Bagian 27 : Dua Penghisap Darah

KLEK!

Suara kenop pintu yang berputar dan decitan suara pintu yang terbuka membuat kami semua yang ada di dalam serempak menoleh ke arah dua makhluk yang baru saja masuk. Brown dan Nyong.

Nyong melepas genggamannya dari tangan Brown dan berjalan ke arah Celdo. Tapi anehnya, mata emasnya itu hanya tertuju padaku. Mau apa dia ke sini? Pasti ada yang dia inginkan. Aku harus waspada. Jika terjadi kesalahan fatal seperti waktu itu, maka tamatlah sudah.

"Hai, Celdo!!!! Lama tidak bertemu!!" seru Nyong tiba-tiba mengisi keheningan sambil menarik Celdo secara paksa untuk beranjak dari kursi dan memeluknya. "Bagaimana kabarmu??"

"Akh! Nyong! Lepaskan aku sekarang juga!" ucap Celdo dingin seraya memberontak, berusaha melepaskan diri dari pelukan maut Nyong. Namun gadis bermata emas itu tidak peduli dengan penolakan Celdo.

"Hei, Celdo. Aku punya kejutan untukmu. Kau mau melihatnya sekarang?" bisik Nyong namun terdengar tak berbisik karena aku bisa mendengar bisikannya itu dengan jelas. "Aku akan membuat pertunjukkan yang menyenangkan di sini! Pemainnya terdiri dari aku, Ibuku, kau, dan si rambut perak!"

"Aku?" kataku sambil menunjuk diriku sendiri. Apa yang akan dia lakukan? Aneh.

"Siapa namamu?" tanya Nyong menoleh padaku.

"Mouneletta," jawabku tanpa menyebutkan nama belakangku karena tak ingin saja. Rasanya aku sudah memperkenalkan diri padanya. Namun, Anna yang memperkenalkanku padanya. Bukan aku.

"Apa lagi yang ingin kau lakukan, hah?? Kau sudah menunjukkan banyak hal aneh padaku. Itu sudah cukup," ucap Celdo setelah berhasil terlepas dari pelukan Nyong.

"Kali ini berbeda, Celdo sayang. Hari ini, aku akan menunjukkan yang lebih menyenangkan dari pada yang sebelum-belumnya!" seru Nyong berjalan di tengah-tengah ruangan dam berputar layaknya putri.

Putri? Bagiku, dia terlihat seperti bocah yang berbahaya jika tidak waspada. Lalu, apa katanya tadi? Sayang? Tidak lihat ekspresinya Celdo menilai bahwa dia tidak terima dengan kehadiran Nyong? Ha. Ingin sekali aku menertawakannya.

Peter, Anna, Alex, dan Yoanne hanya diam tidak ikut bicara. Mereka hanya menonton kehadiran Nyong karena tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Sebentar lagi jam makan malam. Dan seharusnya, kami semua sudah ada di ruang makan Akademi. Kecuali Peter.

Nyong menutup mata emasnya. Dia menjauhkan mawar merah muda yang menutupi mata kirinya. Sudah dipastikan, dia ingin melakukan sesuatu yang sama sekali tidak bisa aku tebak satu pun apa itu. Celdo juga tampak waspada. Sepertinya dia tahu apa yang akan dilakukan Nyong.

"Tiktok!"

Satu kata terucap begitu nyaring di mulut kecil Nyong, bersamaan dengan mata ungu dan mata emasnya yang menyala juga jentikkan jarinya begitu mengisi ruangan.

Bukan itu yang aku kejutkan. Entah itu sebuah mantra atau apa, aku terkejut melihat seluruh ruanganku tampak berwarna abu-abu dalam sekejap. Juga Peter, Anna, Alex, dan Yoanne terlihat seperti patung. Mereka tidak bergerak, bahkan ekspresi mereka tidak berubah-ubah. Jam dinding tidak menggerakkan jarumnya lagi layaknya kehabisan daya. Waktu telah berhenti. Tidak masuk akal. Waktu benar-benar telah berhenti??

"Hei! Lepaskan aku!!" teriakan Celdo membuatku menoleh ke arahnya. Kedua lengannya ditahan oleh Brown. Mereka berdua tidak ikut menjadi patung.

"Apa yang sudah kau lakukan??" Aku kembali menoleh ke arah Nyong, lalu menoleh ke arah Brown yang sedang menahan Celdo. "Brown! Apa yang kau lakukan terhadap muridmu?? Lepaskan dia!"

Brown tidak menjawab pertanyaanku. Namun, dia menatapku putus asa. Dia tampak tidak menerima dengan semua yang dia lakukan. Aku tidak mengerti. Benar-benar tidak mengerti. Aku menoleh lagi ke arah Nyong dengan tatapan murka. Nyong tersenyum layaknya iblis mengharapkan manusia untuk berdosa.

"Tiktok. Salah satu kekuatanku. Akulah yang menamakan kekuatan itu. Lebih tepatnya, mengatur waktu secara bebas. Aku bisa menghentikan waktu sesukaku sendiri. Seperti yang aku lakukan sekarang. Benar kan, Ibu?" Nyong menoleh ke arah Brown.

Brown tidak menjawab pertanyaan Nyong. Nyong mengangkat bahu masa bodoh dan beralih padaku. Seleranya payah sekali memberi nama. Aku jadi ingin muntah.

"Pertunjukkan baru saja di mulai. Nah, Mouneletta, pilih yang mana? Kau atau Celdo?" Nyong tiba-tiba telah ada di sampingku. Dia meraih sehelai rambut perakku dan menghirup serta menciumnya. Menjijikkan. "Oh iya, karena aku adalah vampir, aku juga punya kekuatan teleportasi. Jangan heran, ya!"

Untuk apa aku heran. Dan juga, apa maksud dari pertanyaannya tadi? Aku atau Celdo? Yang benar saja. Aku tidak mengerti apa yang dia tanyakan. "Apa maksudmu?" Aku menjauh darinya termasuk menjauhkan rambutku.

"Aku pikir kau mengerti maksudku. Baiklah, jika kau memang tidak mengerti, aku akan jelaskan dan pastinya kau tidak akan bertanya dua kali setelah aku jelaskan." Nyong menatapku kecewa, namun seringai tidak pernah pudar darinya. Mengesalkan. "Authie!"

DEG!

Sebentar namun rasanya begitu menyakitkan menusuk jantungku yang tengah berdetak normal. Ini gila. Kekuatan apa lagi yang dia gunakan seakan dia menjadi orang yang begitu sakti karena memiliki kekuatan yang bermacam-macam. Namun, tak terjadi apa-apa lagi padaku. Saat aku akan menoleh, aku tidak bisa melakukan hal itu. Seluruh anggota badanku tidak bisa bergerak. Tubuhku terkunci seolah ada yang menyuruh tubuhku untuk diam. Tidak nyaman sekali. Pasti ini kekuatan Nyong.

Celdo yang melihatku langsung menampakkan sedikit giginya- mengeraskan rahang seraya melihat Nyong penuh dendam. Dia masih meronta dari pertahanan Brown membungkam kedua lengannya dari belakang.

"Kenapa kau tidak membiarkan Letta bergerak?? Lepaskan dia dari kekuatanmu itu sekarang!!!" teriak Celdo membuat Nyong bukannya menyetujui suruhan itu, dia malah terkekeh geli.

"Cepat sekali marahnya. Ini baru permulaan, lho!" balas Nyong santai sembari berjalan lentik ke arahku yang tidak bisa bergerak oleh kekuatan menyebalkannya. "Nah, Mouneletta, jika kau memilih dirimu, apa yang akan terjadi dengan Celdo?"

"Kalau kau ingin menghabisiku, sebaiknya kau jangan bawa-bawa dia. Memangnya apa yang ingin kau lakukan pada kami?" tanyaku berusaha setenang mungkin. Namun sebenarnya, setengah dariku merasa takut dengan hawa Nyong. Seolah dia sudah membunuh banyak orang yang dia temui. Mungkin memang begitu.

"Lihatlah jika kau memilih dirimu, kau akan melihat apa yang akan terjadi pada Celdomu yang tersayang." Dia terkikik ria.

Nyong membalikkan badannya ke arah Celdo dan Brown. Bagaimana cara terlepas dari ikatan ini? Kalau begini terus, aku tidak akan pernah bisa menghabisinya dengan kekuatanku.

"Bu, kau bisa melakukannya sekarang," ucap Nyong pada Brown. Melakukan apa? Apa yang akan Brown lakukan pada Celdo? Ini semakin aneh.

Aku melihat Brown mendekatkan mulutnya ke leher Celdo. Dia terdiam sebentar seraya menahan Celdo yang masih meronta-ronta. Jangan bilang Brown ingin meminum darah Celdo. Dia juga vampir, tentu saja karena itulah kenapa anaknya juga ikut menjadi vampir. Dua buah taring muncul di antara giginya. Aku tidak sanggup melihah ini.

KRUK!

Taring Brown sudah sampai di dalam leher Celdo. Dia mulai menggigit dan menghisap darah. Beberapa tetes darah keluar dari sumbernya dan menitikkan lantai yang tanpa bersalah. Aku masih ingat bagaimana rasanya digigit oleh seorang vampir. Sangat menyakitkan.

"AGHH!!"

Rintihan Celdo membuatku takut bercampur marah. Aku tidak menyangka Brown akan mengikuti semua yang Nyong katakan. Seharusnya, dia bisa menolak dan memarahinya. Dia terlalu baik untuk menjadi seorang Ibu.

Sekuat apapun aku melawan kekuatan ini, tetap saja tak ada hasil yang membuatku bergerak seinci pun. Satu hal yang bisa aku lakukan saat ini adalah melihat pemandangan menjijikkan seorang vampir meminum darah dari sumbernya. Dan yang lebih membuatku terluka, Celdo yang menjadi bahan siksaan dari pertunjukkan ini. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku ke arah lain. Kekuatan ini telah mengambil kebebasanku untuk melakukan segala hal.

Nyong memegang sebelah bahu dan ujung daguku. Seringainya seolah bertujuan untuk mengejekku karena aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk menyerangnya ataupun menyelamatkan Celdo. Aku benar-benar tidak menerima ini. Sangat curang. Tidak adil.

"Coba lihat dia baik-baik. Kau lihat ekspresi kesakitannya itu? Ahh, bergairah sekali, bukan? Aku sampai ingin meminum darahnya juga. Oh, lihat! Dia melemas! Mungkin karena Ibu sudah terlalu banyak meminum darahnya. Tapi kalau dihentikan, jadi tidak seru, kan? Kalau begitu, kau setuju kan kalau aku juga akan menggairahkan Celdo dengan taringku?" kata Nyong mencerocos di sampingku.

Sedangkan aku yang sudah mendengar itu, tidak bisa membalaskan apa-apa dari semua kalimatnya yang sukses membuatku semakin panas. Hanya decihanku yang keluar dari mulut, itu sudah membuat Nyong memandangku penuh kemenangan. Sial. Sungguh brengsek.

Nyong berjalan ke tempat Celdo dan Brown berada. Dia mengecup pipi kanan Celdo, membuka kancing piama yang Celdo gunakan, dan terbukalah bahu kanan Celdo. Tepat di bahu itu, Nyong menanamkan taringnya di sana. Sebuah erangan sekali lagi terdengar dari mulut Celdo. Dua taring yang menusuk pada tempat yang berbeda. Sakitnya pasti benar-benar menyakitkan dari pada sebelumnya.

Celdo tampak lemas. Tapi, dia masih berusaha melepaskan diri. Kedua tangannya terus menarik-narik lengan baju Brown. Pemandangan ini membuatku ketakutan. Rasanya aku ingin menutup mataku saja. Aku payah. Benar-benar payah. Sangat payah. Aku ... tidak bisa melindungi satu orang saja. Menjengkelkan sekali. Sebanyak apapun kekuatan yang aku dapatkan, aku tetaplah seorang gadis yang tidak berdaya. Selalu bergantung pada orang lain yang lebih kuat. Aku lebih cocok duduk di singgasana saja. Atau, aku lebih baik mati saja.

Ya. Mati. Itu lebih bagus.

Sebuah kalimat dari Jessy terus mengelilingi pikiran dan hatiku yang busuk karena dendam. Kalimat yang begitu mampu membuat jiwaku bangun kembali. Rasanya, kalimat itu telah mendukungku selama ini. Namun aku malah kecewa di sini. Sebanyak apapun aku mengingat kalimat itu, aku merasa ingin membutuhkannya. Menjengkelkan. Jessy menyebalkan.

Wah, wah, apa Anda sudah melupakan rasa 'dendam' yang Anda simpan sehingga dengan santai mampu menghadap kematian?

Cukup, Jessy. Jika kau terus mengingatkanku dengan kata-katamu, aku tetaplah gadis lemah. Tidak pernah bisa berkembang. Payah. Bodoh. Brengsek. Memalukan. Ratu tidak berguna. Pekerjaanku hanya membuat orang repot, menderita dan mati sia-sia. Aku hanya menjadi beban semuanya. Bunuh. Bunuh aku sekarang. Lenyapkan aku. Aku tidak peduli lagi. Semua terlalu jahat dan menyakitkan.

Aku mulai menutup mataku.

"Let-ta."

Suara itu terdengar parau dan nyaris tak jelas. Sia-sia saja kau memanggil namaku, Celdo. Aku tidak bisa melakukan apa-apa untukmu. Percuma. Lebih baik kau membenciku saja. Buang pandanganmu dariku. Aku mohon. Jangan pandang aku yang brengsek ini.

Tangan kanannya dia angkatkan ke arahku, ingin meraihku. Matanya nyaris menutup. Tetes demi tetes darah berkurang dari dalam tubuhnya. Dia tampak mulai kekurangan darah. Berusaha untuk tidak pingsan, dia memaksakan matanya untuk tetap terbuka dan bersuara layaknya orang yang sekarat. Aku ingin menangis melihatnya. Rasanya, aku telah mendapat dosa yang sangat besar. Dosa yang sulit sekali untuk ditebus.

"Let-ta tu-tup m-ma-mata-mu."

Kata demi kata dia lontarkan padaku. Dia menyuruhku untuk menutup mata. Aku memang ingin menutup mataku. Tapi, rasanya aku tidak bisa. Walaupun pemandangan ini membuatku shock, mata ini tidak mau menuruti perintahku. Apa yang sebenarnya aku inginkan? Keinginanku adalah untuk menjadi kuat. Tanpa bantuan orang lain, aku bisa melakukan apa yang aku kehendaki. Keinginan yang payah. Memalukan. Benar-benar pecundang.

Aku tidak suka kekalahan. Namun, aku benci jika suatu pertunjukkan berakhir di tengah-tengah permainan. Itu membuatku jengkel. Bagiku, kematian hanyalah bagian dari permainan. Jika mati, aku bisa hidup kembali dengan cara memilih kesempatan yang kedua. Tapi jika aku hanya boleh hidup sekali, apa ada yang menangisiku? Apa ada yang merindukanku? Apa ada yang mau mengingatku dalam hidup mereka?

He. Lucu.

Kalau mati, ya sudah untuk apa orang mati ditangisi? Dirindukan? Dikenang??! Ha. Muak sekali membayangkannya. Mati artinya permainan telah selesai. Kalah ataupun menang, keduanya tidak ada yang benar. Berakhir. Itulah kata yang tepat untuk orang yang sudah mati. Keluar dari permainan.

Dan aku akan mengakhiri permainan ini. Kematian takkan berpengaruh padaku. Biar pun menyakitkan, itulah bagian dari permainan. Memainkan peran ada yang ada. Mengatakan apa yang ingin aku katakan. Jika tak bisa bergerak, akan aku lawan dia dengan kata-kataku. Itulah kekuatan yang bisa aku pamerkan padanya saat ini.

"Apa yang sebenarnya kau pikirkan sih? Membiarkanku tidak bergerak dan menonton kalian sedang menyantap darah? Kau membuatku ingin muntah, ya? Aku bukan vampir yang tergoda akan darah, bukan juga marah besar karena kalian menyakiti bocah itu. Payah sekali kau, Nyong. Melawanku dengan cara seperti ini, apa ini yang namanya pertarungan kedua kita? Jangan membuatku tertawa. Kau bukannya menyakitiku dengan seranganmu, melainkan membawa bocah itu masuk ke dalam area pertarungan kita. Sampai kau membawa Ibumu sendiri. Apa kau sudah gila? Dasar penggila darah. Vampir macam apa kau ini? Kau meremehkanku." Kata demi kata terangkai menjadi satu dan membentuk kata-kata yang tidak bisa aku ulangi.

Nyong melepas gigitannya. Begitu juga dengan Brown. Aku bisa melihat mata Brown juga ikut menyala, matanya yang coklat telah menjadi emas terang. Sedangkan Celdo, dia terlihat sudah sangat lemas. Kedua tangannya menggantung tak berdaya. Kepalanya juga tersandar di belakang tepat ke bahu Brown. Namun, matanya masih membuka, walaupun sedikit. Mulutnya terus berkata-kata tapi tak bisa aku dengar apa yang sedang dia katakan.

"Maaf telah meremehkanmu, Mouneletta. Tapi, kau memang tidak mampu melawanku. Bahkan kau tidak bisa menggoreskan sedikit benda tajam untuk membuatku berdarah setetes pun. Kau itu membosankan sekali. Ha! Aku tahu apa yang kau inginkan. Kau tidak sudi membiarkan aku dan Ibuku menyentuh Celdo dan mengisap darahnya. Oke. Kalau itu yang kau inginkan, sebagai gantinya, aku akan menghabiskan darahmu bersama Ibuku! Lagi pula aku rindu sekali dengan darah manismu itu. Darah paling lezat yang pernah aku rasakan dalam hidupku. Pasti Ibu senang jika kau memberikan banyak darah padanya. Bagaimana?" Nyong kembali mendekat dan menyapu ranbutku yang menutupi bagian leherku dan menjilatnya.

Menyedihkan memang jika aku yang akhirnya akan tamat. Aku bisa melihat Celdo menggeleng-gelengkan kepalanya lemah. Bermaksud agar aku tidak menerima persetujuan Nyong. Menyebalkan membuatku perih saja.

"Baiklah. Lakukan sesukamu. Tapi, kau jangan lakukan apa-apa lagi pada Celdo," jawabku kemudian. Nyong tersenyum lebar.

"Dengan senang hati! Ibu, mari kita minum darahnya! Rasanya manis sekali, lho! Aku pernah menyicipi darahnya sekali. Rugi kalau tidak pernah merasakannya," seru Nyong mengajak Brown untuk menghisap darahku.

Brown segera meletakkan Celdo ke lantai dengan posisi baring. Lalu berjalan ke arahku dan Nyong. Aku tidak percaya Brown juga akan menghisap darahku. Aku pikir dia orang baik yang tegas terhadap anaknya. Rupanya, dia malah mengikuti suruhan sesat anaknya sendiri.

"Authie." Setelah Nyong mengucapkan itu, tubuhku terasa tak terikat lagi. Dia telah mematahkan kekuatannya dariku. Namun, sangat disayangkan karena Brown telah mengunci kedua lenganku dari belakang. Mereka berdua kembali memamerkan taring dan menusukku di tempat yang berbeda. Brown menggigit di lengan kiriku sedangkan Nyong di leher sebelah kanan.

"Ugkh." Sakit sekali. Benar-benar menyakitkan. Pantas saja Celdo tidak bisa menyembunyikan ekspresi kesakitannya dan terbaring lemas. Taring mereka begitu tajam. Sakit yang terus berlanjut dan tidak bisa mereda. Menyiksa sekali.

"Let .." suara parau Celdo kembali terdengar. Aku membuka mataku yang tertutup karena menahan sakit. Dia yang sedang terbaring tak berdaya mengulurkan dan membuka tangan kanannya, mencoba meraihku lagi walaupun itu mustahil.

"Celdo." Memalukan sekali aku malah ikut membalas panggilannya. Serta tangan kananku ikut mengangkat, ingin meraih tangannya. "Maafkan aku."

Sesuatu terjadi pada Celdo. Aku tidak tahu kenapa, atau aku yang salah lihat karena mataku semakin kabur karena darahku yang terasa berkurang. Rambutnya melambai seolah tertiup oleh angin. Tangannya mengepal kuat. Matanya yang sayu nyaris menutup itu, kembali membuka lebar. Dan yang lebih mengejutkanku lagi ...

... rambutnya menjadi berwarna perak.

"Silverchen."

DUK!!!

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top