Bagian 26 : Bunuh Diri yang Masuk Akal

Tidak lama aku membaca surat itu, bahkan tidak memakan waktu satu menit, aku sudah selesai membaca isinya. Sesuai emosiku saat ini, aku membakar surat yang aku genggam sampai tak ada yang tersisa dengan kekuatan api yang diberikan Peter.

Seluruh tubuhku panas sekali. Aku seakan sedang membakar diriku sendiri. Hati dan jiwaku yang terbalut oleh dendam selama bertahun-tahun ini, akhirnya akan segera selesai juga. Tak disangka, sebentar lagi aku akan menghabisi pembunuh itu. Siapapun itu, aku akan membunuhnya. Ini sumpahku.

Aku mengubah cermin Doorfan yang berawal bentuk sebuah cincin perak menjadi sebuah pedang. Dengan kekuatan teleportasi, dalam durasi singkat nan kilat, aku sudah sampai di hadapan Peter sambil menodongkan pedangku tepat pada kerongkongannya.

"Bawa aku ke istana Presiden," kataku datar dengan kerutan dahi yang bisa dibilang, marah sekali. Aku benar-benar marah. "Kau prajuritnya Presiden? Jika kau tidak membawaku ke sana, kau akan aku penggal sekarang."

Peter tersenyum santai. Jari telunjuknya menyentuh ujung pedangku dan sedikit mendorongnya.

"Kenapa kau mengarahkan pedang padaku? Oh, rupanya kau sudah bisa mengendalikan cermin Doorfan. Aku ikut senang," kata Peter mencerocos ria.

"Aku tidak ingin mendengar ocehanmu. Kau bawa aku sekarang ke sarangnya," ucapku lagi, kali ini dengan es runcing yang tumbuh di samping Peter mengarah ke ceruk lehernya.

"Oh. Kau ingin ke sana? Tidak mudah."

"Kau main-main denganku?"

"Aku serius, sama sepertimu. Jika kau ingin memasuki istana Jeswel, kau harus melewati lima penyihir penjaga gerbang istananya."

"Istana Jeswel?"

"Ya. Itu nama istananya. Kau tahu, setiap istana di dunia ini diharuskan memiliki nama."

Aku memutar bola mata. Apa peduliku. Tidak penting mengingat nama istana itu. Aku harus ke sana. Menemui pembunuh orang tuaku dan segera melenyapkannya. Itulah tugasku sekarang.

"Kau yakin mau ke sana? Lima penyihir dalam lima kelompok penyihir terkuat. Tidak ada yang pernah bisa mengalahkan mereka. Jika kau ingin melewati mereka berlima, kau harus punya pasukan," kata Celdo, dia duduk di atas mejaku sambil mengangkat pedangnya ke langit-langit memandang pedangnya yang kini telah ada digenggamannya.

"Aku tidak perlu pasukan. Tidak perlu. Yang hanya aku butuhkan adalah pedang. Aku akan membunuhnya. Kau dengar itu? Aku tak butuh bantuan pasukan hanya untuk mengalahkan penjaga gerbang istana dan pemiliknya. Karena kau sudah mengajariku berpedang, itu sudah cukup membantu. Terima kasih," balasku menoleh padanya dengan senyum tipis, setelah itu kembali ke arah Peter, kembali memasang wajah sangar yang bisa aku ekspresikan. "Cepat. Tunjukkan tempat istana itu."

"Kau tidak mengerti." Celdo kembali bersuara, menahan Peter yang akan bicara. Aku kembali menoleh padanya. Dia turun dari meja dan menatapku serius. "Mereka berlima memiliki kekuatan yang bisa dikatakan mengerikan. Tak ada satu pun yang mampu melumpuhkan mereka. Bahkan satu detik saja, mereka bisa menghabisimu dalam satu gerakan kilat. Kalau kau ingin sampai di singgasana Presiden, aku sarankan kau untuk mencari pasukan yang berkehendak mendukungmu terlebih dahulu."

Mataku ikut menatapnya serius dalam jarak yang jauh ini. Tanganku yang masih menodongkan pedang ke leher Peter, segera aku turunkan kemudian berjalan ke arahnya sembari lenyapnya es runcing yang tumbuh di samping Peter. Dia tampak bernapas lega setelah aku menjauh.

"Tidak mungkin aku menginginkan orang lain ikut campur tangan masalahku. Aku tidak mau diriku menjadi merepotkan orang lain hanya untuk menjadi pasukanku bahkan tujuanku adalah Presiden itu. Biarkan aku menyelesaikan masalahku sendiri. Kali ini, aku ingin merasakan berjuang sendiri. Aku tidak ingin lagi ada orang yang melindungiku dengan bertarung sekuat tenaga dengan cara mempertaruhkan nyawa hanya untuk keselamatanku. Aku bukan gadis manja. Bukan lagi seseorang yang terhormat untuk mendapat bungkukkan orang. Aku adalah Mouneletta Romanove, anak pertama dan terakhir dari kerajaan Romanove, dari bagian Utara daerah Snow Lender. Aku hanya ingin membalaskan dendam kedua orang tuaku. Hanya itu. Aku harap kau mengerti seberapa besar keinginanku ingin membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Tanpa bantuan orang lain."

Celdo menghempaskan pedangnya ke depanku. Lalu membungkuk lutut di hadapanku. Kepalanya menunduk. Aku terkesiap dengan apa yang dia lakukan.

"Izinkan aku ikut denganmu!" lantun Celdo lantang. "Selama kau sudah sampai di singgasana Presiden, aku tak akan mengganggumu. Aku hanya ingin menuntunmu melewati lima penjaga gerbang dalam keadaan selamat. Aku memaksa."

"Kau ini." Aku menghela napas.

Sudah kuduga dia akan memutuskan untuk ikut denganku. Aku tak mau dia akan mati jika dia ikut bersamaku. Dia tidak boleh ikut. "Aku tidak mau. Kau di sini saja. Belajar atau main sama Alex dan Yoanne saja. Berdiri sekarang."

"Tidak mau," jawab Celdo membuatku lagi-lagi menghela napas. Dasar keras kepala. "Sudah aku katakan. Bahaya jika melawan mereka berlima sendirian. Sama saja dengan bunuh diri. Pokoknya aku ikut."

"Huh. Kalau kau mati, aku tak akan bertanggung jawab menggali kuburan untukmu. Kau tidak boleh ikut, Celdo. Titik."

"Cih." Dia berdecih sambil beranjak dari bungkukkan dan mengambil pedang yang dia jatuhkan. Kemudian menatapku tajam. "Tetap saja! Aku ikut!!"

"Celdo!" pekikku semakin emosi. Aku memegang kedua pundaknya dan menyeret tubuhnya ke dinding. "Dengar aku! Kau tidak boleh ikut. Tidak ada yang boleh mati untukku. Tidak ada. Aku akan pergi sendiri. Biar pun ini bunuh diri, tujuanku adalah balas dendam. Bukan mengakhiri hidup. Ini bukan urusanmu. Ini urusanku. Kau dengar itu? Biarkan aku bebas tanpa orang lain."

"LETTA EGOIS!! AKU IKUT UNTUK MELINDUNGIMU BUKAN KARENA PERINTAH!! INI KEPUTUSANKU SENDIRI!! ATAS KEHENDAKKU SENDIRI! KAU TIDAK BERHAK MEMBANTAH KEPUTUSANKU! BIARKAN AKU IKUT DENGANMU!!!"

Teriakan Celdo telah membuka mataku lebar-lebar. Perintah? Kata perintah biasa digunakan untuk seorang pemimpin. Memberikan perintah kepada prajuritnya untuk segera menyerang, menjaga, ataupun melindungi raja dan ratu. Aku sering menggunakan perintah. Untuk dayang-dayang di istana, prajurit, dan Jessy. Entah bagaimana perasaan mereka jika diberikan perintah yang begitu banyak dariku. Apa mereka akan jengkel? Benci? Atau ... biasa saja? Aku tidak tahu.

Namun, Celdo ingin ikut untuk melindungiku bukan dari perintah, melainkan melalui kehendak hatinya sendiri. Keputusan yang dia sepakati sendiri. Entah apa itu akan membuatnya senang ataukah memaksa, tapi dia bersikeras ingin ikut denganku. Seberapapun aku menolak dia ikut, dia tetap melawanku.

Egois? Apa aku egois? Sejak kapan aku egois? Tidak. Aku tidak egois. Aku hanya tidak mau ada yang mati untukku. Aku tidak mau nyawa melayang hanya bertujuan melindungiku dari maut. Lebih baik aku yang mati. Maka, tak ada yang mati untukku.

"Peter," panggilku pada Peter, membuat pria berambut hitam itu tersentak dan melihat ke arahku. "Kau keluar dari ruanganku sebentar dan tunggu. Awas kalau kabur."

Peter mengangguk kikuk setelah itu berlenggang keluar dan menutup pintu yang sedikit berlubang karena bekas pedang Celdo. Kalau dia pergi tanpa mengantarku ke gerbang istana Presiden, kapan saja aku bisa membunuhnya.

"Aku .. tidak egois. Aku hanya tidak ingin ada orang yang mati di hadapanku lagi. Prajuritku. Mereka semua berusaha melindungiku oleh monster itu. Namun, mereka tidak bisa bertahan dan mati dengan banyak darah," kisahku mengingat kejadian pada saat aku diserang oleh monster Swonlerda di padang bersalju. "Salju putih yang suci telah menjadi ternoda oleh darah tanpa bersalah. Darah mereka seakan adalah darahku yang menetes duka. Jika itu terjadi padaku, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri. Aku benci dilindungi. Aku tidak suka ada orang yang berusaha melindungiku. Sekuat apapun orang itu bisa mengalahkan siapa saja, aku tetap tidak ingin berterima kasih. Bagiku, orang yang ingin melindungiku sama saja bunuh diri. Bodoh. Itu bodoh sekali, Celdo."

Celdo terdiam dalam tundukan. Mata birunya sayu memandang lantai marmer putih di bawah. Dia menggigit bibir. Sepertinya ingin mengatakan sesuatu.

Aku melepas cengkeramanku dari kedua bahunya. Lalu mengambil pedangku yang tadi sengaja aku jatuhkan. Menjauh beberapa langkah dan memandangnya masih bersandar pada dinding. Tangan kirinya mengepal. Tangan kanannya masih memegang pedang. Seketika, ruangan ini hening. Rambutku kembali seperti semula. Perak.

Tangan kanan Celdo bergerak pelan. Pedang putih itu telah berada di kedua genggamannya. Bagian runcing pedang itu mengarah tepat di depan jantungnya. Aku terkejut dan lantas melesat ke arahnya untuk meraih pedang itu.

"Singkirkan pedangmu dari depan dadamu sekarang! Kau mau bunuh diri, hah?? Kenapa denganmu?? Jatuhkan pedangmu!!" kataku panik melihat posisi pedangnya sangat menyeramkan.

Dia memakai posisi bunuh diri, kapan saja pedang itu bisa menusuknya hanya dengan satu gerakan lagi.

"Kau pasti tahu apa yang akan aku lakukan tadi, kan? Ya, bunuh diri. Beginilah cara orang bunuh diri. Membunuh diri sendiri dengan kejam. Beda dengan aku yang ingin melindungimu. Itu bukanlah bunuh diri. Bukan juga mempertaruhkan nyawa. Orang juga berhak untuk memenuhi keinginannya sendiri. Bahkan untuk orang lain, tanpa meminta balas jasa. Itulah gunanya ada orang lain. Kau sudah bisa membedakan antara keinginan dan bunuh diri? Walaupun kau masih menganggap melindungi seseorang adalah perbuatan bunuh diri, berarti bunuh diriku itu masuk akal dengan tujuan yang jelas dan bukan hal sepele," Kata Celdo masih mengangkat pedang ke arah dirinya sendiri.

Ha. Dia pandai bicara.

Aku tahu itu. Bagaimana cara orang yang ingin mengakhiri hidup, yaitu dengan menyakiti diri sendiri. Namun, soal dia ingin ikut denganku, bagaimana jika dia mati? Bayangan itu menghantui pikiranku. Tidak tahu kapan setiap orang akan mati. Tapi yang pasti, mati adalah satu kata yang mengerikan. Tak luput dari darah dan mata kosong yang menandakan orang itu sudah tak bernyawa. Dan aku tidak mau lagi melihat orang mati di hadapanku. Tidak akan.

"Turunkan pedangmu," suruhku yang kedua kalinya.

Celdo menurunkan pedangnya kemudian berdiri di depanku dengan tatapan yang begitu tajam. Dia memaksa sekali. Keras kepala.

"Jadi, aku ikut denganmu, kan?" tanya Celdo tampak memaksaku untuk menjawab 'ya'.

"Kau keras kepala sekali. Baik. Aku menyerah. Terserah mau ikut apa tidak. Lelah aku bicara denganmu. Jika kau mati, aku tidak akan bertanggung jawab. Lindungi nyawamu sendiri. Terserah mau lindungi aku atau apa yang penting kau jangan pernah mengarahkan pedang ke jantungmu lagi. Kau membuatku takut," jawabku.

"Oke! Takkan aku ulangi lagi," balas Celdo tampak riang dengan jawabanku sambil menghilangkan pedangnya dengan kekuatan teleportasi. Pedang itu hilang dalam sekejap yang tersapu oleh kelopak mawar putih kemudian ikut menghilang oleh angin.

"SAYA JUGA MAU IKUT!" teriak seorang gadis berambut merah tiba-tiba menerobos masuk ke dalam dengan gaya mengangkat tangan kanan. Itu Anna.

"Hoi!!" sahut Peter di ambang pintu dengan rambut yang tiba-tiba terlihat kusut. "Kau tidak lihat aku ada di depan pintu?? Seenaknya saja menerobos! Dasar anak-anak zaman sekarang!"

Anna hanya mencibir ke arah Peter dan menatapku penuh binar. Peter yang dicibir oleh Anna hanya bisa pasrah.

"Bagus! Sudah dua pasukan!" seru Celdo sambil mengarahkan tos tinju ke arah Anna. Anna segera merespon dengan meninju kepalan tangan Celdo.

"Yeay!!!" seru Anna gembira. Celdo tersenyum cerah. Lho? Sejak kapan mereka berteman akrab? Wah. Mengejutkan.

"A-Anna, bukannya aku tidak ingin kau ikut, tapi .."

"Tak apa, Miss. Saya bersedia sekali membantu Anda mengalahkan lima penjaga istana Jeswel itu. Dulu, saya berharap bisa mengalahkan semuanya. Mungkin saja, sebentar lagi hari itu akan tiba? Sebuah kebanggaan bagi saya bisa mengalahkan penyihir terkuat istana Presiden!" potong Anna cepat, sedangkan aku menepuk dahi tidak tahu lagi apa yang harus aku katakan. "Miss, jam mengajar Anda di kelas kami suda tiba. Jadi saya ke sini untuk memanggil Miss kalau saja lupa. Ternyata Anda mau pergi jauh. Tanpa memberitahu?"

Aku terkekeh mendengar kalimat Anna. Dia sudah tidak grogi lagi padaku. Bahkan dia bisa berteman dengan Celdo. Baguslah.

"Apa Alex tahu ini?" tanyaku pada Anna.

"Tidak. Jika dia tahu, dia pasti juga akan ikut," jawab Anna, kemudian menoleh ke arah Celdo. "Cel, apa kita ajak Alex, Yana, sama Yoanne juga?"

"Tentu. Kenapa tidak? Semakin banyak, maka semakin bagus," jawab Celdo.

"Hei! Apa yang kalian bicarakan? Mengajak yang lain untuk ikut? Aku tidak menjamin keselamatan kalian. Sebaliknya, lindungi diri sendiri," kataku agar Anna tidak jadi mengajak orang yang dia sebutkan.

"Hihihi, Anda terlalu khawatir pada kami, Miss. Kami bisa melindungi diri kami sendiri. Bahkan mampu melindungi Anda juga. Janganlah melihat buku dari sampulnya. Kami punya kekuatan dan keahlian masing-masing. Percayalah pada kami," balas Anna dan segera berlari keluar dari ruanganku.

Aku tercengang mendengar kalimat Anna. Dia sama sekali tidak takut. Terlihat berbeda jika aku ingat Anna pernah memberikanku coklat. Hari ini, dia terlihat bersemangat dan optimis.

"Hei, kapan kau bisa akrab dengan Anna? Kau sudah berteman dengan Alex?" tanyaku pada Celdo.

"Aku dan Alex sudah berteman. Juga dengan Yoanne," jawab Celdo dengan muka yang biasa saja. Aku hanya mengangguk heran. Aku kira akan sulit membuatnya berteman dengan siapa saja. Pasti terjadi sesuatu.

Peter masuk ke dalam dan menghampiriku. Celdo yang melihat Peter mendekat, seenaknya merampas pedangku dan mengarahkannya ke arah Peter seraya menatap tajam. Masih benci rupanya.

"Jaga jarakmu." Cara Celdo memperingati Peter dengan dua katanya dan ancaman pedangnya itu lumayan membuatku senang. Eh?

"Haha, sampai cintanya, kau tidak terima aku dekat-dekat dengannya. Cepat katakan saja sebelum dia jadi milikku," kata Peter dengan senyum khas menyebalkan.

"A-a-a-a-a-a-a-ap-apa yang kau bicarakan?? Mau mati ya hah???" Mendadak wajah Celdo memerah sepenuhnya dan kaget sekali aku melihatnya langsung menebas Peter, namun dengan cepat Peter menghindari serangan itu.

"Kalau aku mati, aku tidak bisa mengantar kalian ke gerbang istana Jeswel. Hei. Jelas-jelas kau mengerti maksudku, kan?" Tiba-tiba Peter menyeret Celdo dengan merangkulnya secara paksa, lalu menjauh sedikit dariku. Aku membuka telingaku lebar-lebar mendengar apa yang mereka bicarakan. "Jika kau terus menghindar oleh perasaanmu sendiri, kau bisa menghancurkan dirimu sendiri. Moune itu selalu dikejar-kejar banyak pangeran di dunianya. Sayangnya, dia selalu tak mengacuhkan semua pangeran yang pernah melamarnya. Bahkan memandang mereka dengan jijik. Dia gadis yang menarik, bukan?"

"Karena menarik, kau menciumnya? Benar-benar bajingan kau!"

"Hei. Aku menciumnya untuk membagi kekuatanku padanya karena sudah menghentikan Peneloppe. Dia pantas mendapatkan imbalan."

"Alasan! Kau berusaha mengambil kesempatan! Ada banyak cara untuk membagi kekuatan, kenapa kau menggunakan cara yang tidak lazim??"

"Karena cara yang lain itu merumitkan. Jadi, aku pilih cara yang mudah saja."

"Argh!! Lepaskan aku dari rangkulan ini! Menggelikan, buat jijik!"

Lumayan lama mereka berbincang seperti berbisik, Peter yang terlihat merangkul Celdo seakan mereka itu sudah berteman sejak lama.

Namun sayang sekali, aku tak dapat mendengar apa yang sedang mereka bicarakan. Aku hanya menunggu mereka selesai bicara saja sampai Anna kembali datang dengan membawa dua pasukannya.

👑👑👑

Malamnya ...

Aku, Anna, dan Yoanne duduk di atas meja. Sedangkan Peter duduk di atas lemari, Celdo duduk di kursi kerjaku, dan Alex duduk di kursi yang satunya.

Sudah dua puluh lima menit kami terdiam dalam keheningan. Kami semua sudah mengganti pakaian dengan piama setelah matahari tenggelam ke arah barat. Kecuali Peter. Dia masih betah dengan baju berjas hitamnya. Dan setengah jam lagi waktu makan malam bersama di ruang makan Akademi Wonderland akan tiba.

Celdo tampak melototkan matanya ke arah Peter yang sedang duduk di atas lemari sambil bersiul ria.

"Ngapain di atas lemari? Tidak ada tempat lain buat duduk??" tanya Celdo heran kepada Peter dengan nada kesal.

"Bukan urusanmu. Lagi pula, tak ada yang menyisakan tempat duduk untukku. Sisanya yang hanya bisa diduduki adalah lemari ini," jawab Peter sekenanya.

"Ada. Sisanya lantai," balas Celdo dengan senyum mengejek sambil menunjuk lantai. Peter langsung menatap horror. Aku bingung apa mereka berdua itu berteman ataukah bermusuhan.

"Bagaimana caranya kita ke sana?" tanyaku ikut membuka suara.

"Ke mana?" tanya Yoanne balik. Dia duduk di samping kananku. Anna duduk di samping kiriku. Sudah dipastikan, aku duduk di tengah-tengah mereka.

"Ke Karnaval. Tentu saja ke istana Presiden!! Kenapa kita tadi diam saja??? Apa tak ada yang berniat untuk berdiskusi bagaimana cara kita bisa ke sana??" kesalku mulai frustasi. Lalu menoleh ke arah Anna. "Anna, mana si Yana, teman sekamarmu?"

"Katanya lagi sibuk baca novel. Malas gerak katanya," jawab Anna sambil mengangkat kedua bahu.

"Oh!! Kenapa Miss tidak tanya dari tadi?" Yoanne membulatkan mulut.

"Aku sudah tanya dari tadi." Aku menatap datar sekaligus kesal. Sabar sabar.

"Ah! Yoanne, aku dengar ya, keluarga Terhex itu punya peternakan naga. Apa itu benar?" seru Alex seraya beranjak dari kursi.

Apa dia bilang tadi? Naga? Apa makhluk mengerikan itu juga ada di sini? Astaga.

"Iya, kau benar. Kita berlima bisa memakai naga peliharaan Kakekku! Mereka semua sudah dewasa dan jinak! Kita bisa ke sana dengan cepat!" Yoanne ikut beranjak dari kursi dan berdiri di hadapan kami berempat.

"Kau tidak menghitungku?" tanya Peter sambil menunjuk dirinya sendiri dengan cemberut yang sepertinya sengaja dia buat. Merasa tertinggal.

"Kau kan punya kendaraan sendiri. Lagi pula kau hanya mengantarkan kami, bukannya ikut bertarung," balas Celdo kembali menengadah ke atas lemari. Kemudian mereka saling memamerkan lidah dan membuang muka. Tetap saja aku bingung apa mereka itu sedang berteman ataukah tidak.

"Oke, sudah diputuskan! Hari Minggu kita akan ke rumah kakekku!" Seruan Yoanne sekali lagi disambut dengan tepuk tangan Anna yang meriah.

Minggu? Masih lama. Selagi menunggu hari Minggu, aku akan melatih permainan pedang, kekuatan, dan menjaga fisik agar tidak sakit. Begitu juga dengan yang lain.

KLEK!

Suara kenop pintu dan decitan suara pintu yang terbuka membuat kami semua yang ada di dalam serempak menoleh ke arah dua makhluk yang baru saja masuk. Brown dan Nyong.

Nyong tersenyum manis seraya menggenggam tangan Ibunya. Hanya saja yang heran mata emasnya hanya tertuju padaku. Aku menatap tajam ke arahnya.

Mau apa dia ke sini? batinku.

To be continue ...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top