Bagian 30 : Gadis Sakura Masuk ke Dalam Mimpiku

Satu pertanyaan yang terlantun di mulutku setelah aku mencerna satu hal yang aku lihat kini.

"Di mana aku sekarang?"

Aku tahu ini di mana. Di suatu tempat berwarna putih, mulai dari langit, semua sisi, dan tanah. Semua putih. Kecuali, pohon sakura yang tumbuh tak jauh dariku berdiri. Angin meniup kelopak sakura yang tumbuh sehingga banyak kelopak yang terlepas mengikuti angin dan melewatiku. Satu dan dua kelopak sakura bertengger di sela rambutku. Entah kenapa aku tidak mau menyapu kelopak sakura yang menghias rambutku. Seakan-akan kelopak ini adalah hiasan paling indah yang rugi jika disapu begitu saja.

Setelah aku bisa mendeskripsikan tempat putih ini, lalu, untuk apa aku di bawa ke sini? Bukankah tadi aku tidur bersama yang lain? Apa ini perbuatan cermin Doorfan lagi? Aku melihat cincin perak yang aku pakai pada jari manis kiriku. Polos dan berkilau. Aku yakin ini perbuatan cermin Doorfan yang suka seenaknya pindah dan pindah ke satu ke tempat hingga ke tempat lain. Tapi, aku tadi tidak menjawab teka-teki siapapun. Hm.

Apa yang harus aku lakukan di sini? Dan juga, apa hanya pohon sakura saja di sini? Apa hanya aku saja yang ada di tempat putih ini? Aku harus mencari sesuatu untuk keluar dari sini. Mungkin aku harus menghampiri pohon sakura itu. Hm, oke.

Kakiku mulai melangkah pelan menuju pohon sakura yang sedang dihembus oleh angin, termasuk rambutku. Sampainya di depan pohon sakura, tiba-tiba saja ada seseorang di dekat pohon itu. Dia sedang menyandarkan dirinya sambil mengangkat kedua tangannya setinggi bahu. Beberapa kelopak sakura terkumpul di kedua telapak tangan. Cantik. Senyumannya yang manis. Tidak ada aura berbahaya pada dirinya. Sepertinya dia orang baik. Apa hanya dia yang ada di sini? Tidak ada pilihan lain. Hanya dia yang bisa aku tanyakan.

Ambil napas dalam-dalam, lalu keluarkan. Merasa siap, aku melangkah ke arahnya walaupun masih sedikit ragu. Rambutnya biru sebiru malam yang hitam diikat turun satu. Kedua matanya tertutup memberi kesan kedamaian layaknya angin damai yang membawa jauh kelopak sakura. Dia memakai baju merah muda pastel bermotif pohon sakura dengan sehelai kain lebar berwarna merah yang mengelilingi seluruh bagian perut, pinggang, dan belakang. Kedua kakinya hanya memakai sendal kayu.

"P-permisi .." bodohnya aku malah gugup. Takut aku mengganggunya tidur- eh tunggu. Apa ada yang bisa tidur sambil berdiri? Bisa saja gadis ini bisa melakukan itu.

Gadis itu membuka kelopak matanya. Memandangku dengan senyumnya yang menenangkan. Tapi yang aku kejutkan adalah matanya. Ya, matanya berbeda warna. Yang satu berwarna biru pada mata kiri dan yang satunya lagi berwarna ungu pada mata kanan. Khayalanku pun sirna. Aku pikir matanya berwarna merah muda.

"Kau cantik." Dua kata terucap manis di mulutnya, kemudian kembali melanjutkan. "Matamu yang merah melambangkan keberanian dan kasih. Rambutmu yang perak melambangkan kesucian dan keberuntungan."

Aku diam dengan rasa yang tertegun mendengarnya bicara. Tapi, apa benar mata merahku melambangkan keberanian dan kasih? Bukannya kematian atau warna darah? Dan rambut perakku melambangkan kesucian dan keberuntungan? Apa maksudnya?

"Aku .." bingung. Apa yang harus aku katakan sekarang? Oh iya, tanya tempat. " .. ini ada di mana?"

"Kau adalah gadis yang beruntung. Kau disayangi oleh orang-orang di sekitarmu. Bagaimana menurutmu tentang itu?" Bukannya jawab pertanyaanku, dia malah bertanya tentang pendapatku.

Tidak. Aku bukanlah gadis beruntung. Hanya gadis berdosa yang menjerumuskan diriku sendiri ke dalam dasar gelap yang penuh dendam. Tidak ada yang mampu menyirnakan dendamku. Kecuali jika aku berhasil melenyapkan pembunuh orang tuaku. Aku harus membunuh Presiden itu. Harus.

"Mungkin kau salah orang," jawabku. "Kalau kau memang memujiku, apa alasanmu?"

Gadis itu tertawa kecil bersamaan terbangnya kelopak sakura yang ada di kedua telapak tangan. Seolah alam di sini juga ikut bahagia bersama gadis itu. Aku merasa dia jauh lebih cantik dariku.

"Aku sudah tahu kau pasti akan jawab begitu. Kau tidak bisa melihatnya, namun aku bisa melihat suatu cahaya bersinar pada dirimu. Kau sedang bahagia. Aku pun juga," katanya sembari memegang sebelah pipiku.

"Apa yang kau bicarakan? Aku tak mengerti," kataku bingung dengan semua yang gadis itu katakan. "Aku .. sedang bahagia? Aku bahkan tidak tahu apa yang aku rasakan sekarang."

"Kebingungan memang biasa dialami semua orang. Namun sesungguhnya, pikiran kita hanya fokus pada pertanyaan. Bukan hal yang dibicarakan. Dengan kata lain, sebagian orang selalu berpikiran sempit. Mereka menganggap suatu hal yang mudah menjadikan sebuah pertanyaan yang sulit dituntaskan. Pikiran dan perasaan yang sulit ditebak. Terutama perasaan cinta."

Dia mengelus sehelai rambut perakku sampai ujung, lalu berjalan menuju pohon sakura dan memegang badan pohon. Dia cocok jika berdampingan dengan pohon sakura, seperti dua pasangan serasi.

"Cinta?" ulangku tak mengerti, namun kata-katanya tadi membuatku terhipnotis sebentar, seakan dia berusaha menyadarkanku terhadap sesuatu, walaupun sedikit menyindirku.

"Ya. Cinta yang tidak bisa dimengerti, tapi sebenarnya perasaan itu telah kita mengerti oleh hati kita sendiri. Kita tidak mengerti karena selalu memahami dari pemikiran keras, bukan dengan kepala dingin dan hati yang tentram. Perasaan aneh yang tidak gampang dipresentasikan melalui pikiran, namun mampu dibuktikan melalui sifat, sikap dan keinginan. Seperti aku mempunyai rasa cinta yang sangat dalam terhadap seorang lelaki. Pada akhirnya aku bisa memilikinya dan dianugerahkan satu anak. Itulah satu bentuk dari cinta. Kau pernah jatuh cinta, Mouneletta?"

Aku tersentak setelah dia mengetahui namaku. Siapa dia? Kenapa dia bisa tahu namaku? Tidak aku sangka ternyata dia lebih tua dariku. Dia sudah punya suami dan satu anak. Ini yang kedua kalinya aku berpikir. Bagaimana jika aku sudah menikah nanti? Apa aku akan tetap muda seperti Brown dan dia? Memikirkan hal itu malah membuatku tambah pusing.

"Aku .. tidak punya perasaan seperti itu," jawabku datar. "Untuk apa kau menanyakan hal ini? Aku hanya gadis berdosa yang menginginkan dendamnya sirna dengan cara melenyapkan pembunuh orang tuaku. Tidak mungkin aku punya perasaan seperti itu. Jika memang aku akan jatuh cinta dengan seorang lelaki, itu hanya akan membebani diriku saja. Seperti aku terlalu sayang pada Ayah dan Ibu, namun dengan cepat mereka pergi dariku. Aku takut mengalami hal itu sekali lagi. Ditinggalkan. Aku ... hanya gadis lemah yang menginginkan kasih sayang. Memalukan. Bodoh. Tidak berguna."

Sekali lagi dia memegang sebelah pipiku, namun ditambah dengan usapan pada dekat mataku. Setetes air mata yang turun dari mataku telah diusapnya lembut. Senyuman itu sedikit pudar dari bibir cerinya. Kedua mata berbeda warna itu memancarkan kesedihan dari air mataku atau mungkin perkataanku. Angin terasa hampir berhenti, seolah ikut merasakan kesedihanku yang tak berarti untuk dikasihani.

"Kau akan mempunyai perasaan seperti yang aku rasakan. Dendam bukan berarti kau tidak bisa jatuh cinta pada satu lelaki. Kau menganggap hal itu adalah beban, tapi sebenarnya perasaan itu ialah hiasan permanen dari hati dan hidup sampai matimu. Kau ditinggalkan oleh orang yang kau sayangi, tapi kau tahu, mereka sebenarnya sedang melihatmu, mereka sedang berada di sampingmu, dan hatimu. Kau baik-baik saja, mereka sudah sangat bahagia, apalagi jika melihatmu bahagia. Kehidupan dipisahkan oleh kematian, tapi tidak jika hati akan mengingat segala yang ada tentang mereka. Itulah yang dinamakan kasih."

Pikiranku buntu. Apa yang harus aku katakan sebagai balasan dari ucapannya barusan? Yang bisa aku lakukan hanyalah bergeming. Mengalihkan pandangan mata ke arah baju sakuranya yang cantik. Tidak ada yang menginginkanku, apalagi dalam keadaan hidup. Cinta itu menggelikan. Perasaan bodoh yang hanya akan meresahkan dan menyiksa. Kehidupan memang dipisahkan oleh garis kematian. Lalu kematian ialah alasan dari perpisahan itu. Perpisahan yang mengundang tangis dan ketidaksetujuan hati. Maka, terciptalah sisi gelap.

"Siapa kau?" tanyaku penasaran. Mulai dari dia memuji mata dan rambutku, kata-kata, dan mengetahui namaku. Rasa penasaranku kian memuncak. Aku perlu jawaban.

"Vione Planos," jawabnya menyebutkan nama lengkap. "Tujuh tahun yang lalu, aku dihukum mati oleh Presiden bersama suamiku. Aku sudah mati."

DEG!!

Mati? Dia sudah mati? Jadi, yang ada di hadapanku ini ... hantu??! Ah, bukan. Tidak ada hantu secantik dia. Pasti dia bohong.

"Kau bercanda? Jika kau sudah mati, kenapa kau bisa ada di sini? Di hadapanku? Kau ... semacam hantu?" Bukannya menyanggah, aku malah bertanya apa dia itu semacam hantu atau sebagainya. Benar-benar tidak mengerti dengan diriku sendiri. Aneh. Mendengarnya terkekeh, aku jadi sedikit ngeri.

"Sebagai arwah. Tugasku hanya menemuimu dan berbincang beberapa hal di sini. Setelah aku merasa puas, aku akan pergi dan kau juga akan pergi dari tempat ini. Bisa dibilang, ini adalah mimpimu. Aku masuk ke dalam mimpimu dan mengendalikan dunia mimpimu ini menjadi seperti yang aku inginkan. Aku suka pohon sakura. Makanya aku membuat sebuah pohon sakura tumbuh. Aku ingin membicarakan tentang anakku padamu." Dia duduk di bawah damainya pohon sakura.

Aku pun juga ikut duduk di sampingnya, pertanda aku siap mendengarkannya bercerita tentang ... apa tadi? Anaknya? Untuk apa dia membicarakan anaknya padaku? Jauh-jauh dari alam lain hanya untuk membicarakan anaknya? Padaku? Oke, aku tidak mau mengeluarkan sepatah kata pun kali ini. Biarkan dia memuaskan dirinya untuk bercerita.

"Dulu saat dia masih bayi, dia lucuuu sekali. Aku sampai tidak bosan menggendongnya walaupun tangan sudah lelah sekali. Kedua pipinya yang menggembung alami, kulit putih bersih sebersih cahaya, rambutnya yang sehalus awan, dan matanya yang kian membuka setiap umurnya bertambah. Dia malaikat kami yang sangat berharga melebihkan dari apapun. Sebagai seorang Ibu, dia adalah sosok manis yang sangat aku tunggu. Termasuk suamiku, dia jauh lebih cengeng melihat bayi kami lahir ke dunia ini dengan sehat. Pangeran kecil kami yang berharga, sampai pada umurmya yang keenam, dia tampan seperti Ayahnya. Aku ingin kelak dia akan punya seorang istri yang bisa membuatnya bahagia."

Aku mendengarkan tiap kalimat demi kalimat yang dia lontarkan. Melihatnya memejamkan mata sambil bercerita, rasanya aku sedang berada di dalam kisahnya. Menonton setiap alur dan adegan yang bisa aku bayangkan oleh gambaranku. Keluarga yang bahagia. Itulah yang ada dibenakku. Dia pun kembali melantun setelah diam sebentar, membuka mata.

"Namun pada suatu hari ulang tahun anak kami, tidak tahu alasan yang jelas, aku dan suamiku diseret ke hadapan Presiden untuk diberikan hukuman mati. Yang aku tahu dari beberapa gossip, Presiden menyiksa rakyat Fantasy Land yang dia tunjuk untuk dijadikan sebuah hiburan. Penyiksaan dengan cara yang sangat keji. Terakhir kami berdua melihat anak kami ialah pada saat dia memakai seragam sekolah, menggendong tas kecil di kedua pundaknya, dan melambaikan tangan pada kami sebelum masuk ke dalam sekolah. Dia berkata 'Aku sayang Ayah dan Ibu!!!'"

Tes.

Sekali lagi aku meneteskan air mata. Bukannya dia yang nangis malah aku yang paling sedih di sini. Dia kuat sekali. Mungkin arwah tidak bisa menangis. Tapi, hatinya pasti penuh dengan kesedihan.

Ceritanya sungguh membuatku iba. Sekaligus marah oleh Presiden itu. Karena dia, kebahagiaan semua orang sirna. Aku mengusap air mataku sendiri. Tidak mau dibilang cengeng, sebaiknya aku juga harus belajar untuk kuat hati. Setelah mendengar ceritanya, dendamku oleh Presiden itu kian bertambah. Secepat mungkin aku harus membunuhnya, sebelum ada orang lain lagi yang terbunuh olehnya.

"Sepertinya dia anak yang baik," kataku mulai mengeluarkan beberapa kata yang bisa aku balaskan. Vione mengangguk setuju. Tentu saja.

"Dia juga pintar dan periang. Tapi sejak kami tidak ada lagi di dunia ini, cahayanya kian meredup dan menjadi gelap. Senyum manis itu telah sirna darinya. Kami sangat sedih melihatnya berubah seperti itu. Kami ingin dia selalu bahagia, walaupun tidak ada kami lagi di sampingnya, namun kami tetap bisa melihatnya. Mouneletta, tolong katakan padanya untuk tidak bersedih. Katakan padanya untuk berbahagia. Buatlah dia bahagia. Hanya kau yang bisa membuatnya bahagia, karena kaulah yang bisa membuatnya kembali seperti dulu. Kami akan terus menerangimu dan anak kami dari jalan gelap yang menghalangi. Kalian akan terus diberkati. Berbahagialah, untuk kami dan orang tuamu juga. Mouneletta."

Apa?? Siapa? Aku? Yang benar saja.

Mengatakan padanya untuk selalu bahagia? Tunggu. Apa aku kenal dengan anaknya? Memangnya siapa anaknya? Apa Vione salah masuk mimpi orang? Aku hanya bisa garuk-garuk kepala seakan tidak pernah mandi satu bulan. Buat bingung.

Mataku membelalak kaget melihat dirinya menjadi transparan. Keberadaannya mulai memudar secara perlahan. Masih duduk di sampingku, dia tersenyum ... dengan air mata. Belum terlalu lenyap, aku mengusap air matanya. Dia tersenyum lebar padaku. Aku ikut balas senyum.

"Aku merindunkannya. Sangat merindukannya. Anakku. Kau, jagalah dia. Buatlah dia bahagia, Mouneletta."

"Aku akan lakukan itu. Tapi .."

"Terima kasih. Terima kasih banyak."

Setelah dia mengucapkan itu, dia benar-benar hilang oleh sapuan kelopak sakura, seakan dia bagian dari kelopak sakura tersebut. Aku tidak sempat bertanya satu hal.

Siapa nama anaknya? Semoga dia tidak salah masuk mimpi orang. Dan tidak lama kemudian, kedua tangan serta kakiku memudar. Aku juga akan ikut pergi dari sini.

Aku akan segera bangun.

👑👑👑

Dua sampai tiga kali kedipan untuk membuat mataku jernih. Aku baru saja bangun dari tidur dalam posisi duduk yang lumayan membuat kedua pahaku pegal. Tunggu. Paha? Tentu saja. Rupanya Celdo masih tidur enak di pangkuanku. Salahku juga sih yang meletakkan kepalanya di pangkuanku.

Aku melihat sekitar. Semua pada masih tidur. Sepertinya hujan telah berhenti karena tidak ada lagi suara hentakan ribuan tetes air yang turun. Namun yang ngerinya, gua ini menjadi gelap. Sedikit terang oleh cahaya redup dari luar gua. Mungkin malam sudah lama tiba. Dan bulan lonjong yang menerangi langit biru kehitaman tak mendukung seluruh kegelapan agar lenyap. Bagaimana ini? Ini mengerikan.

Oh iya, tentu saja. Aku kan punya kekuatan api. Langsung saja sebelah telapak tanganku mengeluarkan api secukupnya di telapak tanganku. Alhasil, tempat ini lumayan terang oleh cahaya api.

Pikiranku mengarah pada sosok Vione. Kematiannya tak akan aku ampuni. Presiden itu harus aku lenyapkan. Entah sudah berapa kali aku mengatakan 'lenyap' untuk Presiden itu.

Vione punya rambut biru malam dan kedua mata dari kanan berwarna ungu dan mata kiri berwarna biru laut. Berselang menit kemudian, aku terkejut sampai aku hampir saja membakar bajuku karena tanganku nyaris saja memegang dada.

Entah ini cuma perkiraanku. Jika Rosel dan Celdo bukan saudara kandung, artinya mereka tidak punya hubungan keluarga apa-apa. Mereka hanya saling mengaggap adik-kakak saja. Aku merasa mereka itu sama sekali tidak ada kemiripan satu titik pun. Kenapa aku berpikir kalau mereka bukan saudara kandung?

Karena menurutku, Celdo sangat mirip sekali dengan Vione. Mulai dari warna rambut, mata, dan lekuk wajah. Persis hampir menyamai. Lagi pula Vione hanya punya satu anak lelaki. APA?!

Jika anak Vione adalah Celdo, artinya nama keluarga Celdo yang sebenarnya adalah Planos. Lalu, kenapa dia bisa masuk ke dalam keluarga Rosel? Bagaimana caranya dia bisa mengganti nama belakangnya menjadi Phantrom? Apa yang sebenarnya dulu terjadi? Huh.

Memikirkan hal itu membuatku pusing saja. Lebih baik aku tidur lagi. Aku pun menghilangkan kekuatan api dari tanganku dan kembali memejamkan mata. Sebelum tidur, aku berdoa dulu agar tidak ada arwah lagi yang memasuki mimpiku.

"Aku tidak akan pernah mencintai siapa-siapa. Titik."

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top