Bagian 37 : Gerbang Keempat
Pria itu menatap kami dengan dingin. Mata berwarna biru itu terlihat serasi dengan baju serba birunya yang tidak terlalu ramai. Ditambah topi biru yang dia pakai dengan posisi miring, menutup mata kanannya.
Dia memegang peliharannya itu dan mengelusnya lembut. Tidak lama setelah itu, dia kembali mengarah kami, terutama Celdo. Dia hanya fokus melihat Celdo. Tidak melihat ataupun menatapku sama sekali. Tidak ada.
"Celdo Phantrom. Atas perintah Yang Mulia Presiden, saya sebagai penjaga gerbang keempat diperintahkan untuk menjaga gerbang keempat dan membawamu ke hadapan Yang Mulia Presiden untuk menerima hukuman," ucapnya, membuatku kaget.
"Hukuman? Memangnya kesalahan apa yang sudah aku lakukan? Aku telah mendapatkan kutukan darinya. Lalu, hukuman apa lagi yang akan aku terima darinya?" Celdo terlihat begitu kesal dan frustasi dengan apa yang sudah disampaikan pria itu. "Riley, jawab aku. Apa yang sudah aku lakukan sehingga Presiden menginginkan aku menerima hukumannya?"
"Sebelum tamu Presiden datang ke Fantasy Land, yakni Mouneletta Romanove, semua yang tinggal di dunia ini diperintahkan untuk tidak membantunya bertemu dengan Presiden. Kau telah melanggar perintah itu. Maka, kau ketahuan telah melakukan itu dan hukuman dari Presiden telah menanti. Celdo Phantrom, kau adalah kelompok bermata ungu, penyihir terkuat yang bahkan lebih angkuh dibandingkan aku. Aku pikir kau tidak akan melanggar perintah ringan seperti itu. Namun, aku salah sangka. Rupanya, kau membantu Mouneletta Romanove mencapai istana Jeswel dan kalian sudah sampai sejauh ini. Aku kecewa padamu, Celdo Phantrom."
Wajah Celdo sedikit menunduk setelah apa yang dia dengarkan dari Riley. Sepertinya, Riley juga berada di kelompok penyihir yang sama, bermata ungu yang terdapat di sebelah mata kanan. Suasana menjadi hening seketika. Tidak lama, suara dan langkahku membelakangi Celdo tanpa gentar menghunuskan pedang kepada Riley.
"Celdo telah melanggar peraturan tersebut. Namun, jika ada orang yang ingin melindunginya dari bahaya atas apa yang telah Celdo lakukan, apa kau akan bertindak kasar?" tanyaku menatap tajam pada matanya yang tak kalah tajam.
Sekilas namun pasti, aku melihatnya tersenyum tipis. Dia memasang wajah yang lebih serius dan tajam dari yang sebelumnya. Hewan peliharaan itu tampak menggeram marah ingin mencabikku dengan kuku-kukunya. Namun, sang majikan menyuruhnya diam dan duduk.
"Aku tidak mau melukai seorang gadis. Apalagi, kau punya wajah yang cantik dan tubuh yang sempurna. Seakan kesempurnaanmu itu tak rela jika aku lukai dengan kekuatanku. Namun, jika kau menanyakan itu, maka aku akan jawab iya, karena perintah Presiden adalah mutlak. Kau akan aku habisi jika kau menghalangiku membawa Celdo Phantrom. Pikirkan baik-baik."
"Berpikir itu melelahkan. Lebih baik kau lawan saja aku sekarang," ucapku bosan dengan semua yang dia ucapkan, membuang-buang waktu.
Aku membuat cermin Doorfan menjadi pedang. Mengarahkan pedang pada Riley yang tidak memiliki senjata apapun. Tapi, dia menyebutkan kekuatan. Apa dia akan beradu kekuatan denganku?
Pedang ini terlihat berbeda dari yang sebelumnya sejak aku ubah. Terdapat garis berwarna merah dan jingga menyelimuti senjata ini. Aneh, tapi aku tak terlalu memerdulikannya.
Celdo terkejut melihatku menghalanginya dari Riley. Aku tidak akan membiarkan Riley membawa Celdo menuju istana Jeswel untuk diberikan hukuman hanya karena mendukung dan melindungiku. Harusnya, Celdo diberikan penghargaan, bukan hukuman. Apalagi, dia sudah mendapatkan kutukan yang cukup berat. Apa itu belum kurang untuk dinamakan sebagai sanksi atas kebersalahan yang dilakukan Celdo? Aku harus sampai di istana Jeswel bersama Celdo dan mengalahkan Presiden itu. Aku sudah janji, bahwa aku harus menang.
Siapapun yang menghalangiku, ataupun ada yang ingin melukai orang-orang yang mendukungku, aku akan menghadap orang itu dengan kekuatanku yang aku dapatkan sejauh ini. Kekuatan dari Celdo, Peter, Talia, dan kekuatanku sendiri.
Juga pedang yang tengah aku genggam. Aku akan mengabulkan keinginanku, mengangkat pedangku ke atas langit membawa kemenangan dan kedamaian. Selama aku bisa berdiri kokoh mempertahankan kerajaanku sendiri, bersama orang-orang yang sejauh ini terus mendukungku, aku tak akan pernah mundur. Tidak akan pernah. Kemenangan adalah kemutlakan Romanove. Tidak ada yang bisa merobohkan singgasanaku.
"Letta! Apa yang kau laku—"
"Aku melakukan apa yang ingin aku lakukan. Jadi, jangan ikut campur. Aku akan mengalahkan penjaga gerbang keempat ini sendirian. Sebentar lagi, kita akan sampai di istana Jeswel. Aku tak akan membiarkanmu tersiksa oleh Presiden dan kepada orang-orang kepercayaannya. Kau harus bersamaku sampai akhir. Giliranku yang akan melindungimu."
Diam. Dia tidak membalas kata-kataku yang tadi. Artinya, dia telah mengerti dengan apa yang aku lakukan saat ini, berhadapan dengan penjaga gerbang keempat, Riley. Dia terlihat kuat. Aku harus waspada, terutama oleh peliharaannya itu.
"Kau bisa melewati gerbang keempat. Tapi, kau harus berikan Celdo Phantrom padaku. Dia harus menuju ke istana Jeswel bersamaku sekarang juga," ucap Riley dingin.
"Meskipun kau memberikanku keringanan memperbolehkanku melewati gerbangmu, aku tetap tidak akan berikan dia padamu! Dia telah menjadi orang-orang setiaku! Kau tidak berhak menyuruhku memberikannya padamu! Kau tahu, aku adalah Ratu di dalam sebuah kerajaan terhormat. Aku bisa memerintahkan orang-orangku dengan apa yang aku inginkan. Seharusnya kau hormati aku, bukannya pada Presiden yang kau hormati saat ini! Jika aku mengalahkan atasanmu itu, kau pasti akan menundukkan tubuhmu itu padaku! Aku, Ratu Mouneletta dari kerajaan Romanove, menghukum dirimu dengan cara membunuhmu dengan kekuasaanku! Terimalah ini." Aku juga membalas dingin, kembali pada gaya bicara kebangsawananku.
Mendadak suhu di sekitar kami menjadi dingin sedingin es. Aku bisa merasakan mata merahku menyala terang. Aku menancapkan pedangku ke tanah, membuat retakan yang cepat berjalan membelah tanah dan menjadi es ke arah Riley. Beberapa es runcing tumbuh di bawah Riley, nyaris menancapnya dari bawah. Namun, dia berhasil menghindari seranganku.
Esku tidak sampai di situ. Aku mengendalikan esku mengejar Riley berlari ke mana pun. Dia menghindar lincah, begitu juga es-esku yang terus tumbuh melalui kekuatanku. Aku membuat suhu menjadi sangat dingin, namun aku sama sekali tak merasa kedinginan. Celdo terlihat kedinginan, memeluk dirinya sendiri untuk mendapatkan kehangatan. Sebelum hutan ini akan menjadi es, aku meraihnya ke dalam pelukanku agar dia tidak terpengaruh dari kekuatanku.
Mendadak saja aku kehilangan jejaknya. Sial, dia menghilang. Tapi, aku yakin dia tidak bermaksud kabur begitu saja. Lagipula ini baru saja dimulai. Mataku memandang siaga, berhati-hati jika ada serangan setitik pun.
"Letta, di belakangmu!" teriak Celdo membuatku reflek mengeluarkan kekuatan api ke belakangku.
Riley yang hampir saja akan menghantamku memakai kekuatannya, yaitu kekuatan petir. Dia begitu terkejut melihat kekuatanku yang satu ini. Dengan lincah dia menghindari semburan api yang muncul dari tanganku. Dia mendarat di salah satu dahan pohon. Rambut perakku menjadi sedikit merah pada ujung rambutku, karena efek dari kekuatan api dari Peter.
Aku memakai kekuatan teleportasi dari Celdo. Dengan kekuatan itu, aku memakainya dan sampailah aku di depan Riley secepat kilat tanpa memakan durasi sedikit pun. Aku membiarkan Celdo di bawah, karena kekuatan api telah melelehkan suhu es yang aku keluarkan sebelumnya.
Aku mengepalkan tangan, mendaratkan sebuah tinjuan yang amat keras ke wajah Riley. Dia jatuh dari dahan pohon, terpental jauh sampai pada punggungnya menabrak pohon. Dia terbatuk-batuk karena tubuhnya terhantam jatuh begitu keras. Lagi, aku memakai kekuatan teleportasi dan sampai di depannya.
Giliran kekuatan dari Talia. Aku melayangkan banyak batu di sekitarku. Batu-batu yang tidak kenal sakit jika aku lemparkan semuanya ke arah Riley. Sedangkan dia tampak membelalak kaget seolah tak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang.
"Ada berapa banyak kekuatan yang kau punya??" tanya Riley telah kelelahan setelah aku serang.
"Menurutmu? Tapi itu tak penting. Aku menang. Kau tidak boleh membawa Celdo bersamamu ke istana Jeswel. Aku akan ke istana itu bersamanya. Dan juga, aku akan segera membunuh Presiden itu. Bukakan gerbang keempatnya sekarang juga. Aku telah kehabisan waktu," jawabku sambil berjongkok mendekatinya, membetulkan topinya yang miring itu menjadi posisi yang rata. Setelah itu, aku mengubah pedangku menjadi cermin dan mengarahkan padanya. "Lihat dirimu. Kau lebih bagus kalau bertopi dengan posisi topi begini. Mata ungumu jadi terlihat lebih indah bersama mata birumu."
"Mmm," gumam Riley melihat bayangannya sendiri di cermin. Ada sedikit garis merah di kedua pipinya. Dia menjauhkan cermin Doorfan darinya, kemudian berdiri. "Aku tidak mengerti."
"Apa yang tidak kau mengerti?" tanyaku ikut bangkit dari jongkokkan.
"Kau. Aku merasakan kalau kau lebih tinggi dalam berkuasa dibandingkan Presiden. Kau lebih pantas menjadi seorang pemimpin dalam apapun. Aku telah berusaha membuatmu rugi karena telah menantangku, tapi aku malah kalah dengan seorang wanita sepertimu. Kau telah berhasil membuka gerbang keempat. Silahkan lewati gerbang keempat dan hadapilah gerbang terakhir. Aku mendukungmu menjadi pemimpin Fantasy Land yang selanjutnya, Mouneletta Romanove."
Riley berjalan menghampiri peliharaannya dan Celdo yang tengah menatapnya dengan sengiran mengejek.
"Rasakan. Kau telah dikalahkan oleh seorang wanita. Bagaimana rasanya?" tanya Celdo melipat kedua tangannya di depan dada.
"Rasanya aneh jika seorang wanita yang mengalahkanku. Tapi, aku merasa terhormat sudah dikalahkan oleh calon Presiden baru kita. Dia punya segalanya untuk memenangkan segala hal. Semoga dia bisa melindungi Fantasy Land seperti pemimpin Fantasy Land yang dulu, berhati murah dan lembut." Riley tersenyum tipis, mampu membuat Celdo juga ikut tersenyum.
Riley bersama peliharaannya pun berjalan menjauh dan lenyap karena jarak yang semakin menjauhkan. Tidak lama setelah itu, aku memegang tangan Celdo, membuatnya menoleh padaku.
"Kau boleh tinggalkan aku sekarang."
"Apa?"
Mendengar apa yang telah aku ucapkan, Celdo langsung memasang ekspresi bingung sekaligus heran. Dia membalas menggenggam tanganku.
"Apa maksudmu?? Kau telah berkata mengajakku balas dendam bersama menuju istana Jeswel membunuh Presiden. Mengatakan padaku menuju ke sana bersama. Tapi, apa yang telah kau katakan tadi? Kau menyuruhku pergi?? Aku tidak mengerti denganmu, Letta. Apa yang telah membuatmu mengatakan hal itu?"
Pertanyaan dari Celdo tidak aku jawab, aku malah menangis keras. Terduduk lemas tak kuat menahan tangisku yang tak bisa aku bendung. Tidak. Aku langsung menangis begitu saja tanpa ada tanda-tanda apapun dari mataku.
Celdo ikut mendudukkan diri. Kedua tanganku yang menutupi seluruh wajahku disentuh lembut oleh tangannya, menyuruhku membuka wajah. Aku menolak hal itu dan tetap menutup seluruh wajahku.
Lama sekali aku menutup wajah sambil menangis. Aku ragu untuk membuka wajah, entah aku tak tahu. Punggungku tiba-tiba tertindih sesuatu yang hangat. Seperti punggung seseorang yang sedang bersandar.
Hal itu aku beranikan diri membuka wajah yang basah penuh air mata. Perlahan, aku mengusap air mata yang ada. Menoleh pelan ke belakang, melihat Celdo sedang menyandarkan diri di punggungku.
Aku sampai tidak berani berkata apa-apa. Tapi mulutku ingin sekali mengatakan apa yang ingin aku katakan.
Sejujurnya, aku mulai khawatir padanya saat Riley mengatakan Presiden itu ingin menghukumnya, karena lebih memilih mendukungku. Aku tidak mengerti apa yang Presiden itu pikirkan. Tapi, sepertinya, Presiden itu sangat suka memberikan hukuman. Aku tidak mau jika Celdo diberikan hukuman mati seperti apa yang aku lihat di mimpinya waktu itu. Sangat kejam. Benar-benar kejam. Pemandangan yang paling aku benci.
"Sudah aku katakan padamu. Aku ingin ikut denganmu untuk melindungimu. Bukan oleh perintah paksaan siapa-siapa," ucap Celdo dari belakangku. "Awalnya, aku tidak tertarik dengan masalahmu dengan Presiden. Memilihmu menjadi bagian dari tamunya tahun ini. Tapi, kau tamu yang agak berbeda. Kau menampakkan kecolokkanmu yang tidak terlalu mencolok. Dari sifat dan sikap, kau mampu membuat orang-orang penasaran dengan dirimu. Dan kau telah mengajariku, bahwa sendirian itu lebih menyakitkan dibandingkan terluka."
"Aku hanya ta—"
"Bukankah sudah aku katakan jangan takut? Kau tidak cocok jika sedang takut seperti itu."
"Tapi, aku takut bukan karena aku tidak mau kau ikut denganku. Hanya, aku tidak ingin kau tertangkap oleh Presiden dan membunuhmu. Aku tidak mau itu. Tidak mau." Aku memegang kedua sisi kepalaku sambil menggeleng frustasi.
"Letta?" Celdo melihatku miris. "Jangan khawatirkan hal itu. Aku akan baik-baik saja."
"Aku punya firasat buruk tentang itu," ucapku lagi dengan putus asa kembali meneteskan air mata. "Aku takut ... kehilangan orang yang aku anggap sebagai keluargaku. Meninggalkanku begitu saja. Aku tidak ingin itu terulang lagi. Sudah cukup. Itu terlalu menyakitkan."
"Soal kematian, hanya Tuhan yang tahu, Letta!!'" ucap Celdo lantang, membuatku tersentak dan berhenti menjambak rambutku sendiri. "Kita tidak tahu. Kapan kita akan mati, dengan cara apa kita akan mati, kita tidak akan pernah tahu. Karena jika kita tahu, maka orang-orang akan panik dengan sisa kehidupannya sendiri. Kau tidak mau itu, kan?? Maka, JANGANLAH TAKUT SEPERTI PENGECUT SEPERTI ITU DASAR BODOH!!! DI MANA SEORANG LETTA YANG AKU KENAL???"
Kata-kata sederhana yang mampu membuat hatiku menghangat. Mataku melebar dan mulutku yang kelu. Aku telah terbungkam oleh kata-katanya. Mulutku mengukir senyum. Aku mengarahkan tangan kananku kepadanya untuk meraih wajahnya.
"Letta hanya ada satu. Dan kau sedang berada di depannya sekarang. Aku adalah Mouneletta Romanove, wanita bangsawan yang kau cari. Celdo Phantrom, kau mau menjadi Rajaku?"
Celdo membalas senyum. "Dengan senang hati, aku menolak."
"Hahahaha!!"
Lantas aku tertawa melihat ekspresi Celdo mendadak mengundangku untuk tertawa. Senyuman itu manis sekali, tapi tidak semanis kata-katanya barusan. Jawaban yang dingin sekali.
Aku mengelus-elus rambutnya. "Hei, hei, lagipula Rosel setuju kok kalau kita—"
"Oke, jangan bahas itu. Kau ingin melihatku muntah?" Lagi-lagi disahut dengan kata-kata yang menusuk. Dan sekali lagi aku tertawa kencang. Sedangkan dia hanya tertawa kecil.
"Nah, itu baru Letta yang aku kenal." Ucapan Celdo yang sederhana lagi-lagi membuatku diam. "Teruslah seperti itu. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan."
Kami diam dan terus diam dalam perjalanan, karena tidak ada yang dibicarakan. Sampai kami telah berada di gerbang yang kelima, gerbang terakhir. Gerbang itu berwarna hitam. Gerbang kali ini tak jauh letak dari gerbang keempat.
Sebuah bola api tiba-tiba saja hampir mengenai kami. Celdo lantas cepat membelah bola api itu dengan pedangnya menjadi dua dan lenyap tanpa jejak. Seketika kami menatap tak percaya pada orang yang bertugas menjaga gerbang kelima tersebut. Orang itu sedang berdiri seimbang di puncak gerbang. Aku tidak menyangka, rupanya dia yang menjaga gerbang kelima.
Tidak akan aku biarkan dia hidup.
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top