Bagian 39 : Mawar Biru Pastel

Aku dan Celdo menatap tajam ke arah lelaki itu. Dia menghalangi jalan kami masuk ke dalam istana. Menyambut kami berdua dengan topeng badutnya.

“Selamat datang di istana Jeswel, Tuan Celdo Phantrom dan Nona Mouneletta Romanove,” ucap lelaki itu tanpa senyum. “Sebelum kalian memasuki istana Presiden, sesuai peraturan yang telah disahkan oleh Yang Mulia Presiden, kalian harus menjawab satu teka-teki dariku dengan benar. Jika salah, kalian akan mati.”

Aku menyungging senyum arti. “Oke, sebelum kau menyebutkan teka-teki darimu, aku ingin mengetahui, siapa namamu?”

“Namaku? Apa aku harus memberitahukan namaku? Untuk apa? Jika kita hanya akan bertemu sekali saja, memperkenalkan diri itu sama sekali tidak ada gunanya. Apa kau seorang penyihir? Kau lebih cocok disebut manusia. Mendengar nada dan gaya bicaramu, kau berekspresi layaknya manusia yang berinteraksi dengan manusia. Kita berwujud seperti manusia. Tapi, jika kau belum tahu, ada perbedaan besar antara manusia dengan penyihir.” Lelaki itu masih betah berdiri menghalangi pintu masuk, bicara padaku secara dingin namun terasa tak sama sejak aku pertama kali disambut kata-kata dingin oleh Celdo. Dingin tapi nada bicaranya tidak terlalu menekan. Dia orang yang tenang.

“Oh, baiklah, kau tidak mau memberitahukan namamu. Tapi, kenapa kau bisa mengetahui namaku dan Celdo? Bahkan kita baru pertama kali bertemu,” tanyaku lagi.

“Aku tahu karena aku selalu menggunakan kekuatanku, yaitu membaca pikiran seseorang. Dengan kekuatanku ini, aku bisa membaca semua data yang kalian miliki. Membaca dari pikiran kalian maupun itu dari dalam hati kalian. Aku bisa dengarkan dan ketahui semuanya,” jawabnya.

Membaca pikiran?! Aku pikir kekuatan itu tidak akan pernah ada. Ternyata, kekuatan seperti itu dimiliki oleh seorang laki-laki bertopeng badut. Kalau dia bisa membaca pikiran dan benakku, ini sulit. Aku tidak akan bisa berpikir santai.

“Sudah siap untuk menjawab teka-tekinya?” ucapnya.

“Sebelum aku datang pun, aku sudah siap dengan apapun yang akan aku hadapi. Tapi, aku ingin mengetahui namamu terlebih dahulu.”

“Kenapa kau bersikeras sekali ingin mengetahui namaku? Apa itu penting sekali untukmu?”

“Walaupun pertemuan kita hanya hari ini, aku tetap akan mengingat orang-orang yang telah berinteraksi denganku. Jika besoknya kita bertemu lagi, aku harus memanggilmu apa? Dan juga, kau mengetahui namaku. Tapi, aku tidak mengetahui namamu. Aku merasa tak adil. Hanya nama, bukan jawaban teka-tekimu.”

Dia diam menatapku datar. Menurunkan topeng badutnya yang selalu dia angkat ke samping wajah. Memejamkan mata sebentar, kemudian kembali membuka mata biru tersebut.

“Lysander. Itulah namaku. Apa kau bisa mengingat itu?” ucapnya kemudian memberitahu namanya. Aku tersenyum puas telah mengetahui namanya.

“Tentu saja aku bisa mengingat itu, Tuan Lysander,” balasku meraih tangannya untuk berjabat. “Namaku Mouneletta Romanove. Sekarang, aku lebih suka dipanggil Letta dibandingkan Moune.”

“Tidak perlu berjabat tangan segala. Itu aneh,” ucap Lysander melepaskan tangannya dari jabatanku dengan kikuk.

“Hahaha, rupanya kau bisa kikuk juga. Kau menarik. Oh iya, aku ingin tahu, sudah berapa lama kau menjadi bawahannya Presiden?”

“Sudah lama. Kira-kira dua tahun yang lalu. Tugasku hanya menjaga pintu istana. Jika ada yang mau masuk, aku harus membuat kata kunci atau teka-teki untuk orang yang ingin masuk ke dalam istana Jeswel.”

“Hmm, tugasmu lumayan sulit. Apa kau tidak lelah dengan semua itu?”

“Jika boleh jujur padamu, sebenarnya ini tugas yang menyulitkan. Kalau salah sedikit saja, aku akan dihukum oleh Presiden.”

“Hm, begitu.”

“Hei, kenapa kalian jadi mengobrol santai? Ayolah, kalian membuatku bosan! Lysander, sebutkan saja teka-tekinya dan abaikan saja basa-basi dari Letta! Dia memang kebiasaan berbicara panjang lebar dengan orang asing. Tidak tahu situasi.” Celdo memutar bola mata, mengalihkan pandangan dariku.

“Oke, aku memang perusak. Tapi, akan lebih santai jika kita saling berinteraksi dulu dengan musuh kita. Apa kau pernah mendengar kata ini : 'Musuh bisa menjadi teman jika kau pintar bicara'? Kini, aku sedang melawannya secara tak terang-terangan. Tapi, kau telah merusak rencanaku. Baiklah, Lysander, kau boleh sebutkan teka-tekinya.” Aku menatap tajam, lalu menghela napas lelah dengan sikap Celdo yang terbilang menyebalkan itu.

“Baiklah, aku akan mulaikan teka-tekinya. Apa maksud dari gaun hitam yang kau pakai?” Lysander menunjuk bajuku berwarna hitam semua.

“Hah?” Celdo membuka mulut lebar tak mengerti. “Pertanyaan macam apa itu?? Kalau itu pertanyaannya, cari jawabannya sendiri!” Sesuai dugaanku, Celdo kembali meledakkan emosi.

“Gaun ini? Awalnya, gaun ini berwarna biru. Tapi, saat aku mengeluarkan kekuatan apiku, gaun ini berubah warna menjadi hitam, seakan warna biru itu gosong oleh apiku sendiri,” ucapku memandang gaun hitam yang sekarang aku pakai. “Apa maksudnya, ya?”

“Kau hampir mendapatkan jawabannya,” ucap Lysander, membuat aku dan Celdo sama-sama tersentak. “Tinggal menentukan jawaban apa yang menurutmu benar.”

Aku menggaruk-garukkan kepalaku yang sebenarnya tidak gatal sama sekali. Bingung apa yang aku katakan barusan ternyata berkaitan dengan jawaban dari teka-teki tersebut. Dari perkataan Celdo, aku lumayan menyetujui pendapatnya. Teka-teki di dunia ini sangatlah tidak masuk akal. Jawabannya pun juga ikut tidak masuk akal.

Tunggu dulu. Tidak masuk akal? Jawaban yang tidak masuk akal? Dari teka-teki dari Lysander, maksud dari gaun hitam yang aku pakai sama sekali terdengar tak seperti teka-teki. Juga teka-teki dari orang yang berbeda-beda memberikanku teka-teki yang sama sekali tak aku pahami, malah bisa aku jawab dengan benar.

Hitam dan api. Apa maksudnya? Gaunku menjadi hitam perbuatan kekuatan apiku. Jika aku pikirkan lagi teka-teki Lysander, apa mungkin ... ah, aku tahu jawabannya. Namun, jika jawabanku salah, aku dan Celdo akan mati. Tidak. Itu tidak akan pernah terjadi, terlalu mustahil. Jawabanku akan membukakan pintu istana Jeswel. Itu harus terjadi. Jawabanku tidak akan pernah salah. Aku percaya dengan jawabanku.

“Jawabannya,” ucapku membuat Celdo menoleh padaku dan Lysander kembali menatapku datar, menunggu kalimatku yang selanjutnya, “maksudnya, gaunku menjadi hitam akibat emosi. Emosi telah mengendalikanku untuk mengeluarkan kekuatan apiku.”

Semua terdiam sebentar. Menit berikutnya, tiba-tiba saja tanah yang Celdo pijak meretak dan hancur, mengakibatkan Celdo terjatuh ke dasar lubang yang begitu gelap. Menyebut namanya saja aku tidak sempat, apalagi untuk memegang tangannya, sayang sekali tanganku tidak mampu menjangkaunya. Dia benar-benar jatuh, tidak, dia menghilang.

Aku bangkit dari dudukanku dari bibir lubang tanah yang lumayan besar dan berbahaya. Berjalan cepat ke arah Lysander dan meraih kerah bajunya. Mencengkram kerah baju berpita warna emas itu dengan emosi yang membuat rambutku kembali menjadi warna merah. Juga di sekeliling rambutku terdapat bola api kecil. Kekuatan esku juga ikut keluar. Kristal es milikku membalut kedua kaki Lysander hingga tak bisa bergerak. Mata merahku menyala, menatap mata biru milik Lysander begitu tajam dan penuh kemarahan.

“APA YANG KAU LAKUKAN PADA CELDO???”

Lysander tersenyum tipis. “Selamat. Kau telah menjawab teka-tekiku dengan benar. Hanya untukmu, aku mempersembahkan jalan menuju dalam istana Jeswel, menemui Yang Mulia Presiden.”

Pintu hitam itu membuka perlahan tanpa bantuan tangan orang lain. Secara ajaib, pintu itu terbuka secara sendirinya setelah Lysander berkata. Aku memandang jalan terbuka itu tanpa keinginan memasuki istana itu. Bukannya aku tidak ingin masuk ke sana, melainkan ada yang tidak beres. Kenapa hanya aku saja yang diperbolehkan memasuki istana? Di mana Celdo sekarang? Aku tidak akan masuk jika tidak ada Celdo.

“Kau pikir aku mau?” Aku menatap bengis.

Lysander menatap heran. “Apa maksudmu? Bukankah kau ingin masuk ke dalam istana Jeswel untuk menemui Yang Mulia Presiden? Atau, aku yang salah dengar?”

“Aku tanya, di mana Celdo? Kenapa dia—”

“Ah, aku bisa tahu dari tatapan itu. Bahkan, aku belum membaca pikiranmu yang sekarang. Emosimu sampai menampakkan apimu padaku. Kau marah hanya karena aku menyingkirkan Celdo Phantrom dari istana Jeswel. Kau tenang saja, dia tidak mati. Dia berada di suatu tempat yang tidak kau ketahui. Karena kau yang menjawab teka-tekiku, maka hanya ada satu orang itulah yang pantas masuk ke dalam istana. Letta, kaulah penyihir terkuat satu-satunya yang sampai di istana Jeswel. Mungkin, kau akan menjadi Presiden yang selanjutnya jika kau bisa mengalahkan Presiden yang sekarang.”

Aku mengangkat tangan kananku, mengendalikan kristal esku, hingga Lysander semakin terjerat. Sudah setengah tubuhnya tertutup oleh esku. Rambutku yang tadinya merah menjadi biru pastel. Mataku menyala biru. Gaunku berubah warna menjadi biru pastel bermotif keping salju. Masih mencengkram kerah baju Lysander, tanganku gatal ingin sekali mencekik lehernya. Aku ingin sekali membunuhnya.

“Kembalikan dia padaku. Kau tidak berhak menyimpannya dariku. Benar-benar lancang. Kau sudah berani denganku. Kembalikan dia padaku sebelum aku akan mengawetkanmu dengan esku,” ancamku.

“Kau ingin aku memberikannya padamu? Itu mudah. Aku akan mengantarkanmu kepadanya sekarang.” Lysander menjentikkan jari setelah berkata dengan senyumnya yang tipis dan penuh arti.

Tiba-tiba saja, kakiku tak lagi memijak tanah. Tubuhku jatuh ke dasar yang begitu dalam dan gelap. Hingga pada menit berikutnya, aku telah menginjak lantai yang keras. Semua begitu asing. Di sekitarku, hanya ada beberapa tiang hitam menemaniku. Mataku mengarah ke mana-mana mencari sosok Celdo. Dan tidak lama kemudian, aku melihat sesosok yang gelap. Namun, saat orang itu melangkah untuk mendekat ke arah cahaya yang ada, aku pun tahu siapa orang itu. Sepertinya Celdo, tapi kenapa topeng badut milik Lysander itu bisa berada di wajahnya?

Tanpa aku duga, Celdo langsung melesat padaku memakai kekuatan teleportasi, menghunuskan pedang putihnya. Mengarahkan pedang itu padaku. Dia menyerangku dengan cara menebas.

Lantas aku memakai pedang Doorfan untuk menangkis serangannya yang tidak aku percaya, bahwa dia akan menyerangku. Dia terus-terusan menggunakan pedangnya untuk melenyapkanku. Aku tidak mau menyerangnya, jadi aku hanya bisa menghindar dan menangkis.

Sampailah punggungku menabrak salah satu tiang, aku tak sempat mengelak, pedangnya pun akan menebasku. Tidak ada pilihan lain, aku memejamkan mata, berusaha menerima akhir yang tidak aku inginkan. Aku tidak menginginkan ini. Tidak mau. Tapi, bagaimana cara aku menolak ini? Apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin mati di tangan temanku sendiri. Dia telah dikendalikan oleh topeng itu. Pasti dari topeng badut yang dia pakai.

Aku tahu apa yang harus aku lakukan.

Tanpa membuka mata, aku mengarahkan pedangku menuju wajahnya, bermaksud menyingkirkan topeng itu darinya. Topeng itu pun lepas dan terbelah miring menjadi dua. Aku membuka mata dan menghela napas lega, bahwa aku bisa mengakhiri ini. Tanganku menjatuhkan pedang dan meraih tubuhnya yang jatuh ke depan. Pada saat itu juga, suatu tempat hitam yang kami masuki, berangsur-angsur berwarna putih. Bunga-bunga mawar biru pastel tumbuh di seluruh tempat dan mekar dengan indahnya.

“Syukurlah, kau baik-baik saja,” gumamku memeluk tubuhnya erat.

Celdo bersuara lemah. “Letta, maafkan aku. Aku hampir saja akan membun—”

“Berhenti. Jangan katakan itu, karena itu bukan salahmu. Aku akan membunuh Presiden itu sendiri. Jadi, kau istirahat saja.”

“Tapi, aku ingin melindungimu.”

“Kau sudah banyak sekali membantuku. Kini, giliranku yang akan melindungimu. Menurutlah padaku.”

Aku melepas pelukan dengan pelan. Memastikan Celdo bisa kembali bangkit tanpa bantuanku. Mata birunya yang kosong kini kembali hidup. Dia tampak terkejut melihat diriku.

“Hei, kenapa rambutmu menjadi biru seperti itu? Gaun dan bajumu juga? Woow,” ucap Celdo menyelidiki penampilanku dari ujung kaki sampai puncak kepala. “Cantik.”

“Aku?” Aku menunjuk diriku sendiri, tertegun oleh pujiannya.

“Siapa lagi? Tentu saja kau.” Celdo menatapku dengan tatapan aneh. Dia mengalihkan pandangan dan memperhatikan sekitar. “Ini di mana?”

“Entahlah, Lysander menjatuhkan kita di sini tanpa tahu ini tempat apa. Aku bingung. Awalnya, semua berwarna hitam, sekarang menjadi putih dan bunga-bunga mawar biru mekar tanpa rencana. Celdo?” Aku berhenti berkata melihat Celdo meneteskan air mata seraya memandang ladang bunga yang ada di depan.

“Mereka semua terlihat sepertimu. Biru pastel. Indah sekali,” ungkap Celdo.

“Tapi, kenapa kau menangis?” tanyaku masih heran dengan apa yang Celdo lakukan.

Celdo berjalan menuju salah satu bunga. Memetik bunga yang tidak punya kelopak lengkap, karena satu kelopak bunga itu baru saja lepas dan menghilang. Dia menghirup aroma bunga itu dan kembali menghampiriku.

“Bunga ini telah memberiku banyak keindahan dan aromanya. Berkat bunga ini, aku bisa kembali tenang hanya dengan melihatnya saja. Mirip sepertimu. Ah, bunga ini untukmu saja.” Celdo meletakkan bunga yang tadi dia petik ke pelipisku, menumpu pada daun telingaku. “Aku tak yakin, gadis cantik sepertimu menolak banyak lelaki yang bekerja keras melamarmu.”

Aku membelalak kaget. “Bagaimana kau bisa tahu tentang itu?”

“Peter yang memberitahuku,” jawab Celdo. “Kenapa kau menolak mereka?”

“Tentu saja aku menolak mereka, karena mereka tak pantas mendapatkanku. Mereka terlalu percaya diri karena memiliki banyak harta. Mereka pikir harta itu adalah segalanya? Sungguh naif. Aku tidak suka mereka.”

“Artinya, kau ingin hidup sendiri tanpa pasangan?”

“Awalnya, aku ingin seperti itu saja. Namun, sepertinya aku harus memikirkan hal itu sekali lagi.”

“Kenapa kau ingin memikirkan hal itu sekali lagi?”

“Karena hatiku merasakan bahwa aku harus memikirkan hal itu lagi. Bisa saja, aku telah mendapatkan seseorang yang cocok?” Aku mendekatkan diriku padanya. Menyentuh wajahnya dan menatap mata berbeda warna itu lekat. “Apa mungkin seseorang yang aku maksud itu adalah kau?”

Lantas saja, wajahnya begitu merah dari yang biasanya. Dia menepis tanganku dari wajahnya, lalu melangkah mundur dengan gelengan. Ekspresi garang itu kembali muncul. Menampakkan raut muka marah yang sebenarnya sedang menutupi rasa malu.

“H-hentikan itu. Aku tak suka,” ucapnya, membuatku langsung tertawa kencang sampai memegang perutku yang mulai tertekan akibat tertawa terlalu lama.

“Jangan berbohong pada dirimu sendiri. Kau tahu, itu tidak baik. Kau suka ungkapanku. Iya, kan??” godaku lagi melesat padanya menggunakan kekuatan teleportasi, kembali berada di depan matanya.

“Ungkapan? Itu bukan ungkapan! Kau hanya mengira-ngira dan itu sama sekali tidak pasti benar,” sanggah Celdo.

“Aku memang hanya mengira-ngira. Kalau aku ungkapkan, apa reaksimu akan lebih dari yang tadi? Hm, baiklah, akan aku katakan.”

“A-apa maksudmu?”

“Kau ingin ungkap—”

Tangan Celdo langsung membungkam mulutku, memotong kata-kataku yang belum selesai. “Kau merasakannya?”

“Murusukun upu?” tanyaku dengan keadaan mulut yang dibungkam.

“Ada seseorang, tidak, dua orang. Mereka akan ke sini sebentar lagi,” jawab Celdo mengamati sekitar. “Aku pikir tak ada orang selain kita di sini. Sebenarnya, ini di mana?”

Aku memaksa tangan Celdo lepas dari mulutku. “Jangan bungkam mulutku terus-terusan! Lagipula, aku tak merasakan apa-apa. Tapi, mereka siapa?”

Celdo memusatkan matanya pada dua orang asing yang menuju kemari. Yang satu perempuan berambut hitam panjang, dan yang satunya lagi lelaki berambut hitam. Gadis itu memakai baju kebesaran yang terlihat tak cocok untuknya. Sedangkan lelaki itu memakai baju yang menurutku biasa saja, kemeja putih berjas biru dan celana panjang hitam. Mereka terlihat seperti orang-orang penting. Aku tak merasakan keberadaan mereka akan menuju ke sini, namun dari mata mereka, sepertinya mereka tidak berbahaya.

Sampainya di depan kami, mereka berlutut dan menunduk, membuat kami terkejut sekaligus bingung. Lelaki itu pun berkata.

“Hormat kami pada calon pemimpin terbesar di Fantasy Land, Nona Mouneletta Romanove dan Tuan Celdo Planos. Atas keinginan kami berdua, kami akan mengawali kalian menuju singgasana Yang Mulia Presiden.”

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top