Bagian 36 : Jangan Takut
"Jadi, bagaimana cara kau membuktikan bahwa sebenarnya umurmu 18 tahun?"
Setelah terdiam lama dalam baringan kami di gulungan selimut masing-masing, pada akhirnya aku pun mengeluarkan pertanyaan yang selama ini aku pendam dalam diam. Tidak peduli apakah dia sudah tidur atau belum. Ya, kami tidur tidak berhadapan, alias saling membelakangi.
"Mau aku buktikan sekarang?" sahut Celdo, membuatku kaget setengah mati, karena aku pikir dia benar-benar tidur lantaran tubuhnya tidak menggeliat lagi setelah lama mengubah posisi baring.
Tubuhku mengubah posisi, menghadap padanya yang kini juga menghadapku. Kedua tangannya mengapit dan menumpu pada sebelah wajah yang terebah. Mata biru dan ungu itu menatapku serius, namun senyuman dan kerutan alis itu membuatku sedikit takut. Seakan, dia menantangku secara tak langsung. Anak ini mengerikan, ah tidak, dia, kan lebih tua dariku. Aduh, aku pusing sekali. Apa perlu aku menyebutnya Kakak? TIDAK.
Dia bangun dari rebahan. Duduk dan diam sebentar. Sedangkan aku masih terebah, tak ingin ikut bangun. Tubuhku sudah lelah untuk bangkit. Aku perlu istirahat penuh untuk menghadapi penjaga gerbang keempat besok. Namun, karena kata-kata Celdo terus terngiang di dalam pikiranku, rasa kantukku jadi tak terasa. Lagi pula, aku bukan penderita Insomnia.
"Kau punya cermin?" tanya Celdo.
"Untuk apa?" tanyaku balik.
"Kau ingin buktinya sekarang, kan? Nah, berikan dulu cermin padaku. Aku akan membuatmu lebih terkejut," jawab Celdo.
Sambil memasang pandangan aneh, aku melepas cincin yang aku kenakan. Batinku pun mengatakan pada benda ini untuk mengubah menjadi wujud yang asli, cermin Doorfan. Tidak lama cahaya mengelilingi cincin ini, sebuah cermin rias pun tergenggam di tanganku.
"Kau mau apa dengan cermin ini?" Tanyaku sembari menyerahkan cermin ini pada Celdo.
"Aku tahu tentang cermin ini. Cermin Doorfan dimiliki dari seorang Presiden yang sebelumnya. Aku dengar, cermin ini hanya bisa dilihat dan disentuh pertama kali oleh penerus pemimpin Fantasy Land yang selanjutnya," jawab Celdo yang sama sekali tidak nyambung dengan pertanyaanku.
"Aku tidak tanya hal itu. Tapi, katamu, cermin itu milik seorang Presiden sebelumnya? Maksudmu, cermin ini punya sejarahnya sendiri?" Terkaku.
"Aku akan jawab ya, karena cermin ini sebenarnya senjata agung yang bertujuan melindungi dunia Fantasy Land ini. Bukan sebagai berhias. Aku tidak tahu pasti kenapa senjata ini membentuk cermin. Namun, saat kau mengubah cermin ini menjadi pedang, bentuk pedang yang sebenarnya tidak seperti yang sering kau ubah. Bentuk pedang yang sebenarnya bergagang perak dan bertajam kristal es pelangi. Hanya orang berdarah pemimpin Fantasy Land asli saja yang bisa mewujudkan pedang indah seperti itu. Aku ingin sekali melihatnya secara langsung. Sepertinya, kau bisa melakukan itu."
"Sepertinya," gerutuku mengangkat bahu, tidak terlalu peduli dengan penjelasan itu. "Lalu, dengan cermin itu, apa yang bisa kau lakukan?"
"Karena cermin ini tidak biasa, maka cermin ini bisa menampakkan wajahku yang sebenarnya."
"A-apa maksudmu?"
"Kau bangunlah. Hanya sebentar saja. Kau ingin buktinya, kan?"
Entah kenapa, pertanyaan itu membuatku ketakutan. Aku yakin sekali dia tidak bohong dengan hal ini. Kalau dia benar-benar membuktikan dengan cermin, komentar apa yang akan aku keluarkan setelah dia berhasil membuktikannya?
Tidak tahu jawaban jika tidak membaca soal, namun aku memilih untuk tidak menjawab soal tersebut, karena soal itu berada di luar jangkauanku. Dengan kata lain, aku berusaha mengabaikan semua yang aku dan dia bahas dan mengubah posisi baring ke arah yang berlawanan.
"Letta? Kau kenap—"
"Tidak apa-apa. Lupakan saja apa yang tadi kita bahas. Aku sudah sangat mengantuk," potongku sambil mengeratkan selimutku.
"Kenapa nada bicaramu seperti itu? Kenapa kau terlihat marah padaku? Kenapa—"
"KARENA AKU SEDANG KESAAAL!!" potongku untuk yang kedua kalinya, karena sudah tak tahan dengan berbagai pertanyaannya yang terdengar monoton. Aku sampai beranjak duduk dari rebahan dan menatapnya murka. "Kau adalah makhluk yang paling menyebalkan yang pernah aku temui dan kukenal! Ya, ya, aku percaya padamu. Kau lebih tua dariku. Umurku 16 tahun dan kau tahu, itu menyebalkan sekali. Benar-benar menyebalkan! Oke!! Aku harus berhasil membunuh Presiden itu, sehingga kutukanmu itu lenyap dan dirimu kembali seperti semula! Pegang kata-kataku itu kuat-kuat! Aku akan membunuhnya!!"
Aku bingung sekali pada diriku sendiri. Kenapa aku malah marah-marah tidak jelas pada Celdo? Ahh, ini memalukan. Sepertinya aku sudah mulai gila lantaran terlalu berlama-lama di dunia ini.
"Maaf." Satu kata terucap dari mulut Celdo, dia menunduk seakan telah bersalah. "Aku sudah membuatmu terbebani. Tapi, biarkan aku bersamamu sebentar lagi. Setelah kau berhasil mengalahkan Presiden, aku tidak akan menampakkan diriku lagi di hadapanmu. Aku janji."
Rahangku mengeras setelah mendengar kata-katanya. Dia tidak mengerti maksudku. Membuatku semakin kesal saja. Aku merampas cermin Doorfan darinya. Mengubah wujud cermin itu menjadi sebuah gelang mutiara terpasang di pergelangan tangan kiriku.
"Kau memang membuatku terbebani. Namun, bukan berarti aku tidak ingin kau selalu bersamaku. Menyebalkan, bukan berarti aku tak suka," ucapku, membuat Celdo mengangkat wajahnya, kembali menatapku. "Kau tidak ingat? Aku mengulurkan tangan untukmu, mengajakmu ikut balas dendam bersamaku. Kenapa kau mendadak canggung padaku? Tidak perlu seperti itu. Kau sudah menjadi temanku. Aku hanya sedikit kesal kalau kau terlihat bisa membuktikan kenyataan tentang umurmu itu padaku."
Setelah itu, Celdo kembali tertunduk lagi dengan ekspresi penuh penyesalan. Apa lagi yang dia sesali?? Dia terlalu cepat mengambil kesimpulan. Kedua tangan itu meremas selimutnya.
"Maafkan aku, Letta. Seharusnya, aku ceritakan lebih dulu tentang identitasku yang sebenarnya. Namun, aku malah memberitahukan itu sekarang. Aku pikir itu tidak masalah bagimu jika diberitahukan nanti. Rupanya, kau marah setelah aku katakan tentang itu. Aku jadi merasa bersalah. Tapi, setidaknya, aku telah memberitahumu. Kau masih marah padaku?"
"Masih," jawabku cepat dengan memasang wajah bete. "Kau keterlaluan, Celdo. Padahal aku menyukai dirimu yang imut seperti ini. Ternyata, wujudmu yang sekarang ini adalah kutukan dari Presiden brengsek itu. Kalau kau berubah ke wujudmu yang sesungguhnya, rasanya terdengar tidak asik membayangkanmu bertubuh dewasa. Apalagi kalau itu akan menjadi nyata. Menyebalkan."
"Apa? Kau menyukaiku seperti ini? Jadi, kau berubah pikiran tidak jadi membunuh Presiden?" Celdo tersenyum miring dan menajamkan mata. Aku langsung menggelengkan kepala kuat-kuat.
"Aku akan tetap membunuh Presiden itu! Dengan membunuhnya, dendamku akan terbalaskan! Tidak ada alasan untuk mundur. Aku harus tetap maju dan melewati gerbang menyebalkan istana itu. Lihat saja. Aku akan menghabisinya dengan cermin Doorfan!"
"Oh. Aku pikir kau akan berubah pikiran setelah tahu kebenaran tentang umurku."
"Bodoh! Aku tidak akan terlalu ceroboh seperti itu! Walaupun nanti kau akan berubah, Celdo tetaplah Celdo! Bagiku, kau akan tetap sama saja! Sejauh apapun perbedaan wujudmu nanti, aku akan tetap mengenalmu seperti aku telah mengerti dirimu sekarang! Maka, jangan membuatku semakin kesal! Sudahlah! Aku mau tidur!!"
Tanpa memerdulikan dirinya lagi yang sedang mematung, aku segera kembali ke dalam selimut untuk mencoba tidur, karena perasaanku telah tenang setelah mengatakan kata-kata barusan. Begitu melegakan.
Tapi, saat aku akan berbaring, tangan Celdo menarik baju lenganku. Menahanku agar tidak berbaring. Astaga, ini sudah malam sekali dan tak lama lagi hari besok akan tiba. Namun, kami sama sekali tidak memejamkan mata untuk tidur satu menit pun. Aku tidak ingin membuang-buang waktu besok. Pokoknya, besok harus segera sampai di istana Presiden itu.
Aku menoleh dengan malas. Ingin menangkap kontak matanya, namun tidak bisa karena dia menunduk begitu tunduk. Tangan itu tetap mencengkram baju lenganku. Ada apa lagi dengan anak ini? Eh, salah, dia kan lebih tua dariku. Oke, aku tidak akan menganggapnya sebagai anak kecil lagi. Dia adalah Celdo. Oke.
Dia mendekatkan diri dan menyandarkan kepala dalam keadaan tertunduk ke lenganku, tepat pada dahinya, seolah akulah yang menjadi tiang paling setianya. Tangan itu perlahan memeluk lengan dan masih mencengkram lengan bajuku. Aneh sekali dia seperti ini, namun anehnya lagi, aku membiarkannya melakukan itu. Kami bergeming, tak ada yang berminat mengeluarkan suara.
Lama kami berdiam diri, Celdo berhenti mencengkram lengan bajuku. Tangan itu melesat menuju tanganku, menggenggam jemariku dengan erat namun terasa bergetar. Tangannya berkeringat dingin.
"Kita akan menghadapi penjaga gerbang keempat besok. Jangan begadang. Kita harus tidur sekarang atau besok kita bisa mengantuk di pagi hari," ucapku memecah keheningan. "Celdo, kau dengar aku?"
"Mm," gumamnya sebagai jawaban, namun dia tidak beranjak sama sekali. Aku menghela napas.
"Oke, hanya sebentar saja, kita tidak tidur dulu. Aku akan mendengarkanmu. Jadi, sekarang, coba jelaskan. Ada apa denganmu?" tanyaku sambil menjauhkan lenganku dari kepalanya dan mengangkat wajahnya dengan cara menangkupkan tanganku ke wajahnya agar aku bisa melihatnya lebih jelas dari sekadar memandang puncak kepala.
"Aku ... merindukan Ayah dan Ibu," jawab Celdo dengan nada pelan. "Aku tahu, mereka telah tiada. Menyisakan kenangan buruk yang sungguh menyakitkan. Tapi, aku yakin, mereka telah berada di surga—"
"Bersama dengan Ayah dan Ibuku juga."
Celdo tampak terkejut setelah aku potong kata-katanya. Mulutku otomatis memotong perkataannya yang belum tuntas. Sama dengannya, aku juga merindukan orang tuaku. Tapi, mereka pasti sedang berbahagia sekarang, karena mereka telah bebas dari ancaman dunia. Sedangkan anaknya, tengah hidup di dunia untuk balas dendam. Tidak tahu apa mereka akan senang dengan rencanaku ini ataukah tidak, aku akan tetap membunuh Presiden itu. Tidak ada yang boleh menghentikanku. Dendam haruslah terbalaskan.
"Aku masih bingung. Tentang makhluk yang telah berakhir dari kehidupannya. Setelah hidup, mereka mati. Lalu, mereka akan pergi ke mana? Ke surga? Neraka? Tempat macam apa itu?? Apakah itu dua tempat yang jauh lebih kejam daripada dunia ini? Aku tidak yakin mereka telah berada di mana. Tapi, kalau kau mengatakan surga adalah tempat yang penuh kebaikan tanpa kesakitan, tempat di mana kedua orang tua kita berada sekarang, aku masih bisa bernapas lega. Mereka berada di surga. Apa suatu hari nanti, kita juga akan menuju ke sana?"
Mulutku tersenyum tipis. Tangan kiriku bergerak, mengangkat menuju sebelah rambutnya, mulai mengelus rambut biru malam tersebut.
"Kenapa kau bingung dengan hal semacam itu, Celdo? Kalau kau bingung, sebaiknya kau anggukkan saja apa yang Tuhan namakan. Surga dan neraka. Tempat para makhluk yang telah melalui seluruh waktu kehidupan dan berakhir dengan kematian. Setiap makhluk, memiliki dosa dan kebaikan yang akan dihitung sebelum mereka akan menuju surga atau neraka. Kita tidak akan tahu akan masuk ke tempat mana setelah hari kehidupan. Namun, aku hanya bisa berharap. Semoga, Tuhan mengampuni semua dosa-dosaku, dosa orang tuaku, dan tidak akan pernah melupakan pencipta kita, yaitu Tuhan."
"Jadi, Ayah dan Ibuku baik-baik saja??" tanya Celdo setengah berteriak, sedikit membuatku kaget.
"Selama kau meminta ampun kepada Tuhan dan selalu memohon keselamatan untuk orang tuamu, mereka pasti akan baik-baik saja," jawabku.
Dia memejam sebentar dengan senyum damainya. Sedangkan aku memandangnya sedikit bingung.
"Syukurlah."
"Nah, sudah tenang sekarang? Apa kita bisa tidur?"
"Letta, kenapa kau bisa membuatku tenang?"
"Itu tergantung padamu terhadapku. Lagipula, pertanyaan macam apa itu?? Sudahlah, Celdo. Kau membuat kita tidur tengah malam. Apa kau ingin mengantuk besok hari?"
"Cih. Aku tahu, kok! Aku hanya ingin bicara denganmu lebih lama lagi. Tapi, kau selalu cerewet. Mirip sekali dengan ibu-ibu yang menyuruh anaknya tidur lebih awal agar tidak bangun kesiangan besok!" Celdo menatap malas. Aku menggeram kesal.
"Terserah! Kita akhiri pembicaraan ini! Tidur sekarang juga!!" bentakku.
Aku kembali menarik selimut, berbaring tenang, dan memejamkan kedua mata. Waktunya tidur. Celdo menyebalkan. Seharusnya aku sudah tidur nyenyak sekarang.
👑👑👑
Pagi pun menyingsing. Tak terasa waktu yang berjalan lambat, tapi terasa cepat sekali. Burung-burung berkicau merdu. Kupu-kupu menghampiri bunga-bunga yang bermekaran untuk diambil madunya. Angin pagi menerpa rumput dan dedaunan pohon. Hutan yang damai.
"TIDAAAKK!!!!"
"Letta! Kenapa kau teriak— ADUH!!"
Tanpa tahu malu, aku terbangun dari tidur dan keluar dari mimpi paling menyeramkan itu sampai teriak tanpa sengaja dengan degupan jantung yang begitu sesak. Tubuhku langsung saja menyibak selimut dan beranjak dari rebahan. Namun, betapa mirisnya kepalaku terhantup sangat keras tepat di jidat Celdo. Rasanya sakit sekali. Tentu saja, dia ikut kesakitan. Dia sampai jatuh terebah ke tanah.
Dia mengelus-elus bagian jidatnya yang merah sambil meringis dan sedikit mendecih. Aku tidak memerdulikannya dan hanya menyibukkan diriku dengan terus teringat mimpi tadi. Mimpi yang membawaku menuju masa lalu. Pada saat orang tuaku dibunuh. Kenapa aku harus memimpikan itu lagi? Sudah cukup. Aku tidak ingin mengingat itu lagi. Aku sudah muak.
"Letta, apa yang barusan kau mimpikan? Mukamu pucat. Hehe, mimpi buruk??" tunjuk Celdo dengan sengiran yang entah sejak kapan dia jadi sering sengar-sengir, malah membuatku ngeri lihatnya.
"Bahkan lebih buruk dari yang kau tebak," jawabku dengan anggukkan. "Ini yang kedua kalinya aku memimpikan hal yang sama. Namun, sebelum itu, aku pernah bermimpi bertemu dengan sang pembunuh orang tuaku. Di mimpi itu, dia berhasil melukaiku. Sudah jelas aku jauh lebih lemah dibandingkan dirinya yang begitu kuat. Benar-benar mengecewakan. Tapi, aku tidak mau mimpi itu menjadi nyata. Aku harus membuat mimpi itu menjadi sebuah kesalahan yang besar. Perasaan tegang dan takut ini sulit dihilangkan, namun sejak aku bisa melewati beberapa penjaga gerbang, bebanku terasa berangsur-angsur hilang. Celdo, jujur, aku merasa takut saat menghadapi ini. Rasanya aku seperti anak kecil yang tidak tahu apa-apa saja. Aku memerlukan sesuatu yang bisa membuatku betah berdiri. Sesuatu yang membuatku tidak merasa sendirian seperti dulu lagi."
"Jadi, apa yang kau perlukan?" tanya Celdo langsung ke inti sambil beranjak dari duduk. Namun, dia tidak berhasil berdiri setelah aku menangkap tubuhnya.
"Celdo."
"Y-ya??"
"Kau. Kaulah yang aku butuhkan sekarang. Kau tidak bisa melangkah mundur dan berlari jauh dariku. Kau memilih ikut bersamaku. Ikut membalaskan dendam kita bersama. Tanpa sadar, aku belajar banyak darimu. Mulai dari bagian penting sampai pada bagian yang tidak penting. Aku akan melepaskan kutukan yang tengah menggerogoti wujudmu ini. Tidak ada kata kekalahan. Kita harus menang. Membunuh Presiden itu."
"Jangan takut. Kau sama sekali tak cocok jika sedang takut," ucap Celdo membalas pelukanku. "Aku siap menerima diriku menjadi bagian dari senjatamu. Kau harus betah berdiri walaupun yang kau injak adalah pecahan kaca. Kau tidak sendirian. Ada aku. Dan yang lainnya mendo'akanmu dari jauh. Mereka menunggu kemenanganmu menjadi Presiden Fantasy Land yang selanjutnya. Percayalah, kau lebih cocok menjadi Presiden kami. Jika kau menjadi Presiden yang selanjutnya, aku ingin menjadi bagian dari prajurit utamamu selamanya. Dengan begitu, hidupku tidak akan menjadi sia-sia."
Aku begitu tertegun dengan semua ungkapan yang dia katakan dalam pelukannya, membuatku berhenti merasa takut oleh mimpi yang menimpa ingatan itu yang telah aku simpan dalam memori yang paling dalam. Mimpi itu memang sangat menakutkan, namun setelah mendengar perkataan Celdo, mimpi itu terasa seperti angin lalu. Dia berhasil menenangkanku.
Kehangatan yang nyaman juga membetahkan. Namun, dengan terpaksa aku melepas pelukan melihat seekor hewan raksasa seperti tikus berbulu putih abu-abu dan bermata merah hampir saja akan menerkam Celdo dengan cara menangkis kelima kuku yang tajam dan besar itu dengan cermin Doorfan yang langsung saja mengubah menjadi pedang di tanganku. Reflek aku mendorong Celdo ke dalam rengkuhanku agar dia menghindar.
Tidak lama Celdo berdiam dan berusaha menunggu otaknya menerima apa yang sedang terjadi, dia mendorong dirinya menjauh dariku dan membuang muka sambil menghunuskan pedang putihnya pada hewan tersebut.
"Berpedangmu semakin bagus. Pertahankan dan tingkatkan itu," ucap Celdo mulai sengit menatap hewan raksasa aneh yang tengah berada di depan kami.
"Baik, tapi ini baru awalnya. Aku ingin kau mengajariku lebih banyak. Hanya satu teknik seperti itu saja, rasanya tidak cukup," balasku.
"Aku tahu itu. Aku akan mengajarimu beberapa teknik berpedang lagi. Tapi, sebaiknya kita bereskan dulu bakteri ini." Celdo menyeringai. "Dia telah mengganggu kita. Apa kita masak saja dia sebagai sarapan?"
Aku juga ikut menyeringai. "Ide yang bagus."
"Maaf telah menghancurkan rencana kalian, tapi dia adalah peliharaanku. Kalian tidak aku perbolehkan kalian memakannya," ucap seorang pria muncul di samping hewan itu. Kami berdua menatap bingung sambil memasang posisi siaga.
Siapa dia?
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top