Bagian 4 : Cermin Doorfan?

Jessy terlihat terkejut mendengarku mengatakan keputusan anehku ini. Tidak, ini tidak aneh. Aku memang ingin belajar dan bisa memainkan pedang. Selama aku masih hidup, aku akan mengembangkan diriku menjadi kuat, agar aku bisa membalaskan dendam orang tuaku pada pembunuh berantai itu. Jika aku bisa berpedang, maka saat pembunuh itu aku temukan, aku akan mencincangnya lebih keji dari pada yang dia lakukan pada orang tuaku.

"Ajarkan aku berpedang."

Aku masih menunggu balasan Jessy, namun yang aku dapatkan hanyalah kediaman dalam langkah pelan kami. Mungkin aku mengatakan ini secara mendadak di sini. Tapi, aku tidak bisa menahan kata-kataku. Aku ingin sekali bisa berkelahi, seperti dirinya.

Kekuatan seorang gadis yang tanpa takut dan gentar, menebas semua musuh di hadapan. Meluapkan kebencian musuh melalui pedang. Goresan luka dan darah yang keluar seperti air mancur yang rusak. Mendengarkan suara pekik musuh yang tersakiti oleh tebasan dan tusukan pedang. Kehausan dalam membunuh dan hati untuk melindungi orang-orang yang berada di belakang.

Aku sering melihat Jessy memainkan pedangnya seperti itu. Melindungiku di belakangnya sampai akhir tebasan. Tidak ada keraguan yang menghias dirinya. Sebaliknya, dia tersenyum seolah ada jiwa psiko membuatnya bisa berhadapan dengan setumpuk darah di tanah.

Baiklah, ini terlihat psikopat atau ... ambigu. Aku bahkan tidak berpikir rasanya setelah membunuh orang. Apakah akan semenyenangkan itu? Sampai tersenyum lebar setelah menebas musuh, memandang benci ke arah mayat musuh, kemudian melangkah pergi tanpa memberikan do'a kematian. Bisa aku simpulkan, diriku sangat penasaran. Aku ingin merasakan membunuh seseorang yang aku benci, apakah aku akan senang atau sedih? Bagus, ini semakin aneh.

"MOUNNNNEEEEEEEEE!!!!!!!"

Pertunjukan dimulai. Aku akan diguncang habis-habisan sampai aku akan menahan rasa mual yang bisa saja aku muntahkan. Namun, aku tidak mau mengotori gaunku.

Pangeran Delfidius yang ketiga, Hellois Delfidius pemakai dasi kupu-kupu itu tampak berlari ke arahku. Dan pada langkah akhir, dia memeluk diriku tanpa memikirkan kelakuannya ini adalah perbuatan yang sangat tidak sopan.

"Hai, Moune! Senang sekali kau datang ke istanaku!" girangnya, nampak pada mata beriris hitamnya mengilap cerah, lalu kembali memelukku.

Aroma parfum anggur mewah yang tidak asing lagi kuhirup pada baju kerajaan milik Hellois karena sudah jadi keseringan memelukku saat dia tahu aku akan muncul juga aroma sampo yang melekat tajam. Aku bisa mencapai rambut hitam kelamnya karena dia pendek sepertiku. Tidak, dia sedikit lebih tinggi dariku. Hanya saja, dia bisa dibilang pendek jika dia berdiri di antara ketiga saudaranya.

Aku bisa mendengar Jessy meringis geli melihatku dihina seperti ini. Sangat tidak berkelas menurutku jika aku disukai banyak Pangeran, namun ada satu penonton yang menertawakanku. Lagi pula, aku bukan pemeran komedi dalam panggung sandiwara. Jika aku benar ada di dalam panggung, aku akan menjadi pemeran utamanya, karena peranku di sini sangat penting, yaitu takdirku melindungi istana dan rakyatku.

"Moune!! Sudah kuduga kau akan memimpin pertemuan raja untuk bagian Utara. Apa yang akan kau lontarkan pada diskusi nanti?" Hellois semakin mendekatkan wajah. Lalu menjauh dan mengguncang tubuhku seenaknya. "Ahahahaha!!! Tidak ada yang mengalahkan kecantikan Moune!! Aku jatuh cinta padamu, Ratu!!"

Tidak, ini tidak bagus. Dia membuatku mual. Berhentilah mengguncangku dasar Pangeran sialan. Tak adakah yang berniat menolongku dari cekikan ini?

"Argh! Hellois! Singkirkan Moune darimu! Dia itu milikku!" pekik seorang lelaki bangsawan dengan busana yang sama dengan Hellois, namun dia tak menggunakan jas putih mahal itu dengan benar, hanya memasukkan sebelah tangannya ke dalam lorong tangan jas dan yang satunya sedang menggantung bebas di sisi belakang kanannya. Gaya seorang Pangeran yang seenaknya.

"Cih! Tidak mau! Aku yang menangkapnya lebih dulu! Dia telah jadi milikku!" hardik Hellois tak terima sambil mengeratkan pelukannya. "Minggir kau, Reo! Jangan halangi kebebasanku dengan Ratu Moune lagi!"

"Hahh??!" Lelaki berambut tipis panjang terikat oleh helai kain putih itu melongo tak percaya. "Dia milikku dasar sialan!"

Baiklah, ini hanya perasaanku saja atau atmosfirnya yang semakin tak mengenakkan. Jessy yang sejak tadi tak berminat melerai kedua Pangeran ini, dia malah asik cekikikkan di atas penderitaanku yang sedang dipeluk seakan tengah diikat kencang oleh tali.

Pangeran Delfidius yang pertama, Reo Delfidius yang kelihatan merasa risih saat memakai baju kerajaan, tampak pada dia tak ingin mengenakan jas tebal. Rambut panjang berwarna hitam kelam tipis mengikat rapi ke bawah oleh helai kain putih. Mata hitamnya yang sepadan dengan warna rambut, akan terlihat akrab jika dekat dengan Hellois. Namun
sayangnya, dua bersaudara ini sering bertengkar hanya karena memperebutkanku. Mereka bodoh, payah sekali.

"Ahh ayolah kalian berdua, jangan mulai lagi. Kalian tahu, Ratu terlihat tak ingin bertemu dengan kalian berdua. Ratu ingin menemuiku. Benar, kan, Yang Mulia Ratu?"

Aku mengarahkan penglihatanku pada sosok lelaki tinggi rupawan. Rambutnya coklat kehitaman. Matanya hitam sama dengan Hellois dan Reo. Dan orang ini adalah sosok yang paling tak aku tunggu. Kenapa? Karena nada bicaranya yang sengaja dilembutkan seolah bisa memesona seluruh wanita yang ada di dunia ini, suka sekali gombal basi, dan ... mesum. Tak lama mungkin beberapa minggu yang lalu saat dia mampir ke istanaku untuk minum teh, dia pernah memojokkanku dan hampir menciumku. Untung, ada Jessy lewat melihatku dan segera menarikku untuk menghindar. Memang Pangeran itu tak semuanya polos seperti yang ada didongeng, malah sudah punah.

Pangeran Delfidius yang keempat, Cello Delfidius. Yap, dia Pangeran yang terakhir. Tapi tak disangka diantara Hellois dan Reo, dia jauh lebih tinggi. Rambutnya hitam kelam, tapi matanya warna biru cerah, hampir menyamai mata Jessy. Mungkin dialah yang paling sopan dalam memakai pakaian kerajaan. Tak seperti Hellois tak mengancing jasnya. Lalu Reo yang hanya memakai setengah jas dan setengahnya lagi menggantung tak mau disentuh. Cello selalu menaati peraturan dan gaya pakaiannya agar tetap sempurna di depan dan belakang banyak orang. Tapi sayangnya, dia otak mesum yang mungkin tak pandai dia sembunyikan. Tampak saja dia terus memandangi kedua pundakku yang tak tertutup oleh sehelai kain pun. Aku ingin sekali mencongkel matanya, kalau aku ada kesempatan.

Hellois, Reo, dan Cello. Mereka punya nama yang menurutku cukup unik. Masing-masing nama memiliki huruf 'O' yang berbeda ruas. Hanya saja Reo dan Cello sama berada di bagian akhir huruf. Oh iya, aku lupa siapa nama Pangeran Delfidius yang kedua. Karena jarang bertemu, aku jadi tak sengaja melupakan namanya.

"Moune mencari ruang utama pertemuan raja? Mereka semua telah ada di sana. Mari aku antar kau ke sana," ajak Cello dengan etika yang hormat. "Ah, akan lebih baik jika pengawalmu itu tak ikut. Biarkan dia dengan Hellois dan Reo."

Aku menatapnya sinis. Kenapa dia tak mengizinkanku bersama dengan Jessy? Apa dia masih ingat kejadian beberapa minggu yang lalu dia gagal mendaratkan bibir menjijikkannya itu padaku? Gawat dia akan memojokkanku lagi. Aku tak ingin itu terjadi lagi. Tidak akan.

"Tidak. Aku akan mencari ruangannya dengan Jessy. Terima kasih," tolakku sesopan mungkin seraya berjalan cepat pergi. "Ikut aku, Jessy."

"Baik, Ratu," jawab Jessy dan segera menyusul berjalan di sampingku. "Oh iya, Ratu, tentang Anda ingin belajar pedang."

"Ya?" sahutku tetap mengarahkan wajahku ke depan. Oh benar, dia belum menjawab keinginanku belajar berpedang olehnya. Aku ingin tahu apa dia ingin mengajariku atau keberatan karena mengkhawatirkan keselamatanku yang seharusnya tak penting dipikirkan.

"Saya ingin mengajari Anda berpedang. Tapi, saya tak bisa menjadi guru berpedang Anda, karena ..."

"Karena?"

Aku menghentikan langkah disambut dengan langkah kaki Jessy juga ikut berhenti. Kami berdiri tepat di depan patung baju prajurit dari besi beserta satu senjata pedang. Hiasan istana memang selalu mencolok.

"Karena saya tak kompeten kalau menjadi seorang guru apalagi mengajar privat berpedang. Mungkin Anda memerlukan seorang guru berpedang yang cocok. Saya akan mencarikan guru berpedang untuk Anda di kota. Anda mau?"

"Aku akan pikirkan itu nanti. Kau tidak bisa mengajariku? Kupikir kau bisa mengajari satu orang saja berpedang untuk sekedar membagi ilmu berpedangmu yang sangat profesional itu."

"Maafkan saya, Ratu. Dalam menjadi seorang guru, saya tak sanggup. Dulu saat diajarkan Ayah saya pun, setiap tahun saya bisa mendapat satu gerakan pedang yang bisa dinilai sempurna. Itu pun rintangannya sangat sulit. Sampai saya tak tahu bagaimana saya mengajarkan Anda berpedang. Saya tak cocok menjadi guru."

"Oh, benarkah? Aku menduga kau akan menjadikanku seorang gadis berpedang yang kelak bisa menandingimu. Tapi, kau menolak dirimu sendiri menjadi seorang guru berpedangku."

"Sekali lagi saya minta maaf dan memohon ampun, Ratu."

Aku mendengus. Meskipun orang tersebut bisa melakukan sesuatu yang menjadi keahliannya, tapi tak semua orang bisa membagi keahliannya dengan cara mengajar. Mungkin Jessy termasuk orang yang tak bisa mengajari seseorang untuk membagi ilmu berpedangnya, sehebat apapun dia menguasai semua gerakannya, dia tak diutus sebagai penyebar.

"Tidak apa-apa. Lagi pula, aku sudah banyak urusan yang harus Ratumu ini bereskan. Tak ada waktu untuk latihan berpedang atau untuk latihan berdansa saja tidak ada waktu sedetik pun. Mungkin nanti jika ada kesempatan," kataku sedikit kecewa dengan jawaban Jessy dan kalimatku sendiri. "Jessy, kau boleh tinggalkan aku. Aku bisa mencari ruangannya sendiri."

Jessy membelalakkan mata biru kristalnya. "Tapi, Ratu, Anda yakin?"

"Apa kau melihat ada keraguan di wajahku ini?" Aku menatap tajam.

"Baiklah, Ratu. Sesuai permintaan Anda," kata Jessy mengalah pada akhirnya.

Aku mengangguk meyakinkan Jessy sekali lagi. Jessy membalas senyum dan berlalu pergi. Sebelum pergi, dia menunduk hormat padaku, kemudian berlenggang pergi entah mungkin ingin menemui tiga Pangeran Delfidius aneh itu—aku tidak peduli.

Sejujurnya, aku tidak mau ikut pertemuan raja karena membosankan. Saat berdiskusi, semua pasti memperebutkan siapa yang akan bicara duluan untuk mengemukakan pendapat tentang masalah yang sedang menimpa seperti kedatangan monster jelek pengganggu kota saat ini. Aku tak berniat masuk ke dalam ruangan penuh orang-orang dewasa itu. Lagi pula, aku merasa terasingkan di sana. Lebih baik aku jalan-jalan saja di wilayah istana serba biru ini. Hobiku berkeliling ke tempat luas dengan jalan kaki dari pada menggunakan alat transportasi.

Sejak tadi atau ini hanya perasaanku saja, diriku merasa risih. Bukan karena gaun kentatku ataupun sesaknya sepatu hak kaca yang aku kenakan. Bukan karena tidak percaya diri oleh kecolokkan kedua mata merahku dan rambut perakku. Bukan. Melainkan .... aku merasa dimata-matai.

Ya, dimata-matai. Diperhatikan secara sembunyi-sembunyi. Itu menggangguku. Aku yakin, aku sedang diperhatikan saat ini. Tapi, di mana dia? Siapa yang sedang memperhatikanku tanpa menampakkan diri di hadapanku? Pengecut sekali.

Sudah lama aku masih berdiri di lorong bertiang tabung tanpa dinding istana ini yang ternyata sudah tak dilalui oleh banyak tamu. Mungkin semua sudah berkumpul di satu ruangan luas yang seharusnya aku juga ada di sana.

Apa aku harus ke sana? Atau ... mencari tahu dari mana atmosfir mencekam ini berasal? Aku merasa horror setelah tahu aku berdiri sendirian di sepanjang lorong istana di sampingku tak jauh dari koridor istana ini, terdapat beberapa air mancur indah namun membosankan dan banyak semak-semak tumbuh subur menghias halaman istana. Tapi, di sini tidak ada pohon. Mungkin sudah mati layu dan lenyap karena kedinginan oleh hujan salju.

Hei, apa itu? Mataku tiba-tiba kesilauan setelah melihat secercah cahaya mengenai tepat ke pupil mataku.

Aku mengamati halaman istana yang dipenuhi semak-semak. Berjalan pelan agar aku tidak menginjak ujung gaun panjang menyebalkan yang kukenakan ini dan membelah semak-semak yang kuhampiri dan tidak memakan waktu yang lama aku menemukan sebuah cermin. Cermin bersudut emas lingkaran dengan gagang cermin berukir lilitan batang mawar. Benda kaca yang cantik. Tapi kenapa bisa ada di sini? Aneh sekali.

"Hei! Kenapa kau bisa menemukan cermin itu?? Seharusnya kau tak bisa melihat cermin Doorfan!"

Aku terkejut luar biasa karena merasa pekikan seorang lelaki itu seakan mengarah padaku. Tak tahu harus melangkah ke mana, karena aku merasakan orang yang menyahutku itu telah ada di belakangku. Pilihanku hanya membalikkan badan melihat siapa lelaki itu.

Cermin Doorfan? Nama yang aneh sekali. Hei, tunggu. Siapa dia?

Selesai aku membalikkan badan, ternyata benar dia laki-laki. Memang benar karena suaranya terdengar jelas khas pria bukan wanita. Dia memiliki mata merah yang mencolok dan rambut potongan pendek ala laki-laki biasa berwarna hitam kelam.

Sebentar. Apa yang aku lihat ini adalah benar? Matanya. Matanya MERAH! MERAH SEPERTIKU! INI TIDAK MASUK AKAL!! Aku pikir, hanya aku yang memiliki mata berwarna merah.

Kami berdua saling membelalakkan mata. Apa sejak tadi, dia yang mengawasiku selama ini? Tunggu, kenapa dia juga ikut terkejut melihatku? Bukankah ekspresinya tadi tidak menyenangkan karena aku telah menemukan cermin cantik ini?

Dia menunjuk jari telunjuknya ke arahku seraya mengeluarkan dua kata yang membuatku mengangguk iya tak tahu apa yang ingin aku katakan. Matanya yang membuatku beku kata. Merah sama sepertiku. Apa dia alien atau penyihir yang tersesat? Tidak mungkin. Lagi pula, dia tahu namaku.

"Ratu Moune?"

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top