Bagian 29 : Permainan Ternyata Belum di Mulai Sama Sekali

"Adududuh! Talia!! Ikatanmu terlalu kencang!!" rintihku, perut ini rasanya tercekik, aku sampai ingin memuntahkan sarapanku.

"Masa? Padahal aku ikatnya tidak terlalu kencang, kok," sanggah Talia masih sibuk mengikat pita di belakang punggung dekat pinggang.

Di kamar Talia, dia memakaikanku sebuah gaun biru yang menurutku cukup indah. Gaun ini juga nyaman dan tidak susah untuk bergerak bahkan berlari. Bagian bawah yang lebar membuatku bisa berjalan bebas. Tidak terlalu mewah. Gaun yang sederhana tapi masih bisa dibilang cantik. Cocok untukku.

"Sudah selesai?" kakiku mulai lelah berdiri selama setengah jam hanya untuk dipakaikan gaun. Ribet.

"Sudah. Kya!! Kau cantik sekali, Letta! Gaun ini cocok untukmu! Ya sudah. Ayo kita keluar, sepertinya mereka sudah datang," seru Talia memandangku dengan binar mata seperti bintang.

"Terima kasih, Talia." Aku juga ikut melihat diriku di depan cermin. Hm. Aku memang cantik. "Memangnya siapa yang datang?"

"Sama-sama." Sentuhan terakhir Talia, menyisir rambutku. Sesudah itu, dia meraih tanganku bermaksud mengajakku keluar. "Apa Celdo tidak memberitahumu? Katanya, selain kau dan dia yang ingin ke istana Jeswel, ada lima orang lagi yang akan ikut denganmu."

Talia menarik diriku keluar dari kamar. Menuruni anak tangga dengan langkah tidak sabar. Sampainya di lantai bawah, tepatnya di ruang utama istana serba putih dan berwarna merah muda pastel. Istana ini sangat mencolok dan terlalu menyilaukan. Aku lebih suka warna yang sedikit gelap.

Celdo bersama lima orang yang dimaksudkan Talia sedang berkumpul layaknya kelompok perkemahan. Secara berpasangan, mereka saling berbicang ria. Anna dan Yana sedang mengobrol sambil duduk berhadapan di sofa. Yoanne dan Peter tampak sedang adu panco bukannya ngobrol. Celdo dan Alex tengah beradu pedang.

Aku memandang keempat laki-laki itu datar. Tidak tahu bagaimana cara menyapa mereka yang tengah asik sendiri, lebih baik aku menghampiri Anna dan Yana.

Yana Lacrian, teman sekelas dan satu kamar Anna. Aku masih ingat dia. Rambutnya panjang coklat sepunggung berkacamata lingkaran. Karena hanya dia yang berkacamata di kelas, jadi aku masih bisa ingat dia melalui tipikalnya.

Anna dan Yana menyadari kedatanganku. Kedua pasang mata mereka kini melihatku berbinar. Mereka beranjak dari sofa dan menghampiriku.

"Waaahhh!!! Miss Manove cantik sekali!!!" ucap mereka berdua bersamaan, membuat keempat lelaki yang sibuk dengan aktivitas mereka terhenti dan melihat kami.

Peter yang teralih dari adu panconya secara tak sadar telah kalah dari permainan. Selesai Yoanne bersorak sebentar atas kemenangannya, dia berlari menghampiriku- ah bukan, rupanya Talia yang dia hampiri. Peter sempat saja ternganga, mungkin karena tidak percaya karena telah dikalahkan laki-laki berusia 13 tahun. Oh iya, memangnya berapa umur Peter? Sepertinya sama denganku.

"Hai, Zaqtav! Bagaimana bisnismu?" tanya Yoanne ramah, sepertinya dia sudah berteman dengan Talia sejak lama.

"Lumayan. Ah, sudah lama aku tidak bertemu denganmu! Bagaimana keadaan Kakek dan Ayahmu?" Nada bicara Talia tidak kalah ramahnya dengan Yoanne.

Aku kembali fokus pada Anna dan Yana. Mereka masih saja berdiri mengepungiku. Sedangkan Celdo dan Alex, mereka melihat kami sebentar dan kembali beradu pedang.

"Kau yang akan kalah!" seru Alex.

"Aku? Tidak mungkin. Kaulah yang akan kalah!" seru Celdo membalas.

"Kau!"

"Kau!!"

"Kau!!!"

"Kau!!!!"

Pusing mendengar mereka berkicau seperti burung stres. Entah aku tidak peduli lagi dengan hubungan pertemanan mereka itu renggang ataukah tidak.

"Kak Zaqtav!! Aku juga mau pakai baju kayak Miss Manove." Yana berjalan menghampiri Talia, merengek meminta dibuatkan gaun sepertiku. Aku pikir Yana itu pendiam dan tidak banyak bicara. Dugaanku salah besar.

"Anna, bisa kau hentikan mereka?" pintaku memohon sambil menunjuk ke arah dua insan lelaki yang sedang masih asik beradu pedang.

Kapapun mereka beradu pedang, tak ada yang mau kalah, sehingga tidak ada yang menang dan kalah. Kekuatan dorongan pedang mereka terlihat sama saja. Membosankan.

Anna mengangguk mengiyakan permintaanku. Dia merentangkan tangan kanannya ke arah Celdo dan Alex. Tangan Anna mulai bercahaya redup berwarna merah, setelah aku berpikir sedikit keras, aku mengirakan kalau dia sedang memakai kekuatannya yang entah itu apa.

Mereka berdua tiba-tiba berhenti beradu pedang. Diam layaknya menjadi patung. Namun kekuatannya tidak sama seperti Nyong. Mereka terkendali oleh kekuatan Anna, tapi masih bisa berekspresi dan bicara. Anna menoleh ke arahku.

"Sudah saya hentikan mereka, Miss!" kata Anna tidak lupa dengan senyum. Aku membalasnya dengan senyum ringis. Dia benar-benar berhasil menghentikan mereka.

"Anna! Apa yang kau lakukan?? Patahkan kekuatanmu ini padaku sekarang!" teriak Alex, membuat kami berdua menoleh dan tertawa sambil tos. "Kalian kok malah tertawa?? Jahat sekali!"

Sedangkan Celdo, tidak menggubris apa-apa. Hanya diam dalam kendali kekuatan Anna sembari memandang kami berdua dengan datar. Sepertinya dia sedang tidak berkeinginan untuk beremosi ria.

Aku sempat melihat Peter lagi. Dia sedang menempelkan wajahnya ke meja yang tadi sebagai tempat area dia adu panco dengan Yoanne. Sepertinya dia sangat tertekan oleh kekalahan yang menimpa. Kasihan. Tidak, malang lebih cocok. Lagi pula aku tidak kasihan padanya. Dia hanyalah laki-laki mesum yang tidak pantas dikasihani.

Kebanyakan, orang-orang yang aku temui di sini adalah anak remaja yang masih berusia 13-14 tahun. Kecuali Rosel dan Peter. Sepertinya mereka seumuran denganku. Tempat ini terdapat banyak orang yang lebih muda dariku. Dunia ini seperti taman bermain kanak-kanak saja.

👑👑👑

Aku bersembunyi di balik punggung Talia dan Anna. Kenapa aku sembunyi segala? Jarang sekali aku ketakutan begini. Aku benar-benar ketakutan sekarang.

Naga.

Ada lima naga di depan mataku. Tepatnya di depan istana Caramel Talia. Kelima naga itu tampak jinak, tapi tetap saja buat ngeri. Lagi pula, ini pertama kali aku melihat naga. Menyeramkan.

"Hahaha, payah sekali kau, Moune! Sama naga saja takut," ejek Peter membuatku ingin sekali menghajarnya. Sial. Sukanya cari gara-gara pada orang lain.

Hampir saja aku akan membalas perkataannya, Celdo telah mengangkat pedang putihnya tepat pada ceruk leher Peter. Ekspesinya horror. Aku yang seharusnya marah malah Celdo yang menggantikan peranku. Buat aneh saja.

"Tutup mulutmu. Kalau bisa, jahit saja mulutmu itu dengan mesin jahit milik Zaqtav. Kalau mau mati, katakan saja padaku. Kapanpun aku siap membantumu mati," ucap Celdo terkesan seram nan sadis.

Aku menyubit lengan Celdo. Dia beraduh dan menoleh padaku dengan ringisan.

"Kau tidak boleh membunuh orang. Termasuk Peter. Sudah lupa dengan kata-kataku?" ucapku lirih tapi aku yakin Celdo masih bisa mendengar suaraku yang terkesan 'bisik' itu.

Celdo sedikit mencibir, namun setelah itu mengangguk mengerti. "Aku ingat, kok. Cuma, dia buat aku kesal. Caranya dia memperlakukanmu, mengundangku untuk membunuhnya."

Aku menghela napas. Anak ini masih perlu banyak nasihat. Lagi pula yang diejek Peter adalah aku bukan dia. "Tahan rasa marahmu itu. Kau harus mengendalikan serta memikirkan secara matang sebelum kau melakukan sesuatu. Berusahalah untuk membuang rasa 'membunuhmu' itu, Celdo."

Dia juga ikut menghela napas, namun terdengar lebih berat dibandingkan helaanku. "Baiklah."

Pedangnya pun hilang oleh kekuatan teleportasi yang terhias oleh kelopak mawar hitam dan putih tertiup angin yang berlalu lembut. Aku masih menganggap kalau kekuatan Celdo itu sedikit aneh. Saat dia menghilangkan pedangnya, ada kelopak mawar yang muncul mengelilingi tangannya dan terbang tersapu angin.

Kembali ke masalah naga. Bukan naganya. Tapi aku. Aku takut sekali dengan naga. Bagaimana cara aku naik di atas naga? Dan bagaimana caranya menunggangi naga? Menaiki kuda saja aku belum bisa. Apalagi naga.

"Miss mau naik naga bersama saya?" tanya Yoanne, rupanya dia menyadari ketakutanku akan naga. Memang buat malu, tapi apa boleh buat aku sudah ketahuan takut.

"Semua naga ini punyamu?" Aku malah bertanya balik. Bermaksud untuk memperlambat aku akan mendekati naga. Melihat mata naga yang jingga dan kemerahan serta wujudnya itu membuatku bergidik.

"Lebih tepatnya, milik Kakek saya. Kakek memperbolehkan saya meminjam beberapa naganya untuk kita," jawab Yoanne seperti biasa dengan sopan.

Iya benar. Sebelum tanya pun aku sudah tahu dari mana naga ini berasal. Dari Kakeknya Yoanne. Karena ini pernah didiskusikan sebelumnya.

"Eh, kau sudah meminta izin untuk kita semua pada semua guru?" tanya Alex menyikut lengan Celdo. Bukannya jawab, Celdo malah balas menyikut.

"Tanya kok ke aku?" balas Celdo heran. Alex mengerutkan dahi.

"Lah? Kok malah tanya balik? Kau kan sekretaris kelas. Kerjaanmu di kelas mengabsen semua murid di kelas kita," jawab Alex sambil menggaruk kepala.

"Masalah itu tanya Yoanne. Dia ketua kelas. Sekretaris hanya nunggu buku absen dan isi absen pakai hari, tanggal, tahun, sama titik. Lagi pula ada wakil sekretaris buat gantiin aku sementara. Urusan izin itu tugasnya ketua kelas. Lagi pula ini hari Minggu. Ke gerbang istana Jeswel naik naga tidak akan memakan waktu bertahun-tahun. Cuma memakan durasi 1 jam saja," jelas Celdo layaknya petugas tata usaha yang pernah aku temui di Akademi Wonderland.

Alex mengangguk-angguk. Kemudian sedikit tersentak. Melotot melihat mata berbeda warna milik Celdo. Entah apalagi yang mereka bicarakan, aku memutuskan untuk kembali lagi fokus pada masalahku. Kembali rasa takutku akan naga.

"Naganya cuma ada lima, ya? Warna merah, kuning, hijau, biru, dan ungu. Miss mau naik naga sama siapa?" tanya Yoanne untuk yang kedua kali.

Naga kayak sudah komplit saja. Merah, kuning, hijau, biru, dan ungu. Jadi pelangi, dong. Tapi warnanya kurang dua lagi. Apa peduliku. Pertanyaan Yoanne lebih penting sekarang. Aku menoleh ke arah Peter sialan.

"Hei, kau naik apa untuk ke istana Jeswel?" tanyaku pada Peter. Tidak dijawab. Wah, dicuekin. "Hoi, Peter!"

Peter tampak tersentak dan menoleh ke arahku dengan mata yang membelalak. Aku pikir dia tidak bisa melamun.

"A-apa? Apa yang membuat kau memanggilku?" tanyanya balik. Aku menghela napas. Pertanda benci mengulang kata-kata yang sebelumnya aku ucapkan. Itu menjengkelkan.

"Aku tanya padamu. Kau dari ke sini ke istana Jeswel naik apaan?" tanyaku lagi dengan nada malas.

"Oh. Aku pakai Motor," jawab Peter.

Aku bingung dengan jawabannya. Motor? Apa itu? Semacam kuda, kereta kuda, kuda-kudaan? Akhh!! Aku tidak mengerti. Namanya terdengar seperti alat transportasi, tapi aku tak tahu Motor itu apa.

"Motor?" ulangku dengan nada kebingungan yang bisa aku buat. Tidak lupa, ekspresi bingungnya juga. Dan semoga otakku tidak linglung karena banyak tanya. "Apa itu?"

"Tuh," jawab Peter sekenanya sembari menunjuk jari telunjuk ke atas langit merah muda.

Aku kira dia mau cari gara-gara lagi dengan cara membodohiku. Bukan awan yang dia tunjuk, malah sebuah seperti 'mesin yang mungkin bisa jalan layaknya roda yang berjalan' berada di atas tak terlalu jauh dari daratan. Motor yang dimaksudkan Peter berwarna hitam diiringi api merah yang menghias dua roda bagian Motor.

"Oh." Aku ber-oh ria selesai memandang beberapa menit alat transportasi pribadinya itu.

"Oh saja? Hmm. Kau mau ikut naik bersamaku?" Ajak Peter terdengar memainkan nadanya, menggodaku. "Ikut denganku saja, Moune. Dijamin, kau akan betah duduk di belakangku!"

Aku langsung memandangnya jijik sekaligus najis. Entah kenapa kini aku mulai jijik dengan Peter. Mulai dari dia pernah mencium bibirku, aku jadi sedikit trauma jika di dekatnya. Berusaha keras aku membuang rasa tidak nyaman terhadapnya.

Celdo berhenti berdebat dengan Alex. Dia melewati Alex layaknya tiang bangunan yang dilewati sekaligus dicuekin dan meraih lengan kananku. Menatap Peter tajam.

"Tidak boleh. Letta denganku!" bantah Celdo sengit.

Peter juga ikut memegang lenganku yang sebelah kiri. Ikut menatap tajam juga, kali ini mereka saling tatap-tatapan begitu sengit di tengah-tengahku. Serasi- ehh ralat. Ngeri.

"Anak kecil tidak boleh ikut campur, deh. Moune denganku. Titik," bantah Peter membalas.

Mereka mencerocos sambil narik-narik dua lenganku sambil juga dipeluk akhh buat pegal. Bisa copot dua tanganku kalau begini caranya. Aku jadi seperti boneka langka yang terseret arus ombak dan terdampar di suatu pulau yang dihuni oleh dua makhluk hobi berargumen.

"Mau dibilang anak kecil kek anak kurcaci kek, Letta tetap denganku! Camkan itu!!" Celdo benar-benar tersindir. Dia sampai kelewatan memaki dirinya sendiri.

"Moune denganku! Mana mungkin dia mau dengan anak kecil pakai selop sepertimu!" Peter tidak habisnya mengejek Celdo.

"Memangnya kenapa kalau aku pakai sepatu hak, hah?? Ini ciri khasku. Jangan coba-coba menodaiku dengan kata-katamu yang busuk sebusuk bunga Rafflesio!"

"Apa katamu?? Bunga Rafflesio? Bunga itu busuk karena lahirnya dirimu!"

"Kau bahkan lebih busuk dibandingkan dengan bunga beraroma busuk ataupun mayat yang membusuk!"

Mereka bicara semakin absurd. Bingung dengar mereka melantun sampai kesasar ke kata 'busuk'. Makin aku berada di tengah sini, rasanya aku bakalan ikut busuk lebih dulu.

Tujuan mereka apa sih??

👑👑👑

Setengah jam Celdo dan Peter berantem, akhirnya aku bisa lepas dari cengkeraman mereka. Tanganku benar-benar pegal. Untung tidak penggal.

Dari pada buat pusing oleh mereka, aku memilih Yana untuk bersamanya selama dalam perjalanan menunggangi naga. Hii seram. Aku sekarang duduk membelah kaki di atas tubuh naga yang terbang oleh kepakan sayap lebar.

Sebelumnya, Talia memberikan kami makanan dan selimut gulung untuk tidur jika mendarat belum sampai di depan gerbang istana Jeswel. Talia sangat baik dan begitu membantu. Aku sampai memeluknya karena dia memang imut.

Yana berada di depanku tengah duduk membelangiku. Dia yang mengendarai naga yang dia naiki. Anna menaiki naga merah, Alex naga hijau, Celdo naga ungu, Yoanne naga biru, Yana dan aku naga kuning. Peter, dia naik tunggangannya sendiri yang bernamakan Motor. Saat jalan, roda dua itu berputar disertai api yang mengelilingi roda. Yang tidak aku suka dari Motor itu adalah mengeluarkan asap abu yang membuatku terbatuk jika tercium dan suaranya buat telinga mau terbang.

"Sepertinya kita harus segera mendarat dulu," komando Peter yang memimpin dalam kelompok, karena hanya dia yang tahu jalan menuju istana Jeswel.

Celdo menatap tajam. "Kenapa?"

"Di depan sana, ada awan abu-abu yang berbahaya jika dilewati. Tidak lama lagi hujan akan mengguyur. Sebaiknya, biarkan awan itu lewat dan setelah itu kita lanjut lagi jalannya," jelas Peter, kali ini nada bicaranya serius.

"Ah! Kita akan berteduh di gua itu!" pekik Yana sambil menunjuk sebuah gua yang tedapat di kaki gunung.

Kami semua melotot ke bawah dasar yang sepertinya terdapat banyak tumbuhan hijau dan ... biru?! Ah, aku tahu. Fantasy Land tidak sama seperti dunia pada umumnya.

Aku sudah bosan mengomel hanya karena menemukan hal mustahil yang menjadi kenyataan, betulan juga sungguhan.

Ahh sama saja.

Mataku tidak pernah minus, tapi kenapa Yana yang berkacamata bisa melihat hal yang begitu jauh tak tergapai oleh penglihatan orang biasanya? Yang lain juga mengekspresikan hal yang sama. Mungkin sama herannya juga denganku. Tapi, kenapa Anna hanya senyam-senyum buat ngeri saja. Sepertinya hanya Anna yang tidak membelalakkan mata ke dasar bawah.

Dalam perjalanan menuju daratan tanah, Yana menjelaskan padaku kalau kekuatan yang dia miliki adalah kekuatan mata yang bisa melihat sejauh apapun. Sekali lagi, sejauh apapun. Wow. Kekuatan yang keren.

Sampainya di gua, rupanya suhu dalam gua itu dingin sekali, serasa berada di padang salju. Celdo, Anna, Alex, Yoanne, dan Yana tampak mengigil. Para naga pelangi juga ikut menggigil. Untunglah ada kayu dalam gua ini. Malas ambil kayu di luar karena hujan sudah turun deras, Peter mengumpulkan kayu yang ada dan aku membakar kayu itu dengan kekuatan apiku.

Inginnya mau buat api unggun dalam gua. Pada saat aku membakar semua kayu yang telah dikumpulkan, tak disangka aku benar-benar membakar semua kayunya.

Ludes. Jadi abu.

Peter menatapku datar. "Kau belum bisa mengatur besar kecil kekuatan api yang akan kau keluarkan. Lihat, semua kayunya habis. Kita berdua memang tidak bisa merasakan rasa dingin karena kita punya kekuatan api. Tapi tidak bagi mereka."

Tidak ada yang bisa aku katakan lagi selain meminta maaf sebesar-besarnya. Yang lain juga ikut menatap datar. Apalagi lima pelangi naga, mereka melotot seram padaku. Oke, ini salahku. Aku harus tanggung jawab.

"Tidak perlu api. Lebih baik pakai selimut gulung yang diberikan Talia saja," ucapku menyarankan.

Semua setuju. Mereka mengambil selimut gulung dari dalam tas merah muda yang diberikan Talia, memasukkan diri ke dalam selimut gulung, kemudian berselimut. Melihat mereka seperti kepompong, aku cekikikkan sendiri.

Kami semua tidak membicarakan apa-apa. Sepi sekali di dalam gua ini yang hanya diisi oleh dengkuran pelan naga dan desis hujan yang turun. Satu per satu mereka terlelap dalam selimut masing-masing. Hanya aku dan Peter yang tidak menggunakan selimut. Peter tertidur menindih sayap naga merah. Sedangkan aku, tentu saja tidak dekat naga. Aku memilih duduk diantara kelima remaja kepompong.

"Letta." Siapa lagi kalau bukan Celdo yang memanggilku Letta. Talia, tapi dia tidak ikut.

"Apa?" sahutku malas.

"Kau punya bantal?" tanya Celdo, matanya tampak mengantuk. Lucu juga lihatnya.

"Mana mungkin aku bawa bantal. Kalau bisa, aku juga mau bawa kasur," jawabku sok melucu. "Kebiasaan tidur pakai bantal, ya? Tapi, mereka terlihat nyaman saja tidur tanpa bantal. Ikuti saja mereka."

"Aku tidak bisa," balas Celdo. Ini bocah buat kesal.

"Terus, maunya apa? Carikan bantal buatmu? Hmm. Kau bisa tidur dalam pangkuan?" tanyaku sambil menepuk kedua pahaku.

Celdo mengamatiku dan seketika wajahnya tampak semu. Sekali merona, warnanya pasti merah. Coba kalau biru. Jadi aneh.

Dia menjauh dariku beberapa kali geser, menjaga jarak. Mungkin dia pikir aku akan melakukan sesuatu yang aneh. Sialan. Aku sudah berbaik hati memberikan pangkuanku sebagai pengganti bantal, malah menjauh.

Tidak lama setelah itu, Celdo ikut tidur beneran sama yang lain. Tinggal aku sendiri yang tidak bisa tidur karena tidak mengantuk. Mungkin sebentar lagi atau nanti.

Aku melihat Yana merebahkan kepalanya di tubuh Anna, Anna merebahkan kepalanya di tubuh Alex, Alex merebahkan kepalanya di tubuh Yoanne, dan Yoanne merebahkan kepalanya di tubuh Yana. Mereka jadi membentuk lingkaran seperti kotak.

Sedangkan Celdo, tidur sambil duduk. Merasa kasihan, aku mendekat, merebahkan kepalanya dalam pangkuanku, dan yang pasti dengan pelan. Tidurnya nyenyak, mengundangku ingin menyiram wajahnya dengan air hujan. Untung aku orangnya baik dan tidak sombong ini mau memberikannya bantal.

Permainan ternyata belum di mulai sama sekali. Entah itu kapan, lama-lama rasanya aku seperti berada dalam cerita humor nan absurd. Sisanya petualangan tidak jelas. Makin aneh, tapi pembunuh orang tuaku ternyata nyasar ke dunia ini. Untuk masuk ke dalam istana Jeswel, aku harus bisa mengalahkan lima penjaga gerbang istana.

Aku tidak sabar ingin melihat lima penjaga gerbang istana Jeswel. Kira-kira, sekuat apa mereka, ya?

Pada akhirnya, aku juga ikut mengantuk. Segera aku pejamkan mataku dan ikut tertidur dengan mereka semua.

"Selamat malam, semuanya."

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top