Bagian 35 : Kau Mau Ikut Balas Dendam Bersamaku?
Glouna tersenyum misteri. Dia berhasil melepaskan diri dari cengkramanku dengan mudah. Kembali menggunakan benang-benangnya. Bukan menggantung, kali ini dia berdiri seimbang di satu helai benang.
"Glouna Fherlas, penjaga gerbang ketiga."
Aku menatap tajam. "Aku tidak senang, karena kau telah membuat temanku juga terlarut dalam kekuatanmu. Karena aku menang, kau sebaiknya turuti perkataanku. Lepaskan dia."
"Kenapa kau begitu marah sekali? Apa dia orang yang berharga bagimu?"
"YA! Dia orang yang sangat berharga untukku! Dia menyebalkan dan arogan, namun sebenarnya dia adalah orang yang begitu baik terhadapku!"
"Ah, itu artinya, kau menyukainya?"
"Kau salah. Tidak menyukai, tidak juga mencintai, ataupun menyayangi. Aku tak tahu pasti. Yang jelas, aku tidak mau melihatnya tersiksa. Aku hanya ingin dia bahagia. Itu saja. Tidak lebih."
Glouna membelalak sebentar, lalu kembali pada senyumnya yang terbilang manis untuk seorang gadis sepertinya. Mungkin, umurnya tidak jauh dariku.
"Kata-kata yang manis. Kau telah membuatku terkesan terhadapmu. Kau punya hati yang tulus. Namun, kau tidak mengerti pada perasaan yang kau rasakan sekarang. Kekecewaanku hanya pada titik itu. Oke, aku akan menghilangkan kekuatanku dari mimpinya," ucap Glouna, diakhiri dengan jentikkan jari.
Suara jentikkan jari itu terdengar jelas dari jemari Glouna. Pada saat itu juga, benang-benang yang mengikat Celdo putus, melepaskannya dari ikatan tersebut. Aku menangkap tubuhnya, jatuh dalam tangkapanku yang tidak aku sangka bisa tepat. Dia masih dalam keadaan terpejam, ekspresi seseorang yang sedang tidur.
"Bagaimana cara aku membangunkannya? Lho? Ke mana dia? Sial."
Glouna telah menghilang, pergi entah kemana. Masa bodoh dengan gadis itu, lebih baik aku memikirkan cara agar Celdo bangun dari tidurnya. Apa dengan cara biasa, dia bisa bangun? Aku tak tahu. Namun, tak ada salahnya untuk mencoba.
"Celdo. Hei, Celdo, bangun," ucapku sambil menepuk-nepuk sebelah pipinya.
Tunggu. Ini masih malam. Apa tidak perlu aku bangunkan? Tapi, aku takut kekuatan Glouna masih membajak mimpinya.
"Celdo, aku mohon. Bangunlah," ucapku lagi berusaha membangunkannya.
Tidak ada tanda dia membuka mata untuk bangun. Aku mulai panik. Walaupun hati ini berusaha tidak memikirkan hal buruk, aku merasa tidak nyaman. Apa Glouna bohong padaku sudah menghilangkan kekuatannya dari mimpi Celdo?
"Aku harus masuk ke dalam mimpinya. Tapi, itu mustahil. Tunggu. Apa cermin Doorfan bisa membawaku ke sana?" pikirku sambil melihat jari manis kiriku terdapat cincin perak alias cermin Doorfan. "Tidak ada cara lain. Huh. Anak ini merepotkan saja. Seharusnya dia tidak perlu ikut."
Aku melepaskan cincin itu dari jari manisku. Setelah dilepas, cincin itu berubah menjadi sebuah cermin hias. Bentuk cermin Doorfan yang asli. Bayangan wajahku tampak di cermin itu. Aku menatap mataku sendiri. Lalu memejamkan mata sambil menggenggam tangkai cermin itu dan dahi Celdo.
Mulutku segera bersiap mengatakan sesuatu pada cermin, ya, seperti aku memerintahkan mesin alih tempat untuk membawaku pergi ke lokasi yang aku inginkan. Aku tak tahu pasti, tapi aku masih ingat isi surat dari Talia.
Cermin ini terus berubah wujud setiap hari dan bisa kau ubah sesuai keinginanmu. Kau bisa gunakan cermin ini untuk bertarung selain memandomu ke berbagai tempat yang akan membawamu.
Hanya itu yang bisa aku ingat. Tidak setiap hari. Cermin ini akhirnya menuruti keinginanku dan tidak semena-mena mengubah wujud secara mengejutkan seperti waktu dulu aku baru mengenal benda ini. Kalau cermin ini telah berhenti membawaku ke berbagai tempat, artinya, aku juga bisa mengendalikan kekuatan cermin ini. Pergi ke mana pun yang aku mau. Ahh, tidak, aku tidak akan pergi secara langsung ke istana Jeswel dengan cara licik seperti itu. Aku akan menggunakan cermin ini untuk masuk ke mimpi Celdo dan segera membangunkannya. Setelah itu, aku akan mengembalikan bentuk cermin ini ke bentuk cincin. Itu saja.
Belum sempat berkata, tiba-tiba saja aku merasakan diriku tak terduduk di tanah berumput ataupun angin luar yang dingin lagi. Mataku membuka perlahan. Betapa kagetnya aku sudah berada di tempat yang berbeda. Seperti berada di lapangan yang sangat luas dan terdapat banyak penonton duduk di sekeliling lapangan membentuk lingkaran.
Tidak hanya itu. Ada sepasang kursi tinggi tengah diduduki oleh seorang wanita bermahkota hitam. Wajahnya samar, karena aku melihatnya dari kejauhan. Banyak prajurit berpakaian baja hitam menjaga wanita itu. Di lain sisi, ada dua pasang alat pasung yang di atasnya terdapat logam besar dan tajam. Di alat pasung tersebut, mengapit seorang wanita yang tidak asing bagiku dan di sebelahnya seorang pria. Mereka berumur dewasa.
Tempat ini, seperti pelaksanaan hukuman untuk orang-orang yang bersalah. Tidak, aku merasa mereka yang tengah dipasung ini tidak punya salah apa-apa. Aku kenal wanita berambut biru malam itu. Betapa terkejutnya, aku sampai ingin jatuh dari posisi berdiriku.
Vione Planos, Ibunya Celdo. Dan pria itu sepertinya Ayahnya Celdo. Jadi, untuk apa mereka dipasung? Di mana Celdo sekarang? Aku harus mencarinya. Ini pasti mimpi buruknya. Ah, dasar Glouna! Kalau ketemu lagi, bakal aku hajar dia.
Aku berlari-lari mencari sosok anak merepotkan itu. Saking merepotkannya, aku jadi semakin mengkhawatirkannya. Sialan, tempat ini terlalu banyak orang dan membingungkan. Aku tidak bisa menemukannya. Tapi, aku tidak menyerah. Aku harus menemukan dan membawanya pergi dari mimpi ini. Kalau tidak, dia bisa mati tertidur dan aku akan terjebak di sini selamanya.
"Penggal kepala mereka SEKARANG!!" teriak wanita bermahkota hitam itu sembari mengulurkan tangan dengan tegas, bertanda perintahnya adalah mutlak.
"Tidak," ucapku lirih, tak terima melihat pemandangan mengerikan ini.
Semua ramai. Penonton bersorak-sorak ria melihat pasangan itu akan dipenggal. Benda tajam itu akan menghantam leher kedua orang itu. Memenggal kepala mereka.
TRAK!!
Benda logam itu jatuh tepat di leher mereka. Memisahkan kepala dari leher yang menghubungkan. Mematikan mereka berdua dalam sekejap. Sontak, penonton kembali riuh.
Tentu saja aku tidak ikut bersorak. Tanganku menutup mulut. Perutku terasa mual melihat darah itu bersimbah liar. Kedua kepala itu menggelinding dan diam tidak jauh dari asal tubuh. Kepalaku tiba-tiba pusing, namun tidak terlalu parah. Pemandangan yang mengerikan. Semoga Celdo tidak melihat hal ini.
"BRENGSEK! DASAR PRESIDEN BRENGSEK!! BAJINGAN!!!" teriak seorang anak laki-laki tepat di sampingku sambil menjambak rambutnya sendiri.
"Celdo?" Aku yakin, anak kecil ini adalah Celdo. Tubuhnya masih kecil sekitar umur 7-8 tahun. Tanganku memegang pundaknya.
Anak itu menoleh padaku dengan air mata yang berlinang. Mukanya mirip sekali dengan Celdo. Tidak salah lagi, dia Celdo. Dia menatapku kaget dengan air mata yang masih mengalir deras sekali. Keinginanku tak terkabul. Dia melihat pemandangan tadi. Sungguh menyedihkan.
"Letta?" ucapnya, menyebut namaku.
Setelah itu, dimensi pun beralih menjadi hitam. Tak ada lapangan berdarah itu lagi. Para penonton juga ikut menghilang. Juga wanita bermahkota itu. Dan sepertinya, wanita itu adalah Presiden. Terbukti dari Celdo menyebutnya dengan sebutan Presiden. Aku semakin benci dengan Presiden itu. Dia terlihat kejam dibandingkan penjahat-penjahat kelas atas lainnya.
Celdo juga beralih umur menjadi semula, anak remaja 13 tahun. Serta pakaiannya yang pada awalnya lusuh menjadi semula seperti pada waktu dia mengubah warna rambutnya menjadi perak, aku masih ingat itu.
Dia mengalihkan kontak mata, membuang muka dengan ekspresi yang pahit. Aku hanya bisa memandangnya sedih. Aku mengerti maksud dia. Dari yang aku lihat, dia menyaksikan kematian kedua orang tuanya sendiri. Sama sepertiku sejak aku masih kecil. Rasanya benar-benar sakit di dalam hati ini.
"Kau sudah lihat masa laluku. Orang tuaku dibunuh tanpa ada alasan bersalah apa-apa. Aku tidak mengerti. Kenapa Presiden itu bisa-bisanya memimpin dunia Fantasy Land ini? Dia terlihat tidak kompeten dalam soal memimpin apapun. Bahkan, pekerjaannya hanya mengumpulkan orang dan dibunuh. Tidak masuk akal!!" kata Celdo. "Karena itulah, Kak Rosel mengajakku ke dalam keluarganya. Orang tuanya juga dibunuh oleh Presiden brengsek itu. Presiden suka sekali membunuh orang-orang dewasa yang telah memiliki anak. Aku sama sekali tidak mengerti. Aku pikir, akan lebih baik jika dia saja yang mati. Aku sudah muak. Siapa saja. Tolong bunuh dia."
Aku terhenyak mendengar perkataan Celdo. Keinginanku bergerak ingin memeluk tubuhnya yang rapuh karena terhanyut akan masa lalu yang terlalu pahit. Memberi kehangatan padanya agar dia berhenti menangis. Memberitahunya untuk berhenti memikirkan masa lalu. Namun, tubuhku sama sekali tidak mampu aku gerakkan. Rasanya membekukan. Aku tahu, dia sama sepertiku. Tidak mempunyai orang tua, karena dibunuh oleh orang yang sama. Menyuburkan rasa kebencian yang sangat dalam. Menumbuhkan rasa dendam yang menyakitkan. Ingin mengakhiri rasa sakit ini dengan cara membunuh. Masa lalu tidak pernah bisa pudar dengan cara apapun. Namun, keinginanku membalas dendam semakin bergejolak.
"Kau laki-laki. Tidak mungkin laki-laki mudah menangis seperti itu. Berhenti menangis," suruhku tanpa mau mendekat padanya, meskipun keinginanku berlawanan. Aku ingin memeluknya. Tapi, kali ini tidak. Dia harus bangkit sendiri tanpa bantuan orang lain. Aku harus membuat hatinya kuat.
Dia mengusap air matanya sendiri dengan lengan. Menyisakan mata yang sembab, karena habis menangis. Dia kembali menatapku. Meskipun sembab, tapi aku bisa melihat kedua matanya berapi-api. Ada perasaan dendam pada dirinya.
"Kau sama sepertiku," ucapku sambil menangkupkan tangan kananku ke wajahnya yang sayu. "Masa lalu yang tidak akan pernah bisa terlupakan dalam benak kita. Membuat satu tujuan seolah akan puas setelah berhasil dilakukan, yaitu membunuh. Kau terjerat ke dalam rasa dendammu sendiri. Membawamu merasakan rasa benci dari kematian kedua orang tuamu yang tidak pernah kau harapkan. Kini, aku tahu kenapa aku masuk ke dunia ini. Memiliki sihir serta memberitahukan bahwa orang yang aku cari selama ini ternyata ada di dunia ini. Rasa dendam akan sirna setelah aku bisa membunuh Presiden itu. Kau mau ikut balas dendam bersamaku?"
"Aku akan balas dendam. Bersamamu. Aku juga akan melindungimu, Letta. Menjadi perisaimu dari apapun yang ingin melukaimu. Tidak akan ada lagi yang mati dengan cara yang tidak lazim," jawab Celdo menyentuh tanganku yang tengah menangkup wajahnya.
Baguslah, dia kembali tenang. Aku bisa melihat mulutnya menggurat senyum. Dan sekarang, waktunya kembali bangun. Dengan berat hati, aku melepaskan tanganku darinya. Ralat. Aku menggenggam tangannya.
"Kita harus kembali," ucapku menjelaskan kenapa cincin yang ada di jari manisku bercahaya merah membuatnya bingung.
"Kau ke sini menggunakan kekuatan apa?" tanya Celdo.
"Ah, bukan. Itu berkat cermin Doorfan. Cermin itu tengah menjadi seperti ini. Cincin ini. Sengaja, hehe," jawabku.
"Apa kau akan menggunakan cermin itu lagi untuk menuju ke istana Jeswel?"
"Tidak akan. Itu terlalu mudah untuk seorang petualang amatir sepertiku. Kita akan menuju gerbang keempat dan mengalahkan penjaganya. Kemudian gerbang kelima. Sebentar lagi juga sampai."
Celdo tersenyum. Senyuman yang lebih cerah dari pada sebelumnya. Melihatnya, aku jadi merasa hangat dan tenang. Aku ikut tersenyum.
"Seperti yang aku harapkan," ucap Celdo tersenyum lebar padaku. "Oh iya, ada yang ingin aku beritahukan padamu."
Lantai hitam yang kami pijak perlahan mengeluarkan cahaya merah, kekuatan dari cermin Doorfan yang akan membawa kami ke tempat asal.
"Apa itu?" Sahutku.
"Waktu itu, aku mengucapkan sumpah serapah yang melebihkan kata 'brengsek' di depan Presiden. Lalu, dia pun mengutukku dengan kekuatannya," jawab Celdo.
"Mengutukmu?"
"Ya. Dia mengutukku tidak akan pernah tumbuh dewasa. Kau harus tahu ini. Umurku sekarang 18 tahun. Bukan 13 tahun. Seharusnya, tubuhku tidak kecil terus seperti ini. Kutukan ini terus bertahan seumur hidupku. Kecuali jika dia dibunuh, maka kutukanku ini akan hilang."
Mulutku seketika ternganga lebar. Sedangkan Celdo hanya memasang wajah polos dan datar. Dia santai sekali menjelaskan itu. Kemudian, reaksiku? Sungguh, aku benar-benar terkejut mendengar itu dari mulutnya. Dia dikutuk?! Apa ada hal seperti itu terjadi? Ah, memang dunia ini begitu aneh dan selalu menyatakan hal yang tidak masuk akal. Tapi, ada saja hal-hal yang tidak nyata menjadi kenyataan. Ini menggilakan.
Kami pun kembali ke dunia. Menginjak tanah dingin bertabur daun rontok. Melihat pemandangan dalam hutan lebat yang tidak mengerikan pada siang maupun malam, meskipun bulan lonjong itu memberikan cahaya yang entah kenapa bisa terang hampir seterang matahari.
"Be-berarti, kau lebih tua dariku?! TIDAAAKKK!!!!"
Seketika diriku shock setelah menunggu sampai 100% mencerna penjelasan Celdo. Oke, aku tidak bisa lagi menggodanya. Ini menyedihkan. Dia dua tahun lebih tua dariku. Mataku menatap tajam.
Aku perlu bukti.
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top