan pernah mengira jika ikut denganku sampai sejauh ini, dia juga akan ikut menjadi pemimpin Fantasy Land.

Tidak, mungkin aku tidak harus
berlama-lama di sini untuk memimpin dunia ini. Setelah balas dendam, aku akan pulang ke tempat asalku.

“Setelah Presiden itu lenyap, mungkin aku tak akan bisa berlama-lama di sini,” ucapku memecahkan keheningan yang tiba-tiba saja muncul.

Mereka berdua terlihat terkejut sekali mendengar itu. Sedangkan Celdo, dia tidak kalah terkejutnya. Dia sampai menjatuhkan pedang dari tangannya, memegang kedua pundakku.

“Kenapa?” Celdo menatapku sedih. Cukup perih melihat matanya menyorot sedih seperti itu. Aku jadi merasa bersalah setelah mengatakan itu. Namun, itulah kenyataannya. Aku tidak akan berlama-lama di sini, karena tempat ini bukanlah duniaku yang sebenarnya.

“Minggir, Celdo.” Aku menepis kedua tangannya dari bahuku dengan rasa terpaksa, menatapnya tajam. “Di duniaku, aku juga harus melakukan tugasku sebagai seorang pemimpin. Kau tidak tahu tentang orang bangsawan sepertiku. Jadi, kau diam saja. Di sini, aku hanya dijalankan untuk balas dendam. Bukan bersenang-senang.”

Aku berjalan menjauh darinya dengan perasaan yang sangat perih dibandingkan menatap matanya yang mulai gelap. Kata-kata yang tidak ingin aku katakan, tersebut dengan mudahnya. Sampailah aku di depan dua orang asing itu, aku kembali berkata.

“Tunjukkan di mana singgasana Presiden itu. Aku tidak sabar ingin menemuinya.”

“Mohon tunggu, Nona. Tapi, apa maksud Anda soal yang tadi? Anda tidak bisa memimpin Fantasy Land sesudah mengalahkan Presiden yang sekarang?” Lelaki itu menunduk, namun masih menatapku lekat.

“Tepat sekali. Aku tak bisa,” jawabku datar.

“Kami sangat kecewa dengan keputusan Anda, Nona. Kami tahu, Anda tengah mengkhawatirkan dunia manusia. Anda tidak perlu takut. Selama cermin Doorfan menunjuk Anda ke jalan yang benar untuk dua dunia ini, Anda bisa melakukan apa saja,” ucap gadis itu.

Apa saja? batinku.

“Aku tidak mengerti. Apa maksudmu dengan apa saja?”

“Maafkan kami, Nona. Kami tak tahu jawaban dari pertanyaan Anda. Tapi, dari pemimpin Fantasy Land yang dahulu, beliau juga menggunakan cermin Doorfan untuk memimpin dua dunia sekaligus,” jelas gadis itu.

Aku membelalakkan mata. “Memimpin dua dunia ... sekaligus?! Apa itu tidak terlalu berat untuk dijalankan?”

“Hanya pemimpin Fantasy Land terdahulu yang tahu jawabannya, Nona. Kami hanya menyampaikan apa yang bisa kami sampaikan untuk Anda. Sekiranya, Anda bisa memimpin dunia ini, Anda juga bisa mengurus urusan Anda yang ada di dunia manusia.”

Aku memandang pedangku yang kini bertambah warna. Merah, jingga, kuning, dan hijau. Hampir membentuk pelangi. Tinggal beberapa warna lagi. Aku tak tahu kenapa warna-warna ini tercipta pada pedang Doorfan ini, sejauh ini, aku merasakan bahwa cermin Doorfan semakin kuat dan menurut padaku. Otakku berpikir keras dan masih sedkit bingung. Mengurus dua urusan sekaligus dengan dua dunia yang berbeda? Apa itu tidak terlalu merepotkan?

“Jadi, jawaban Anda apa, Nona?” Pertanyaan dari lelaki itu membuatku tersentak dari lamunan.

“Jawaban? Jawaban apa?” tanyaku balik.

“Apa Anda bisa memimpin Fantasy Land setelah mengalahkan Presiden?” tanya gadis itu.

“Tunggu. Aku ingin mengetahui nama kalian berdua.”

“Nama saya Gresva,” kata lelaki itu membungkuk lagi padaku.

“Nama saya Grisvi,” kata gadis itu juga ikut membungkuk sambil memperkenalkan diri.

“Oh, kalian bersaudara?” tanyaku lagi.

“Tidak,” jawab Gresva dengan senyum penuh arti. “Kami berdua adalah sepasang kekasih.”

“Apa?” kataku terkejut mendengar jawaban tidak terkira itu. “Kalian ... sepasang kekasih??”

“Sesuai dengan pertanyaan Anda, Nona,” jawab mereka bersamaan. “Kami belum menikah. Jadi, kami memutuskan untuk menikah jika Anda juga akan ikut menikah dengan orang yang Anda cintai,” sambung Grisvi.

“Hei, itu tidak benar. Seharusnya kalian menikah pada hari yang kalian inginkan. Bukan pada hari aku akan menikah nanti. Selain itu, aku pikir kalian bersaudara,” balasku.

“Tapi, kami sudah memutuskannya. Selain itu, kami mendengar Tuan Celdo mendapat kutukan yang lumayan buruk oleh Presiden. Jika Presiden bisa Anda bunuh, maka kutukannya akan hilang dan kembali semula,” ucap Gresva.

“Aku tahu,” balasku sedikit ketus. “Soal mengurus dua urusan sekaligus, menurutku akan semakin merepotkan hidupku saja. Akan lebih bagusnya jika aku pulang ke duniaku setelah melakukan tugasku di sini dan membiarkan Celdo yang memimpin dunia ini.”

“Lalu, Anda tidak akan kembali ke sini lagi?”

“Kenapa aku harus kembali? Ini bukanlah tempatku berada. Bagiku, dunia ini begitu asing. Banyak hal yang tidak aku bisa cerna dengan baik. Orang-orang, tempat, kekuatan, hewan yang bisa berbicara, teka-teki, bahkan diriku dibilang seorang penyihir kelompok terkuat. Apa maksudnya?”

“Karena memang Anda adalah penyihir, Nona. Setengah manusia masih berada didiri Anda. Tapi, sisi penyihir Anda juga ikut hadir di samping sisi manusia tersebut. Anda lahir pada rahim manusia, namun suami dari istri itu adalah seorang penyihir.”

Aku terdiam mendengar penjelasan itu. Pikiranku sekejap kosong, tak tahu apa yang harus aku pikirkan selain mencerna kata-kata itu. Secara perlahan, aku berucap lagi. “Ayahku ... seorang penyihir?”

“Biasanya, orang yang setengah manusia dan setengah penyihir selalu lahir dari pasangan seperti itu. Saya yakin, Ayah Anda adalah seorang penyihir dari Fantasy Land. Namun, Ayah Anda tak pernah menjelaskan tentang dunia ini, karena Anda pasti tidak akan percaya. Maka, Ayah Anda hanya bisa membungkam semua itu dari Anda.”

“I-itu tidak mungkin. Itu tidak mungkin terjadi. Ayah manusia. Bukan penyihir.” Kepalaku menggeleng mendengar penjelasan aneh itu.

“Anda bisa tanyakan sendiri pada Ayah Anda,” kata Grisvi.

Aku menatap murka. “Kau pikir aku bodoh? Ayahku sudah meninggal! Mana mungkin aku bisa bertemu dan mengobrol santai dengannya!!”

“Apa Anda pernah mengobrol dengan orang mati sebelumnya? Jika pernah, artinya Anda bisa melakukan hal itu lagi, namun dengan cara yang berbeda.”

“Aku pernah mengobrol dengan orang mati. Tapi, apa itu benar-benar bisa dilakukan?”

“Tentu. Namun, ada batas waktu untuk melakukan itu. Paling lama, 3 sampai 5 menit.”

“Kalau kau mengatakan begitu, bisakah kau memberitahukan caranya padaku?”

“Itu mudah. Anda bisa pejamkan matamu tanpa ada pikiran yang membuat kepalamu berat. Hanya satu kata yang Anda sebutkan di dalam hatimu, yaitu Ayah Anda.”

“Baiklah. Akan aku lakukan.”

Aku duduk di antara bunga-bunga mawar biru pastel yang tiba-tiba saja berubah menjadi ungu saat aku sudah duduk. Memejamkan mata dan menjernihkan pikiranku. Mulai membayangkan wajah Ayahku dan membatinkan dirinya.

Ayah.

Tak ada jawaban dan sesuatu atau apapun yang muncul. Aku mulai kesal. Namun, aku kembali ke dalam pikiranku dan mencoba lagi.

Ayah, tolong dengarkan aku. Ini aku, Moune. Anakmu satu-satunya.

Moune?”

DEG!

Mendengar suara lembut yang begitu aku kenal. Suara yang dulu sejak kecil, orang itu memanggil namaku dengan kasih sayang. Aku membuka mata dengan cepat. Melihat seorang pria dewasa berbaju putih kebesaran, rambut panjang semata kaki berwarna perak, dan mata biru itu kini aku tatap dengan air mata yang menetes deras. Aku mengulurkan tangan, ingin meraih sosok Ayah, ingin menyentuhnya, memeluknya, dan mengatakan kalau aku merindukannya. Sangat merindukannya.

Ayah berjalan cepat menuju ke arahku. Meraih tangan, kepala, dan tubuhku ke pelukannya. Aroma Ayah kembali aku hirup setelah begitu lama aku tak bertemu. Aku merasa tenang. Hanya saja, air mata ini begitu menggangguku.

“Kau sudah besar. Bagaimana kabarmu, Putri besarku?” tanya Ayah, melepas pelukan dan mengelus rambutku lembut, lalu menatapku bingung. “Ada apa dengan sebelah rambutmu, sayang? Kenapa terlihat berbeda dibanding yang sebelahnya?”

“Aku baik-baik saja, Ayah. Rambutku? Ini akibat pertarungan itu. Rambutku tertebas oleh pedang. Jadi, terlihat timpang. Hehe,” jawabku.

Ayah tersenyum. Memegang kedua telapak tanganku dan mengelusnya lembut. “Ayah tak menyangka kau sudah sebesar ini. Pastinya, kau sudah menemukan cinta sejatimu.”

“A-Ayah! Tidak, aku belum menemukannya. Dan aku masih belum mengerti hal seperti itu,” balasku.

“Hahaha, wajahmu merah, sayang. Siapapun yang kau cintai, Ayah akan selalu mendukungmu dan orang yang kau cintai.” Ayah mengelus pipiku.

“Hehe, terima kasih, Ayah. Tapi, aku memanggil Ayah bukan membicarakan tentang jodoh. Ayah, tolong jelaskan, apa Ayah, tidak, sebenarnya, apa manusia dengan penyihir itu berbeda?”

Sesaat, Ayah terdiam. Lalu, Ayah kembali mengelus rambutku yang pendek. Sampai tangan Ayah mengelus rambut pendekku sampai ujung, rambutku tiba-tiba saja tumbuh panjang begitu cepat, kembali sama panjangnya dengan rambut yang sebelahnya.

“Mereka sama, namun dikatakan berbeda jika kau hanya melihat dari kelebihannya saja.” Ayah berhenti memegang rambutku, menatapku dengan senyumnya yang menenangkan. “Manusia maupun penyihir, keduanya sama saja, Moune. Manusia dan penyihir itu punya ikatan yang sangat kuat. Hanya saja, dunia manusia dan penyihir dipisahkan untuk kebaikan semuanya. Sejak singgasana Presiden itu kembali diduduki oleh pemimpin yang baru, Ayah tiba-tiba mendapat hukuman dari Presiden. Hukumannya adalah meninggalkan Fantasy Land. Saat aku sudah sampai di dunia manusia, aku pun bertemu Ibumu.”

Aku terdiam sebentar. Melihat sebelah rambutku yang terpotong kasar oleh pedang, rambut ini pun telah kembali panjang seperti rambut yang sebelahnya. Tanganku memegang rambutku, lalu kembali menatap Ayah.

“Apa yang Ayah lakukan dengan rambutku?” tanyaku.

“Tentu saja, mengembalikan rambutmu yang terpotong,” jawab Ayah. “Kenapa, Moune? Kau tak suka dengan rambutmu kembali panjang?”

Lagi-lagi aku terdiam, lebih tepatnya merenung. Pertanyaan dari Ayah membuatku teringat percakapan tidak pentingku dengan Celdo.

"Setengah rambutku terpotong. Aku masih tak sudi. Bagaimana ini?"

"Pff! Hahaha!! Kenapa kau tanya padaku? Seharusnya kau tanya pada dirimu sendiri. Kalau kau ingin memanjangkan rambutmu kembali, hanya ada satu cara. Potong rambutmu yang setengahnya lagi."

"Akh, menyebalkan. Kenapa harus terpotong, sih?? Bagaimana jika setengah rambut panjangku tidak dipotong? Ibu pernah bilang padaku, kalau aku cantik dengan rambut panjang. Tapi, aku tak tahu tanggapan Ibu jika rambutku menjadi pendek. Apa Ibu akan senang dengan rambut pendekku?"

"Tentu saja Ibumu akan senang! Apapun penampilanmu, Ibumu akan selalu setuju dengan apa yang kau miliki. Lagipula, rambutmu tidak akan pendek selamanya. Tidak lama pasti akan panjang kembali."

Lumayan lama aku merenung. Mengingat percakapanku dengan Celdo, sesaat namun jelas, mulutku menyungging senyum. Kenapa aku bertanya, ya? Haha, harusnya aku yang memutuskannya sendiri, karena ini adalah rambutku. Terserah padaku ingin bagaimana penampilan rambutku.

Aku mengubah cermin Doorfan menjadi pedang. Tanganku menggenggam semua rambut panjangku, mengangkat rambutku hingga terangkat. Kemudian, menebas seluruh rambutku begitu cepat, memisahkanku dengan rambutku oleh benda tajam. Ayah tampak terkejut melihatku menebas rambutku sendiri. Seluruh rambutku kini menjadi pendek.

“Moune,” ucap Ayah menyebut namaku. Dia ingin menyentuh tanganku, namun aku yang langsung berkata secara tiba-tiba, membuat Ayah tersentak.

“ ‘Kalau kau ingin memanjangkan rambutmu kembali, hanya ada satu cara. Potong rambutmu yang setengahnya lagi.’ Itulah yang orang menyebalkan itu katakan padaku. Aku sudah memutuskan. Jika rambutku terpotong setengah, maka aku juga harus memotong yang setengahnya lagi. Ayah paham maksudku, kan? Aku tidak mau dengan cara seperti yang Ayah lakukan.”

Ayah tersenyum mendengar perkataanku. Tangan Ayah mengangkat, mengelus puncak kepalaku.

“Ayah sangat bangga kepadamu, Moune. Kau pantas memimpin kerajaan kita dan Fantasy Land. Aku yakin kau bisa mengalahkan Presiden itu. Ayah percayakan padamu. Semua keputusan ada di tanganmu. Ayah menyayangimu.”

Aku pun berpisah dengan Ayah, karena kami berbeda dunia. Cahaya yang sangat terang menyilaukan mata, membuatku menutup mata tak tahu lagi apa yang akan terjadi selanjutnya.

Aku tahu. Tentu saja, kembali.

“Moune juga menyayangimu, Ayah.”

👑👑👑

Setelah cahaya terang itu berangsur-angsur redup dan merasakan kalau cahaya itu lenyap seutuhnya, aku kembali membuka mata. Aku bisa melihat Celdo  tengah melihatku dengan mata yang terbelalak. Sedangkan Gresva dan Grisvi terlihat biasa saja, mereka hanya tersenyum sambil menyambut kedatanganku dengan bungkukan.

Satu hal yang berbeda terjadi di sini. Tak ada ruangan putih dan ladang bunga mawar itu. Yang ada hanyalah sebuah tempat seperti dalam istana, namun terlihat mencekam. Aku bisa tahu ini di dalam istana, karena tempat ini begitu besar, jendela di mana-mana, tangga yang begitu panjang dan berliku-liku memperlihatkan betapa tingginya istana ini, juga banyak daun pintu hitam yang menghias dinding tebal. Yang membuatku ngeri, adalah warna istana ini. Hitam.

Celdo berjalan menghampiriku yang sedang mengamati sekitar. Sikutnya menusuk ke lengan kiriku, membuat tanganku secara otomatis menjitak kepalanya. Kenapa dia menyikutku tanpa alasan? Beginikah sambutan yang paling bagus?

“Apa yang membuatmu berpikir melakukan itu padaku, hah?” tanyaku setelah menjitak kepalanya, melihat ekspresinya tampak seperti menahan tawa. Dasar.

Tunggu. Apa? Menahan tawa? Dia sedang menahan tawa?

“Letta, rambutmu, rambutmu itu, telah menjadi pendek sekali daripada yang sebelumnya. Benar-benar ... pfff!”

“Aku ingin tahu, kenapa ekspresimu itu mengundangku untuk segera menghajarmu.”

“HAHAHAHA!”

“Oke, kalau itu yang kau mau, akan aku hajar kau sekarang.”

Tanganku mengepal kuat, sudah siap menghajarnya kapan saja. Celdo yang mendengar ucapanku langsung mengambil langkah sedikit jauh dariku, bermaksud menghindariku jika aku benar-benar akan menghajarnya habis-habisan.

“Maaf, maaf. Tapi, sungguh, melihat semua rambutmu itu pendek, rasanya terlihat berbeda dari Letta berambut panjang yang dulu. Kau jadi terlihat tomboi, tapi pakaianmu adalah gaun. Hahaha! Astaga, Letta. Kau membuat perutku kesakitan! Lucu sekali! Hahaha!!”

Aku mengubah pedang Doorfan menjadi sebuah cermin rias. Melihat bayangan diriku yang sekarang telah jauh berbeda akibat rambut pendekku. Dari komentar Celdo tentang rambutku, aku rasa rambut pendek sangat tidak cocok denganku. Bahkan Celdo menertawakanku. Apa baiknya tadi tidak perlu dipotong, ya? Apakah memotong rambutku adalah keputusan yang benar?

“Tidak cocok, ya?” tanyaku pelan, tetap melihat diriku sendiri di depan cermin. Entah kenapa, aku merasa perih oleh pertanyaanku sendiri.

Lantas Celdo berhenti tertawa. Langkah sepatu hak itu terdengar khas ditelingaku. Semakin terdengar dan jelas. Dia berhenti di depanku. Tangannya menurunkan cermin Doorfan yang aku angkat, membuatku kini memandang dirinya yang sedang menyungging senyum lembut padaku.

“Siapa yang bilang tidak cocok? Cocok, kok. Hanya saja, perlu sedikit dirapikan. H-hei, astaga, aku tak menyangka masalah seperti ini bisa membuatmu menangis,” ucap Celdo mengusap satu tetes air mata yang baru saja jatuh dari mataku. “Kau telah mengambil keputusanmu sendiri. Itu bagus sekali. Dan, lihat, kau lebih cantik daripada saat rambutmu setengah pendek dan setengah panjang. Waktu itu terlihat aneh sekali. Sekarang, jauh lebih baik dari yang aku kira.”

Aku menatap tajam. “Tapi, kenapa kau tadi menertawakanku?”

“Hehe, cuma reflek. Maafkan aku. Sebenarnya, bukan maksud mengejekmu. Aku hanya terkejut melihatmu kembali muncul dengan rambut pendek.”

“Tapi tetap saja, kau seperti berkomentar jelek tentang rambutku. Kau telah menyakitiku.” Aku sengaja memasang wajah sedih untuk membuatnya lebih merasa bersalah.

“S-sungguh! Aku tak bermaksud menyakitimu, Letta! Maafkan aku sudah menyakiti hatimu! Aku tidak mengira hal ini akan terjadi! Aku sungguh menyesal!!” Rencanaku berhasil dengan cepatnya. Dia memasang wajah bersalahnya. Lucu sekali.

Aku tersenyum lebar. “Aku maafkan kau, asalkan kalau kau kembali ke umurmu yang sesungguhnya, aku masih bisa menggodamu.”

“Me-menjijikkan,” ucap Celdo memasang wajah malu-malu datar. Mendengar balasan itu darinya, aku langsung tertawa kencang. Dia melihat rambutku lagi. “Rambutmu, kembali perak.”

Aku mengangkat cermin untuk melihat rambutku. Namun, Celdo langsung menahan tanganku agar tak mengangkat cermin. Mata itu menatapku lekat dengan sorot mata yang berbeda dari yang tadi.

“Kau tidak percaya padaku?” tanya Celdo, membuatku bingung tak mengerti.

“Tentu saja aku percaya padamu. Aku hanya ingin melihat rambutku lagi,” jawabku kembali ingin mengangkat cermin menuju depan wajahku, namun tangan Celdo masih keras menahan tanganku. “Ada apa, Celdo?”

“Kita telah berada di dalam istana Jeswel, istana milik Presiden. Gresva dan Grisvi akan mengantarkan kita ke singgasana Presiden. Namun, sebelum sampai di ruang singgasana, ada seseorang yang sedang menjaga pintu tersebut.”

Tanganku membalas genggamannya sembari mengubah cermin Doorfan menjadi kalung. “Kita akan menghadapi apapun yang menghalangi. Aku sudah menduga, masuk ke dalam singgasananya tidak akan semudah itu. Aku sudah siap, jadi langsung saja kita menuju ke sana. Aku sudah tidak sabar.”

“Mengerikan,” ucap Celdo dengan senyum, membuatku juga melempar senyum.

“Jadi, setelah kau kembali pada umurmu yang sebenarnya, kita bisa menikah, kan?” godaku sambil menenggerkan sikutku ke bahunya. Wajah Celdo seketika bersemu merah seutuhnya.

“He-hentikan! Sudah cukup! Kau mencoba menggodaku, bukan mengatakannya secara serius!”

“Ah, aku serius, kok! Kita akan menikah. Baiknya kapan, ya?”

“Bohong bohong bohong bohong BOHONG!!”

“AHAHAHAHA!!!”

Cih, aku tidak bohong soal itu, kok. Dasar Celdo sialan.

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top