Bagian 3 : Masa Lalu yang Buruk Juga Membawa Mimpi yang Buruk

Sepasang mataku melirik penasaran ke arah pintu kamar Raja dan Ratu, yaitu orang tuaku. Seperti biasa, aku sering terbangun dari tidurku pada tengah malam. Indra pendengaranku mendengar samar-samar sebuah suara yang berhasil mengalihkan perhatianku dari pintu istana. Menjeda keinginanku untuk keluar dari istana.

Kaki kecilku melangkah berjingkat-jingkat agar keberadaanku tidak dirasakan oleh siapapun. Penjaga lorong istana sudah tidur di kamar. Aku bisa berkeliaran di dalam istana pada tengah malam tanpa ada yang menghentikanku. Kebebasan adalah kebahagiaanku. Aku tidak suka mengikuti peraturan di istana dalam menjadi seorang Putri Romanove di sini. Bermain di halaman istana sangat mengasikkan jika tidak ada yang melarangku melakukan ini dan itu.

Sampailah kakiku menghentikan jingkatan tepat di depan pintu kamar. Pintu itu bercat emas-putih dengan gagang pintu terbuat dari kristal bening. Istana ini sangat menyukai hiasan kristal bening. Di setiap pintu, terdapat kristal bening sebagai gagang dari pintu tersebut. Setiap sudut juga terdapat kristal. Semua serba kristal. Aku sampai bosan melihatnya.

Kerajaan Romanove memiliki penambangan kristal bening yang hanya dapat ditemukan di gua di dekat istana. Para penambang kerajaan Romanove menemukan gua gosong tertutup itu dan menggalinya sampai kristal itu nampak menempel di batu-batu dan langit-langit gua. Indah dan cantik jika gua itu dipandang. Aku sampai takjub melihatnya.

Pintu kamar ternyata tidak tertutup dengan benar. Aku bisa melihat ke dalam dengan mendekatkan mataku di celah pintu. Memfokuskan sebelah mataku itu untuk lebih jeli, karena di dalam kamar itu tidak didukung oleh penerang lampu. Semua tampak gelap. Namun, suara apa itu? Beberapa barang yang mungkin jatuh ke lantai dan satu suara lagi yang tidak bisa aku tebak oleh otak kecilku.

Tiba-tiba tirai di dalam kamar itu terkibar kuat. Sepertinya jendela panjang itu tidak ditutup. Cahaya bulan yang merembes ke dalam ruangan gelap itu, masih tampak gelap tak terlihat. Namun, mataku melebar melihat bayangan seseorang yang berdiri angkuh di dinding sedang memegang sebuah pedang beruncing, segera menikam pedangnya itu ke bawah.

Menusuk-nusuk, menebas, kemudian menusuk lagi.

Hingga suatu cairan bercipratan mengenai dinding dan tirai jendela. Kemudian bayangan itu berhenti melakukan aksinya. Aku masih tidak tahu apa yang sudah terjadi di dalam.

Tapi, saat kilat tiba-tiba berkelebat dengan cepat di langit yang beberapa detik mengizinkanku untuk melihat lebih jelas, kedua mataku seakan ingin keluar dari tempat. Jantungku berdetak kencang tidak keruan. Kedua kakiku sedikit gemetar.

Tidak. Ini tidak mungkin. Yang tadi itu, tidak mungkin. Yang kulihat tadi itu pasti salah.

Pada detik itu, yang kulihat, banyak darah menyebar di mana-mana. Semua tampak berantakkan seperti baru saja diterpa angin topan. Pedang runcing itu. Pedang itu dilumuri banyak darah segar. Orang itu telah selesai melakukan kegiatan gilanya, membunuh.

Dia baru saja membunuh. Membunuh? Siapa? Siapa yang dia bunuh?

Tampak kilat di langit muncul lagi, seakan menyuruhku untuk melihat pemandangan busuk itu sekali lagi. Dengan perasaan tidak percaya, aku melihat dua pasang insan itu tergeletak di lantai tanpa nyawa bermandikan darah. Tubuh mereka terkoyak mengenaskan. Pemandangan itu membuatku ingin muntah.

Bertepatan dengan orang asing itu menghilang dalam gelap, aku berjalan terbata-bata mundur dari pintu. Kedua tanganku mengacak rambut perakku seraya menggelengkan kepala. Dan teriakan kerasku menggema di semua lorong istana, membuat beberapa prajurit yang masih terjaga dan dayang-dayang yang sudah tertidur lelap, lantas bangkit dan berlari cepat ke tempatku berdiri yang tengah berteriak histeris seperti orang gila kesurupan.

"TIDAAAAKKKKKK!!!!!"

👑👑👑

Jessy tampak membelalakkan mata biru kristalnya melihatku terengah-engah sedang menyibak rambut perakku ke atas kepala yang menutup dahi. Tubuhku bermandikan keringat. Jantungku nyaris hampir copot. Aku meremas gaunku tepat di tengah dadaku. Segera aku mengatur napas yang memburu.

"Ratu, apa barusan Anda bermimpi buruk?" Jessy masih memaku pandangannya ke arahku dengan bingung.

Aku langsung terbangun dari tidurku dan terduduk tegang. Kedua tanganku bergetar hebat mengingat mimpi itu. Mimpi yang membawa jiwaku ke tragedi 10 tahun yang lalu. Menenggelamkanku kembali ke masa lalu yang begitu kelam. Pedang dan darah. Kedua itu kembali menyisip pikiran. Kedua tanganku lantas mengacak rambut, membuat mahkota yang terduduk di atas kepalaku jatuh meninggalkan tahta.

Aku benci pedang itu. Aku benci pedang berdarah itu. AKU BENCI!!

Rintihan keras dibenak membuatku seakan ingin meledakkan diri. Darahku terasa sangat panas. Kepalaku berdenyut hebat.

Sesuatu yang melindungi bagian depanku, menutup diriku seolah menghalangi dari amarahku yang hampir saja akan meledak di dalam kereta kuda ini. Tubuhku dipeluk begitu lembut. Merengkuh diriku yang begitu rapuh dari mimpi paling buruk yang pernah aku mimpikan. Rengkuhan ini, seakan sedang menjauhkanku dari segala hal yang akan merusak singgasanaku.

"Maaf, mahkota Anda terjatuh."

Jessy perlahan melepas rengkuhannya. Dia mengambil mahkota emasku yang terjatuh di bawahku. Menyisir rambutku yang berantakkan dengan kelima jarinya. Kemudian meletakkan benda mewah itu ke atas kepalaku.

"Nah, sekarang sudah lebih baik. Ratu, hari ini Anda begitu cantik. Para Raja dari kerajaan tetangga dan Pangeran Delfidius pasti sangat terkagum melihat Anda!" Pekiknya terlihat berbinar.

Aku menatap lekat mata kristalnya. Jessy dengan rambut hitam terikat helai pita biru terasa serasi dengan warna matanya. Ditambah gaun polos lurus bercorak putih bercetak ukiran bunga mawar yang menjadi ciri-cirinya juga. Ia sangat sering memakai gaun putih polos tanpa hiasan. Mungkin dia menyukai putih. Padahal masih banyak gaun yang lebih bagus dan cocok untuk gadis cantik seperti dirinya. Namun, dia selalu memilih putih dan putih.

"Lancang sekali." Aku mengukir senyum.

"Ah! Maafkan saya, Ratu." Jessy balas menyeringai tanpa merasa bersalah. "Kita sudah sampai di Snow Rose." Lanjutnya.

"Apa? Sudah sampai?"

"Iya, Ratu. Waktunya kita turun dari kereta."

Aku tidak merasakan kereta kudaku telah berhenti memutarkan roda kembar empat. Menghentikan langkah dua ekor kuda yang bertugas menarik kereta tanpa ada perlawanan.

Jessy lebih dulu turun dari kereta, lalu membalikkan badan ke arah kereta dan merentangkan tangannya ke depanku seolah ingin mengajakku untuk berdansa. Aku menerima ulurannya dan melangkah turun dari kereta dengan pelan dan hati-hati agar gaun panjangku tidak terinjak. Setelah itu, kereta kudaku kembali berjalan menjauh dan berhenti di tempat kereta kuda diparkirkan.

Aku memandang sebuah istana megah di depanku, yaitu istana milik kerajaan Delfidius dengan rasa enggan yang masih melekat.

"Ratu, kita akan mulai dari mana dulu?" Pertanyaan Jessy membuatku tidak menolehkan kepala. Aku menyeringai ringan seraya masih memandang istana serba biru di hadapanku.

"Pertama, kita harus menyapa semua orang di sini lebih dulu."

"Apa Anda yakin di istana Delfidius, kita bisa mendapatkan informasi lebih dalam tentang kasus Swonlerda?"

"Kenapa kau ragu, Jessy? Kau tidak ingat hasil diskusi kita kemarin malam?"

"Ah, apa yang sudah kita simpulkan kemarin, Ratu?"

Aih, sial. Dasar pikun! Kenapa dia punya penyakit pelupa begini, sih? Ini sangat tidak cocok untuk seorang ahli pedang seperti dia. Sangat memalukan. Dia berhasil membuat kepalaku menoleh ke arahnya yang sedang tersenyum tanpa dosa. Aku menatapnya datar.

👑👑👑

"Lama sekali!" kataku lantang melekatkan pandanganku ke arah seorang gadis pembawa dua pedang itu masuk ke dalam ruanganku. Dia sama sekali tidak mengetuk pintu lebih dulu. Dasar.

"Maafkan saya, Ratu. Baru saja saya meletakkan gaun pesanan Anda ke dalam lemari. Gaun Anda sudah sampai dengan selamat dan keadaan yang baik." Jessy beralasan seraya membungkuk dengan tangan kanan menyentuh dada kiri. Aku mendengus.

"Sudahlah! Kau cepatlah duduk. Kita akan kembali bicarakan soal Swonlerda sialan itu," ketusku tidak peduli dengan alasannya.

Jessy segera duduk di kursi sofa merah yang diletakkan di samping kiri ruanganku. Lampu gantung kristal yang menerangi ruangan dan secangkir teh hangat di mejaku. Suasana tampak tenang di dalam ruangan bercat coklat-ungu tanpa dihiasi kristal bening. Awalnya ruangan ini dipenuhi oleh pernak-pernik mengilau, namun aku menyuruh para dayangku menyingkirkan benda-benda mengilau itu, karena sesuatu yang terlalu banyak benda berkilau bisa merusak mataku.

Aku mengobrak-abrik dokumen di laci mejaku. Mencari beberapa dokumen yang sudah aku periksa dan disimpan untuk didiskusikan dengan Jessy.

"Ratu?" Jessy tiba-tiba bersuara.

"Apa?" Tanpa menolehkan kepala, aku masih memusatkan mataku ke arah laci seraya kedua tanganku menggeledah tidak sabaran.

"Bolehkah saya berdiri saja?"

"Kenapa?"

"Saya ingin berdiri di samping Anda saja. Kalau saya duduk dengan jarak yang lumayan jauh untuk bicara dengan Anda, ini terlihat sedikit sulit."

"Kau terlalu banyak mengeluh."

Tanpa menoleh ke arahnya, aku menghela napas mendengar pelayan pribadiku itu mengeluhkan hal sepele. Dia jauh lebih banyak bicara dari pada seorang pendongeng sekali pun.

"Ratu?"

"Aih! Iya deh, ah! Kau boleh berdiri di sampingku!"

Jessy berdiri dari tempatnya dan berjalan ke arah mejaku. Berdiri di sampingku melihat kesibukkanku mencari dokumen yang kucari.

"Boleh saya bantu, Ratu?"

"Kau diam saja! Aku hampir mendapatkannya."

Helaan napas terdengar di pendengaranku. Mungkin dia sedikit kesal dengan sifatku yang cukup egois ini. Aku mengabaikannya dan terus mencari dokumenku.

"Ketemu!" legaku menarik tiga buah dokumen dari dalam laci mejaku. "Lihat ini."

Aku membuka dokumen pertama. Di dalam dokumen itu, ada selembar biodata seorang pemuda yang beberapa tahun yang lalu telah naik pangkat menjadi Raja setelah Ayahnya meninggal, tepatnya di kerajaan Phonexia.

"Ini adalah bagian dari hasil penyelidikanmu. Dari semua yang aku baca, aku hanya mendapatkan tiga orang yang aku pikir sangat mencurigakan. Dari hasil pengamatanku, orang ini adalah yang pertama. Willous Phonexia, berumur 20 tahun dan sudah 3 tahun menjadi Raja dalam kerajaannya." Aku menekan jari telunjukku ke foto lelaki bernama Willous itu seraya menjelaskan.

"Ah, kerajaan Phonexia mempunyai tambang emas dan kristal ungu di belakang istana mereka. Tapi seingat saya, istana Phonexia tidak berada dekat dengan bebatuan hitam atau gua seperti istana Anda. Mustahil ada penambangan emas di belakang istana. Ini membuat saya penasaran, bagaimana awal mereka menemukan tambang emas dan kristal?" Jessy memicingkan mata seraya memegang dagu.

"Mungkin, dengan menggunakan sihir hitam?" Aku mengarang seadanya.

"Lebih benarnya, dinamakan sihir ilegal." Jessy tersenyum di balik keseriusannya. Aku mengerutkan alis.

"Sama saja."

"Tidak sama, Ratu. Sihir ilegal artinya sihir yang tidak boleh digunakan oleh semua penyihir. Sedangkan sihir hitam adalah sihir jahat yang digunakan untuk membasmi serangga."

Serangga? batinku tidak mengerti dengan penjelasannya.

"Sebenarnya, para penyihir itu tinggal di mana?" tanyaku penasaran, sebentar mengalihkan pembicaraan.

"Oh, mereka? Mereka tinggal di Fantasy Land!"

"Aku serius, Jessy."

"Saya juga serius, Ratu."

"Fantasy Land? Apa dunia ini sudah rusak?"

"Kalau soal dunia ini, dari awal memang sudah rusak duluan, Ratu."

"Aku tahu."

"Jadi, Anda tidak percaya dengan dunia mereka?"

"Tidak."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak suka dengan hal yang berbau naif."

"Tapi, Ratu, mereka itu benar-benar berada di dunia Fantasy Land. Kalau ingin masuk ke sana, kita akan melewati perbatasan dunia ini."

"Perbatasan? Di mana itu?"

"Gerbang luar dunia ini."

Entah kenapa, aku merasa terkejut mendengar kata perbatasan dunia yang Jessy katakan. Perbatasan dunia? Gerbang luar dunia? Apa hal seperti itu ada? Jika aku bisa keluar dari dunia ini, apa aku akan masuk ke dalam dunia penyihir itu? Pfff bodoh.

"Tapi, jika ingin keluar dari dunia ini, Anda harus mengikuti persyaratan yang sudah ditetapkan di sana," kata Jessy menambahkan.

"Apa saja persyaratannya?" tanyaku tak sengaja terhanyut dengan penjelasan Jessy. Kenapa aku tertarik dengan cerita bodoh ini? Memalukan memang, tapi aku sangat penasaran.

"Syarat yang pertama, Anda harus bisa berkelahi dengan menggunakan senjata."

"Hah? Syarat macam apa itu? Kenapa harus bisa pakai senjata?"

"Karena di Fantasy Land ada banyak bahaya yang menghadang. Di sana, mereka selalu membawa senjata untuk melindungi diri."

Aku menatap aneh. Bayangkan saja, sebuah dunia yang dipenuhi oleh banyak orang-orang membawa senjata tajam setiap hari dan bermain-main senjata seenaknya tanpa ada peraturan di bawah umur. Bukankah dunia itu sudah lebih dari kata rusak? Aku hanya mengangguk masa bodoh dengan syarat pertama itu. Jessy kembali menjelaskan.

"Syarat yang kedua, Anda harus memiliki kekuatan sihir di dalam tubuh Anda."

"Hah? Maksudnya gimana itu?"

"Maksudnya, kekuatan yang tumbuh dan mengalir murni di dalam aliran darah dan jiwa kita. Kekuatan itu hanya akan tumbuh pada orang yang mempunyai darah penyihir," jawab Jessy lagi. "Syarat yang terakhir, Anda tidak boleh perawan."

"APA KAU BILANG?!" Aku terjatuh dari kursi. Nyaris saja aku melempar semua dokumenku ke wajahnya. Kalau bisa, aku mau melempar mejaku saja sekalian.

Syarat terakhir macam apa itu? Tidak boleh perawan? Aku sampai tidak bisa berkomentar dengan syarat ketiga itu. Apa di sana banyak orang mesum yang sedang memburu gadis perawan sampai syarat itu bisa menjadi ada dan tidak terduga? Dunia di sana mungkin rusaknya sudah lebih parah dari pada dunia ini.

"Kau menyindir status lajangku??" Aku menunjuk wajah Jessy tepat di depan hidungnya. Wajahku merah padam.

"Ratu, ternyata Anda mudah tersinggung, ya!" Jessy malah terkekeh santai. "Saya hanya bercanda untuk syarat ketiganya, kok!"

Aku menginjak dan menendang kakinya. Jessy tampak meringis kesakitan setelah kuserang. Kemudian wajah memelas kucingnya pun akhirnya muncul juga.

"Maafkan hamba yang sangat berdosa ini, Yang Mulia Ratu Mouneletta."

"Hamba katamu? Aku bukan Tuhanmu. Kau terlihat lebih memuja diriku dari pada pencipta-Mu sendiri."

"Karena Anda adalah Ratu saya dan orang berdarah bangsawan Romanove yang terakhir. Saya harus melindungi Anda sampai Anda melahirkan penerus kerajaan Romanove selanjutnya. Jika Anda mati tanpa memiliki anak berdarah Romanove, kerajaan ini akan runtuh karena tak ada penerus. Ini adalah kewajiban saya, karena darah Weltobas seperti saya ditakdirkan bertugas melindungi Anda, Ratu Mouneletta."

Jessy berlutut hormat di depanku seraya menundukkan kepala. Matanya terpejam dan tidak ada seringai menyebalkan lagi di sana. Dia sedang serius. Dan aku baru pertama kali melihatnya serius begini.

"Jessy, aku ingin tahu. Apa alasan pribadimu melindungiku sampai sejauh ini? Aku tidak pernah meminta padamu untuk melindungiku. Kenapa kau datang? Kenapa kau ingin aku hidup? Kenapa kau menginginkan aku mempunyai pasangan? Kenapa? Kenapa, Jessy?" Rentetan pertanyaan keluar dari mulutku. Melihat dirinya masih berlutut dalam bungkukkan hormat.

"Mendiang Raja dan Ratu Romanove sangat baik pada keluarga Weltobas. Anda tahu? Ternyata mendiang Raja dan Ratu dengan orang tua saya sudah bersahabat lamanya sejak kecil. Jika melihat mereka berempat, saya sangat bahagia.

"Saat orang tua saya dibunuh, besoknya saya mendapat berita dari istana anda. Ternyata, kita mendapat musibah yang sama. Saya tidak bisa membayangkan, tapi saya berharap mereka sudah berkumpul di surga. Mengobrol dan bercanda sepuasnya di sana.

"Setelah melihat Anda tidak menangis di depan kuburan orang tua Anda, saya merasakan ada getaran hebat di kedua tangan saya, seakan menyuruh saya untuk melakukan sesuatu. Dan saya putuskan bersama pedang saya, dengan penuh sumpah, melindungi Anda dari apapun yang melukai Anda, walaupun mahkota dan singgasana Anda berkarat dan hancur, saya akan tetap berada di samping Anda.

"Karena sekarang ini, saya bukan cuma teman masa kecil Anda. Saya adalah pelayan dan penasihat setia Anda, Jessy Weltobas. Melayani dan melindungi Anda. Selamanya."

Aku tertegun. Tidak hanya itu, aku bisa merasakan cairan bening masih bertahan di sekeliling mataku. Ini memalukan. Aku tidak ingin menangis di hadapan orang ini. Benar-benar tidak ingin sama sekali. Bahkan tidak akan pernah sekali pun. Setetes pun aku tidak sudi. Aku pun memberi perintah.

"Bangunlah."

"Tapi, Ratu—"

"Apa aku perlu mengatakan perintahku sekali lagi?"

"Baik."

Gadis bersurai hitam itu bangkit dan berdiri tegak menghadapku. Mata kristalnya melebar melihat diriku.

"Anda ... menangis?"

"Ini tidak akan dinamakan 'menangis' kalau aku tidak mengeluarkannya!"

Jessy tersenyum. Dengan lancang, dia mengambil kedua tanganku dan meletakkan tanganku ke pelukan dadanya. Aku bisa merasakan jantungnya berdetak damai. Dia memejamkan mata dan tetap menyungging senyum simpul.

"Selama jantung ini berdetak, tanpa memegangnya pun, Anda akan bisa merasakannya. Karena, kita saling melawan takdir walaupun takdir itu selalu menang, kita masih bisa hidup sampai sekarang ini. Dan kembali merajut ulang rajutan yang lebih indah lagi. Jadi, Ratu, saya ingin melihat Anda bahagia. Saya ingin melihat Anda hidup damai tanpa ada setetes darah pun keluar. Anda adalah sahabat saya satu-satunya. Anda adalah orang yang paling penting bagi saya. Saya akan terus berada di samping Anda. Melindungi Anda, sesulit apapun rintangannya. Sampai tubuh ini hancur sekali pun, saya akan tetap bersikeras melindungi Anda, di samping Anda."

Sial. Bodoh. Aku tidak mau. Oh Tidak, air mataku jatuh. Ah, sudahlah. Aku tidak peduli. Ini salahnya. Karena itulah aku menangis. Meneteskan air mataku ke lantai. Membasahi wajahku penuh air mata. Kini mata merahku telah menjadi kristal cair. Memenuhi penglihatan dan mengaburkan segala yang kulihat.

Sekali lagi, dia lancang. Mengusap air mataku dengan tangannya seraya menampakkan senyuman hangat, yang entah membuatku semakin menangis sejadi-jadinya. Aku sampai tidak percaya pada diriku sendiri.

Setelah itu, Jessy menyarankanku untuk istirahat. Dan ternyata ini sudah larut malam. Aku harus tidur untuk pertemuan antar raja besok. Tidak sudi aku keluar dan bertemu dengan para Raja dari berbagai kerajaan dengan kantung mata panda yang akan membuatku malu di depan semuanya dan menjadi sebuah aib terbesar. Tidak akan pernah!

Aku berjalan ke kamar dan langsung membaringkan diriku di kasur dan selimut tebal hangatku. Kemudian menutup mata seraya merasakan lampu dalam kamarku sudah dimatikan.

"Selamat malam, my Queen."

👑👑👑

"Jadi, Ratu, apa kita sudah mengambil kesimpulan dari diskusi kita kemarin?"

Masih berada di depan istana Delfidius, aku menatap hambar di depanku setelah mengingat kejadian kemarin. Aku yakin sekali, kemarin itu aku dan Jessy sudah selesai mendiskusikan kasus Swonlerda. Namun, dalam ingatanku hanya itu saja cuplikan yang begitu kuingat. Atau, hanya itu? Berarti, kemarin itu tidak ada hasil diskusi sama sekali! TIDAK ADA.

"Hehehehe," tawaku seadanya. Sekarang giliranku yang pelupa.

"Ratu, sebaiknya kita masuk dulu. Sudah banyak yang datang dan masuk ke dalam istana," kata Jessy mengingatkanku pada acara pertemuan antar raja yang berlokasi di dalam istana Delfidius.

"Ayo." Aku berjalan lebih dulu. Jessy mengikuti dan menyamai langkahku.

"Oh iya, Jessy, aku ingin menanyakan sesuatu. Walaupun ini tidak penting, tapi aku penasaran."

"Silahkan, Ratu."

"Kenapa kau suka warna putih?"

Aku menoleh ke arahnya dan melihat ekspresi tersentaknya, membuatku sedikit heran. Kemudian dia tersenyum.

"Karena putih adalah lambang keberanian dan kepercayaan saya terhadap pedang. Putih juga melambangkan diri saya sebagai gadis yang lembut dan baik hati. Dan bagi saya, putih adalah keajaiban."

Keajaiban? Apa itu terdengar ambigu bagiku? Jujur, gadis ini benar-benar tidak bisa kumengerti. Bahkan, sangat mustahil untuk mengerti dirinya.

"Jessy?"

"Ya, Yang Mulia Ratu?"

"Ajarkan aku berpedang."

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top