Bagian 33 : Gerbang Kedua

Gerbang kedua dijaga oleh sepasang saudara berambut perak sepertiku. Namun tidak bermata merah. Yang satu perempuan bermata biru, dan yang satunya lagi laki-laki bermata perak. Mereka berdua tidak punya kekuatan yang biasa digunakan untuk bertarung, artinya mereka akan menyuguhkanku sebuah teka-teki.

Yap, persis yang Varitya Lydian katakan. Kini, aku dan Celdo telah sampai di gerbang kedua. Gerbang tinggi itu berwarna biru bercampur perak. Pemandangan gerbang itu terhalang oleh dua sosok seorang pria dan gadis. Mereka berseragam hitam yang didampingi oleh warna biru dan putih. Sepertinya mereka memang bersaudara, tapi, gadis itu terus-terusan saja melengket pada lelaki tinggi berambut panjang itu.

Celdo telah lebih dulu bersiap dengan apa yang akan terjadi nanti, menghunuskan pedang. Sejak memulai perjalanan menuju gerbang kedua, kami berjalan dalam diam. Tidak ada pembicaraan yang perlu dibicarakan. Sampai pada akhirnya, dia pun bicara.

"Kita tidak akan pernah tahu apa yang musuh pikirkan terhadap kita. Mereka ramah, bersikap sahabat, baik hati, musuh tetaplah musuh. Bisa saja mereka berdua telah merencanakan sesuatu untuk tidak melewati gerbang kedua. Jika mereka memang tidak punya kekuatan, mereka bisa menggunakan senjata untuk menyerang," ucap Celdo memprediksikan apa yang dia pikirkan sekarang, terlalu antusias.

"Dan senjata yang akan mereka gunakan adalah teka-teki. Kita akan melewati gerbang kedua dengan cepat tanpa menggunakan senjata tajam, melainkan dengan logika," balasku sambil menurunkan tangan Celdo yang tengah memegang pedang. "Simpan pedangmu."

"Cih." Celdo menyimpan kembali pedang itu ke sarungnya, menuruti perintahku.

Kami mendekat ke arah dua bersaudara itu tengah berdiri membelakangi jalan yang terhalang oleh gerbang. Aku menangkap kedua pasang mata berbeda warna itu. Dengan senyum, aku pun berucap ramah.

"Selamat siang," sapaku pada mereka.

Celdo melongo mendengar sapaanku yang sok akrab, mencolok oleh senyumku terhadap orang asing. Terlihat tidak terima dengan caraku menyambut kehadiran kami sendiri oleh sapaan yang menggelikan. Sejujurnya, aku tidak suka bersikap ramah. Namun, apa boleh buat. Ini demi menerobos gerbang.

Gadis berkucir buntut kuda itu melepaskan pelukan dari lelaki tinggi itu. Berjalan lincah, kadang suka meloncat-loncat seperti anak-anak perusuh taman bermain, berhenti di depan Celdo. Gadis itu tersenyum lebar, kedua tangan itu menyerang Celdo dengan cubitan kecil di kedua pipi. Celdo yang diperlakukan seenaknya, melepaskan cubitan dari kedua pipi kasar dan bersembunyi di belakangku.

"Kenapa kau mencubitku?? Dilarang menyentuhku, atau aku bunuh kau!" ancam Celdo menghunuskan kembali pedangnya, kali ini dia arahkan pedang ke gadis itu.

"Kau imut! Dan juga tampan! Kau mau jadi pacarku?" Alih-alih menjawab, gadis itu malah melontarkan pertanyaan yang mengejutkanku.

"Kau pikir aku mau?? Jangan bermimpi tentang kemustahilan. Aku tidak mau! Menjauh dariku! Jangan mendekat!!"

"Huh. Ya sudah. Sepertinya kau lebih menyukai gadis bermata merah ini. Ah, selamat siang juga, Nona cantik!"

Gadis itu cemberut sebentar, kecewa oleh jawaban Celdo yang terbilang menyakitkan. Disuruh jaga jarak, pula. Ancaman Celdo mengundang takut, tapi sambil sembunyi di belakangku. Keren? Dia cuma anak remaja 13 tahun. Wajarlah kalau perilakunya masih anak-anak labil. Gadis itu menghadap padaku, tersenyum manis.

"Apa kau orang yang bertugas menjaga gerbang kedua?" tanyaku memastikan, walaupun aku tahu memang dia dan lelaki itu yang menjaga gerbang, siapa lagi. Aku cuma mau basa-basi.

"Iya, Nona cantik. Saya dan adik saya menjaga gerbang kedua seharian ini, dikarenakan ada seseorang yang ingin melewati lima gerbang istana Jeswel. Apakah Anda orangnya?" jawab gadis itu disertai pertanyaan, ikut memastikan dugaan.

"Iya. Aku adalah orang yang ingin melewati lima gerbang Jeswel. Gerbang pertama telah aku lewati. Dan sekarang, aku harus menghadapi kalian untuk melewati gerbang selanjutnya. Namun, aku tidak sendiri. Dia Celdo, temanku selama perjalanan ini menemaniku dan membantuku mengalahkan penjaga gerbang pertama," jawabku, memperkenalkan Celdo pada gadis itu. "Namaku Mouneletta Romanove."

"Celdo? Nama yang lucu! Dan, namamu itu panjang sekali, Nona Oune. Sepertinya Anda terlahir di keluarga yang terhormat. Saya bisa mencium aroma darah bangsawan pada diri Anda. Manis sekali." Gadis itu memutar-mutar ujung rambut dengan jari. "Perkenalkan, namaku Peiyya Grolldaxia. Dan adikku yang di sana itu bernama Zeiyya."

"Oune?" Aku mengernyitkan alis, sedikit berpikir.

"Apa Anda keberatan jika saya memanggilmu dengan sebutan Oune?" Peiyya memiringkan kepala.

"Hm, tidak. Kau boleh memanggilku Oune. Jadi, apa kami boleh melewati gerbang kedua?"

Mendadak, Celdo menghunuskan pedang lagi ke arah Peiyya. Kali ini dia tidak sembunyi. Dia membelakangiku, melindungiku seakan tidak sudi jika aku akan terkena serangan dan setitik sentuhan sedikit pun oleh Peiyya.

"Aku bisa merasakan aroma sosokmu yang sebenarnya. Kau vampir." Celdo menatap tajam, mengungkapkan identitas lain Peiyya. "Karena kau vampir, kau bisa mencium aroma darah Letta. Penciuman yang tajam. Aku heran, kenapa vampir suka sekali menghirup cairan merah seperti darah? Memuakkan sekali."

"Kau tidak akan mengerti vampir, karena kau seorang penyihir. Jika kau dilahirkan sebagai vampir, kau pasti tidak akan mengatakan itu." Peiyya membuka tangan, menyentuh pipi sampai dagu Celdo. "Darahmu sepertinya juga manis. Tapi, lebih lezat dan segar darah milik Nona Oune."

Celdo menjauhkan tangan Peiyya darinya, kembali menjaga jarak, terus siaga dengan pedang dan melindungiku.

"Jangan berharap kau akan mendapatkan darah kami, apalagi darah Letta. Aku bisa memenggal kepalamu itu dengan hanya sekali tebas. Sebaiknya kau jaga kata-katamu sebelum tangan ini bergerak menyerangmu," kata Celdo kembali mengancam tajam.

Peiyya tertawa. Dia menari-nari seperti anak-anak labil yang berbahagia, menghampiri lelaki tinggi bernama Zeiyya yang dia kenalkan sebagai adiknya itu. Tunggu. Adik?! Aku pikir dia itu kakaknya. Zeiyya tampak lebih tua dibandingkan Peiyya. Seperti antara ayah dan anak.

"Zeiyya! Kita kedatangan tamu!" seru Peiyya, menghambur peluk pada Zeiyya. "Mereka menyenangkan. Apa yang akan kita berikan?"

Zeiyya tersenyum pada kakaknya dan kami berdua. Menyambut kami dengan ramah sambil menerima pelukan Peiyya.

"Kita berikan mereka teka-teki -tentu saja," jawab Zeiyya. "Halo. Senang bisa bertemu dengan kalian berdua. Kalian ingin melewati gerbang kedua? Jika itu tujuan kalian, ada satu teka-teki yang harus kalian pecahkan. Jika jawabannya benar, kalian boleh melewati gerbang. Tapi, jika jawabannya salah, kalian tidak boleh masuk."

"Cih. Kenapa harus teka-teki, sih??" Celdo menggerutu, kembali menyimpan pedangnya.

"Kau boleh bertarung denganku, bermain adu panco. Kak Pei akan memberikan teka-teki pada gadismu itu untuk dijawab. Kau setuju?" Zeiyya membuat persetujuan pertarungan kepada Celdo.

"Setuju." Celdo menyeringai. Detik berikut, wajahnya memerah. "Aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Letta. Jangan asal menyebutkan."

Aku mendengar Peiyya cekikikkan melihat Celdo, menutup mulut dengan tangan. Dia menyenggolku, membisikkan sesuatu.

"Nona Oune, apa Anda tadi mendengar itu? Dia membantah perkataan Zeiyya, tapi kenapa wajahnya malu-malu begitu?? Rihihihi, dia imut sekali! Aku ingin sekali membawanya pulang! Kalian adalah pendatang gerbang kedua yang paling menyenangkan dalam sejarah kami. Hei, jika Anda bisa menjawab teka-teki saya, apa Anda mau sesuatu yang lebih mudah dari pada melewati tiga gerbang lagi?"

Aku memahami kata-kata Peiyya sebentar, setelah mengerti, aku pun membalas.

"Maksudmu, kau punya jalan pintas untuk sampai menuju istana Jeswel?" tanyaku memastikan.

"Setiap penjaga gerbang, termasuk orang-orang yang bekerja untuk Presiden, mempunyai satu portal khusus yang akan membawa tubuh kita langsung ke satu tempat, yaitu istana Jeswel. Portal itu digunakan untuk keadaan darurat jika ada laporan yang harus disampaikan kepada Presiden. Kau akan sampai menuju ke sana menggunakan portal itu tanpa menerobos tiga gerbang lagi. Itu membuang-buang waktu saja. Kau mau?"

Aku berpikir keras, menentukan jawaban dari jalan pintas yang diberikan Peiyya jika aku bisa menjawab teka-tekinya. Tapi, kalau menerima jalan pintas itu, aku takut Peiyya dan Zeiyya bisa saja dihukum atas perbuatan itu. Kepalaku menggeleng, membuat Peiyya tersentak oleh jawabanku.

"Aku tidak suka bermain di jalan yang salah. Sehebat apapun kita mengetahui jalan tikus untuk cepat sampai, bukankah itu termasuk perbuatan melanggar peraturan kejujuran kita? Itu tidaklah keren. Lagi pula, aku ingin sekali bertemu dan melawan tiga penjaga gerbang lagi, kalau aku berhasil mengalahkanmu. Kau baik sekali, tapi aku menolak tawaranmu memakai portal yang kau maksud. Baiklah, kau boleh langsung katakan pertanyaanmu. Aku sudah siap untuk berpikir," jawabku memutuskan.

"Anda menarik sekali, Nona Oune. Saya sampai terpana mendengar Anda mengatakan itu. Hatimu lebih memilih bertarung mati-matian dari pada diberikan keringanan oleh orang lain. Oke, ini dia pertanyaanku." Peiyya menjeda sebentar, lalu kembali melanjutkan, menyebutkan pertanyaan, "Perhatikan ini. Jika 1 = 4, 2 = 3, 3 = 4, 4 = 5, 5 = 4, 6 = 4, 7 = 5, 8 = 7, nomor sembilannya sama dengan berapa?"

Mataku terbelalak dan otomatis kepalaku pusing, tanganku menjambak sebelah rambutku. Mulai shock.

"K-kau bisa ulang pertanyaanmu?"

"Tentu saja! Nih, dengarkan benar-benar. Jika 1 = 4, 2 = 3, 3 = 4, 4 = 5, 5 = 4, 6 = 4, 7 = 5, 8 = 7, nomor sembilannya sama dengan berapa?"

Pertanyaan apa itu?? Matematika? Teka-teki? Aku harus jawab apa? Apa jawaban yang tepat? Aku tidak tahu. Kepalaku mengingat pelajaran Matematika yang selama ini aku kuasai waktu berada di Akademi Wonderland sebagai guru Matematika. Semakin diingat dan dipikirkan kembali, pusingku malah menjadi-jadi. Aku merasa pertanyaan Peiyya sama sekali tak tercantum dalam pelajaran Matematika pada bab manapun.

Bagaimana ini?

"Kau menyerah?" Pertanyaan dari Peiyya itu membuatku merasa diremehkan. Mataku menatap marah padanya.

"Aku belum mengeluhkan apa-apa padamu! Aku diam bukan berarti keputusanku menyerah begitu saja! Aku sedang berpikir. Dan kau tahu, otakku sama sekali tidak sampai dengan pertanyaanmu yang terbilang di luar teka-teki, melainkan ini seperti jebakan. Kau tidak berkeinginan memberikan petunjuk yang bisa mempermudahku menjawab ini tanpa bermaksud meminta jawaban?"

"Rihahaha! Itulah yang aku tunggu. Baik, aku akan beri kau petunjuk. Setelah aku jelaskan, kau jawab pertanyaanku," tawa Peiyya. Aku mengangguk pertanda menerima instruksinya. "Begini. Misalkan nomor sepuluh sama dengan berapa. Artinya, nomor sepuluh itu ada berapa huruf?"

Dahiku berkerut. Berpikir keras, pikir, pikir, dan sampai otakku menangkap maksud Peiyya, aku ber-oh panjang begitu nyaring, membuat Celdo dan Zeiyya yang tengah asik main adu panco mengalihkan keseriusan mereka, memandang penasaran.

"Aku tahu apa jawabannya! Sembilan sama dengan delapan!!"

Peiyya tersenyum lebar. Dia memalingkan wajah ke arah Zeiyya, mengangguk padanya. Zeiyya membalas dengan anggukan. Setelah itu, dia menjentikkan jari. Suara jentikkan itu begitu keras sampai menusuk gendang telinga, meskipun hanya sedetik. Gerbang kedua seketika terbuka tanpa bantuan tangan siapa-siapa. Terbuka secara ajaib, mempersembahkanku untuk masuk ke dalam, menghampiri gerbang berikutnya, yaitu gerbang ketiga.

"Selamat. Kalian telah berhasil membuat gerbang kedua terbuka. Semoga berhasil melewati gerbang selanjutnya!" kata Peiyya, menyebutkan kata-kata perpisahan sebelum aku dan Celdo masuk ke dalam melewati gerbang kedua. "Peiyya dan Zeiyya mendukung kalian! Kalahkan Presiden!!"

Aku tersenyum. Tidak hanya tersenyum oleh perkataan Peiyya, aku merasa heran. Kalau mereka berpihak pada Presiden, menjaga gerbang istana, kenapa mereka malah mendukung musuhnya? Apa mereka tidak mau orang itu terpilih menjadi Presiden? Ah, sudahlah. Tidak penting memikirkan hal itu.

Hal yang penting sekarang adalah melewati lima lapis gerbang istana Jeswel yang menghalangiku untuk melenyapkan Presiden. Tinggal tiga gerbang lagi.

Peiyya dan Zeiyya melambaikan tangan perpisahan pada kami. Celdo memutar kedua bola mata, tampak tidak peduli, langsung berlenggang mendahuluiku. Sedangkan aku membalas lambaian kedua bersaudara itu dengan senyuman lebar.

Dalam perjalanan menuju gerbang ketiga, sejak tadi Celdo terus-terusan memijat lengan kanannya sendiri. Pedangnya juga tak bertengger di pinggang lagi. Dia melenyapkan keberadaan pedang putih itu.

"Kenapa dengan lenganmu?" tanyaku sekadar basa-basi dan ingin tahu saja.

"Ototku tidak mengenakkan jika tidak diginikan. Tulangku terasa remuk dari dalam. Pokoknya tidak nyaman," jawab Celdo tanpa menoleh, sibuk menekan-nekan lengan yang dia maksud.

"Sepertinya kita harus menjeda perjalanan dulu. Hari sudah mulai kembali gelap. Malam akan segera menyingsing." Aku menghentikan langkah, meletakkan tas ke dasar tanah bertabur dedaunan. "Besok kita lanjutkan. Lenganmu pegal. Biar aku tebak. Itu akibat dari permainan adu pancomu bersama Zeiyya, kan?"

"Sudah lama aku tidak bermain adu panco. Makanya, lenganku terasa lembek untuk mengeluarkan energi besar, karena kebiasaan mengangkat pedang." Celdo langsung duduk di salah satu bawah pohon, bersandar di sana.

"Mau aku bantu memijat lenganmu?" Aku menyungging senyum.

"T-tidak perlu. Kau istirahat saja." Celdo membuang muka. Aku hanya tertawa kecil.

"Oke."

"Let."

"Hm?"

"Sini."

"Buat?"

"Ikutlah bersandar denganku."

Aku berjalan ke tempat Celdo bernaung di bawah pohon rindang. Diriku terhenyak seketika melihat Celdo memejamkan mata, berhenti memijat lengan. Ekspresi kedamaian dan sedikit angin yang menghembuskan beberapa helai rambut biru kemalamannya, membuat mataku terkunci, tak bisa berhenti memandangnya.

Kepalaku menggeleng kuat, menyadarkanku dari lamunan aneh. Aku segera duduk di sampingnya, ikut bersandar pada tubuh pohon. Punggungku bisa merasakan kesejukkan pohon yang bersuhu dingin. Mataku ikut terpejam menikmati angin.

"Celdo. Hei, kau tidak tidur, kan?"

"Kenapa memangnya?"

"Aku ingin memelukmu."

"Hentikan itu. Jangan mulai lagi, Letta."

Mulutku kembali tertawa kecil. Aku tahu dia malu diperlakukan manja, tapi, kalau aku memang butuh pelukan seseorang, kenapa dia menganggap aku tengah menggodanya? Dasar.

"Aku serius, Celdo," ucapku masih sedikit tertawa geli. "Tubuhku dingin sekali. Sangat dingin. Aku butuh kehangatan."

"Hah? Dingin?? Menurutku, angin di sini tidak sedingin yang kau katakan. Hei! Ada apa denganmu? Wajahmu pucat sekali!" Celdo memasang wajah panik saat melihat wajahku.

Tubuhku tiba-tiba tak sanggup lagi melakukan apapun. Rasanya seperti mengalami kelumpuhan. Tak sengaja, aku mendaratkan tubuhku pada Celdo. Aku bisa mencium bau tubuh khas Celdo yang tidak mengganggu indra penciuman sama sekali. Saat ini, tubuhnya adalah tempat bersandar ternyaman bagi tubuhku yang semakin kedinginan. Namun, beberapa hal yang membuatku bingung, diantaranya kepalaku pusing, napasku terengah-engah, dan penglihatan yang berangsur-angsur tidak stabil.

Celdo berusaha membuatku bangkit, tapi aku bersikeras untuk tetap berada dalam rengkuhan. Tubuhku terasa berat untuk bangkit sebentar saja. Aku perlu banyak waktu untuk kembali seperti sedia kala.

Telapak tangan Celdo yang hangat menyentuh dahi, pipi, kemudian tanganku. Detik berikutnya, dia sedikit memekik.

"Astaga, Letta! Kau demam!!"

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top