Bagian 38 : Gerbang Kelima
Sebuah bola api hampir saja mengenai kami berdua. Reflek Celdo mengeluarkan keberadaan pedangnya lalu menebas bola api itu menjadi dua bagian dan lenyap seketika tanpa debu yang tersisa.
Celdo menatap bengis lelaki yang menyambut kedatangan kami dengan bola api itu. Tidak hanya Celdo, aku juga ikut menatap bengis. Aku langsung mengubah cermin Doorfan menjadi pedang. Api sepertinya telah menjalar ke seluruh dalam tubuhku. Membakar rasa kemarahan tanpa ada yang mampu memadamkan apiku dengan air sedingin apapun.
Apiku bisa dikendalikan oleh kemarahan yang saat ini berkobar-kobar. Hanya dalam kepalan tangan tanpa mengangkat ke atas langit, api-apiku membelah menjadi beberapa cabang, berjalan cepat mendekat ke arah lelaki itu untuk melenyapkannya. Namun, aku tahu tidak akan berhasil semudah itu. Dia melompat terbang dari apiku dan turun mulus memijak tanah, sampai di depan mataku, menyentuh ujung daguku dengan senyum.
"Kau cantik."
"Tch. Menjijikkan."
Aku menepis tangannya dari daguku. Kaki kananku mengangkat tepat menuju bawah dagunya, bermaksud menendangnya karena sudah berani menyentuhku dengan tangan kotornya. Entah sejak kapan aku bisa mengangkat kakiku setinggi ukuran badanku, hasratku ingin menghajarnya benar-benar besar. Tubuhnya melesat mundur menghindari serangan dari kakiku. Aku menggeram murka.
Tidak akan aku biarkan dia hidup.
"Aku yang bermuka tampan ini dibilang menjijikkan? Ya ampun, apa kau sudah bosan hidup?" cerocos lelaki itu memainkan api-api di tangannya. "Ah, aku tahu. Kau sedang marah padaku. Kenapa kau marah?"
Aku lantas melesat ke belakangnya menggunakan kekuatan teleportasi. Menghunuskan pedangku ke belakangnya, tepat di kepalanya. Rambutku terambang oleh kekuatan apiku yang mulai mengubah ujung warna rambutku menjadi merah.
"Aku akan membunuhmu."
"Hm? Kenapa kau ingin membunuhku, wahai Ratu Mouneletta?"
"Diam! Kau tidak pantas menyebut gelar Ratuku ataupun namaku! Kau layak mendapatkan siksaan dariku dan dari Tuhan! Tidak akan aku biarkan kau lolos."
Dia tersenyum keartian. Badannya membalik sembari melilitkan pedang apinya pada pedangku. Hampir saja pedangku lepas. Rahangku mengeras. Genggaman pedangku makin keras. Ekspresi dan luapan marah memuncak seiring emosi yang kian menderas.
"Di Fantasy Land, penyihir dibagi atas warna mata yang mereka miliki. Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Masing-masing memiliki kelebihannya tersendiri dan kelas kekuatan yang bertingkat. Merah dan ungu adalah penyihir yang sudah melebihkan kata kuat. Kalian tahu, penjaga gerbang yang kedua sampai keempat adalah penjaga palsu. Sudah pernah dikatakan. Penjaga gerbang istana Jeswel tidak bisa dilewati semudah itu. Aku menyuruh mereka untuk berlibur dan mengganti mereka dengan para penyihir kelas tengah. Tidak seru jika kalian mati di gerbang kedua dan tidak menemuiku di sini, di gerbang kelima. Kalianlah yang akan aku bunuh, demi Yang Mulia Presiden."
Seketika aku mematung. Diam mendengar semua perkataannya. Dia telah mempermainkanku. Brengsek. Benar-benar brengsek.
Sstthh!!
Pedangnya nyaris saja menebas leherku. Celdo menarikku jauh dari pedang api itu. Namun, pedang itu memotong setengah rambutku menjadi pendek. Rambut perakku yang tergerai panjang, terpisah olehku. Sudah sekian lama aku memanjangkan rambutku dan berakhir terpotong oleh pedang. Aku sangat marah. Marah besar. Dia telah lancang memotong rambutku.
"Rambutku," lirihku memegang setengah rambutku yang terpotong pendek. Dan setelah itu, aku memekik padanya. "BERANINYA KAU MEMOTONG RAMBUTKU!!!"
"Ups!" Lelaki itu membungkam mulutnya sendiri, lalu tersenyum tanpa muka bersalah. "Aku tidak sengaja memotong rambutmu. Kalau kau tidak menghindar, rambutmu tidak akan mungkin mengenai pedangku. Kaulah yang salah."
"KUBUNUH KAU, PETER ORTORIA!!!" pekikku yang terakhir kali padanya.
Rambutku secara keseluruhan telah berubah pesat warna menjadi merah api. Ujung rambutku terdapat api-api kecil yang mengelilingi. Aku bisa merasakan mataku juga ikut menyala merah. Pedang yang aku genggam berubah warna menjadi api, pedang yang hampir sama dengan milik Peter. Hanya saja, warna merah dan jingga masih berada di pedang tersebut.
Baju gaunku juga ikut berubah pada model yang sedikit berbeda dan warna hitam telah menjadi warna penampilanku yang sekarang. Pedang Doorfan jadi bertambah warna, yaitu hitam.
Peter bersiul. "Kau semakin cantik dengan gaun hitam dan rambut merah itu. Tapi, apa kau bisa membunuhku dengan penampilan barumu itu?" Dia meremehkanku.
"Aku perintahkan padamu untuk mati sekarang juga," ucapku padanya sambil menunjukkan pedangku. "Karena kau mendukung atasanmu, Presiden, maka aku harus melihatmu lenyap dari dunia ini di depan mataku. Matilah."
Aku mengeluarkan kekuatan teleportasi, melangkah secepat kilat di depannya seraya mengarahkan pedangku ke perutnya, segera menusuknya dengan pedangku tanpa ragu lagi. Kekuatanku mengarahkanku untuk melenyapkannya, karena dia adalah penghalang dari jalanku untuk membalas dendam. Siapapun orang yang bekerja sama dengan Presiden itu, aku tidak akan segan membunuh orang itu. Dendam haruslah terbalaskan.
ZLEB!!
Pedangku berhasil menusuk perutnya sampai menembus ke belakang. Darahnya keluar deras mengotori pedangku yang masih menancap sangat dalam. Dia menjatuhkan pedang yang dia genggam setelah berhasil aku tusuk. Tangannya meraih wajahku dengan pergerakan tangan yang lemah. Matanya memandangku hangat tanpa ada kemarahan atas apa yang sudah aku lakukan. Wajahnya mendekat padaku. Mencium bibirku sebentar. Setelah itu, dia tersenyum lembut. Kata-kata terakhir darinya, membuatku tak tahu ingin mengatakan apa. Aku hanya diam menahan tubuhnya jatuh tak bernyawa padaku.
"Aku mencintaimu."
Tidak lama kemudian, tubuh Peter perlahan memudar dan menghilang meninggalkan pedangnya yang masih terbaring di tanah. Aku menghilangkan api yang menyala di sekelilingku. Tanganku meraih pedang milik Peter. Menancapkan pedang itu ke tanah dekat pohon yang rindang. Aku berlutut di depan pedang itu, lalu diam dalam pejaman mata.
Semoga dia tenang di sana.
Setelah aku berdo'a untuk kematian Peter, aku melihat Celdo berlari ke arahku, memelukku yang tidak sempat bangkit untuk kembali berdiri. Pelukan yang kasar namun hangat dirasakan. Rambutku yang merah perlahan memudar warna menjadi warna perak.
"Kau membunuh orang dengan kekuatan yang diberikan oleh orang tersebut," ucap Celdo padaku. "Sebelum kau menusuknya, apa kau sudah memikirkan perbuatan itu matang-matang?"
"Tentu saja aku sudah memikirkan perbuatanku itu sebelum bertindak. Jika dia tidak kubunuh, bisa-bisa kau yang akan terbunuh. Dan aku tak mau hal itu terjadi," jawabku melepas pelukannya dan meraih wajahnya, memberi senyum.
Celdo menjauhkan tanganku secara kasar dari wajahnya. Membuang muka dariku tanpa tahu apa alasan dia melakukan itu.
"Sebelum meninggal, dia meninggalkan pesan padamu. Apa tanggapanmu terhadap ungkapan sebagai kata-kata terakhirnya?"
Ah, aku tahu sekarang.
"Perasaan itu tidak akan bisa kita tanggapi dan diduga menggunakan logika saja. Hanya hati yang mampu mengerti dan menjawab itu. Aku tak memiliki perasaan apapun padanya. Jadi, mungkin lebih baiknya aku hanya bisa mengucapkan terima kasih. Sebagai tanda perdamaian, aku menancapkan pedangnya ke bawah pohon yang sejuk dan mendo'akannya."
"Tanda perdamaian?" Celdo menghadap pedang milik Peter. Ikut berlutut di sampingku, menutup kedua mata dengan wajah yang sedikit tertunduk. Aku terhenyak melihat dia melakukan itu. Dia sedang berdo'a untuk Peter. Tidak lama setelah melakukan itu, dia bangkit kembali. Menatapku yang masih berada dalam posisiku yang berlutut. "Kau tidak mau berdiri sekarang?"
Aku diam sebentar, menikmati angin yang berlalu, kemudian mulai menjawab.
"Aku hanya tidak percaya bahwa aku bisa membunuh orang lain. Ini pertama kalinya aku membunuh seseorang. Entah kenapa, aku tidak merasa lega ataupun puas, melainkan rasa kesedihan menyelusup masuk ke dalam pikiran dan jiwaku. Menyuruhku untuk menyesali perbuatan itu. Mengarahkanku berdiam diri tanpa pikiran. Aku tahu, dia telah salah mendukung Presiden dan aku membunuhnya sebagai musuhku. Hanya saja, sebenarnya, dia orang yang baik. Jika tak ada Presiden, mungkin ini semua takkan terjadi padanya, kau, dan semua yang pernah terkena masalah dengan Presiden. Dunia sangat jahat pada kita. Aku ingin dunia berakhir saja. Ini terlalu menyakitkan. Sangat menyakitkan."
"Maka, kau ingin balas dendam pada Presiden, kan?"
Angin menghembus lumayan kencang mengibarkan rambut kami yang mudah sekali terbuai oleh angin. Menari lembut di tempat tanpa meninggalkan tempat yang sudah menjadi rumahnya. Rambutku yang sudah menjadi warna perak sepenuhnya. Setengah dari rambutku terpotong menjadi pendek, aku sentuh lembut. Apa aku tidak cocok memiliki rambut yang panjang? Apa aku lebih cocok memiliki rambut pendek?
"Celdo," ucapku menyebut nama lelaki itu yang masih menatapku datar. Aku bangkit dari posisiku, menghadap padanya. "Setengah rambutku terpotong. Aku masih tak sudi. Bagaimana ini?"
"Pff! Hahaha!!"
Mendengar itu dari mulutku, dia tertawa renyah. Ekspresi datar dan serius itu lenyap seketika. Tawa yang terdengar seperti sedang mengejekku. Aku lantas memasang wajah lesu.
"Kenapa kau tanya padaku? Seharusnya kau tanya pada dirimu sendiri," balas Celdo disela tawanya yang membuatku sedikit kesal. "Kalau kau ingin memanjangkan rambutmu kembali, hanya ada satu cara. Potong rambutmu yang setengahnya lagi."
"Akh, menyebalkan. Kenapa harus terpotong, sih??" keluhku memandang rambut panjang dan pendekku. "Bagaimana jika setengah rambut panjangku tidak dipotong?"
Bukannya jawab, Celdo yang aku tanyai malah tertawa semakin terbahak-bahak. Aku yang kesal dengan hal itu langsung menghampiri dan menjambak rambutnya.
"Mari, aku botakkan rambutmu sampai tak ada yang tersisa."
"Ehh! Hahaha!! Jangan potong rambutku! Baik, baik. Aku berhenti tertawa. AA!! Sakit, jangan ditarik!"
Aku menghela napas. Tanganku melepaskan jambakan. Menjauh beberapa langkah dan kembali berpusat pada rambutku. Melihat dia mengelus-elus kepalanya sendiri sambil meringis kecil, membuatku ingin tertawa, tapi tidak jadi.
"Ibu pernah bilang padaku, kalau aku cantik dengan rambut panjang. Tapi, aku tak tahu tanggapan Ibu jika rambutku menjadi pendek," ucapku sambil membayangkan wajah Ibuku waktu masih hidup. "Apa Ibu akan senang dengan rambut pendekku?"
"Tentu saja Ibumu akan senang!" jawab Celdo lantas tanpa menunggu lama. "Apapun penampilanmu, Ibumu akan selalu setuju dengan apa yang kau miliki. Lagipula, rambutmu tidak akan pendek selamanya. Tidak lama pasti akan panjang kembali."
Aku masih memasang wajah lesu. "Tapi, aku tetap tidak menyukai rambut pendek. Ini menyebalkan."
Celdo mengangkat bahu. "Apa boleh buat. Kau harus terima itu. Daripada botak, itu lebih parah dibandingkan rambut pendek."
Aku mengangguk lesu. "Kau benar. Selain itu, saat tubuh Peter telah lenyap, aku menemukan ini di tanganku."
Tangan kananku membuka. Memperlihatkan sebuah bola kecil berwarna merah seukuran pupil mata pada Celdo. Aku tak tahu benda apa itu, namun melihat ekspresi Celdo, sepertinya dia mengetahui apa benda itu.
"Itu batu kekuatan api milik Peter yang tumbuh pada jantungnya. Kita juga punya batu itu di jantung kita. Jika kita mati, batu itu akan keluar dan melenyapkan tubuh kita. Seperti itulah penjelasan singkatnya," jelas Celdo.
"Jadi, harus aku apakan benda ini?"
"Hancurkan."
"Hancurkan?"
"Ya, sebelum batu itu menjadi warna hitam dan berbahaya."
"Oh, kalau itu yang kau katakan, akan aku hancurkan."
Batu merah seperti kaca yang indah dan berkilauan pada saat aku mengangkat benda ini ke atas langit. Namun, di balik benda yang indah, ada keburukan yang harus dilenyapkan. Maka, benda ini tidak bisa dipertahankan dengan lama.
Aku menghempaskan batu kaca itu ke dasar batu yang datar. Suara pecah terdengar begitu kasar. Benda itu sudah hancur berkeping-keping, meninggalkan serpihan kilauan merah dan lenyap entah kemana.
Kami berdua memandang serius sebuah istana serba hitam yang sudah tak jauh dari kami setelah melewati gerbang kelima, yaitu gerbang terakhir. Istana itu berdesain rumit. Ada banyak benda runcing dan hiasan jelek lainnya. Istana paling buruk yang pernah aku jumpai.
Istana Jeswel.
Tanpa basa-basi lagi, kami segera berlari cepat menuju pintu istana. Namun, tidak semudah itu kami bisa masuk ke dalam istana. Ada satu orang yang berada di depan pintu istana itu. Orang itu memakai topeng badut berpakaian warna emas.
Orang itu membuka topengnya. Ternyata seorang lelaki. Dengan tatapan tajam, dia menyambut kedatangan kami.
"Selamat datang di istana Jeswel, Tuan Celdo Phantrom dan Nona Mouneletta Romanove," ucap lelaki itu tanpa senyum. "Sebelum kalian memasuki istana Presiden, sesuai peraturan yang telah disahkan oleh Yang Mulia Presiden, kalian harus menjawab satu teka-teki dariku dengan benar. Jika salah, kalian akan mati."
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top