Bagian 32 : Ternyata Benar
Masih menonton mereka berdua bertarung di atas langit, yakni Celdo Phantrom melawan ... aku belum tahu nama gadis bersayap kelelawar itu.
Kadang-kadang langit menjadi biru dan tiba-tiba berubah menjadi merah darah. Itu efek dari masing-masing kekuatan mereka. Gadis itu tampak kuat dan tangguh dengan tombak petirnya. Sedangkan Celdo masih betah dengan pedang putihnya. Mereka terlihat seimbang.
Aku melirik jam tangan yang mengelilingi pergelangan tangan kiriku. Hampir satu jam mereka bertarung dan tidak ada salah satu diantara mereka yang tumbang sama sekali.
Oh, bodoh sekali aku. Untuk apa aku duduk-duduk tidak jelas di sini? Lebih baik aku melewati mereka yang tengah bermain dan menuju gerbang kedua. Ya, itu cara yang bagus dibandingkan membuang-buang waktu menonton mereka sampai larut malam.
Aku kembali mengangkat tas coklat pucatku yang berisi selimut gulung dan makanan. Tas ini selalu ada di belakangku dan bebannya tidak terlalu berat untuk aku gendong setiap perjalanan. Jadi tidak masalah.
Celdo juga membawa tasnya sendiri. Dan sepertinya dia meninggalkan tasnya sebelum dia melawan gadis kelelawar itu di atas tanah berumput. Aku tidak ingin membawa tas miliknya, jadi aku hanya meloncati tasnya dan berlalu santai.
DRUKKKSS!!!
Sebentar aku terkejut melihat gadis kelelawar itu jatuh tepat di depan kakiku. Pendaratannya itu membuat tanah yang dia tindih menjadi bekas cetak tubuhnya yang tidak jelas, terlihat seperti lubang dasar saja.
Mendadak Celdo muncul oleh kekuatan teleportasi, menodongkan ujung pedangnya pada ceruk leher gadis itu. Seringai gadis itu seperti ringisan yang telah mengaku kalah. Sedangkan Celdo datar-datar saja. Pemenang akhirnya telah ditemukan setelah sekian waktu yang berlalu.
"Aku sudah janji dengan Letta, bahwa aku tidak akan membunuh siapapun lagi," ujar Celdo pada gadis itu. "Kau selamat, Varitya Lydian."
Benar juga. Aku sudah menyuruhnya untuk tidak membunuh orang lain lagi jika dia pernah membunuh orang sebelumnya ataukah tidak. Mulutku menyungging senyum mendengar dan melihat keantusiasan Celdo.
Jika kau memang pernah membunuh orang sebelumnya, aku ingin kau tidak membunuh orang lagi. Kalau kau tidak mau, anggap saja itu sebagai permintaan dariku.
Seingatku, aku hanya menyuruhnya untuk tidak membunuh orang lain, itu saja. Bukan membuat sebuah perjanjian agar dia tidak bisa membunuh orang lain. Namun, dia telah mengatakan padaku sebelumnya kalau dia tidak akan membunuh. Mungkin sama saja dia telah membuat janji sumpah padaku.
Gadis bernama Varitya itu tampak tegang dan pucat sekali saat pedang Celdo telah berada dekat sekali pada ceruk lehernya. Jika dia bangun, pedang itu bisa menusuk lehernya dengan sekali bangun. Sedangkan Celdo, dia masih menatap Varitya dengan tatapan murka. Sepertinya dia ingin melenyapkan Varitya, namun dia urungkan berkat suruhanku.
Aku harus melegakan suasana. Cara yang paling mudah adalah membuat suasana yang baru. Kakiku berjalan mengendap-endap menuju belakang punggung Celdo. Varitya tampak memperhatikan gerakanku. Lantas jari telunjukku memberikan isyarat 'jangan berisik' di depan bibirku pada Varitya. Dia mengerti dengan maksudku, baguslah.
Sampainya aku di belakang Celdo dan yang pasti tanpa sepengetahuannya, aku menangkap tubuhnya dengan cara pelukan manisku sembari mengacak-acak rambut biru malamnya.
"Sudah selesai permainannya, Celdo??" tanyaku dengan nada yang dimanjakan. "Kau membuatku menunggu begitu lama!"
"Le-Letta!! Jangan sekarang!!" pekik Celdo terkejut dan panik karena dirinya telah ditangkap olehku dari belakang. "Lepaskan aku! Aku tidak mau diperlakukan anak-anak seperti ini terus!!"
Mendadak aku tersenyum jahat nan sadis. Bukan jahat betulan, hanya saja keluhannya itu membuatku berpikir akan suatu hal yang lebih menyenangkan dibandingkan memperlakukan Celdo sebagai anak yang paling imut sedunia.
"Oh? Jadi, kau tidak suka diperlakukan manja seperti anak-anak polos? Hm, kalau begitu, kau terlihat tidak berotak polos lagi, maka aku akan memperlakukanmu sebagai orang dewasa! Bagaimana, Celdoku tersayang??" godaku semakin parah, mendekatkan mulutku yang mencerocos tak penting di salah satu daun telinganya.
"A-AP-APA YANG KAU KATAKAN DASAR TIDAK TAHU MALU!!!!"
Celdo memberontak dalam pelukanku dan berhasil melepaskan diri. Astaga wajahnya merah sekali seperti terpanggang oleh sinar matahari.
Tiba-tiba aku mengganti peranku menjadi seorang gadis bodoh yang tidak bisa mengerti suatu hal kalau hanya dikatakan satu kali. Aku memiringkan kepala, menatapnya sok linglung.
"Aku memang tidak tahu malu," sahutku dengan heran versi bohongan yang bisa aku ekspresikan dari mimik wajahku.
Celdo menggeram kesal disertai rona merah pada hampir sekeliling wajahnya. Dia mati kosakata. Hanya diam melotot marah padaku. Aku menoleh ke arah Varitya, menghampirinya dan menawarkan uluran tangan untuk segera bangkit.
"Namamu Varitya, kan? Kau bisa berdiri?"
Varitya terdiam sebentar, memandang tangan kananku yang menuju ke arahnya yang masih terbaring sakit di atas tanah dan pasti rasanya tidak nyaman jika terus-terusan seperti itu. Tak berselang lama, dia menerima uluran tanganku. Aku menarik tangannya dan dia berusaha untuk bangkit. Akhirnya dia bisa berdiri sempurna, dengan sayap hitam kelelawar membentang pada belakang punggung.
"Kenapa? Kenapa kau tak menghabisiku saja?" tanya Varitya keheranan dengan perlakuan baikku padanya. Aku tersenyum simpul.
"Karena kau bukanlah orang yang ingin aku bunuh. Kau tidak salah apa-apa. Tujuanmu menjaga gerbang saja, kan? Bukannya bertujuan menghabisiku. Aku akan kalah jika aku tidak menang melawanmu, tapi bocah di sana telah mengalahkanmu. Apa kau pernah kalah sebelumnya?" tanyaku.
"Kau berhati baik dan suci," puji Varitya sedikit menundukkan kepala. "Aku tak tahu harus memberikan apa karena kalian tidak ingin membunuhku. Juga ini yang pertama kali aku dikalahkan. Laki-laki itu sangat kuat. Dengan hanya sebuah pedang dan kekuatan teleportasi, kekuatan yang turun-menurun dari keluarga Planos telah membuatku kalah telak."
Keluarga ... Planos? Apa yang telah dia katakan tidak salah dengar, kan? Dia .. menyebut Celdo sebagai dari kelahiran keluarga Planos. Apa mungkin Celdo berada di keluarga Planos, tepatnya dari Ibunya yang bernama Vione Planos? Aku yakin sekali bahwa Celdo bukan dari keluarga Phantrom.
Aku memutuskan tidak menggubris perkataannya. Menarik tangan Celdo dan memeluknya dari belakang lagi dengan gemas. Celdo terlihat risih, namun dia tidak berusaha meronta lagi seperti tadi. Telah pasrah dengan perlakuanku.
"Celdo memang tidak bisa dikalahkan. Hanya aku yang bisa membuatnya kalah," ucapku tidak bosannya menjahili Celdo, masih memeluk Celdo dari belakang. "Oh iya, karena sudah mengalahkanmu, apa kami bisa melewati perbatasanmu dan menuju gerbang kedua?"
Varitya duduk di dasar tanah. Dia tampak kelelahan. Aku memutuskan melepaskan Celdo dariku, kembali menghampiri Varitya, memberikan sebotol air minumku.
"Apa kau haus?"
👑👑👑
Varitya Lydian, dia terlihat menyeramkan dengan sayap kelelawar dan tombak petirnya. Namun, aku menyuruhnya untuk menghilangkan sayapnya jika tidak digunakan. Dia tidak keberatan dengan hal itu dan menghilangkan keberadaan sayap kelelawarnya.
Aku pikir dia tidak punya hati baik, ternyata dia ramah dan suka bicara. Kini aku dan Varitya sedang membicarakan suatu hal yang berkaitan dengan gerbang kedua. Celdo hanya diam di sampingku tengah memainkan ujung rambutku. Sesekali dia bersandar di pohon yang kami berdua pilih untuk berteduh, mengubah posisi, kembali duduk di sampingku, dan sebagainya. Dia tidak bisa berdiam diri, namun mulutnya tertutup rapat lantaran tidak ingin ikut bicara.
Kata Varitya, gerbang kedua dijaga oleh sepasang saudara berambut perak sepertiku. Namun tidak bermata merah, yang satu perempuan bermata biru, dan yang satunya lagi laki-laki bermata perak. Mereka berdua tidak punya kekuatan yang biasa digunakan untun bertarung, artinya mereka akan menyuguhkanku sebuah teka-teki.
"Moune, kenapa kau ingin bertemu dengan Presiden?" tanya Varitya setelah beberapa menit bergeming.
"Karena aku punya urusan penting dengannya," jawabku seadanya. Aku malas menjelaskan alasanku ingin menemui Presiden.
"Oh ya? Urusan apa?" tanya Varitya lagi. Aku menghela napas. Harus kah aku jelaskan secara detail?
"Menurutmu?" ucapku sedikit bermain-main. Varitya tersenyum asimetris.
"Kau ingin membunuhnya?" tebak Varitya dengan seringai yang cukup mengerikan dilihat. "Kau berani sekali, Moune. Tapi jika kau berhasil membunuhnya, kau akan menjadi Presiden Fantasy Land yang selanjutnya."
"Aku tahu. Namun, bukan itu tujuanku membunuhnya," sahutku sembari meraih tangan kiri Celdo yang jahil sekali memainkan rambutku. Menangkap tubuhnya. "Kalau aku berhasil membunuhnya, aku akan merasa lega."
"Ugh," keluh Celdo yang kini ada dalam tangkapanku. Aku tidak peduli dan tetap menatap mata putih pucat milik Varitya.
"Kau mau balas dendam?" tebak Varitya lagi. Kali ini aku tak menjawab dengan ucapan, melainkan melalui seringaiku yang penuh dengan kemisterian. "Kalau begitu selamat berjuang untuk sampai di singgasana Presiden! Aku akan mendukungmu dari jauh. Dan .. oh! Terima kasih atas makanan dan minumanmu. Sejak kemarin aku tidak makan lantaran Presiden menyuruhku tak pulang dulu untuk menjaga gerbang pertama. Aku gagal melaksanakan tugasku. Mungkin sebentar lagi aku akan dipanggil ke hadapan Presiden dan segera menghukumku."
"Kau tidak akan dihukum!" tegasku pada Varitya, membuatnya beserta Celdo tampak tersentak. "Aku akan membunuhnya sebelum kau akan mendapatkan hari hukumanmu. Dia harus mati."
Varitya tersenyum. "Sepertinya aku mulai menyukaimu. Dari hasratmu ingin membunuhnya, aku jadi merasa lega. Jika kau yang akan menjadi Presiden, aku yakin dunia ini akan menjadi lebih baik dan indah dari pada ini. Kalau begitu, aku akan pulang ke istanaku. Semoga kalian tetap selamat sampai menang."
Dia kembali menampakkan keadaan sayap kelelawarnya, membentangkan, mengepak, dan akhirnya terbang menjauh, pergi dari hadapan kami. Setelah itu, aku kembali melihat Celdo.
"Kenapa kau memainkan rambutku terus, hah? Ini bukan mainan," ucapku sambil menjitak kepala Celdo.
"Memangnya kenapa? Aku tidak ada pekerjaan lain saat kau dan Varitya mengobrol! Huh, memainkan rambutmu saja tidak boleh!" balas Celdo mengusut kepalanya yang terkena jitakanku dan membuang muka dariku. Aku tertawa.
"Hahahaha, aku bercanda. Kau boleh perlakukan rambutku bagaimana kau akan memainkannya. Asalkan jangan dipotong. Oh ya, aku ingin bertanya satu hal," kataku sambil merangkul Celdo. "Siapa nama Ibumu?"
"Ibuku?" ulang Celdo menatapku heran. "Nama Ibuku Vione. Memangnya kenapa?"
Ternyata benar, dia dari keluarga Planos. Tidak ada hasilnya jika aku tidak menjawab pertanyaannya. Kalau aku telah bertanya siapa nama Ibunya, sudah pasti ada alasan aku menanyakan hal itu.
"Kemarin malam, aku bermimpi ada seorang gadis yang menyukai pohon sakura. Dia cantik, matanya berbeda warna, dan sepertinya itu adalah Ibumu. Dia juga menyebutkan namanya, Vione Planos," jelasku. Celdo menatapku terkejut.
"A-apa maksudmu kau memimpikan Ibuku? Dia masuk ke dalam mimpimu? Apa yang Ibuku inginkan darimu?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulut Celdo.
"Sebelum aku akan menjawab pertanyaanmu, kau harus jawab ini," balasku sambil memegang kedua bahunya. "Kenapa kau berada di keluarga Phantrom?"
Celdo menunduk, mengalihkan pandangannya dariku. Melihat itu aku mencengkram kedua bahunya lebih keras, membuat Celdo beraduh kecil.
"Ceritanya panjang. Aku tak bisa jelaskan sekarang. Dan kau tahu, aku sama sekali tidak tertarik untuk mengingat masa laluku yang terbilang menyakitkan. Mimpi burukku yang terwujud menjadi sebuah kenyataan pahit. Aku mohon padamu, aku ... tidak sanggup mengingat itu semua. Terlalu mengerikan," kata Celdo dalam tundukan.
Aku terdiam sebentar. Memandang anak lelaki berusia 13 tahun ini dengan rasa penasaranku terhadap masa lalunya. Tanganku melepaskan cengkeraman, berjalan menjauh.
"Ayo kembali berjalan, menuju gerbang kedua."
To be continue ...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top